“Oke, Pa. Aku dan Lydia sudah sepakat, kami akan berusaha lebih keras agar bisa segera punya anak,” ujar Marcell.
Sontak, Lydia melotot. Dia belum menyatakan setuju! Namun, pendapatnya mana mungkin digubris ‘kan?
Lydia ingin tertawa miris. Setelah dinikahkan paksa, apa dia juga akan dipaksa hamil anak Marcell?
Astaga, Lydia tidak bisa membayangkan, bahkan selama dua tahun ini, dia tidak pernah ‘tidur’ bersama Marcell.
Ya, itu benar. Sejak malam pernikahan mereka, Lydia sempat menerima Marcell dan hendak pasrah jika diajak berhubungan badan. Namun, di hari itu, Lydia memergoki Marcell berselingkuh. Di hari pertama pernikahan mereka!
Dia syok, dan mulai mengetahui tabiat buruk Marcell. Mulai saat itu, dia bertekad untuk tidak akan pernah membiarkan Marcell ‘tidur’ dengannya.
Namun, tentu saja, orang tuanya dan orang tua Marcell tidak tahu tentang itu, soal mereka yang bahkan belum pernah ‘tidur’ bersama. Kalau tahu, mungkin dia yang akan dimarahi alih-alih Marcell.
“Papa harap bisa mendengar kabar bahagia dalam waktu dekat,” kata Papa Marcell.
“Itu pasti, saya yakin mereka akan lebih berusaha, terutama Lydia,” sahut Papa Lydia lalu melirik serius ke arah Lydia.
Lydia hanya mampu menggenggam garpu dan pisaunya erat-erat, menahan rasa ingin melempar sesuatu.
Setelah makan bersama, Lydia dipanggil oleh orang tuanya untuk menghadap mereka. Lydia dengan tampang datarnya tampak patuh.
Ketika mereka hanya bertiga, Lydia mulai melihat raut tidak mengenakkan dari wajah kedua orang tuanya yang sejak tadi melempar senyum dan bercanda tawa dengan orang tua Marcell.
“Apa kamu dengar tadi perkataan orang tua Marcell?”
“Dengar, Ma,” jawab Lydia.
“Kenapa kamu belum hamil juga? Jangan sampai kamu disuruh cerai sama Marcell karena nggak kunjung hamil. Gimana nasib perusahaan nantinya kalau putus dengan keluarga Marcell?”
Lydia memutar bola mata. Selalu saja perusahaan lagi yang dibahas, dia benar-benar muak. Namun, alih-alih marah, Lydia memilih diam. Dia belum bisa membantah karena dia belum memiliki kekuatan untuk melawan orang tuanya.
“Kok bisa kamu belum hamil juga?”
“Belum takdir,” jawab Lydia sekenanya.
“Apa jangan-jangan kamu … salama ini minum pil kontrasepsi diam-diam tanpa Marcell tahu?” tuduh Mama Lydia.
“Ma!” seru Lydia saking kesalnya. “Jangan nuduh yang enggak-enggak.”
“Kalau bukan karena itu, lalu kenapa kamu belum hamil juga? Apa mungkin kamu mandul? Jangan-jangan kamu nggak subur!”
Kali ini tawa miris keluar dari mulut Lydia.
“Kenapa aku yang dituduh kayak begitu? Bisa jadi Marcell yang bermasalah ‘kan?”
“Ssttt! Tutup mulut kamu, jangan sampai orang tua Marcell dengar. Marcell pria baik-baik, dia nggak mungkin ada masalah.”
“Tentu! Marcell anak yang terbaik, dia nggak mungkin bermasalah!” seru seseorang dengan suara menggelegar.
Lydia dan orang tuanya sontak terbelalak. Orang tua Marcell muncul, apa mereka mendengar percakapan tadi?
“Kalau ada yang bermasalah, itu pasti Lydia! Bukan Marcell!” tegas mama Marcell sambil menunjuk Lydia.
Lydia tersentak. Tidak cukup dituduh oleh orang tuanya, sekarang mertuanya juga begitu. Ini penghinaan baginya.
“Apa mungkin benar kamu diam-diam meminum pil kontrasepsi tanpa sepengetahuan Marcell? Ini aneh, karena kalian belum juga hamil setelah dua tahun menikah,” ucap papa Marcell. Tatapannya tajam ke arah Lydia.
Lydia merasa terpojokkan. Ini bukan salahnya, sejak awal ini adalah salah Marcell, tapi kenapa dia yang kena?
Kalau saja Marcell tidak berselingkuh sejak awal, dia pasti akan menjadi istri yang terbaik untuk melayani Marcell.
Apa sebaiknya dia bongkar saja kelakuan buruk Marcell sekarang? Ah, tapi mereka tak mungkin percaya, apalagi orang tua Marcell yang memanjakan dan selalu membela Marcell habis-habisan.
Ya, sampai detik ini, baik orang tuanya maupun orang tua Marcell tak ada yang tahu kalau Marcell berselingkuh darinya sudah dua tahun ini. Atau, mungkinkah mereka tahu, tapi mencoba menutupinya atau tak percaya kalau Marcell selingkuh?
Lydia sungguh kesal, dia sudah lelah dan ingin segera pergi. Untungnya, tepat saat itulah Marcell datang dan mengajaknya kembali. Dengan tampang bodoh seolah tak tahu apa pun, Marcell tersenyum begitu saja.
Raut wajah orang tuanya dan orang tua Marcell langsung berubah, mereka tersenyum ramah melihat Marcell.
“Ayo pulang, Sayang,” ajak Marcell.
Lydia mengangguk, berpamitan kepada orang tuanya dan orang tua Marcell lalu masuk ke dalam mobil sambil menahan perasaan sakit hati.
Setelah pertemuan keluarga yang melelahkan itu, Lydia dan Marcell kembali ke rumah mereka. Saat Lydia baru tiba di dalam kamar, tanpa aba-aba Marcell menarik pergelangan tangannya.
“Kita harus tidur bersama mulai hari ini.”
Lydia mengernyit. “Kita tidur bersama setiap hari.”
“Bukan tidur yang itu, Lydia. Tapi membuat anak!”
“Apa?!” pekik Lydia.
“Kamu lupa tadi Papaku bilang apa? Kamu harus segera hamil anakku.”
“Kalau aku nggak mau?”
“Aku harus maksa kamu.”
Lydia terbelalak. Habis sudah! Dia tidak ingin melakukan ini, bagaimana cara menghentikan Marcell agar tidak menyentuhnya?
“Lepas dulu tangan kamu.”
“Nggak mau.”
“Lepas dulu, Marcell!” seru Lydia.
Dia menghela napas karena Marcell masih belum melepaskannya.
Lydia memutar otak, berusaha mencari ide agar bisa menolak Marcell.
Baru saja Lydia mendapatkan ide agar Marcell tidak menyentuhnya malam ini.“Oke, aku setuju. Ayo kita ‘tidur’ bersama malam ini juga. Tapi ini pengalaman pertamaku dan aku gugup, bisa kita minum-minum dulu biar lebih rileks?”“Oke.”Lydia menghela napas lega ketika Marcell melepaskan tangannya. Rencananya adalah membuat Marcell tepar karena mabuk, dengan begitu mereka akan batal berhubungan badan.Marcell keluar kamar usai berganti pakaian. Tak lama, dia kembali dengan membawa sebotol vodka. Dia duduk di sebelah Lydia, bersama-sama di sofa panjang di kamar mereka.Lydia menerima gelas yang dituangkan cairan alkohol itu oleh Marcell. Mereka lantas mulai minum bersama.Sesekali Lydia melirik Marcell yang minum lebih cepat darinya. Memang toleransi alkohol Marcell lebih bagus darinya, Lydia pun hanya menyesap sedikit. Lagi pula, tujuannya membuat Marcell mabuk.“Sudah cukup rileks atau belum?” tanya Marcell.Lydia menggeleng. “Aku masih gugup, sebentar lagi. Kamu juga minumlah lagi.”Usa
Lydia pikir, Marcell mungkin tak akan sudi menyentuhnya kalau dia sudah disentuh oleh pria lain.“Perfect!”Lydia menatap cermin, menampilkan pantulan dirinya yang mengenakan dress seksi setengah paha, berbelahan dada rendah, dan punggungnya terbuka. Dress berwarna merah menyala, dia juga memakai make up tebal dengan lipstik berwarna merah.“Bukankah aku sudah seperti wanita nakal?” kata Lydia ke dirinya sendiri.Ini sungguh bukan dirinya, tapi Lydia ingin membangkang untuk malam ini, untuk pertama kalinya setelah dua tahun pernikahan mereka.Lydia mengenakan cardigan panjang untuk menutupi tubuh seksinya, kemudian ke basement untuk mengambil salah satu mobil Marcell.Lydia kemudikan mobil itu sendirian, membelah jalan raya di malam hari.Tiba di dalam sebuah night club, cahaya remang-remang dan musik yang memekakkan telinga menyambutnya. Lydia berkeliling sambil menatap sekitar, mencari seorang pria yang sekiranya bisa dia jadikan teman tidurnya malam ini.Belum ada pria yang menarik
"Gila!" batin Lydia memikirkan semua. Dia dan Damian sudah mencapai puncaknya,tapi permainan belum barakhir.Damian membawanya ke hotel, kemudian berlanjut menggempurnya di ronde berikutnya. Lydia dibuat menjerit nikmat di kamar hotel, melakukan hubungan terlarang itu untuk yang kedua kalinya.Di pagi hari, Lydia terbangun dengan tubuh yang terasa begitu lelah, tulang-tulangnya seperti mau copot! Dan bagian bawahnya terasa nyeri.“Awh!” pekik Lydia ketika akan beranjak duduk.Lydia meringis, dia bangun perlahan sambil melirik di sebelahnya. Sosok Damian masih memejamkan mata, tidur dengan tampang tenang.Tatapan Lydia lantas tertuju ke dada bidang Damian yang terekspos, Damian masih belum mengenakan pakaian.Glek!Lydia meneguk ludahnya dengan kasar. Wah … betapa indahnya tubuh Damian, membuat keinginan Lydia untuk melukis tubuh telanjang itu muncul lagi.Lydia menggeleng, berusaha menyadarkan dirinya. Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan itu. Sekarang dia harus segera kabur se
Jantung Lydia berdegup kencang, dadanya naik turun dalam ritme tak terkendali. Tenggorokannya mendadak kering, seolah kata-katanya tersangkut di sana, enggan keluar.Keterkejutan melandanya begitu dalam hingga Lydia hanya bisa kembali membisu, berdiri mematung di hadapan Damian.Sedangkan Damian tampak tenang, memandang Lydia dengan sorot yang sulit diartikan.“Kita bertemu lagi,” ucap Damian.Suara Damian yang dalam membuat Lydia tersentak, lamunannya buyar.Lydia berdehem. Hanya mendengar suara Damian pun membuatnya merasa tergoda, nada yang rendah dan sedikit serak membuatnya berdesir. Sejenak, Lydia lupa cara bernapas.Sial!Ada apa dengan dirinya? Lydia baru pertama kali merasakan hal seperti ini, bahkan dengan Marcell pun dia tidak pernah merasakannya. Apa mungkin karena malam itu mereka sudah menghabiskan kegiatan panas bersama?“Ya, kita bertemu lagi,” sahut Lydia, memaksakan senyum yang terkesan kaku. “Anda di sini …”Ingin sekali Lydia bertanya, mengapa bisa Damian ada di si
Damian mengernyit. “Balas dendam?”“Ya. Detailnya akan saya jelaskan nanti, kita harus bertemu di tempat lain, hanya berdua. Anda masih menyimpan kartu nama saya ‘kan?”Damian mengangguk singkat.“Kalau begitu, hubungi saya saat Anda setuju, kita bisa langsung bertemu dan membicarakan detailnya.”Lydia tidak melihat perubahan di raut wajah Damian, masih tampak datar. Berbeda sekali dengan malam itu, dia bisa melihat raut kenikmatan di wajah Damian.Astaga, apa yang dia pikirkan?! Ini bukan waktunya untuk memikirkan hal mesum.“Lalu apa yang saya dapatkan dengan membantumu? Selain kamu menjadi tunangan pura-pura saya. Tanpa kamu pun saya bisa mencari wanita lain,” ujar Damian.Lydia meneguk ludah. Dari perkataan Damian, seolah Damian ingin dia membuktikan ‘nilai’ dirinya di hadapan Damian, apakah dia benar-benar berguna atau tidak? Nada bicara Damian pun terkesan menuntut dengan aura mengintimidasi, berbeda dengan malam itu.“Harus saya, anda nggak akan kecewa kalau memanfaatkan saya.”
“Anda mengenal suami saya?” tanya Lydia, dia berusaha tenang dan menahan sakit hati atas perkataan pedas Damian padanya.“Tentu.”“Boleh saya tahu anda siapa?”Karena Damian sudah mengulik tentangnya, dia juga berhak tahu tentang Damian ‘kan? Sebelum mereka bekerja sama.Lydia memperhatikan Damian yang mengeluarkan kartu nama pria itu lantas menyodorkan ke hadapannya.Lydia mengambilnya dan mulai membacanya. Beberapa detik kemudian, dia nyaris dibuat menganga.Damian Bradley Anderson. Tertulis nama lengkap Damian di situ.“I-ini …”Lydia meneguk ludah. Damian dari Anderson Group? Keluarga konglomerat yang masuk ke dalam daftar sepuluh besar orang terkaya di negara ini? Apa Damian salah satu penerusnya?Selama ini, yang Lydia tahu, mengenai perusahaan milik Anderson Group di dalam negeri dipimpin oleh generasi kedua yang itu artinya ayah Damian, apa sekarang sudah beralih ke Damian yang merupakan generasi ketiga?Dan, sepertinya benar, dilihat dari kartu nama Damian, tertera kalau pria
Namun, apa pun itu syarat dari Damian, Lydia bersedia. Justru bagus kalau seperti yang Damian katakan.“Saya bersedia melakukan apa pun selama bisa menjatuhkan Marcell. Senang mengetahui kalau kita punya musuh yang sama,” ungkap Lydia lantas tersenyum.Damian tidak merespon, tapi bisa Lydia lihat sudut bibir Damian sedikit tertarik ke atas seperti sedang tersenyum tipis.“Tapi kenapa anda nggak mencoba untuk mengakuisisi perusahaan Marcell secara damai?” tanya Lydia dengan tampang penasaran.“Saya pernah menawarkan kesepakatan bisnis, melakukan merger dan memberi janji kalau Marcell tetap bisa menjabat di posisi tertentu. Tapi nggak mudah, apalagi ayahnya, mereka menolak tegas.”Lydia manggut-manggut, meskipun tak terlalu paham karena dia tak peduli dengan apa yang Marcell kerjakan, tapi sepertinya memang rumit. Kedengarannya sih begitu.“Memakai cara dengan membeli saham mayoritas pun nggak bisa, karena saat ini pemegang saham utama adalah ayah Marcell, dan di bawahnya ada Marcell se
“Saya juga nggak akan menggoda anda lagi, dan nggak mau disentuh lagi. Dasar menyebalkan!” seru Lydia.Namun, tentu saja Lydia bicara begitu setelah Damian pergi dari sini. Dia tak mungkin mengutarakannya saat masih ada orangnya.Setelah kepergian Damian yang dengan tak berperasaan pergi lebih dulu dan meninggalkannya, Lydia yang tak ingin berlama-lama pun juga beranjak dari sana usai menghabiskan makanan dan minuman.“Berapa totalnya?” tanya Lydia saat akan membayarnya.“Sudah dibayar semua,” jawab pekerja di restoran tersebut.Lydia manggut-manggut. Tidak mengherankan, dia pun hanya berjaga-jaga bertanya begitu, pasti Damian sudah membayar. Justru aneh kalau Damian membiarkan Lydia yang membayar semuanya.Dalam perjalanan kembali ke rumah, Lydia berdebar-debar menantikan apa saja yang akan dia dan Damian lakukan ke depannya.Sudut bibir Lydia tertarik ke atas membentuk seringaian tipis. Dia tidak sabar menanti kehancuran keluarga Marcell dan keluarganya. Sudah lama dia ingin melihat
Mendengar bisikan Damian, Lydia langsung melotot.“S-saya nggak mesum!” ujar Lydia dengan wajah yang mulai memerah. “Ini seni tahu! Seni!”“Seni, ya?”Dari nada suaranya, Damian seperti sedang meledek Lydia. Dia manggut-manggut, tapi belum menjauhkan wajahnya dari wajah Lydia, sedangkan Lydia sudah memalingkan wajah karena tak sanggup terlalu lama menatap ketampanan Damian dari jarak sedekat itu.Dari jarak yang begitu dekat, Damian mengamati wajah Lydia. Ternyata wanita ini sungguh … cantik.Tanpa Damian sadari, dia sedang mengagumi kecantikan Lydia. Dia jadi bertanya-tanya, mengapa Marcell menyelingkuhi wanita seperti Lydia? Sampai saat ini, dia belum menemukan sisi negatif Lydia yang bisa dijadikan alasan dia diselingkuhi.Damian sudah mencari tahu tentang Lydia. Yang dia temukan justru berita positif semua, dan prestasi Lydia sejak masa sekolah, kuliah, hingga menjadi pelukis seperti sekarang.
Marcell mengernyit, merasa aneh dengan tingkah sang istri.“Kenapa aku nggak boleh masuk ke kamar?” tanya Marcell, mendekati Lydia dengan tampang curiga. “Apa mungkin … kamu menyembunyikan sesuatu di sana?”Glek!Lydia refleks menelan ludah dengan kasar. Marcell memang benar, dia menyembunyikan sesuatu di dalam kamar, lebih tepatnya seseorang yang kalau Marcell tahu pasti akan membuat pria itu syok.Namun, Lydia berusaha untuk tetap tenang. Dia mendongak, menatap tepat ke mata Marcell.“Nggak. Aku nggak menyembunyikan apa pun. Hanya … kamarnya masih berantakan.”“Biarkan aja kalau berantakan, nanti dibereskan oleh ART. Kamu aneh.”“Ya, kamu benar.”“Kalau begitu, minggir, Lydia.”Kehabisan topik untuk membuat Marcell tak masuk ke kamar, Lydia akhirnya menyerah. Dia menggeser tubuhnya dari depan pintu kamar lantas membiarkan Mar
Lydia menahan tawa menatap ekspresi kaget yang terpampang di wajah Damian. Dia baru pertama kali melihatnya.Damian langsung terburu-buru mendorong kepala Lydia agar menjauh dari pundaknya.“Jangan dekat-dekat!” omel Damian.Lydia berdecak. “Anda sungguh nggak berperasaan! Jangan dorong saya!” serunya.Felix dan sang supir sontak terbelalak. Mereka tak menyangka Lydia akan seberani itu kepada Damian.“Saya nggak mendekati anda dengan sengaja. Lagi pula, anda yang membiarkan saya bersandar di pundak anda ‘kan?”Lydia merasa seperti orang lain saja, entah mengapa dia bisa seberani ini, bahkan dia tak pernah bertindak begini kepada Marcell.Damian diam, dia memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela mobil di sampingnya.“Anda nggak mau menjawab?” desak Lydia.“Berpikirlah sesukamu,” ucap Damian dengan tampang sok cuek.Lydia mendengkus. Akhirnya mereka
Lydia malu setengah mati! Dia salah tingkah dan tanpa pikir panjang mengambil sushi yang jatuh ke kotak menggunakan tangannya, tanpa sumpit, kemudian langsung dia lahap.Namun, karena terburu-buru, dia sampai tersedak.Uhuk-uhuk!Lydia tersedak semakin menjadi-jadi ketika melihat Damian mendekatinya. Dia pikir Damian mau apa, ternyata pria itu menyodorkan minum ke arahnya.“Minum perlahan,” suruh Damian.Lydia mengangguk lalu menerima minum dari Damian dan menegaknya sembari menahan malu dengan wajah yang sudah semerah tomat busuk.Setelah lebih tenang, Lydia melirik Damian dengan canggung, pria itu duduk di hadapannya.“Terima kasih,” ucap Lydia, tak menduga akan mendapatkan kepedulian dari Damian. Well … memberikan minum termasuk bentuk peduli kan?“Hm.”Damian hanya bergumam singkat dan mulai fokus menyantap makanannya.Lydia yang masih menyisakan perasaan mal
“Marcel …” geram Lydia.“Apa kata orang-orang kalau istriku bekerja di perusaahaan sainganku? Ini soal reputasiku juga, Lydia,” tegas Marcell dengan tampang serius.“Aku hanya akan menjadi karyawan biasa. Ada ribuan pekerja lain di sana, jadi mereka nggak akan tahu aku istrimu. Nggak semua orang hapal denganku, bahkan banyak yang nggak tahu tentang sosok istri Marcell. Iya ‘kan?”Lydia membatin, bahkan sepertinya lebih banyak orang yang tahu sosok jalang Marcell daripada istri Marcell.Marcell mendengkus. “Dari sekian banyak perusahaan, kenapa harus di sana, Lydia?”“Karena di sana yang saat itu sedang buka lowongan pekerjaan, kebetulan aja aku diterimanya di sana," dusta Lydia. Dia baru tahu kalau dirinya pintar mengarang.“Bagaimana kalau aku tetap menolak?”“Aku akan tetap berangkat,” ujar Lydia.Pasangan suami istri itu saling pandang dengan raut yang sama-sama serius, mereka seperti bersiap untuk berdebat dengan alot.Namun, sebelum itu terjadi, Lydia kembali berusaha meyakinkan
“Saya juga nggak akan menggoda anda lagi, dan nggak mau disentuh lagi. Dasar menyebalkan!” seru Lydia.Namun, tentu saja Lydia bicara begitu setelah Damian pergi dari sini. Dia tak mungkin mengutarakannya saat masih ada orangnya.Setelah kepergian Damian yang dengan tak berperasaan pergi lebih dulu dan meninggalkannya, Lydia yang tak ingin berlama-lama pun juga beranjak dari sana usai menghabiskan makanan dan minuman.“Berapa totalnya?” tanya Lydia saat akan membayarnya.“Sudah dibayar semua,” jawab pekerja di restoran tersebut.Lydia manggut-manggut. Tidak mengherankan, dia pun hanya berjaga-jaga bertanya begitu, pasti Damian sudah membayar. Justru aneh kalau Damian membiarkan Lydia yang membayar semuanya.Dalam perjalanan kembali ke rumah, Lydia berdebar-debar menantikan apa saja yang akan dia dan Damian lakukan ke depannya.Sudut bibir Lydia tertarik ke atas membentuk seringaian tipis. Dia tidak sabar menanti kehancuran keluarga Marcell dan keluarganya. Sudah lama dia ingin melihat
Namun, apa pun itu syarat dari Damian, Lydia bersedia. Justru bagus kalau seperti yang Damian katakan.“Saya bersedia melakukan apa pun selama bisa menjatuhkan Marcell. Senang mengetahui kalau kita punya musuh yang sama,” ungkap Lydia lantas tersenyum.Damian tidak merespon, tapi bisa Lydia lihat sudut bibir Damian sedikit tertarik ke atas seperti sedang tersenyum tipis.“Tapi kenapa anda nggak mencoba untuk mengakuisisi perusahaan Marcell secara damai?” tanya Lydia dengan tampang penasaran.“Saya pernah menawarkan kesepakatan bisnis, melakukan merger dan memberi janji kalau Marcell tetap bisa menjabat di posisi tertentu. Tapi nggak mudah, apalagi ayahnya, mereka menolak tegas.”Lydia manggut-manggut, meskipun tak terlalu paham karena dia tak peduli dengan apa yang Marcell kerjakan, tapi sepertinya memang rumit. Kedengarannya sih begitu.“Memakai cara dengan membeli saham mayoritas pun nggak bisa, karena saat ini pemegang saham utama adalah ayah Marcell, dan di bawahnya ada Marcell se
“Anda mengenal suami saya?” tanya Lydia, dia berusaha tenang dan menahan sakit hati atas perkataan pedas Damian padanya.“Tentu.”“Boleh saya tahu anda siapa?”Karena Damian sudah mengulik tentangnya, dia juga berhak tahu tentang Damian ‘kan? Sebelum mereka bekerja sama.Lydia memperhatikan Damian yang mengeluarkan kartu nama pria itu lantas menyodorkan ke hadapannya.Lydia mengambilnya dan mulai membacanya. Beberapa detik kemudian, dia nyaris dibuat menganga.Damian Bradley Anderson. Tertulis nama lengkap Damian di situ.“I-ini …”Lydia meneguk ludah. Damian dari Anderson Group? Keluarga konglomerat yang masuk ke dalam daftar sepuluh besar orang terkaya di negara ini? Apa Damian salah satu penerusnya?Selama ini, yang Lydia tahu, mengenai perusahaan milik Anderson Group di dalam negeri dipimpin oleh generasi kedua yang itu artinya ayah Damian, apa sekarang sudah beralih ke Damian yang merupakan generasi ketiga?Dan, sepertinya benar, dilihat dari kartu nama Damian, tertera kalau pria
Damian mengernyit. “Balas dendam?”“Ya. Detailnya akan saya jelaskan nanti, kita harus bertemu di tempat lain, hanya berdua. Anda masih menyimpan kartu nama saya ‘kan?”Damian mengangguk singkat.“Kalau begitu, hubungi saya saat Anda setuju, kita bisa langsung bertemu dan membicarakan detailnya.”Lydia tidak melihat perubahan di raut wajah Damian, masih tampak datar. Berbeda sekali dengan malam itu, dia bisa melihat raut kenikmatan di wajah Damian.Astaga, apa yang dia pikirkan?! Ini bukan waktunya untuk memikirkan hal mesum.“Lalu apa yang saya dapatkan dengan membantumu? Selain kamu menjadi tunangan pura-pura saya. Tanpa kamu pun saya bisa mencari wanita lain,” ujar Damian.Lydia meneguk ludah. Dari perkataan Damian, seolah Damian ingin dia membuktikan ‘nilai’ dirinya di hadapan Damian, apakah dia benar-benar berguna atau tidak? Nada bicara Damian pun terkesan menuntut dengan aura mengintimidasi, berbeda dengan malam itu.“Harus saya, anda nggak akan kecewa kalau memanfaatkan saya.”