“Tentu saja lukisannya yang indah, memangnya apa lagi kalau bukan lukisannya?” dusta Lydia.
Padahal yang dia maksud indah adalah pria di dekatnya ini.
Lydia memasang senyum anggun, senyum palsu yang sudah bertahun-tahun diasahnya dengan sempurna. Tanpa ragu, Lydia merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama, kemudian menyodorkannya kepada pria di hadapannya.
“Saya seorang pelukis. Lukisan saya juga ada di sini,” ucapnya.
Pria itu mengambil kartu nama Lydia, menatapnya sekilas lalu kembali mengamati wajah Lydia dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Lydia menahan napas untuk sesaat, jantungnya masih berdegup tak karuan.
Lydia belum pernah merasa begitu terpikat oleh seorang pria seperti ini. Ada sesuatu tentang pria ini yang membuatnya bergidik, bukan karena takut, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam dan sulit dijelaskan.
Lydia mengamati pria itu. Barang-barang yang dikenakannya jelas bukan barang biasa.
Sepatu kulit berkualitas tinggi yang harganya mencapai ratusan juta, jas hitam yang terjahit sempurna di tubuhnya serta jam tangan yang bernilai miliaran rupiah.
Dari caranya berdiri dan menatap, dia bukan sembarang pria kaya, tapi seperti seseorang dari kalangan old money. Itu berarti, kemungkinan besar dia memiliki pengaruh dan status yang tinggi.
Tidak mungkin pria seperti itu mau menjadi muse untuk lukisan telanjang ‘kan? Lydia bisa saja menawarkan uang kepada para pria agar mau menjadi musenya, tapi pria ini jelas berbeda. Kalau dia melakukan hal itu, mungkin dia bisa dimarahi atau terkena masalah.
Namun, Lydia tetap tidak bisa mengabaikan keinginan kuatnya untuk melukis tubuh pria itu. Baginya, pria itu seperti patung yang dipahat sempurna—sebuah mahakarya seni yang hidup.
“Apa Anda seorang kolektor?” tanya Lydia, mencoba mencari celah untuk memperpanjang percakapan.
Pria itu sedikit mengangkat alis lalu menjawab,
“Saya hanya penikmat seni lukis, tapi terkadang mungkin bisa menjadi kolektor?”
Jawabannya terdengar juga seperti pertanyaan.
Lydia membuka mulutnya lalu menutupnya lagi. Rasanya sulit sekali menahan diri untuk tidak langsung mengajukan tawaran.
“Apa Anda pernah menjadi muse?” tanyanya akhirnya, dengan hati-hati.
Pria itu menatap Lydia dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya balik,
“Maksud Anda, saya dilukis oleh seorang pelukis? Menjadi inspirasi mereka?”
“Ya.”
Pria itu terdiam sesaat, kemudian menggeleng. “Nggak pernah.” Setelah jeda sejenak, dia menambahkan dengan nada yang lebih tegas, “Dan nggak akan pernah.”
Lydia terbelalak sesaat. Ah, ini akan sulit.
Sebelum Lydia sempat berkata lebih lanjut, seorang pria berjas lain datang menghampiri pria bermata biru itu. Sekilas, dia tampak seperti sopir, ajudan, atau mungkin sekretaris?
Tanpa berkata apa pun, pria itu berbalik dan berjalan menjauh dari Lydia, meninggalkannya begitu saja.
Lydia menatap punggung tegap pria itu yang bergerak menjauh. Bahkan dilihat dari belakang pun menarik.
Lydia bisa membayangkan bagaimana bentuk otot punggung pria itu jika telanjang, bagaimana bayangan cahaya akan jatuh sempurna di kulitnya jika dia melukisnya. Dia yakin, pria itu adalah muse yang selama ini dia cari. Sumber inspirasinya.
“He’s perfect,” gumam Lydia. Dia berharap bisa bertemu dengan pria itu lagi.
*
Malam ini, Lydia berada di sebuah retoran mewah, di private room. Ada makan malam bersama kedua keluarga.
Dan seperti biasa, Lydia terpaksa patuh untuk datang, meskipun sebenarnya tidak ingin.
“Anda terlihat semakin cantik,” puji Mama Lydia kepada Mama Marcell.
“Haha, Anda bisa saja.”
Orang tuanya tampak begitu ceria, berbicara dengan antusias kepada orang tua Marcell.
Lydia muak melihat dan mendengarnya, semakin lama semakin jelas kalau orang tuanya sedang menjilat orang tua Marcell agar tetap memiliki hubungan baik.
“Lydia, tadi Mama dengar kamu datang ke galeri seni?” tanya Mama Marcell.
Lydia mengernyit, tahu dari mana Mama mertuanya? Dia lantas melirik Marcell yang tampak cuek, tapi kemungkinan informasinya didapatkan dari Marcell, karena Lydia kalau keluar rumah memberikan laporan kepada Marcell.
“Iya, Ma,” angguk Lydia.
“Mama senang kamu pandai melukis, bahkan lukisanmu dihargai cukup tinggi. Tapi, kalau kamu sibuk melulu dengan melukis, kapan kamu akan memberi kami cucu?” tanya Mama Marcell.
“Benar, kalian sudah dua tahun menikah, tapi kami belum mendengar kabar baik itu,” imbuh Papa Marcell.
Lydia sontak terbelalak, perutnya tiba-tiba terasa mual. Bukan karena makanan atau hamil, tapi dia panik dan jijik membayangkan punya anak dari Marcell.
Lydia melirik orang tuanya yang menatapnya tajam, seperti biasa mungkin dia akan dimarahi atau disalahkan.
“Mungkin memang belum diberi, tapi saya yakin Lydia sedang berusaha. Iya ‘kan?” tanya Mama Lydia dengan tatapan yang mendesak Lydia.
“Ya.”
“Jangan mendesak Lydia, Ma. Kami juga masih muda, nanti aja punya anaknya, santai,” kata Marcell.
Lydia agak lega karena Marcell berada di pihaknya kali ini. Meskipun dia tahu Marcell berkata begitu karena masih ingin bersenang-senang dengan jal*ngnya.
“Santai sampai kapan? Kamu harus punya keturunan, kalian menikah juga sudah dua tahun. Apa kata orang-orang nantinya?” tanya Papa Marcell.
“Nggak usah pedulikan kata orang,” jawab Marcell. Tentu saja dia belum berminat punya anak, nanti waktunya untuk bersenang-senang dengan para jal*ngnya bisa berkurang.
“Kamu ingin dapat bagian lebih banyak di kepemilikan saham perusahaan ‘kan? Kalau begitu, Papa ajukan syarat tambahan. Beri cucu untuk Papa,” ujar Papa Marcell.
Marcell yang tadinya tampak santai, kini terlihat kaget.
“Pa! Kenapa syaratnya harus cucu? Sebelumnya nggak ada syarat itu!”
“Jangan protes,” tegas Papa Marcell.
Marcell menatap Lydia di sebelahnya, kemudian tiba-tiba merangkul Lydia.
“Kamu dengar itu? Papa minta cucu. Kita harus bekerja sama, Lydia,” bisik Marcell.
“Kamu lakukan aja sama jal*ngmu,” balas Lydia, dengan berbisik juga.
Marcell tergelak. “Mana bisa, harus kamu. Kita harus melakukannya.”
Tubuh Lydia menegang, barusan Marcell terdengar serius.
“Apa kamu gila?” desis Lydia.
“Mau nggak mau, cepat atau lambat, kita harus punya anak.”
Jantung Lydia berdegup kencang. Dia mulai panik, Marcell terdengar makin serius. Gawat! Apa Marcell akan memaksanya malam ini? Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak ingin berhubungan badan atau punya anak dari Marcell!
“Oke, Pa. Aku dan Lydia sudah sepakat, kami akan berusaha lebih keras agar bisa segera punya anak,” ujar Marcell.Sontak, Lydia melotot. Dia belum menyatakan setuju! Namun, pendapatnya mana mungkin digubris ‘kan?Lydia ingin tertawa miris. Setelah dinikahkan paksa, apa dia juga akan dipaksa hamil anak Marcell?Astaga, Lydia tidak bisa membayangkan, bahkan selama dua tahun ini, dia tidak pernah ‘tidur’ bersama Marcell.Ya, itu benar. Sejak malam pernikahan mereka, Lydia sempat menerima Marcell dan hendak pasrah jika diajak berhubungan badan. Namun, di hari itu, Lydia memergoki Marcell berselingkuh. Di hari pertama pernikahan mereka!Dia syok, dan mulai mengetahui tabiat buruk Marcell. Mulai saat itu, dia bertekad untuk tidak akan pernah membiarkan Marcell ‘tidur’ dengannya.Namun, tentu saja, orang tuanya dan orang tua Marcell tidak tahu tentang itu, soal mereka yang bahkan belum pernah ‘tidur’ bersama. Kalau tahu, mungkin dia yang akan dimarahi alih-alih Marcell.“Papa harap bisa mende
Baru saja Lydia mendapatkan ide agar Marcell tidak menyentuhnya malam ini.“Oke, aku setuju. Ayo kita ‘tidur’ bersama malam ini juga. Tapi ini pengalaman pertamaku dan aku gugup, bisa kita minum-minum dulu biar lebih rileks?”“Oke.”Lydia menghela napas lega ketika Marcell melepaskan tangannya. Rencananya adalah membuat Marcell tepar karena mabuk, dengan begitu mereka akan batal berhubungan badan.Marcell keluar kamar usai berganti pakaian. Tak lama, dia kembali dengan membawa sebotol vodka. Dia duduk di sebelah Lydia, bersama-sama di sofa panjang di kamar mereka.Lydia menerima gelas yang dituangkan cairan alkohol itu oleh Marcell. Mereka lantas mulai minum bersama.Sesekali Lydia melirik Marcell yang minum lebih cepat darinya. Memang toleransi alkohol Marcell lebih bagus darinya, Lydia pun hanya menyesap sedikit. Lagi pula, tujuannya membuat Marcell mabuk.“Sudah cukup rileks atau belum?” tanya Marcell.Lydia menggeleng. “Aku masih gugup, sebentar lagi. Kamu juga minumlah lagi.”Usa
Lydia pikir, Marcell mungkin tak akan sudi menyentuhnya kalau dia sudah disentuh oleh pria lain.“Perfect!”Lydia menatap cermin, menampilkan pantulan dirinya yang mengenakan dress seksi setengah paha, berbelahan dada rendah, dan punggungnya terbuka. Dress berwarna merah menyala, dia juga memakai make up tebal dengan lipstik berwarna merah.“Bukankah aku sudah seperti wanita nakal?” kata Lydia ke dirinya sendiri.Ini sungguh bukan dirinya, tapi Lydia ingin membangkang untuk malam ini, untuk pertama kalinya setelah dua tahun pernikahan mereka.Lydia mengenakan cardigan panjang untuk menutupi tubuh seksinya, kemudian ke basement untuk mengambil salah satu mobil Marcell.Lydia kemudikan mobil itu sendirian, membelah jalan raya di malam hari.Tiba di dalam sebuah night club, cahaya remang-remang dan musik yang memekakkan telinga menyambutnya. Lydia berkeliling sambil menatap sekitar, mencari seorang pria yang sekiranya bisa dia jadikan teman tidurnya malam ini.Belum ada pria yang menarik
"Gila!" batin Lydia memikirkan semua. Dia dan Damian sudah mencapai puncaknya,tapi permainan belum barakhir.Damian membawanya ke hotel, kemudian berlanjut menggempurnya di ronde berikutnya. Lydia dibuat menjerit nikmat di kamar hotel, melakukan hubungan terlarang itu untuk yang kedua kalinya.Di pagi hari, Lydia terbangun dengan tubuh yang terasa begitu lelah, tulang-tulangnya seperti mau copot! Dan bagian bawahnya terasa nyeri.“Awh!” pekik Lydia ketika akan beranjak duduk.Lydia meringis, dia bangun perlahan sambil melirik di sebelahnya. Sosok Damian masih memejamkan mata, tidur dengan tampang tenang.Tatapan Lydia lantas tertuju ke dada bidang Damian yang terekspos, Damian masih belum mengenakan pakaian.Glek!Lydia meneguk ludahnya dengan kasar. Wah … betapa indahnya tubuh Damian, membuat keinginan Lydia untuk melukis tubuh telanjang itu muncul lagi.Lydia menggeleng, berusaha menyadarkan dirinya. Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan itu. Sekarang dia harus segera kabur se
Jantung Lydia berdegup kencang, dadanya naik turun dalam ritme tak terkendali. Tenggorokannya mendadak kering, seolah kata-katanya tersangkut di sana, enggan keluar.Keterkejutan melandanya begitu dalam hingga Lydia hanya bisa kembali membisu, berdiri mematung di hadapan Damian.Sedangkan Damian tampak tenang, memandang Lydia dengan sorot yang sulit diartikan.“Kita bertemu lagi,” ucap Damian.Suara Damian yang dalam membuat Lydia tersentak, lamunannya buyar.Lydia berdehem. Hanya mendengar suara Damian pun membuatnya merasa tergoda, nada yang rendah dan sedikit serak membuatnya berdesir. Sejenak, Lydia lupa cara bernapas.Sial!Ada apa dengan dirinya? Lydia baru pertama kali merasakan hal seperti ini, bahkan dengan Marcell pun dia tidak pernah merasakannya. Apa mungkin karena malam itu mereka sudah menghabiskan kegiatan panas bersama?“Ya, kita bertemu lagi,” sahut Lydia, memaksakan senyum yang terkesan kaku. “Anda di sini …”Ingin sekali Lydia bertanya, mengapa bisa Damian ada di si
Damian mengernyit. “Balas dendam?”“Ya. Detailnya akan saya jelaskan nanti, kita harus bertemu di tempat lain, hanya berdua. Anda masih menyimpan kartu nama saya ‘kan?”Damian mengangguk singkat.“Kalau begitu, hubungi saya saat Anda setuju, kita bisa langsung bertemu dan membicarakan detailnya.”Lydia tidak melihat perubahan di raut wajah Damian, masih tampak datar. Berbeda sekali dengan malam itu, dia bisa melihat raut kenikmatan di wajah Damian.Astaga, apa yang dia pikirkan?! Ini bukan waktunya untuk memikirkan hal mesum.“Lalu apa yang saya dapatkan dengan membantumu? Selain kamu menjadi tunangan pura-pura saya. Tanpa kamu pun saya bisa mencari wanita lain,” ujar Damian.Lydia meneguk ludah. Dari perkataan Damian, seolah Damian ingin dia membuktikan ‘nilai’ dirinya di hadapan Damian, apakah dia benar-benar berguna atau tidak? Nada bicara Damian pun terkesan menuntut dengan aura mengintimidasi, berbeda dengan malam itu.“Harus saya, anda nggak akan kecewa kalau memanfaatkan saya.”
“Anda mengenal suami saya?” tanya Lydia, dia berusaha tenang dan menahan sakit hati atas perkataan pedas Damian padanya.“Tentu.”“Boleh saya tahu anda siapa?”Karena Damian sudah mengulik tentangnya, dia juga berhak tahu tentang Damian ‘kan? Sebelum mereka bekerja sama.Lydia memperhatikan Damian yang mengeluarkan kartu nama pria itu lantas menyodorkan ke hadapannya.Lydia mengambilnya dan mulai membacanya. Beberapa detik kemudian, dia nyaris dibuat menganga.Damian Bradley Anderson. Tertulis nama lengkap Damian di situ.“I-ini …”Lydia meneguk ludah. Damian dari Anderson Group? Keluarga konglomerat yang masuk ke dalam daftar sepuluh besar orang terkaya di negara ini? Apa Damian salah satu penerusnya?Selama ini, yang Lydia tahu, mengenai perusahaan milik Anderson Group di dalam negeri dipimpin oleh generasi kedua yang itu artinya ayah Damian, apa sekarang sudah beralih ke Damian yang merupakan generasi ketiga?Dan, sepertinya benar, dilihat dari kartu nama Damian, tertera kalau pria
Namun, apa pun itu syarat dari Damian, Lydia bersedia. Justru bagus kalau seperti yang Damian katakan.“Saya bersedia melakukan apa pun selama bisa menjatuhkan Marcell. Senang mengetahui kalau kita punya musuh yang sama,” ungkap Lydia lantas tersenyum.Damian tidak merespon, tapi bisa Lydia lihat sudut bibir Damian sedikit tertarik ke atas seperti sedang tersenyum tipis.“Tapi kenapa anda nggak mencoba untuk mengakuisisi perusahaan Marcell secara damai?” tanya Lydia dengan tampang penasaran.“Saya pernah menawarkan kesepakatan bisnis, melakukan merger dan memberi janji kalau Marcell tetap bisa menjabat di posisi tertentu. Tapi nggak mudah, apalagi ayahnya, mereka menolak tegas.”Lydia manggut-manggut, meskipun tak terlalu paham karena dia tak peduli dengan apa yang Marcell kerjakan, tapi sepertinya memang rumit. Kedengarannya sih begitu.“Memakai cara dengan membeli saham mayoritas pun nggak bisa, karena saat ini pemegang saham utama adalah ayah Marcell, dan di bawahnya ada Marcell se
“Bunga dari siapa itu?”Lydia langsung melunturkan senyumnya saat baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah.Marcell menghadangnya, menanyakan bunga dari Damian yang dia bawa ke rumah. Tentu saja, Lydia tak berniat membuang sebuket bunga ini.“Dariku, aku beli sendiri,” jawab Lydia, berbohong.“Sejak kapan kamu suka beli bunga?” heran Marcell.“Sejak hari ini,” jawab Lydia cuek.Marcell mengamati Lydia dengan tampang curiga. Sejujurnya, akhir-akhir ini Lydia memang aneh, seperti ada banyak hal yang wanita itu sembunyikan darinya.Lydia tak mempedulikan Marcell, dia yakin tak akan ketahuan kalau hanya perkara bunga.Saat tiba di kamar, dia menaruh bunga pemberian Damian di vas sambil memandanginya dan tersenyum-senyum sendiri.Lydia membuka ponsel, mengecek kalender di sana. Dia hampir lupa, pameran seni lukis di Prancis dimajukan, tak lama lagi. Dia harus segera menyelesaikan lukisan.Dia harap Marcell ada acara lagi di luar agar dia bisa membawa Damian ke rumah untuk menyelesaikan l
Damian dan Lydia masih berada dalam pelukan setelah ciuman lembut yang mereka bagi. Ruangan terasa hangat oleh napas mereka yang saling bersahutan dalam jarak dekat.Damian menempelkan bibirnya ke pelipis Lydia, mengecupnya. Dia lantas menarik tubuh wanita itu lebih dekat.“Kamu sepertinya lebih kurus,” gumam Damian sambil mengamati dan mengelus tubuh Lydia. “Jangan diet.”“Aku nggak mau gendut.”“Kamu nggak gendut. Makanlah yang banyak, jangan ditahan-tahan.”Lydia mengangguk. “Tapi sepertinya bukan aku yang kurus, badanmu yang terlalu besar, kamu terlalu kekar.”Damian terkekeh.Jemarinya bergerak lembut menyisir rambut Lydia yang terurai lalu berhenti di dagu wanita itu, mengarahkan agar menatapnya.Mata biru Damian bergerak menelusuri wajah Lydia dalam keheningan. Lydia memang balas menatapnya, tapi tampak tak terlalu fokus, pikirannya seperti terbagi ke hal lain.“Ada apa, hm?” tanya Damian dengan lembut, hal yang jarang sekali dia lakukan bahkan kepada keluarganya sendiri.“Aku
Panik, Lydia bergerak makin menjauh dari tubuh Damian.“Ada yang datang,” bisik Lydia.Damian mengangguk. “Kamu tetap di sini.” Dia lantas merapikan penampilan dan memasang tampang datarnya. “Masuk!”Sosok yang mengetuk pintu ruangan Damian masuk ke dalam. Bukan Felix, melainkan seorang direktur operasional di perusahaan tersebut.Mendapati Damian berduaan di ruangan dengan Lydia, dia tak curiga karena mereka terlihat biasa saja, tampak formal seperti atasan dan bawahan.Lydia berusaha bersikap profesional, mendampingi Damian yang sedang membicarakan terkait pekerjaan dengan sang direktur operasional.Lydia merasa lega. Untung saja tadi tak ketahuan. Dia terlalu nekat bermesraan di kantor kan?*Memang, mereka tak bisa berduaan lagi sampai pulang kerja. Tapi, pasangan terlarang itu tak mau menyia-nyiakan waktu saat Marcell dan Adel tak ada di rumah.Seperti malam ini misalnya, Lydia langsung mengundang Damian ke rumahnya, seperti biasa melukis di paviliun.Kali ini, ke sesi berikutnya
"Apa ada hal baik yang terjadi?” tanya Marcell.Pagi ini, Marcell sedang sarapan bersama Lydia dan Adel. Namun, fokusnya terus tertuju pada Lydia yang tak berhenti tersenyum, bahkan entah kerasukan apa, wanita yang masih berstatus istrinya itu menyapanya dan Adel dengan ramah.Padahal, biasanya Lydia hanya diam dengan tampang dingin.“Hm?” sahut Lydia, diam sejenak.Pikirin Lydia masih dipenuhi oleh Damian yang semalam. Senyum pria itu, tatapannya, genggaman tangannya, dan tentu saja ciuman mereka sebagai pasangan.“Ah, hal baik. Ya, tentu saja ada,” jawab Lydia.“Tentang lukisanmu?”Lydia mengangguk, berbohong. Entah akan sekaget apa Marcell kalau tahu hal baik yang dia maksud adalah jadian dengan Damian.“Aku sudah selesai,” ujar Lydia lalu beranjak dari kursinya, dia lantas menatap Adel dengan senyum elegan. “Makanlah yang banyak, agar bayimu nggak kekurangan gizi.”Adel menggenggam alat makan erat-erat. Dia kesal mendengar kalimat Lydia yang entah mengapa seperti ejekan baginya, d
Suasana di dalam ruangan mendadak sunyi. Lydia menatap Damian dengan perasaan campur aduk. Dia merasa terkejut, tak percaya, dan jantungnya berdebar begitu cepat hingga dia khawatir Damian bisa mendengarnya.“Damian …” Lydia mengerjapkan mata. “Apa kamu serius?”Damian tidak menjawab dengan kata-kata, hanya menatap Lydia dengan intens.Tatapan itu … Lydia tak bisa mengabaikannya. Ada sesuatu yang berbeda di sana, bukan sekadar ketertarikan, tapi lebih dalam dari itu.Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya masih memegang segelas wine yang berisi sisa minuman yang belum disentuhnya lagi. Dia tidak main-main dengan ucapannya barusan.“Aku serius, Lydia. Aku ingin menambahkan satu poin dalam kontrak kita. Aku ingin ada kemungkinan bagi kita untuk memiliki hubungan romantis sungguhan, bukan sekadar akting.”Lydia merasa tubuhnya melemas. Ini terlalu mendadak. Dia bahkan masih memproses fakta bahwa Damian menyukainya.“Tapi …” Lydia terdiam sejenak. “Ini terlalu mendadak buatku. A
Damian tampak terguncang setelah meresapi perkataan Felix. Dia bahkan membuat Felix khawatir ketika akan pamit pulang.“Anda mau saya antar?” tawar Felix yang merasa tak tega.“Nggak,” tolak Damian.Di dalam mobil, Damian mengusap wajahnya dengan kasar.DIa tidak menyukai perasaan tidak pasti seperti ini. Selama ini, segala sesuatu dalam hidupnya berjalan sesuai rencana, terkontrol, logis, terstruktur. Dan mayoritas berkaitan dengan pekerjaan.Tapi, sosok Lydia… bagi Damian seperti badai. Masuk ke dalam hidupnya tanpa aba-aba, mengguncang segalanya, dan membuatnya merasa tidak menentu seperti sekarang.Di tempat tidurnya, apakah Damian bisa tidur nyenyak setelah mendapatkan pencerahan dari Felix? Oh, tentu saja, tidak. Dia malah semakin sulit tidur. Terjaga terus-menerus dan makin memikirkan Lydia.Damian menatap jam dindingnya, sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ini gila!Akhirnya, dia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju dapur, dan menuangkan segelas whiskey. Dia menyesapn
Damian menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Seharusnya dia bisa tidur nyenyak setelah menghabiskan malam panas yang luar biasa dengan Lydia, tapi justru sebaliknya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.Lydia. Wanita itulah penyebabnya.Nama Lydia terus berputar di benaknya dan di pikirannya. Wajahnya. Senyumnya. Cara dia bicara, cara dia melukis, cara dia menatapnya dengan raut serius. Dan tubuhnya yang terasa begitu pas di dalam pelukannya.Damian menghela napas, menatap tangannya. Dia masih teringat bagaimana rasanya menyentuh kulit Lydia. Hangat. Lembut. Menyebabkan kecanduan.Sialan!Dia bukan tipe pria yang terobsesi pada wanita. Tapi Lydia... wanita itu berbeda. Namun, mengapa harus istri Marcell?“Sepertinya aku mulai gila!” geram Damian pada dirinya sendiri.Tadi di pagi harinya usai ikut sarapan bersama Lydia, dia langsung pamit pulang. Dia tak sanggup berlama-lama lagi dengan Lydia, dia khawatir perasaan aneh ini berkembang semakin besar.Damian merasa bahwa
Hujan masih turun rintik-rintik ketika Damian dan Lydia berbaring di atas kasur dengan napas terengah usai pertempuran panas selama dua ronde.Angin dingin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan sisa hujan yang menenangkan.Lydia terbaring di samping Damian, tubuhnya dibalut selimut. Dia menatap wajah pria itu dalam keheningan. Rambut Damian berantakan, matanya setengah terpejam, tapi tatapan mata birunya masih terfokus pada Lydia seakan ingin menghafal setiap detail wajahnya.Jemari Damian terangkat, menyentuh wajah Lydia dengan lembut. Ibu jarinya mengusap pipi wanita itu, turun ke sepanjang rahang, lalu berhenti di dagunya."You’re so pretty, Lydia," suara Damian terdengar rendah dan penuh kelembutan. "Saya masih nggak nyangka wanita sempurna sepertimu diselingkuhi."Lydia hanya diam. Tapi, dia merasa dadanya kembali berdebar hebat usai mendengar kalimat Damian yang seperti pujian baginya. Atau, itu memang benar pujian yang tulus?Astaga, rasanya pipi Lydia memanas. Dia sala
Damian mencium Lydia dengan tenang, tak terburu-buru, seakan menikmati setiap detik yang ada.Satu tangan Damian berada di pipi Lydia, sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang wanita itu, menariknya lebih dekat.Lydia memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam cumbuan Damian yang memabukkan. Ditambah suasana yang sungguh mendukung dengan suara rintik hujan.Lydia mengerang saat Damian memperdalam ciuman. Napas Damian yang bercampur dengan wangi khas tubuh pria itu tercium, rasa bibir Damian yang bergerak semakin intens membuat Lydia berdebar hebat.Damian menjeda ciuman, menjauhkan bibirnya dari bibir Lydia, menarik diri sejenak. Dia menatap Lydia yang masih terpejam dengan napas memburu."Lydia," bisiknya pelan, suaranya terdengar serak.Lydia membuka matanya perlahan, tatapan mereka bertemu dalam keheningan hujan.“Aku … nggak bisa berhenti,” ujar Damian.Lydia belum sempat menyahut, dan Damian sudah lebih dulu menciumnya. Lebih dalam, dan lebih dalam lagi.Lydia