"Mas."
"Mas.""Mas.""Mas."Panggilan untuk suami ke sekian kalinya dari perempuan yang tengah berbaring telentang di atas kasur itu."Elea." Tegur Geff pelan, laki-laki itu jadi tidak fokus melihat desain rumah yang ada di ponselnya."Ehehehe." Elea hanya menyengir mendengar teguran Geff. Memang suaminya itu tidak pernah marah apapun tingkah yang dia lakukan. Kesel dikit paling."Kenapa manggil terus?" Tanya Geff tak mengalihkan pandangannya."Gak papa," jawab Elea singkat."Mau apa?""Gak mau apa-apa."Geff menghembuskan napas pelan, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Laki-laki itu merebahkan dirinya di samping Elea yang sedang melihat langit-langit kamar."Mas beli rumah dari kapan?" Tanya Elea yang baru sempat menanyakan perihal rumah semenjak mereka menikah."Dari lulus kuliah. Bukan beli jadi, tapi bikin," ujar Geff."Wahh pantes bagus banget." Elea berdecak kagum mengingat betapa indah desain interior rumah yang mereka tinggali setelah pernikahan."Pas kuliah kan gue kerja, nah duitnya buat beli tanah, terus bikin rumah deh."Elea menyampingkan kepalanya untuk menatap wajah Geff. Geff memang sempurna, dadi sudut pandang manapun masih tampan."Emang gajinya gede banget? Kok cepet kebeli tanah." Tanya Elea penasaran. Elea yang dikasih uang bulanan lumayan banyak saja kadang masih kurang karena kalap mata di awal bulan."Gajinya lumayan, tapi gak gede banget, cukuplah, yang penting pinter ngatur duitnya," ujar Geff mengingat betapa berhematnya dirinya dulu untuk memiliki rumah impian."Papah Sandi kan kaya, gak dikasih uang jajan?""Dikasih, uang bulanan tetep dikasih sama bokap. Hasil kerja 4 tahun gue ya buat rumah."Sandi memberikan Geff uang bulanan yang cukup untuk membayar kos dan makan sehari-hari. Tentu hal tersebut tak bisa Geff gantungkan untuk menabung membangun rumah. Alhasil, dari semester 1 Geff sudah bekerja dan rajin menabung."Kenapa gak minta uang aja sama papah? Nanti mas tinggal nge-desain aja." Pertanyaan Elea yang pernah ditanyakan mamahnya dulu kepada Geff.Profesi Geff sesuai dengan jurusan yang diambilnya sewaktu kuliah yaitu arsitek, sekarang Geff menggeluti bidang desain interior. Cita-cita memiliki rumah hasil desainnya sendiri telah diimpikan Geff semenjak SMA."Papah bantu juga, kalo pake duit gue sendiri semua ya gak selesai-selesai itu rumah," kata Geff sembari terkekeh.Dia mengingat betapa bodohnya dia dulu yang menganggap membangun rumah adalah perkara yang mudah dan murah. Ternyata memerlukan biaya yang besar dan proses yang panjang. Untung papahnya selalu ada untuk mendukungnya."Mas hebat." Perempuan itu mengacungkan dua jempol ke arah suaminya. Geff hanya membalas itu dengan senyuman."Yuk turun! Makan malam udah siap," kata Elea melihat chat mamahnya yang menyuruhnya untuk turun.Mereka berjalan beriringan masuk lift untuk turun ke bawah. Keluarga Elea memang lebih kaya daripada Geff, tapi Geff tidak pernah minder akan hal itu."Kamu deg-degan gak?" Elea mendongak untuk menatap mata Geff."Emang mau apa?" Tanya Geff mengerutkan alisnya bingung.Elea menghembuskan nafasnya pelan, suaminya itu memang tidak peka situasi, masa begini saja tidak paham."Nanti selesai makan pasti ditanya-tanya papah tau," ujar Elea menjelaskan. Perempuan itu yakin nanti papahnya akan mengintrogasi Geff. Tapi masalahnya yang khawatir disini adalah Elea, Geff malah terlihat biasa saja."Tinggal jawab aja," jawab Geff dengan santai lain dengan Elea yang mempersiapkan jawaban yang kemungkinan akan ditanyakan papahnya."Ish ga asik, huuu." Seru Elea pelan karena sudah mendekati meja ruang makan."Sini duduk, sayang." Sarah mengajak Elea untuk duduk ketika melihat putri semata wayangnya itu berjalan bersama menantunya."Mas mau apa?" Tanya Elea tengah mengambil nasi untuk Geff."Apa aja."Mereka makan dengan tenang tanpa pembicaraan karena dari kecil Elea sudah diajarkan itu. Tak ada dentingan sendok dan piring yang saling beradu, benar-benar senyap."Gimana pernikahan kalian?" Tuh kan, baru selesai makan, Wisnu sudah melemparkan pertanyaan kepada anak dan menantunya."Baik, Pah." Geff menjawab dengan tegas, tidak mau menimbulkan keraguan di mata mertuanya."Elea kamu bahagia?""Banget." Elea mengangguk-anggukan kepalanya cepat, seolah ingin memberi tahu Wisnu betapa bahagianya dia menjadi istri Geff."Papah gak mau denger keluarga kalian ngecewain Elea lagi," ucap Wisnu. Wisnu memang belum menaruh kepercayaan pada Geff secara penuh."Iya, Pah. Gak akan," jawab Geff sembari melirik Elea yang sedang menatapnya."Kalian gak ada rencana bulan madu gitu?" Tanya Sarah mengalihkan topik pembicaraan yang sedikit tegang tadi."Elea pengen tauu, tapi ikut Mas Geff aja." Elea memeluk lengan Geff menunjukkan kedekatan mereka."Udah aku siapin tiketnya, Mah. Tinggal berangkat aja." Ucapan dari Geff membuat Elea membulatkan mulutnya terkejut. Perempuan itu benar-benar kaget, tidak pernah terpikirkan Geff akan mengajaknya berlibur."Lho? Beneran? Kok mas gak bilang sama aku." Elea bertanya untuk memastikan."Tadinya mau ngasih kejutan." Geff melirik ekspresi papah mertuanya yang masih kaku, tidak ada senyum diwajahnya. Geff maklum akan itu, mungkin jika Geff diposisi Wisnu, dia tak akan menikahkan Elea dengannya."Oh mau jadi kejutan toh, maaf jadi gagal gara-gara mamah." Berbeda dengan suaminya, Sarah nampak lebih terbuka dan menerima kehadiran Geff."Gak papa, ini udah bikin aku terkejut kok," jawab Elea.Elea masih menyunggingkan senyumnya sebelum pertanyaan dari mamahnya membuat ruang makan itu mendadak hening."Jadi nanti kalian mau anak berapa?""Dek, rumahnya Bu Yuli di sini kan ya?"Elea sedang menikmati eskrimnya menoleh ke arah seseorang yang sedang bertanya entah kepada siapa. Perempuan itu lantas melanjutkan kembali langkahnya menuju rumah karena tak merasa ditanya."Eee ni bocah malah nyelonong." Seseorang yang berjenis kelamin laki-laki itu menarik kecil tudung hoodie Elea.Elea menghentikan langkah, lalu membalikkan badannya. Mengabaikan tingkah tidak sopan orang asing tadi, karena biasanya Elea lebih tidak sopan."Mas ngomong sama saya?" Tanya Elea menunjuk dirinya sendiri menggunakan tangan yang memegang plastik berisi camilan. "Ya iyalah." Orang asing itu menjawab dengan nada gemas. Jelas-jelas hanya ada mereka berdua di sana."Kok manggil dek? Sorry sorry aja nih mas, saya udah nikah." Elea memamerkan cincin berliannya ke arah laki-laki itu."Hah." Orang asing itu sontak memelototkan matanya seolah tak percaya perempuan di depannya itu sudah menikah."Hah?" Elea tak paham dengan ekspresi wajah yang ditampilkan o
"Aaaa, pengen mati aja." Eleanor Alicia tengah frustrasi untuk menghadapi kehidupannya. Dia ditinggalkan kekasih di hari pernikahannya. Seumur hidup, baru pertama kali Elea merasakan malu. Biasanya, malu-maluin."Tapi ini ketinggian gak sih?" Tanya Elea kepada dirinya sendiri. Gadis itu melihat kebawah untuk memperkirakan ketinggiannya. Elea berancang-ancang ingin melompat dari sejam yang lalu."Ck takut mati." Elea kembali ke posisinya ketika melihat ke bawah. Tak sanggup untuk melompat. Elea di atas jembatan? Di atas gedung 5 lantai? Salah. Gadis itu berada di atas pohon yang tingginya hanya 4 meter dari tanah.Gadis itu mengetuk-ngetukan jarinya di dagu sembari berpikir. "Kalo di drama pasti ada yang nolongin kalo lompat.""Tapi kalo gak ada gimana." Elea mengerucutkan bibirnya. Susah ternyata untuk bunuh diri."Bocah, lo ngapain?" Teriak laki-laki bernama Geffrey de Parveen. "OMG. Ganteng banget." Elea melebarkan senyumannya seolah mendapatkan uang kaget."Heh, lo ngapain di atas
"Nama kamu siapa?" Tanya Elea dengan wajah mendongak karena perbedaan tinggi mereka."Geff," jawab Geff singkat. Laki-laki itu sedikit menyesal bertemu gadis di depannya ini. Sungguh merepotkan."Nama panjang?" Tanya Elea lagi karena kurang puas dengan jawaban jodohnya itu."Geffrey de Parveen." Elea terdiam. Dari sekian banyak orang di muka bumi ini, mengapa jodohnya harus bermarga Parveen?"Parveen?" Tanya gadis itu memastikan dia tak salah mendengar.Geff menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu melihat Elea terdiam membisu. Aneh."Jangan bilang lo-" Kata Geff yang baru paham keterdiaman Elea karena apa.Geff menatap Elea dari atas ke bawah. Bagaimana dia tak menyadari kemungkinan itu. Padahal terlihat jelas Elea memakai gaun pengantin. Apalagi tingkahnya menaiki pohon yang mungkin untuk menghilangkan rasa stres gadis itu.Pantas saja ketika melihat wajah gadis itu, Geff merasa tidak asing. Tadi Geff dikirimkan foto Elea untuk memudahkan mencarinya. Laki-laki itu tidak tau wajah cal
"Udah baikan?" Tanya Geff tak mendengar isak tangis Elea. Elea melepaskan diri dari pelukan Geff, gadis itu sedikit malu karena menangis di depan Geff. Ditambah kondisi mukanya yang bengkak sehabis menangis. Elea hanya berharap make up-nya tidak luntur."Ke hotel ya?" Lanjut Geff membujuk gadis itu agar mau kembali ke tempat pernikahannya."Gak mau, males jalan." Elea menggelengkan kepalanya dengan mulut mengerucut."Gue gendong." Bujuk Geff lagi."Yey!" kata Elea antusias. Gadis itu menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri dengan riang.Geff melihat respon Elea hanya bisa tersenyum. Lagi dan lagi dia tak habis pikir mengapa Eric bisa meninggalkan gadis selucu ini. Andai Geff yang bertemu Elea terlebih dahulu, mungkin mereka-. Ah sudahlah Geff."Siniin dulu sepatunya." Geff menyodorkan tangannya.Elea memicingkan matanya ke arah Geff. Jodohnya ini ganteng sih, tapi kok pelit banget. Masa belum ada satu hari sepatu dipinjamkan udah diminta kembali. Tapi, tak apalah cinta itu buta d
"Mau gue gendong?" Geff berdiri di depan Elea setelah membukakan pintu mobil."Gak usah," jawab Elea sesingkat mungkin. Dirinya sedang membatasi diri untuk tidak berkomunikasi dengan Geff."Ya udah, nih pake dulu." Geff meletakkan sandal miliknya yang ada di bagasi mobil di depan kaki Elea. Elea bingung dengan Geff. Tadi katanya tidak suka dengannya, tapi mengapa memberi perhatian yang dapat membuat Elea salah paham. Atau memang dasarnya Elea yang lemah karena sudah jatuh hati kepada Geff. Jadi, perlakuan sekecil apapun akan menarik di hatinya."Dibilangin jangan baik-baik sama aku." Elea menatap lekat sandal yang sudah terpasang baik di kakinya. Gadis itu sedih karena harus kembali pada kenyataan, kenyataan dia ditinggalkan kekasihnya, dan laki-laki di depannya ini kakak Eric. Elea harus segera menyadarkan diri. Sudah cukup tadi waktu untuk menghibur diri bersama Geff. Cukup singkat pertemuannya dengan Geff, tapi sangat berkesan di hati Elea. Untuk itu, Elea berusaha tidak berkomun
Dua minggu setelah Geff dan Elea melangsungkan proses pernikahan. Sekarang mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri. Mereka sepakat untuk tidak tinggal dengan orang tua. Namun, setiap hari minggu Geff dan Elea bergantian menginap di rumah orang tua mereka. Seperti hari ini, jatah mereka adalah menginap di keluarga Elea."Nor!" Suara Geff terdengar dari ruang tv. Elea yang sedang berjalan mendekat dengan tangan penuh camilan sontak memikirkan orang yang bernama Nor dirumahnya. Dia jadi cemburu, mengapa bukan Elea yang dipanggil Geff, siapa sih Nor Nor itu."Nor?" Tanya Elea meletakkan sebagian camilannya di atas meja, sebagiannya lagi masih di pelukannya. Elea duduk mepet tak ada jarak dengan Geff, sengaja."Nama lo kan Eleanor," kata Geff sembari membuka mulut ketika Elea menyuapinya.Elea langsung tersenyum ketika tau dia yang dipanggil Geff, huft untung dia belum marah-marah karena cemburu. Tapi tunggu, Nor? Nor? Seumur hidup Elea, baru pertama kali dia dipanggil seperti itu.
"Lo bisa geseran dikit?" Geff dari tadi sudah bergeser menjauh dari Elea, tapi perempuan itu malah semakin mendekatinya.Elea langsung menggeleng tanda penolakan, kesempatan emas berdekatan Geff mana bisa dia abaikan. Bodo amat jika suaminya itu risih."Ngomong sama istri kok lo-gue terus." Cibir Elea. Awalnya Elea tak mempermasalahkan, tapi kalau kedengaran wanita lain yang mengincar Geff bisa bahaya. Wanita itu pasti mengira Geff tidak menyukai Elea, walaupun memang benar."Belom terbiasa gue," kata Geff dengan santai. Bertemu dengan Elea lalu menikah tidak pernah ada di benak Geff sekalipun. Laki-laki itu masih menyesuaikan diri dengan status barunya kini."Aku juga belum terbiasa, Geff." Perempuan itu berbicara dengan raut wajah pongah. Geff yang mendengar itu langsung memusatkan pandangannya ke arah Elea."Gak mau kalah banget." Geff menyentil kening istrinya pelan. "Emang." Elea melebarkan senyumnya. Perempuan itu senang sekali menggoda Geff, apalagi respon suaminya yang membua
"Dek, rumahnya Bu Yuli di sini kan ya?"Elea sedang menikmati eskrimnya menoleh ke arah seseorang yang sedang bertanya entah kepada siapa. Perempuan itu lantas melanjutkan kembali langkahnya menuju rumah karena tak merasa ditanya."Eee ni bocah malah nyelonong." Seseorang yang berjenis kelamin laki-laki itu menarik kecil tudung hoodie Elea.Elea menghentikan langkah, lalu membalikkan badannya. Mengabaikan tingkah tidak sopan orang asing tadi, karena biasanya Elea lebih tidak sopan."Mas ngomong sama saya?" Tanya Elea menunjuk dirinya sendiri menggunakan tangan yang memegang plastik berisi camilan. "Ya iyalah." Orang asing itu menjawab dengan nada gemas. Jelas-jelas hanya ada mereka berdua di sana."Kok manggil dek? Sorry sorry aja nih mas, saya udah nikah." Elea memamerkan cincin berliannya ke arah laki-laki itu."Hah." Orang asing itu sontak memelototkan matanya seolah tak percaya perempuan di depannya itu sudah menikah."Hah?" Elea tak paham dengan ekspresi wajah yang ditampilkan o
"Mas.""Mas.""Mas.""Mas."Panggilan untuk suami ke sekian kalinya dari perempuan yang tengah berbaring telentang di atas kasur itu. "Elea." Tegur Geff pelan, laki-laki itu jadi tidak fokus melihat desain rumah yang ada di ponselnya."Ehehehe." Elea hanya menyengir mendengar teguran Geff. Memang suaminya itu tidak pernah marah apapun tingkah yang dia lakukan. Kesel dikit paling."Kenapa manggil terus?" Tanya Geff tak mengalihkan pandangannya."Gak papa," jawab Elea singkat."Mau apa?""Gak mau apa-apa."Geff menghembuskan napas pelan, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Laki-laki itu merebahkan dirinya di samping Elea yang sedang melihat langit-langit kamar."Mas beli rumah dari kapan?" Tanya Elea yang baru sempat menanyakan perihal rumah semenjak mereka menikah."Dari lulus kuliah. Bukan beli jadi, tapi bikin," ujar Geff."Wahh pantes bagus banget." Elea berdecak kagum mengingat betapa indah desain interior rumah yang mereka tinggali setelah pernikahan."Pas kuliah kan gue ker
"Lo bisa geseran dikit?" Geff dari tadi sudah bergeser menjauh dari Elea, tapi perempuan itu malah semakin mendekatinya.Elea langsung menggeleng tanda penolakan, kesempatan emas berdekatan Geff mana bisa dia abaikan. Bodo amat jika suaminya itu risih."Ngomong sama istri kok lo-gue terus." Cibir Elea. Awalnya Elea tak mempermasalahkan, tapi kalau kedengaran wanita lain yang mengincar Geff bisa bahaya. Wanita itu pasti mengira Geff tidak menyukai Elea, walaupun memang benar."Belom terbiasa gue," kata Geff dengan santai. Bertemu dengan Elea lalu menikah tidak pernah ada di benak Geff sekalipun. Laki-laki itu masih menyesuaikan diri dengan status barunya kini."Aku juga belum terbiasa, Geff." Perempuan itu berbicara dengan raut wajah pongah. Geff yang mendengar itu langsung memusatkan pandangannya ke arah Elea."Gak mau kalah banget." Geff menyentil kening istrinya pelan. "Emang." Elea melebarkan senyumnya. Perempuan itu senang sekali menggoda Geff, apalagi respon suaminya yang membua
Dua minggu setelah Geff dan Elea melangsungkan proses pernikahan. Sekarang mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri. Mereka sepakat untuk tidak tinggal dengan orang tua. Namun, setiap hari minggu Geff dan Elea bergantian menginap di rumah orang tua mereka. Seperti hari ini, jatah mereka adalah menginap di keluarga Elea."Nor!" Suara Geff terdengar dari ruang tv. Elea yang sedang berjalan mendekat dengan tangan penuh camilan sontak memikirkan orang yang bernama Nor dirumahnya. Dia jadi cemburu, mengapa bukan Elea yang dipanggil Geff, siapa sih Nor Nor itu."Nor?" Tanya Elea meletakkan sebagian camilannya di atas meja, sebagiannya lagi masih di pelukannya. Elea duduk mepet tak ada jarak dengan Geff, sengaja."Nama lo kan Eleanor," kata Geff sembari membuka mulut ketika Elea menyuapinya.Elea langsung tersenyum ketika tau dia yang dipanggil Geff, huft untung dia belum marah-marah karena cemburu. Tapi tunggu, Nor? Nor? Seumur hidup Elea, baru pertama kali dia dipanggil seperti itu.
"Mau gue gendong?" Geff berdiri di depan Elea setelah membukakan pintu mobil."Gak usah," jawab Elea sesingkat mungkin. Dirinya sedang membatasi diri untuk tidak berkomunikasi dengan Geff."Ya udah, nih pake dulu." Geff meletakkan sandal miliknya yang ada di bagasi mobil di depan kaki Elea. Elea bingung dengan Geff. Tadi katanya tidak suka dengannya, tapi mengapa memberi perhatian yang dapat membuat Elea salah paham. Atau memang dasarnya Elea yang lemah karena sudah jatuh hati kepada Geff. Jadi, perlakuan sekecil apapun akan menarik di hatinya."Dibilangin jangan baik-baik sama aku." Elea menatap lekat sandal yang sudah terpasang baik di kakinya. Gadis itu sedih karena harus kembali pada kenyataan, kenyataan dia ditinggalkan kekasihnya, dan laki-laki di depannya ini kakak Eric. Elea harus segera menyadarkan diri. Sudah cukup tadi waktu untuk menghibur diri bersama Geff. Cukup singkat pertemuannya dengan Geff, tapi sangat berkesan di hati Elea. Untuk itu, Elea berusaha tidak berkomun
"Udah baikan?" Tanya Geff tak mendengar isak tangis Elea. Elea melepaskan diri dari pelukan Geff, gadis itu sedikit malu karena menangis di depan Geff. Ditambah kondisi mukanya yang bengkak sehabis menangis. Elea hanya berharap make up-nya tidak luntur."Ke hotel ya?" Lanjut Geff membujuk gadis itu agar mau kembali ke tempat pernikahannya."Gak mau, males jalan." Elea menggelengkan kepalanya dengan mulut mengerucut."Gue gendong." Bujuk Geff lagi."Yey!" kata Elea antusias. Gadis itu menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri dengan riang.Geff melihat respon Elea hanya bisa tersenyum. Lagi dan lagi dia tak habis pikir mengapa Eric bisa meninggalkan gadis selucu ini. Andai Geff yang bertemu Elea terlebih dahulu, mungkin mereka-. Ah sudahlah Geff."Siniin dulu sepatunya." Geff menyodorkan tangannya.Elea memicingkan matanya ke arah Geff. Jodohnya ini ganteng sih, tapi kok pelit banget. Masa belum ada satu hari sepatu dipinjamkan udah diminta kembali. Tapi, tak apalah cinta itu buta d
"Nama kamu siapa?" Tanya Elea dengan wajah mendongak karena perbedaan tinggi mereka."Geff," jawab Geff singkat. Laki-laki itu sedikit menyesal bertemu gadis di depannya ini. Sungguh merepotkan."Nama panjang?" Tanya Elea lagi karena kurang puas dengan jawaban jodohnya itu."Geffrey de Parveen." Elea terdiam. Dari sekian banyak orang di muka bumi ini, mengapa jodohnya harus bermarga Parveen?"Parveen?" Tanya gadis itu memastikan dia tak salah mendengar.Geff menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu melihat Elea terdiam membisu. Aneh."Jangan bilang lo-" Kata Geff yang baru paham keterdiaman Elea karena apa.Geff menatap Elea dari atas ke bawah. Bagaimana dia tak menyadari kemungkinan itu. Padahal terlihat jelas Elea memakai gaun pengantin. Apalagi tingkahnya menaiki pohon yang mungkin untuk menghilangkan rasa stres gadis itu.Pantas saja ketika melihat wajah gadis itu, Geff merasa tidak asing. Tadi Geff dikirimkan foto Elea untuk memudahkan mencarinya. Laki-laki itu tidak tau wajah cal
"Aaaa, pengen mati aja." Eleanor Alicia tengah frustrasi untuk menghadapi kehidupannya. Dia ditinggalkan kekasih di hari pernikahannya. Seumur hidup, baru pertama kali Elea merasakan malu. Biasanya, malu-maluin."Tapi ini ketinggian gak sih?" Tanya Elea kepada dirinya sendiri. Gadis itu melihat kebawah untuk memperkirakan ketinggiannya. Elea berancang-ancang ingin melompat dari sejam yang lalu."Ck takut mati." Elea kembali ke posisinya ketika melihat ke bawah. Tak sanggup untuk melompat. Elea di atas jembatan? Di atas gedung 5 lantai? Salah. Gadis itu berada di atas pohon yang tingginya hanya 4 meter dari tanah.Gadis itu mengetuk-ngetukan jarinya di dagu sembari berpikir. "Kalo di drama pasti ada yang nolongin kalo lompat.""Tapi kalo gak ada gimana." Elea mengerucutkan bibirnya. Susah ternyata untuk bunuh diri."Bocah, lo ngapain?" Teriak laki-laki bernama Geffrey de Parveen. "OMG. Ganteng banget." Elea melebarkan senyumannya seolah mendapatkan uang kaget."Heh, lo ngapain di atas