Setelah menenggak habis isi gelas, aku segera bangkit dan beranjak ke kamar. Siang ini begitu terik. Hawanya jadi panas dan bikin gerah. Aku masuk ke kamar kemudian menyalakan pendingin ruangan, Mas Abi belum pulang artinya masih berada di luar kota seperti yang dia katakan padaku. Ingin rasanya mandi dan berendam dengan air dingin, benar-benar dingin alias bak air akan kutambahkan beberapa balok batu es agar terasa segar saat menyentuh kulit. Membayangkan bisa mengguyur tubuh dengan air sesegar itu dan berlama-lama di sana membuatku ingin cepat-cepat melepas semua kain yang melekat di tubuh.
Namun, bayang indah itu seketika buyar kala suara ketukan membuatku urung melepas seragam yang terasa lengket
Sore menjelang, ummi menahan Zahra dan Gus Alif agar mau menginap di rumah kami, tidak biasanya. Aku hanya terpekur menatap wanita berusia senja itu. Terduduk di salah satu bilah sofa, terhanyut dengan suasana ramai anak-anak Zahra. Zayyan menggeliat di pangkuan ummi, atau Alifa yang terlihat begitudekat dengan Mas Abi, serta Zahira yang bergelayut manja pada ab
Aku melenggang bersamanya, pergi ke koperasi kami. Mbak Sahra ini pintar hitung, bisa dipercaya. Ada beberapa anak karyawan yang kuambil langsung dari banat untuk membantu perempuan ayu ini selama menjalankan koperasi pondok. Kami tidak menjual barang dagangan kami dengan harga tinggi. Sebab tidak semua santri bisa membelinya. Ada kartu khusus yang kusediakan bagi arek pondok yang kurang mampu dari segi keuangan.Tujuanku hanya ingin membantu mereka sesuai dengan kondisi keluarga mereka. Agar semua mendapat fasilitas yang sama. Biar mereka bisa belajar tanpa harus terlalu memikirkan bagaimana uang kiriman orang tua mereka bisa digunakan untuk semua keperluan. Membeli kitab terutama.
POV Zea Lanjutan bab 11. Bermanja“Mandi? Mas boleh ikut?” “Ya Allah, Mas, kamu kan sedang bersama orang banyak, kenapa bisa punya pikiran mesum gitu, coba?” dia terkekeh, ah, senang mendengar suara tawanya. Membuatku bersemangat untuk kembali sembuh.“Aku lagi kangen ini sama kamu, Sayang, padahal kita berpisah baru sehari.”
Kurasai kasur melesak, pertanda Mas Abi juga sudah berbaring. Dia memeluk dari belakang, dengan sayang. Tak dapat dicegah, air mata yang sejak tadi menggumpal kini meluap habis membanjiri kamar kami. "Ummi,Kulomaumatur(mengatakan) sesuatu yang penting," Mas Abi membuka percakapan usai Abah dan Ummi makan malam tadi.Kami sedang duduk di ruang tengah, menikmati kopi hitam dan camilan ke
Seorang perawat membalik badanku hingga terlentang."Angkat kaki kanannya," seorang dokter berkacamata memberi perintah."Tidak bisa," jawabku karena memang rasanya sangat berat seolah kakiku hilang entah ke mana."Bagus. Kaki kiri coba ditekuk," pintanya lagi, aku menggeleng sebagai jawaban.Sebelum melakukan tindakan, seorang dokter menjelaskan prosedur apa saja yang akan aku lewati. Kemudian mereka berdoa sejenak.
Setelahnya aku disibukkan dengan acara sarasehan di aula untuk perkenalan santri baru.Sampai jam dua belas siang, baru semuanya leren(berhenti) dan istirahat. Aku kembali ke rumah saat terik menyengat kulit, bergegas masuk ke dalam saat kulihat mobil Mas Abi sudah parkir di tempat biasanya."Assalamualaikum.”"Wa’alaikumsala
Aku menelan ludah, sedang dari suara yang tidak sengaja terdengar, ummi berkata dengan nada suara penuh permohonan."Kita sudah membicarakan ini, Ummi." Suara Mas Abi tak kalah parau. Aku tahu ini akan terdengar sangat memprihatinkan. Apakah yang sedang mereka bicarakan hingga terdengar sangat serius?"Andai ada pilihan lain, tentu saja,
Mas Abi mengecup pelipisku berulang kali, sedang aku masih sesenggukan di atas pangkuannya."Kalau kamu ndak setuju, tidak apa-apa. Aku akan menyampaikannya kepada Abah dan ummi, Mas yakin mereka akan mengerti posisi kita."Lalu, membiarkan Annur tanpa penerus? Mengabaikan ratusan santri? Menelan