Sore menjelang, ummi menahan Zahra dan Gus Alif agar mau menginap di rumah kami, tidak biasanya. Aku hanya terpekur menatap wanita berusia senja itu. Terduduk di salah satu bilah sofa, terhanyut dengan suasana ramai anak-anak Zahra. Zayyan menggeliat di pangkuan ummi, atau Alifa yang terlihat begitu dekat dengan Mas Abi, serta Zahira yang bergelayut manja pada ab
Aku melenggang bersamanya, pergi ke koperasi kami. Mbak Sahra ini pintar hitung, bisa dipercaya. Ada beberapa anak karyawan yang kuambil langsung dari banat untuk membantu perempuan ayu ini selama menjalankan koperasi pondok. Kami tidak menjual barang dagangan kami dengan harga tinggi. Sebab tidak semua santri bisa membelinya. Ada kartu khusus yang kusediakan bagi arek pondok yang kurang mampu dari segi keuangan.Tujuanku hanya ingin membantu mereka sesuai dengan kondisi keluarga mereka. Agar semua mendapat fasilitas yang sama. Biar mereka bisa belajar tanpa harus terlalu memikirkan bagaimana uang kiriman orang tua mereka bisa digunakan untuk semua keperluan. Membeli kitab terutama.
POV Zea Lanjutan bab 11. Bermanja“Mandi? Mas boleh ikut?” “Ya Allah, Mas, kamu kan sedang bersama orang banyak, kenapa bisa punya pikiran mesum gitu, coba?” dia terkekeh, ah, senang mendengar suara tawanya. Membuatku bersemangat untuk kembali sembuh.“Aku lagi kangen ini sama kamu, Sayang, padahal kita berpisah baru sehari.”
Kurasai kasur melesak, pertanda Mas Abi juga sudah berbaring. Dia memeluk dari belakang, dengan sayang. Tak dapat dicegah, air mata yang sejak tadi menggumpal kini meluap habis membanjiri kamar kami. "Ummi,Kulomaumatur(mengatakan) sesuatu yang penting," Mas Abi membuka percakapan usai Abah dan Ummi makan malam tadi.Kami sedang duduk di ruang tengah, menikmati kopi hitam dan camilan ke
Seorang perawat membalik badanku hingga terlentang."Angkat kaki kanannya," seorang dokter berkacamata memberi perintah."Tidak bisa," jawabku karena memang rasanya sangat berat seolah kakiku hilang entah ke mana."Bagus. Kaki kiri coba ditekuk," pintanya lagi, aku menggeleng sebagai jawaban.Sebelum melakukan tindakan, seorang dokter menjelaskan prosedur apa saja yang akan aku lewati. Kemudian mereka berdoa sejenak.
Setelahnya aku disibukkan dengan acara sarasehan di aula untuk perkenalan santri baru.Sampai jam dua belas siang, baru semuanya leren(berhenti) dan istirahat. Aku kembali ke rumah saat terik menyengat kulit, bergegas masuk ke dalam saat kulihat mobil Mas Abi sudah parkir di tempat biasanya."Assalamualaikum.”"Wa’alaikumsala
Aku menelan ludah, sedang dari suara yang tidak sengaja terdengar, ummi berkata dengan nada suara penuh permohonan."Kita sudah membicarakan ini, Ummi." Suara Mas Abi tak kalah parau. Aku tahu ini akan terdengar sangat memprihatinkan. Apakah yang sedang mereka bicarakan hingga terdengar sangat serius?"Andai ada pilihan lain, tentu saja,
Mas Abi mengecup pelipisku berulang kali, sedang aku masih sesenggukan di atas pangkuannya."Kalau kamu ndak setuju, tidak apa-apa. Aku akan menyampaikannya kepada Abah dan ummi, Mas yakin mereka akan mengerti posisi kita."Lalu, membiarkan Annur tanpa penerus? Mengabaikan ratusan santri? Menelan
Orang ndalem mulai sibuk dengan acara yang akan berlangsung, aku sendiri, ingin menghilang dari tempat ini. Sungguh menyesakkan.Aku salat sambil menangis. Ingat bahwa esok pagi pasangan jiwa se—hidup semati tidak lagi menjadi milikku seorang. Ingin rasanya pulang ke rumah. Rindu omelan ibu, juga pelukan Abah.
Rahmat meminta nomor ponsel Asna ketika ia hendak pamit pulang ke Banyuwangi."Hanya berjaga-jaga saja, aku takut Ning Ze ngilang tanpa jejak." Ya Allah, dia mencoba berkelakar lagi. Ck!“Adik keterlaluan!” Kupukul pelan lengannya yang kokoh. Doakan ningmu ini semoga bisa menemukan sedikit ketenangan. Pintaku dalam hati.Dia terkekeh kemudian, punggung tangannya terulur mengusap pipiku. “Aku – kami semua percaya, Ning Ze kami bisa melewati masa-masa sulit ini.Oh, jangan terlalu banyak menangis di tempat orang, malu." Dia kembali terkekeh. Beruntung kami sedang berada di tempat yang tak terlalu ramai, jadi ketika dia menggoda setidaknya takkan mempermalukan reputasi kami."Aku bisa berbohong pada Mas Habibi tentang tempat persembunyianmu ini, tapi aku tidak bisa membohongi Abah dan Ibu, oke?" Lanjutnya, sambil mengerlingkan mata kanannya.Aku mengangguk. Membohongi mereka adalah nomor kesekian dari pikiranku saat
Kami sampai di pelataran rumah Asna menjelang tengah malam. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat pikiranku sedikit lebih tenang. Saat turun dari mobil, aroma kembang kanthil menyeruak bersama udara tengah malam menyambut kedatangan kami. Keheningan suasana pondok belum tercipta sepenuhnya saat pengeras suara memperdengarkan suara berat seseorang yang sedang memberikan kultum.Sebuah pintu ganda berbahan kayu tanpa ukiran diketuk pelan Rahmat saat sudah berada di depannya. Pada ketukan ketiga, suara kunci diputar terdengar menjawab salam kami.Pintu tersebut terbuka menampilkan sesosok ayu mbak ndalem, dia kemudian menyapa dengan membalas salam, “Wa’alaikumsalam.”“Masyaallah, Ning Zea!” Belum sempat bertanya dari arah belakang kami, Asna datang.Pekiknya gembira, sembari berjalan ke arahku, membuka kedua tangannya dan memeluk dengan hangat. Tidak terlalu lama menunggu, kami dipersilakan masuk ke dalam rumahnya.&ld
Mobil yang membawa kami sudah berada di jembatan Suramadu menjelang pukul sepuluh malam. Kubuka jendela mobil. Angin laut terasa begitu dingin menerpa kulit. Sayang, di malam hari begini kami tidak bisa menikmati pemandangan laut yang terbentang indah yang seperti permadani.Lampu jalan raya serta kelenggangannya seolah menambah syahdu suasana.Sebenarnya kami sempat beradu pendapat ketika keluar Masjid Sunan Ampel– saat kupaksa Rahmat untuk mengantarkanku ke Bangkalan. Aku memang mengatakan kalau ingin pergi berziarah ke Sunan Ampel, dan sengaja tidak mengatakan apapun padanya."Mau ke mana sih, Ning?" Tanyanya dengan nada kesal.Tadi, aku memintanya mengantarku ke Sunan Ampel, Surabaya. Dia tidak curiga pada awalnya, tapi ketika menyadari bahwa tidak ada niatku untuk kembali pulang, akhirnya Rahmat dengan terpaksa mengikuti mauku.Sunan Ampel adalah salah satu dari para wali yang bernama asli Raden Rahmat tersebut diberi
“Baik. Baik. Ummi juga ingin merubah keadaan ini, seandainya kami bisa –” Ummi menahan isaknya. Wanita yang melahirkan suamiku itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dalam beberapa menit."Jangan terlalu disesali, mereka yang pergi takkan pernah bisa kembali dan tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi, kita masih bisa menyelamatkan sisa-sisanya. Walau sisa itu tinggal secuil, kita pasti bisa menyelamatkannya." Abah tersenyum sedih kepadaku, dielusnya puncak kepala sembari membaca doa-doa."Sebentar, Ummi ambilkan oleh-oleh buat Kyai Baihaqi dulu." Ummi hampir beranjak tapi kutahan.“Maaf Ummi, tapi Abah kulo sedang mengunjungi Dek Roziq. Kemungkinan di rumah hanya ada Rahmat dan saya,” sergahku memberi alasan cukup masuk akal agar tidak semakin mengulur waktu."Ya wes, kalau begitu biar dimakan Rahmat, dia lagi liburan, kan?" Aku menahannya sekali lagi. Menggeleng dengan tatapan memelas meminta t
“Mat!”“Mmm?”“Jemput aku sore nanti.”“Pulang ke rumah?”“Ya.”“Baiklah! Itu bagus, aku senang mendengarnya!”Aku menutup sambungan telepon.Aku menatap pantulan diri di depan cermin kaca kamar mandi. Menelan ludah kelat kala mendapati bayang-bayang hitam di bawah kelopak mata. Salah satu alasan mengapa wajah pucat itu menjadi seburuk ini. Jarang menikmati tidur nyenyak barangkali yang membuat seringnya aku mengalami halusinasi. Perasaan mencekam membuatku tertekan apalagi setelah Mas Abi tahu tentang keinginanku untuk bercerai. Dia tak memberiku izin keluar rumah selalu memantau apapun yang kulakukan hanya demi memastikan tetap berada di tempat ini.Menunduk, aku mengangkat tangan kanan yang sedikit gemetar ke arah kepala yang mendadak pening. Pelan, kemudian kuturunkan tangan untuk memijit pangkal hidung, memberi sedikit tekana
"Njenengan,sudah memiliki penerus. Saya lihat, Sahra juga sangat mencintaikamu, Mas...., saya yakin tidak butuh waktu lama untuk bisa membuka hati pada wanita yang sudah merelakan seluruh hidupnya untuk membuat seluruh pesantren ini menjadibungah, bahagia. Sebab, penerus kerajaan yang sudah meraka nantikan akhirnya hadir. Sedangkan untuk saya ....”Aku memaksa saliva membasahi tenggorokan, membiarkan silabel bermunculan dengan sempurna.
Ibu, abah, mertua dan adik-adikku datang menjenguk silih berganti, mereka membisikkan kalimat penenang. Mendoakan agar aku bisa kembali pulih. Jika Ummi yang datang, beliau hanya duduk dan membaca Al-Qur’an tak mengajakku banyak bicara. Raut lelah di pelupuk senjanya nampak jelas.Bila Abah dan ibuku yang berkunjung, mereka akan menceritakan banyak hal, mengenai jumlah santri yang ada di pondok kecil keluarga kami yang semakin bertambah, atau membicarakan mengenai keinginan Ibu untuk menambah koleksi tabulampotnya. Tidak ada yang menarik memang, selain obrolan ringan suasana di rumah tempatku dulu dilahirkan,tapi aku menyukainya. Sekuat tenaga ingin menarikku dari pusat kegilaan.
"Pak! Sudah saya bilang untuk tetap di luar!" Alya mencoba mengusir seorang pria. Bukankah pria itu kekasihku? "Tak apa. Biarkan dia di sini, kami ingin bicara berdua," sergahku sebelum Alya mengusir Mas Abi dari sini."Sayang, bagaimana keadaanmu,
Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala