Seorang perawat membalik badanku hingga terlentang.
"Angkat kaki kanannya," seorang dokter berkacamata memberi perintah.
"Tidak bisa," jawabku karena memang rasanya sangat berat seolah kakiku hilang entah ke mana.
"Bagus. Kaki kiri coba ditekuk," pintanya lagi, aku menggeleng sebagai jawaban.
Sebelum melakukan tindakan, seorang dokter menjelaskan prosedur apa saja yang akan aku lewati. Kemudian mereka berdoa sejenak.
Setelahnya aku disibukkan dengan acara sarasehan di aula untuk perkenalan santri baru.Sampai jam dua belas siang, baru semuanya leren(berhenti) dan istirahat. Aku kembali ke rumah saat terik menyengat kulit, bergegas masuk ke dalam saat kulihat mobil Mas Abi sudah parkir di tempat biasanya."Assalamualaikum.”"Wa’alaikumsala
Aku menelan ludah, sedang dari suara yang tidak sengaja terdengar, ummi berkata dengan nada suara penuh permohonan."Kita sudah membicarakan ini, Ummi." Suara Mas Abi tak kalah parau. Aku tahu ini akan terdengar sangat memprihatinkan. Apakah yang sedang mereka bicarakan hingga terdengar sangat serius?"Andai ada pilihan lain, tentu saja,
Mas Abi mengecup pelipisku berulang kali, sedang aku masih sesenggukan di atas pangkuannya."Kalau kamu ndak setuju, tidak apa-apa. Aku akan menyampaikannya kepada Abah dan ummi, Mas yakin mereka akan mengerti posisi kita."Lalu, membiarkan Annur tanpa penerus? Mengabaikan ratusan santri? Menelan
Orang ndalem mulai sibuk dengan acara yang akan berlangsung, aku sendiri, ingin menghilang dari tempat ini. Sungguh menyesakkan.Aku salat sambil menangis. Ingat bahwa esok pagi pasangan jiwa se—hidup semati tidak lagi menjadi milikku seorang. Ingin rasanya pulang ke rumah. Rindu omelan ibu, juga pelukan Abah.
Hal paling nyata saat ini adalah, bahwa Tuhan Maha Baik. Di saat Mas Abi mengutarakan isi hatinya kala melamarku dahulu, ingin menjadikanku permaisuri di kerajaannya. Aku mengerti bahwa sekarang Gusti Allah tengah mengabulkan segala puja pintanya.Dia menjadikanku seorang permaisuri, dan riwayat permaisuri yang sering kudengar kisahnya, mereka tidak pernah memiliki suaminya seorang diri. Entah demi keturunan, takhta ataukah perluasan wilayah kerajaa
Mbak Rom yang sudah belajarsendiko dawuh(patuh) sejak masih perawan, mau tak mau undur diri dan membiarkanku di dalam kamar sendirian.Perlahan aku bergerak turun dari ranjang, lantainya masih sedikit bergoyang saat kupijak.Kugerakkan kakiku, melangkah perlahan menuju pintu sambung yang langsung menuju halaman belakang.Aku ingin sendiri.Hanya seorang diri.
Ibu mertuaku, beliau yang menyarankan mengambil madu untuk suamiku, tapi beliau juga yang paling takut aku terluka.Maka, akulah yang harus menenangkan hati dan pikiran mereka agar tetàpadem.Kukisahkan kepadà mereka tentang kisah Ismail.Kala tetesan air mata Ibrahim jatuh menyaksikan keteguhan iman anaknya, Ismail, kala itulah sejarah agung tercipta. Belajarlah dari Ibrahim yang rela mengorbankan anaknya, dan jadilah seperti Ismail yang ikhlas menerima kehendak TuhanNya.
Mas Abi memelukku sangat erat, kami terdiam dalam hening yang cukup lama, aku membiarkan keheningan meraja, memberi cukup waktu untuk meraup aroma keringatnya yang tidak sekalipun melunturkan rindu-rinduku. Hingga Mas Abi yang lebih dulu melepas pelukan kami setelah beberapa detik yangterlalusingkat."Udara di luar cukup dingin, jangan menyalakan AC dengan suhu terlalu rendah." Suaranya terdengar lirih. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Aku tertegun dengan sikapnya, dia menatapku sangat lama.Jangan seperti ini, jangan membuat nelangsaku menguar hingga kau akan tahu, detik-detik pe