Mas Abi memelukku sangat erat, kami terdiam dalam hening yang cukup lama, aku membiarkan keheningan meraja, memberi cukup waktu untuk meraup aroma keringatnya yang tidak sekalipun melunturkan rindu-rinduku. Hingga Mas Abi yang lebih dulu melepas pelukan kami setelah beberapa detik yang terlalu singkat.
"Udara di luar cukup dingin, jangan menyalakan AC dengan suhu terlalu rendah." Suaranya terdengar lirih. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Aku tertegun dengan sikapnya, dia menatapku sangat lama. Jangan seperti ini, jangan membuat nelangsaku menguar hingga kau akan tahu, detik-detik pe
"Pangapunten, Ning. Maaf ini tadikulotinggal ke dalam dulu." Seorang mbak santri terlihat begitu bersalah. Pisau yang tersimpan di dalam kaleng hampir mengenai punggung kakiku."Sudah,gak pp –po."Aku membersihkan rokku yang terkena tumpahan tanah lembab saat melihat
Aku beranjak dan berjalan ke depan jendela, lihatlah kemuning-kemuning itu dengan angkuhnya tumbuh bermekaran. Tatapanku lurus ke arah jendela kamar Sahra yang letaknya persis berhadapan dengan letak jendela kamar ini.Mas Abi tidak pernah tahu.Setiap hari, aku berdiri di sini berharap bahwa yang kulalui ini hanyalah sebuah mimpi. Aku ingin terbangun, ingin berlari dari mimpi yang terasa begitu menyakitkan ini.Dia tidak tahu bagaimana aku menyiksa jiwa dan raga agar bisa terlepas dari rindu yang memabukkan ini.K
POV ZEa lanjutan dari bab sebelumnyaDear pohon cinta,"Kaulah nyala senja yang diam-diam mengupas warna segar kupu-kupu dan aku tumbuh seperti laut waktu memberiku air gairah atas hidup.Barangkali kesengsaraan itu telah menjadi matang dan sempurna.Namun ketahuilah, tak ada luka yang sembuh hanya dengan kalimat-kalimat kebijaksanaan.Sudah semestinya jiwa mengiris setiap fana yang dianggap penting dari sebongkah daging, membakarnya di perapian dzikir paling bara.
Di antara kerumunan orang yang bertebaran di muka bumi ini, aku hanya melihatmu, sayangku."Saya, mau berkunjung ke rumah ibu dan abah, Mas." Zea sedang berkemas saat aku baru saja memasuki kamar
Kemudian, aku pergi ke rumah itu. Rumah yang dinding kamarnya tepat di depan mata. Ketika membayangkan diriku sedang bersama wanita lain, sementara Zea berdiri di sini, tidak bisa merasai secuilpun kebahagiaanku sendiri. Lalu bagaimana dengan Zea?Mengangkat satu telapak tangan, meraba ruang di bawah tulang selangka. Aku rasa bisa mati muda jika terus merasakan sakit karena katup jantung yang selalu merasa ny
Kegiatan panas kami berlanjut, seperti rasa rindu yang bertahun tertahan, berada dalam puncak gairah beberapa kali belum menuntaskan semua rasa. Amarah juga termasuk di dalamnya. Penyesalan memberi sedikit sakit di hatinya. Sekali mengerang, untukku candu, dahulu dan sekarang. Tidak ingin dia pergi, ingin menggenggamnya, berjalan bersama sekali lagi. Menikmati malam yang kadang bermandikan sinar
Benarkah hanya karena ingin mendapat berkah dari ummi, abah dan tentu saja para pendahulu Annur, dia rela berbagi?
"Ning Zea sudah pulang?" Tanyaku pada Mbak Rom yang kebetulan ada di dapur dalam sedang menghangatkan sayur sisa makan malam kami tadi.