Beranda / Romansa / Tulang Rusuk / 22. Sinar yang Berpendar (Zea)

Share

22. Sinar yang Berpendar (Zea)

Penulis: MaharKu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-01-28 21:40:36

Mas Abi memelukku sangat erat, kami terdiam dalam hening yang cukup lama, aku membiarkan keheningan meraja, memberi cukup waktu untuk meraup aroma keringatnya yang tidak sekalipun melunturkan rindu-rinduku. Hingga Mas Abi yang lebih dulu melepas pelukan kami setelah beberapa detik yang terlalu singkat.

"Udara di luar cukup dingin, jangan menyalakan AC dengan suhu terlalu rendah." Suaranya terdengar lirih. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Aku tertegun dengan sikapnya, dia menatapku sangat lama. 

Jangan seperti ini, jangan membuat nelangsaku menguar hingga kau akan tahu, detik-detik pe
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tulang Rusuk   23. Cemburu? (Zea)

    "Pangapunten, Ning. Maaf ini tadikulotinggal ke dalam dulu." Seorang mbak santri terlihat begitu bersalah. Pisau yang tersimpan di dalam kaleng hampir mengenai punggung kakiku."Sudah,gak pp –po."Aku membersihkan rokku yang terkena tumpahan tanah lembab saat melihat

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-28
  • Tulang Rusuk   24. Ingin yang sama (Zea)

    Aku beranjak dan berjalan ke depan jendela, lihatlah kemuning-kemuning itu dengan angkuhnya tumbuh bermekaran. Tatapanku lurus ke arah jendela kamar Sahra yang letaknya persis berhadapan dengan letak jendela kamar ini.Mas Abi tidak pernah tahu.Setiap hari, aku berdiri di sini berharap bahwa yang kulalui ini hanyalah sebuah mimpi. Aku ingin terbangun, ingin berlari dari mimpi yang terasa begitu menyakitkan ini.Dia tidak tahu bagaimana aku menyiksa jiwa dan raga agar bisa terlepas dari rindu yang memabukkan ini.K

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-28
  • Tulang Rusuk   25. Luka yang sama (Zea & Habibi)

    POV ZEa lanjutan dari bab sebelumnyaDear pohon cinta,"Kaulah nyala senja yang diam-diam mengupas warna segar kupu-kupu dan aku tumbuh seperti laut waktu memberiku air gairah atas hidup.Barangkali kesengsaraan itu telah menjadi matang dan sempurna.Namun ketahuilah, tak ada luka yang sembuh hanya dengan kalimat-kalimat kebijaksanaan.Sudah semestinya jiwa mengiris setiap fana yang dianggap penting dari sebongkah daging, membakarnya di perapian dzikir paling bara.

    Terakhir Diperbarui : 2021-01-28
  • Tulang Rusuk   26. Rindu yang Menggelegak (Habibi)

    Di antara kerumunan orang yang bertebaran di muka bumi ini, aku hanya melihatmu, sayangku."Saya, mau berkunjung ke rumah ibu dan abah, Mas." Zea sedang berkemas saat aku baru saja memasuki kamar

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-07
  • Tulang Rusuk   27. Kangen (Habibi)

    Kemudian, aku pergi ke rumah itu. Rumah yang dinding kamarnya tepat di depan mata. Ketika membayangkan diriku sedang bersama wanita lain, sementara Zea berdiri di sini, tidak bisa merasai secuilpun kebahagiaanku sendiri. Lalu bagaimana dengan Zea?Mengangkat satu telapak tangan, meraba ruang di bawah tulang selangka. Aku rasa bisa mati muda jika terus merasakan sakit karena katup jantung yang selalu merasa ny

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-07
  • Tulang Rusuk   28. Milikku (Habibi)

    Kegiatan panas kami berlanjut, seperti rasa rindu yang bertahun tertahan, berada dalam puncak gairah beberapa kali belum menuntaskan semua rasa. Amarah juga termasuk di dalamnya. Penyesalan memberi sedikit sakit di hatinya. Sekali mengerang, untukku candu, dahulu dan sekarang. Tidak ingin dia pergi, ingin menggenggamnya, berjalan bersama sekali lagi. Menikmati malam yang kadang bermandikan sinar

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-07
  • Tulang Rusuk   29. Tanya dalam hati (Habibi)

    Benarkah hanya karena ingin mendapat berkah dari ummi, abah dan tentu saja para pendahulu Annur, dia rela berbagi?

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-07
  • Tulang Rusuk   30. Bantal yang basah (Habibi)

    "Ning Zea sudah pulang?" Tanyaku pada Mbak Rom yang kebetulan ada di dapur dalam sedang menghangatkan sayur sisa makan malam kami tadi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-07

Bab terbaru

  • Tulang Rusuk   50. Jangan Kasihan (Zea)

    Rahmat meminta nomor ponsel Asna ketika ia hendak pamit pulang ke Banyuwangi."Hanya berjaga-jaga saja, aku takut Ning Ze ngilang tanpa jejak." Ya Allah, dia mencoba berkelakar lagi. Ck!“Adik keterlaluan!” Kupukul pelan lengannya yang kokoh. Doakan ningmu ini semoga bisa menemukan sedikit ketenangan. Pintaku dalam hati.Dia terkekeh kemudian, punggung tangannya terulur mengusap pipiku. “Aku – kami semua percaya, Ning Ze kami bisa melewati masa-masa sulit ini.Oh, jangan terlalu banyak menangis di tempat orang, malu." Dia kembali terkekeh. Beruntung kami sedang berada di tempat yang tak terlalu ramai, jadi ketika dia menggoda setidaknya takkan mempermalukan reputasi kami."Aku bisa berbohong pada Mas Habibi tentang tempat persembunyianmu ini, tapi aku tidak bisa membohongi Abah dan Ibu, oke?" Lanjutnya, sambil mengerlingkan mata kanannya.Aku mengangguk. Membohongi mereka adalah nomor kesekian dari pikiranku saat

  • Tulang Rusuk   49. Asna (Zea)

    Kami sampai di pelataran rumah Asna menjelang tengah malam. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat pikiranku sedikit lebih tenang. Saat turun dari mobil, aroma kembang kanthil menyeruak bersama udara tengah malam menyambut kedatangan kami. Keheningan suasana pondok belum tercipta sepenuhnya saat pengeras suara memperdengarkan suara berat seseorang yang sedang memberikan kultum.Sebuah pintu ganda berbahan kayu tanpa ukiran diketuk pelan Rahmat saat sudah berada di depannya. Pada ketukan ketiga, suara kunci diputar terdengar menjawab salam kami.Pintu tersebut terbuka menampilkan sesosok ayu mbak ndalem, dia kemudian menyapa dengan membalas salam, “Wa’alaikumsalam.”“Masyaallah, Ning Zea!” Belum sempat bertanya dari arah belakang kami, Asna datang.Pekiknya gembira, sembari berjalan ke arahku, membuka kedua tangannya dan memeluk dengan hangat. Tidak terlalu lama menunggu, kami dipersilakan masuk ke dalam rumahnya.&ld

  • Tulang Rusuk   48. Bantu Aku (Zea)

    Mobil yang membawa kami sudah berada di jembatan Suramadu menjelang pukul sepuluh malam. Kubuka jendela mobil. Angin laut terasa begitu dingin menerpa kulit. Sayang, di malam hari begini kami tidak bisa menikmati pemandangan laut yang terbentang indah yang seperti permadani.Lampu jalan raya serta kelenggangannya seolah menambah syahdu suasana.Sebenarnya kami sempat beradu pendapat ketika keluar Masjid Sunan Ampel– saat kupaksa Rahmat untuk mengantarkanku ke Bangkalan. Aku memang mengatakan kalau ingin pergi berziarah ke Sunan Ampel, dan sengaja tidak mengatakan apapun padanya."Mau ke mana sih, Ning?" Tanyanya dengan nada kesal.Tadi, aku memintanya mengantarku ke Sunan Ampel, Surabaya. Dia tidak curiga pada awalnya, tapi ketika menyadari bahwa tidak ada niatku untuk kembali pulang, akhirnya Rahmat dengan terpaksa mengikuti mauku.Sunan Ampel adalah salah satu dari para wali yang bernama asli Raden Rahmat tersebut diberi

  • Tulang Rusuk   47. Memilih Menepi (Zea)

    “Baik. Baik. Ummi juga ingin merubah keadaan ini, seandainya kami bisa –” Ummi menahan isaknya. Wanita yang melahirkan suamiku itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dalam beberapa menit."Jangan terlalu disesali, mereka yang pergi takkan pernah bisa kembali dan tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi, kita masih bisa menyelamatkan sisa-sisanya. Walau sisa itu tinggal secuil, kita pasti bisa menyelamatkannya." Abah tersenyum sedih kepadaku, dielusnya puncak kepala sembari membaca doa-doa."Sebentar, Ummi ambilkan oleh-oleh buat Kyai Baihaqi dulu." Ummi hampir beranjak tapi kutahan.“Maaf Ummi, tapi Abah kulo sedang mengunjungi Dek Roziq. Kemungkinan di rumah hanya ada Rahmat dan saya,” sergahku memberi alasan cukup masuk akal agar tidak semakin mengulur waktu."Ya wes, kalau begitu biar dimakan Rahmat, dia lagi liburan, kan?" Aku menahannya sekali lagi. Menggeleng dengan tatapan memelas meminta t

  • Tulang Rusuk   46. Melarung Duka (Zea)

    “Mat!”“Mmm?”“Jemput aku sore nanti.”“Pulang ke rumah?”“Ya.”“Baiklah! Itu bagus, aku senang mendengarnya!”Aku menutup sambungan telepon.Aku menatap pantulan diri di depan cermin kaca kamar mandi. Menelan ludah kelat kala mendapati bayang-bayang hitam di bawah kelopak mata. Salah satu alasan mengapa wajah pucat itu menjadi seburuk ini. Jarang menikmati tidur nyenyak barangkali yang membuat seringnya aku mengalami halusinasi. Perasaan mencekam membuatku tertekan apalagi setelah Mas Abi tahu tentang keinginanku untuk bercerai. Dia tak memberiku izin keluar rumah selalu memantau apapun yang kulakukan hanya demi memastikan tetap berada di tempat ini.Menunduk, aku mengangkat tangan kanan yang sedikit gemetar ke arah kepala yang mendadak pening. Pelan, kemudian kuturunkan tangan untuk memijit pangkal hidung, memberi sedikit tekana

  • Tulang Rusuk   45. Bawa aku pergi (Zea)

    "Njenengan,sudah memiliki penerus. Saya lihat, Sahra juga sangat mencintaikamu, Mas...., saya yakin tidak butuh waktu lama untuk bisa membuka hati pada wanita yang sudah merelakan seluruh hidupnya untuk membuat seluruh pesantren ini menjadibungah, bahagia. Sebab, penerus kerajaan yang sudah meraka nantikan akhirnya hadir. Sedangkan untuk saya ....”Aku memaksa saliva membasahi tenggorokan, membiarkan silabel bermunculan dengan sempurna.

  • Tulang Rusuk   44. Jiwa yang Rusak (Zea)

    Ibu, abah, mertua dan adik-adikku datang menjenguk silih berganti, mereka membisikkan kalimat penenang. Mendoakan agar aku bisa kembali pulih. Jika Ummi yang datang, beliau hanya duduk dan membaca Al-Qur’an tak mengajakku banyak bicara. Raut lelah di pelupuk senjanya nampak jelas.Bila Abah dan ibuku yang berkunjung, mereka akan menceritakan banyak hal, mengenai jumlah santri yang ada di pondok kecil keluarga kami yang semakin bertambah, atau membicarakan mengenai keinginan Ibu untuk menambah koleksi tabulampotnya. Tidak ada yang menarik memang, selain obrolan ringan suasana di rumah tempatku dulu dilahirkan,tapi aku menyukainya. Sekuat tenaga ingin menarikku dari pusat kegilaan.

  • Tulang Rusuk   43. Ingin Sendiri (Zea)

    "Pak! Sudah saya bilang untuk tetap di luar!" Alya mencoba mengusir seorang pria. Bukankah pria itu kekasihku? "Tak apa. Biarkan dia di sini, kami ingin bicara berdua," sergahku sebelum Alya mengusir Mas Abi dari sini."Sayang, bagaimana keadaanmu,

  • Tulang Rusuk   42. Di ambang kehancuran (Zea)

    Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala

DMCA.com Protection Status