POV ZEa lanjutan dari bab sebelumnya
Dear pohon cinta,
"Kaulah nyala senja yang diam-diam mengupas warna segar kupu-kupu dan aku tumbuh seperti laut waktu memberiku air gairah atas hidup.
Barangkali kesengsaraan itu telah menjadi matang dan sempurna.
Namun ketahuilah, tak ada luka yang sembuh hanya dengan kalimat-kalimat kebijaksanaan.
Sudah semestinya jiwa mengiris setiap fana yang dianggap penting dari sebongkah daging, membakarnya di perapian dzikir paling bara.<
Di antara kerumunan orang yang bertebaran di muka bumi ini, aku hanya melihatmu, sayangku."Saya, mau berkunjung ke rumah ibu dan abah, Mas." Zea sedang berkemas saat aku baru saja memasuki kamar
Kemudian, aku pergi ke rumah itu. Rumah yang dinding kamarnya tepat di depan mata. Ketika membayangkan diriku sedang bersama wanita lain, sementara Zea berdiri di sini, tidak bisa merasai secuilpun kebahagiaanku sendiri. Lalu bagaimana dengan Zea?Mengangkat satu telapak tangan, meraba ruang di bawah tulang selangka. Aku rasa bisa mati muda jika terus merasakan sakit karena katup jantung yang selalu merasa ny
Kegiatan panas kami berlanjut, seperti rasa rindu yang bertahun tertahan, berada dalam puncak gairah beberapa kali belum menuntaskan semua rasa. Amarah juga termasuk di dalamnya. Penyesalan memberi sedikit sakit di hatinya. Sekali mengerang, untukku candu, dahulu dan sekarang. Tidak ingin dia pergi, ingin menggenggamnya, berjalan bersama sekali lagi. Menikmati malam yang kadang bermandikan sinar
Benarkah hanya karena ingin mendapat berkah dari ummi, abah dan tentu saja para pendahulu Annur, dia rela berbagi?
"Ning Zea sudah pulang?" Tanyaku pada Mbak Rom yang kebetulan ada di dapur dalam sedang menghangatkan sayur sisa makan malam kami tadi.
POV Habibi lanjutan dari bab sebelumnya
Lanjutan POV SahraGayung bersambut, rupanya Tuhan sedang berbaik hati dengan mewujudkan mimpiku. Bunyai memberiku kesempatan menimba ilmu dari Ning Zea, dan keinginanku untuk bisa dekat dengan istri Gus menjadi kenyataan.Kupikir, Ning Zea hanya cantik luarnya saja, ramah hanya ketika sedang bersama suaminya, nyatanya semua itu salah. Beliau baik, pintar dan mengayomi. Tutur kata serta tindak tanduknya sempurna.Semua orang tak ada yang berani menganggapnya sebelah mata.Aku dibimbing oleh Ning Zea menjadi salah satu kader koperasi yang didirikan beberapa bulan sete
Akhirnya, keinginan untuk menjadi istri seorang Gus terwujud. Hingga hari pernikahan digelar, Ning Zea sendiri yang memilih ini dan itu untuk persiapan. Bahagia? Tentu saja. Meski kudengar bisik sinis karena keputusan ini, tetapi banyak juga yang mengatakan bahwa aku perempuan beruntung.Ning Zea sering mengajakku keluar pondok bersama Gus Habibi, kami belanja perhiasan yang akan digunakan sebagai hadiah pernikahan. Aku menikmatinya, sungguh, meskipun sesekali melihat sendu menggantung di sepasang mata Ning Zea, aku tidak peduli.Hari pernikahan kami berlangsung khidmat, memang tidak semeriah perni