Lanjutan POV Sahra
Gayung bersambut, rupanya Tuhan sedang berbaik hati dengan mewujudkan mimpiku. Bunyai memberiku kesempatan menimba ilmu dari Ning Zea, dan keinginanku untuk bisa dekat dengan istri Gus menjadi kenyataan.
Kupikir, Ning Zea hanya cantik luarnya saja, ramah hanya ketika sedang bersama suaminya, nyatanya semua itu salah. Beliau baik, pintar dan mengayomi. Tutur kata serta tindak tanduknya sempurna.
Semua orang tak ada yang berani menganggapnya sebelah mata. Aku dibimbing oleh Ning Zea menjadi salah satu kader koperasi yang didirikan beberapa bulan sete
Akhirnya, keinginan untuk menjadi istri seorang Gus terwujud. Hingga hari pernikahan digelar, Ning Zea sendiri yang memilih ini dan itu untuk persiapan. Bahagia? Tentu saja. Meski kudengar bisik sinis karena keputusan ini, tetapi banyak juga yang mengatakan bahwa aku perempuan beruntung.Ning Zea sering mengajakku keluar pondok bersama Gus Habibi, kami belanja perhiasan yang akan digunakan sebagai hadiah pernikahan. Aku menikmatinya, sungguh, meskipun sesekali melihat sendu menggantung di sepasang mata Ning Zea, aku tidak peduli.Hari pernikahan kami berlangsung khidmat, memang tidak semeriah perni
Sehabis Isya ketika suamiku baru saja tiba di rumah, aku menyambutnya dengan semringah. Tidak lupa berdandan dan memakai gamis yang indah. Meja makan sudah kusiapkan berbagai makanan manis, dan juga lodeh ayam kampung favoritnya. Kuambil tas punggungnya, kemudian mempersilakan beliau untuk membersihkan diri lebih dulu."Masak banyak banget, ada acara apa ini, Ra?" Tanyanya saat ku arahkan untuk duduk di kursi meja makan kami.
Sehabis Isya ketika suamiku baru saja tiba di rumah, aku menyambutnya dengan semringah. Tidak lupa berdandan dan memakai gamis yang indah. Meja makan sudah kusiapkan berbagai makanan manis, dan juga lodeh ayam kampung favoritnya. Kuambil tas punggungnya, kemudian mempersilakan beliau untuk membersihkan diri lebih dulu."Masak banyak banget, ada acara apa ini, Ra?" Tanyanya saat ku arahkan untuk duduk di kursi meja makan kami.
Aku tak tahu sudah berapa lama berdiri di depan pintu ini. Pintu berukiran khas jepara yang rumit, pintu kamar istri pertama suamiku. Langit tak lagi menampilkan spektrum warna oranye, rembulan yang bersinar pucat sudah menggantung rendah di atas sana. Namun, panas yang serasa membakar hati dan menggerogoti jantungku perlahan, masih belum sirna. Amarah itu masih ada, bercokol dalam diriku, meminta dilampiaskan. Jemari yang sedari tadi mencengkeram erat ujung jilbab, mulai kebas dan mati rasa. Setidaknya, keinginan untuk menggedor pintu angkuh itu sudah berkurang dengan kondisi tanganku yang sedikit kaku.
"Baiklah, aku akan memberikan semua waktuku untuk kalian," putusnya, Ning Zea tersenyum sambil terus mengusap punggung tangan.Aku memeluknya sebagai ungkapan terima kasih, tahu takkan sia-sia datang padanya. Dia sudah mendengar bagaimana sulitnya diriku menaklukkan pria itu. Sering kuceritakan bagaimana dinginnya ia padaku. Jadi, ketika meminta hal ini padanya, takkan sulit untuk mendapat hasil sesuai keinginan. Jika tidak sekarang, maka aku akan kehilangan selamanya.Semenjak malam itu, aku tidak lagi terlalu sering melihat mereka berdua bertemu, entah Ning Zea yang lebih lama berada di banat dan pulang terlalu larut
Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan Pak Tua tersebut, berjuang, perjuangan, kesempitan berpikir dan sifat sok benar?***Apa dia sedang menyindirku? Tidak, kami tidak saling kenal. Mas Habibi memang pernah mengajakku ke makam seorang alim ulama di kota Pasuruan. Ya, memang dia salah satu juru kunci tempat tersebut, waktu itupun kami hanya sekilas bertemu pandang sebab juru kunci tersebut han
Tes!Satu bulir bening jatuh dari sudut mata kiri, detak jantungku seolah menemukan titik henti dari aktifitasnya sejenak, tapi cukup memberi efek buruk pada jenak berikutnya. Karena kini, organ pemompa darah itu kembali melanjutkan tugas sepuluh kali lebih kencang.Jika di malam sebelumnya, aku akan tetap tenang dan merasa biasa saja. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benak, ia akan datang dengan membawa bom waktu yang akan menghancurkanku secara perlahan.
Aku ingat saat Mbah Siman duduk bersila sembari mengambil cangkir kopi yang kubuatkan sendiri, beliau menikmatinya perlahan.Dia tidak memandang wajahku meski kami duduksaling berhadapansaat itu, ada Maisaroh yang sibuk menghapal kitabnya di pojok ruangan, sesekali hening, menunggu Mbah Siman kembali bercerita tentang banyak hal. Membagi keilmuannya dan aku akan mendengarkan setiap petuahnya dengan sabar.“Njenengantaumboten, Bunyai. Di mata kopi kita semua sama, sebab itu kopi mengajarkan pah
Rahmat meminta nomor ponsel Asna ketika ia hendak pamit pulang ke Banyuwangi."Hanya berjaga-jaga saja, aku takut Ning Ze ngilang tanpa jejak." Ya Allah, dia mencoba berkelakar lagi. Ck!“Adik keterlaluan!” Kupukul pelan lengannya yang kokoh. Doakan ningmu ini semoga bisa menemukan sedikit ketenangan. Pintaku dalam hati.Dia terkekeh kemudian, punggung tangannya terulur mengusap pipiku. “Aku – kami semua percaya, Ning Ze kami bisa melewati masa-masa sulit ini.Oh, jangan terlalu banyak menangis di tempat orang, malu." Dia kembali terkekeh. Beruntung kami sedang berada di tempat yang tak terlalu ramai, jadi ketika dia menggoda setidaknya takkan mempermalukan reputasi kami."Aku bisa berbohong pada Mas Habibi tentang tempat persembunyianmu ini, tapi aku tidak bisa membohongi Abah dan Ibu, oke?" Lanjutnya, sambil mengerlingkan mata kanannya.Aku mengangguk. Membohongi mereka adalah nomor kesekian dari pikiranku saat
Kami sampai di pelataran rumah Asna menjelang tengah malam. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat pikiranku sedikit lebih tenang. Saat turun dari mobil, aroma kembang kanthil menyeruak bersama udara tengah malam menyambut kedatangan kami. Keheningan suasana pondok belum tercipta sepenuhnya saat pengeras suara memperdengarkan suara berat seseorang yang sedang memberikan kultum.Sebuah pintu ganda berbahan kayu tanpa ukiran diketuk pelan Rahmat saat sudah berada di depannya. Pada ketukan ketiga, suara kunci diputar terdengar menjawab salam kami.Pintu tersebut terbuka menampilkan sesosok ayu mbak ndalem, dia kemudian menyapa dengan membalas salam, “Wa’alaikumsalam.”“Masyaallah, Ning Zea!” Belum sempat bertanya dari arah belakang kami, Asna datang.Pekiknya gembira, sembari berjalan ke arahku, membuka kedua tangannya dan memeluk dengan hangat. Tidak terlalu lama menunggu, kami dipersilakan masuk ke dalam rumahnya.&ld
Mobil yang membawa kami sudah berada di jembatan Suramadu menjelang pukul sepuluh malam. Kubuka jendela mobil. Angin laut terasa begitu dingin menerpa kulit. Sayang, di malam hari begini kami tidak bisa menikmati pemandangan laut yang terbentang indah yang seperti permadani.Lampu jalan raya serta kelenggangannya seolah menambah syahdu suasana.Sebenarnya kami sempat beradu pendapat ketika keluar Masjid Sunan Ampel– saat kupaksa Rahmat untuk mengantarkanku ke Bangkalan. Aku memang mengatakan kalau ingin pergi berziarah ke Sunan Ampel, dan sengaja tidak mengatakan apapun padanya."Mau ke mana sih, Ning?" Tanyanya dengan nada kesal.Tadi, aku memintanya mengantarku ke Sunan Ampel, Surabaya. Dia tidak curiga pada awalnya, tapi ketika menyadari bahwa tidak ada niatku untuk kembali pulang, akhirnya Rahmat dengan terpaksa mengikuti mauku.Sunan Ampel adalah salah satu dari para wali yang bernama asli Raden Rahmat tersebut diberi
“Baik. Baik. Ummi juga ingin merubah keadaan ini, seandainya kami bisa –” Ummi menahan isaknya. Wanita yang melahirkan suamiku itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dalam beberapa menit."Jangan terlalu disesali, mereka yang pergi takkan pernah bisa kembali dan tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi, kita masih bisa menyelamatkan sisa-sisanya. Walau sisa itu tinggal secuil, kita pasti bisa menyelamatkannya." Abah tersenyum sedih kepadaku, dielusnya puncak kepala sembari membaca doa-doa."Sebentar, Ummi ambilkan oleh-oleh buat Kyai Baihaqi dulu." Ummi hampir beranjak tapi kutahan.“Maaf Ummi, tapi Abah kulo sedang mengunjungi Dek Roziq. Kemungkinan di rumah hanya ada Rahmat dan saya,” sergahku memberi alasan cukup masuk akal agar tidak semakin mengulur waktu."Ya wes, kalau begitu biar dimakan Rahmat, dia lagi liburan, kan?" Aku menahannya sekali lagi. Menggeleng dengan tatapan memelas meminta t
“Mat!”“Mmm?”“Jemput aku sore nanti.”“Pulang ke rumah?”“Ya.”“Baiklah! Itu bagus, aku senang mendengarnya!”Aku menutup sambungan telepon.Aku menatap pantulan diri di depan cermin kaca kamar mandi. Menelan ludah kelat kala mendapati bayang-bayang hitam di bawah kelopak mata. Salah satu alasan mengapa wajah pucat itu menjadi seburuk ini. Jarang menikmati tidur nyenyak barangkali yang membuat seringnya aku mengalami halusinasi. Perasaan mencekam membuatku tertekan apalagi setelah Mas Abi tahu tentang keinginanku untuk bercerai. Dia tak memberiku izin keluar rumah selalu memantau apapun yang kulakukan hanya demi memastikan tetap berada di tempat ini.Menunduk, aku mengangkat tangan kanan yang sedikit gemetar ke arah kepala yang mendadak pening. Pelan, kemudian kuturunkan tangan untuk memijit pangkal hidung, memberi sedikit tekana
"Njenengan,sudah memiliki penerus. Saya lihat, Sahra juga sangat mencintaikamu, Mas...., saya yakin tidak butuh waktu lama untuk bisa membuka hati pada wanita yang sudah merelakan seluruh hidupnya untuk membuat seluruh pesantren ini menjadibungah, bahagia. Sebab, penerus kerajaan yang sudah meraka nantikan akhirnya hadir. Sedangkan untuk saya ....”Aku memaksa saliva membasahi tenggorokan, membiarkan silabel bermunculan dengan sempurna.
Ibu, abah, mertua dan adik-adikku datang menjenguk silih berganti, mereka membisikkan kalimat penenang. Mendoakan agar aku bisa kembali pulih. Jika Ummi yang datang, beliau hanya duduk dan membaca Al-Qur’an tak mengajakku banyak bicara. Raut lelah di pelupuk senjanya nampak jelas.Bila Abah dan ibuku yang berkunjung, mereka akan menceritakan banyak hal, mengenai jumlah santri yang ada di pondok kecil keluarga kami yang semakin bertambah, atau membicarakan mengenai keinginan Ibu untuk menambah koleksi tabulampotnya. Tidak ada yang menarik memang, selain obrolan ringan suasana di rumah tempatku dulu dilahirkan,tapi aku menyukainya. Sekuat tenaga ingin menarikku dari pusat kegilaan.
"Pak! Sudah saya bilang untuk tetap di luar!" Alya mencoba mengusir seorang pria. Bukankah pria itu kekasihku? "Tak apa. Biarkan dia di sini, kami ingin bicara berdua," sergahku sebelum Alya mengusir Mas Abi dari sini."Sayang, bagaimana keadaanmu,
Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala