"Baiklah, aku akan memberikan semua waktuku untuk kalian," putusnya, Ning Zea tersenyum sambil terus mengusap punggung tangan.
Aku memeluknya sebagai ungkapan terima kasih, tahu takkan sia-sia datang padanya. Dia sudah mendengar bagaimana sulitnya diriku menaklukkan pria itu. Sering kuceritakan bagaimana dinginnya ia padaku. Jadi, ketika meminta hal ini padanya, takkan sulit untuk mendapat hasil sesuai keinginan. Jika tidak sekarang, maka aku akan kehilangan selamanya.
Semenjak malam itu, aku tidak lagi terlalu sering melihat mereka berdua bertemu, entah Ning Zea yang lebih lama berada di banat dan pulang terlalu larut
Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan Pak Tua tersebut, berjuang, perjuangan, kesempitan berpikir dan sifat sok benar?***Apa dia sedang menyindirku? Tidak, kami tidak saling kenal. Mas Habibi memang pernah mengajakku ke makam seorang alim ulama di kota Pasuruan. Ya, memang dia salah satu juru kunci tempat tersebut, waktu itupun kami hanya sekilas bertemu pandang sebab juru kunci tersebut han
Tes!Satu bulir bening jatuh dari sudut mata kiri, detak jantungku seolah menemukan titik henti dari aktifitasnya sejenak, tapi cukup memberi efek buruk pada jenak berikutnya. Karena kini, organ pemompa darah itu kembali melanjutkan tugas sepuluh kali lebih kencang.Jika di malam sebelumnya, aku akan tetap tenang dan merasa biasa saja. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benak, ia akan datang dengan membawa bom waktu yang akan menghancurkanku secara perlahan.
Aku ingat saat Mbah Siman duduk bersila sembari mengambil cangkir kopi yang kubuatkan sendiri, beliau menikmatinya perlahan.Dia tidak memandang wajahku meski kami duduksaling berhadapansaat itu, ada Maisaroh yang sibuk menghapal kitabnya di pojok ruangan, sesekali hening, menunggu Mbah Siman kembali bercerita tentang banyak hal. Membagi keilmuannya dan aku akan mendengarkan setiap petuahnya dengan sabar.“Njenengantaumboten, Bunyai. Di mata kopi kita semua sama, sebab itu kopi mengajarkan pah
Baiklah, aku menatap manik cokelat yang kini terlihat berembun. “Ada apa?” Tanyaku selembut mungkin.Sahra meremas jemarinya, terlihat sangat gugup.***
Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala
"Pak! Sudah saya bilang untuk tetap di luar!" Alya mencoba mengusir seorang pria. Bukankah pria itu kekasihku? "Tak apa. Biarkan dia di sini, kami ingin bicara berdua," sergahku sebelum Alya mengusir Mas Abi dari sini."Sayang, bagaimana keadaanmu,
Ibu, abah, mertua dan adik-adikku datang menjenguk silih berganti, mereka membisikkan kalimat penenang. Mendoakan agar aku bisa kembali pulih. Jika Ummi yang datang, beliau hanya duduk dan membaca Al-Qur’an tak mengajakku banyak bicara. Raut lelah di pelupuk senjanya nampak jelas.Bila Abah dan ibuku yang berkunjung, mereka akan menceritakan banyak hal, mengenai jumlah santri yang ada di pondok kecil keluarga kami yang semakin bertambah, atau membicarakan mengenai keinginan Ibu untuk menambah koleksi tabulampotnya. Tidak ada yang menarik memang, selain obrolan ringan suasana di rumah tempatku dulu dilahirkan,tapi aku menyukainya. Sekuat tenaga ingin menarikku dari pusat kegilaan.
"Njenengan,sudah memiliki penerus. Saya lihat, Sahra juga sangat mencintaikamu, Mas...., saya yakin tidak butuh waktu lama untuk bisa membuka hati pada wanita yang sudah merelakan seluruh hidupnya untuk membuat seluruh pesantren ini menjadibungah, bahagia. Sebab, penerus kerajaan yang sudah meraka nantikan akhirnya hadir. Sedangkan untuk saya ....”Aku memaksa saliva membasahi tenggorokan, membiarkan silabel bermunculan dengan sempurna.