Sehabis Isya ketika suamiku baru saja tiba di rumah, aku menyambutnya dengan semringah. Tidak lupa berdandan dan memakai gamis yang indah. Meja makan sudah kusiapkan berbagai makanan manis, dan juga lodeh ayam kampung favoritnya. Kuambil tas punggungnya, kemudian mempersilakan beliau untuk membersihkan diri lebih dulu.
"Masak banyak banget, ada acara apa ini, Ra?" Tanyanya saat ku arahkan untuk duduk di kursi meja makan kami.
Sehabis Isya ketika suamiku baru saja tiba di rumah, aku menyambutnya dengan semringah. Tidak lupa berdandan dan memakai gamis yang indah. Meja makan sudah kusiapkan berbagai makanan manis, dan juga lodeh ayam kampung favoritnya. Kuambil tas punggungnya, kemudian mempersilakan beliau untuk membersihkan diri lebih dulu."Masak banyak banget, ada acara apa ini, Ra?" Tanyanya saat ku arahkan untuk duduk di kursi meja makan kami.
Aku tak tahu sudah berapa lama berdiri di depan pintu ini. Pintu berukiran khas jepara yang rumit, pintu kamar istri pertama suamiku. Langit tak lagi menampilkan spektrum warna oranye, rembulan yang bersinar pucat sudah menggantung rendah di atas sana. Namun, panas yang serasa membakar hati dan menggerogoti jantungku perlahan, masih belum sirna. Amarah itu masih ada, bercokol dalam diriku, meminta dilampiaskan. Jemari yang sedari tadi mencengkeram erat ujung jilbab, mulai kebas dan mati rasa. Setidaknya, keinginan untuk menggedor pintu angkuh itu sudah berkurang dengan kondisi tanganku yang sedikit kaku.
"Baiklah, aku akan memberikan semua waktuku untuk kalian," putusnya, Ning Zea tersenyum sambil terus mengusap punggung tangan.Aku memeluknya sebagai ungkapan terima kasih, tahu takkan sia-sia datang padanya. Dia sudah mendengar bagaimana sulitnya diriku menaklukkan pria itu. Sering kuceritakan bagaimana dinginnya ia padaku. Jadi, ketika meminta hal ini padanya, takkan sulit untuk mendapat hasil sesuai keinginan. Jika tidak sekarang, maka aku akan kehilangan selamanya.Semenjak malam itu, aku tidak lagi terlalu sering melihat mereka berdua bertemu, entah Ning Zea yang lebih lama berada di banat dan pulang terlalu larut
Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan Pak Tua tersebut, berjuang, perjuangan, kesempitan berpikir dan sifat sok benar?***Apa dia sedang menyindirku? Tidak, kami tidak saling kenal. Mas Habibi memang pernah mengajakku ke makam seorang alim ulama di kota Pasuruan. Ya, memang dia salah satu juru kunci tempat tersebut, waktu itupun kami hanya sekilas bertemu pandang sebab juru kunci tersebut han
Tes!Satu bulir bening jatuh dari sudut mata kiri, detak jantungku seolah menemukan titik henti dari aktifitasnya sejenak, tapi cukup memberi efek buruk pada jenak berikutnya. Karena kini, organ pemompa darah itu kembali melanjutkan tugas sepuluh kali lebih kencang.Jika di malam sebelumnya, aku akan tetap tenang dan merasa biasa saja. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benak, ia akan datang dengan membawa bom waktu yang akan menghancurkanku secara perlahan.
Aku ingat saat Mbah Siman duduk bersila sembari mengambil cangkir kopi yang kubuatkan sendiri, beliau menikmatinya perlahan.Dia tidak memandang wajahku meski kami duduksaling berhadapansaat itu, ada Maisaroh yang sibuk menghapal kitabnya di pojok ruangan, sesekali hening, menunggu Mbah Siman kembali bercerita tentang banyak hal. Membagi keilmuannya dan aku akan mendengarkan setiap petuahnya dengan sabar.“Njenengantaumboten, Bunyai. Di mata kopi kita semua sama, sebab itu kopi mengajarkan pah
Baiklah, aku menatap manik cokelat yang kini terlihat berembun. “Ada apa?” Tanyaku selembut mungkin.Sahra meremas jemarinya, terlihat sangat gugup.***
Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala