"Maaf, ya Dek. Memangnya ada apa?" Tangan kekar Mas Erlangga terulur, mengusap lembut rambutku yang tergerai."Aku cuma mau orang yang membuat kamu celaka serta lupa segalanya seperti ini mendapatkan keadilan, Mas. Aku ingin memenjarakan mereka, membuat mereka semua membayar apa yang sudah dilakukan sama kamu!""Sudah. Lupakan saja, Dek.""Satu lagi, Mas, kenapa saat kita berada di KBT kamu malah inget sama Sari dan Papa. Itu juga masih menjadi misteri. Aku penasaran dengan apa yang kamu ingat di sana!""Mas hanya liat perempuan dianiaya. Dan nggak tau kenapa nama itu muncul begitu saja di pikiran Mas. Mas juga..." Dia menggantung kalimat, terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu."Apa, Mas?" Aku menatap penasaran."Mas mengingat wajah orang yang memukuli Mas, tapi Mas masih samar. Makanya Mas nggak bilang sama adek."Aku tersenyum senang. Sepertinya ini bisa jadi bukti tambahan di persidangan nanti. Awas saja kamu Daf
"Ayo!" Dia merangkul pundakku, mengajakku masuk lalu duduk di kursi ruang tengah sambil menikmati acara televisi kesukaannya."Mas!" panggilku sembari melingkarkan tangan di pinggang, menyandarkan kepala di pundak menahan rindu yang sudah menggelora."Iya, Dek. Ada apa?" Mas Erlangga mengusap lembut rambutku."Nggak jadi!" Merapatkan pelukan, namun, tiba-tiba Bang Damian datang merusak momen kebersamaan kami."Van, tolong buatkan Abang minum!" perintahnya sambil menatap sinis ke arah Mas Erlangga."Abang bisa bikin sendiri 'kan?" Memonyongkan bibir, merasa kesal karena dia datang di saat yang tidak tepat."Buruan, Rivani. Abang haus. Kamu mau Abang sampe dehidrasi dan mati?""Ah, lebay!!""Jangan suka memerintah Vani seenaknya begitu, Bang!" protes Mas Erlangga."Kamu berani melawan?" Tiba-tiba lelaki bertato ular naga itu menarik kaos suami dan mengangkat kepalannya ke udara, hendak menghadiahi tinju.
"Nggak usah dengerin omongan papi kamu, Van. Dia itu kan suka ngelantur!" Mami masih saja berusaha menyembunyikan semuanya dariku."Mam, tolong jawab dengan jujur. Sebenarnya aku anak siapa?" Menatap penuh dengan permohonan kedua bulat bening ibuku."Kamu anak mami, Sayang. Memangnya anak siapa?""Kalau Bang Dem?""Anak mami dan papi juga.""Mam, aku sudah besar. Aku berhak tau tentang siapa aku dan siapa Bang Dem. Tolong jangan rahasiakan apa pun dari aku, karena itu sangat menyakiti perasaan aku, Mam. Aku mohon. Beritahu aku, apakah benar kecurigaanku selama ini, kalau aku dan Abang bukan saudara kandung? Kami tidak memiliki hubungan darah, makanya Bang Dem selalu memintaku untuk menikah dengan dia?!""Rivani, Sayang. Astaga! Kamu ini bicara apa sih?""Aku akan cari tau sendiri, Mam. Mungkin aku memang bukan anggota keluarga ini, sehingga Mami dan Papi selalu menyimpan rahasia dari aku!" "Kamu anak kandung ma
"Sudahlah, Mam. Mami tidak perlu minta maaf. Mungkin kami berdua memang bukan jodoh. Hanya saja yang aku sesali, kenapa diantara kalian tidak ada yang jujur sama aku dan mengatakan yang sebenarnya?""Karena Mami pikir kamu juga tidak perlu tau. Takut malah menjaga jarak sama Demian dan bertambah menyakiti hatinya. Mami sayang kamu dan juga Dem. Mami nggak mau salah satu diantara kalian ada yang terluka."'Mami sudah melukai hati Bang Dem!' ujarku dalam hati, sambil menyusut air mata yang berlomba-lomba jatuh dari balik kelopak."Ya sudah. Sekarang kita lupakan saja masalah itu. Dan Papi mohon sama kamu, Van. Setelah ini tolong jangan menjaga jarak sama Dem. Kamu tetap bersikap biasa saja, seolah tidak tau kalau dia bukan kakak kandung kamu!"Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sedang terhimpit batu besar lalu mengembuskannya secara perlahan. Rasa sedih terus saja menyelimuti hati, mengingat betapa selama ini Bang Damian
Menghampiri Bang Damian, mengajak dia dan anak-anak pulang, namun, kedua buah hatiku malah menangis karena masih ingin melihat-lihat binatang. Mungkin karena sudah hampir empat bulan aku tidak pernah mengajak mereka kemana-mana, sehingga mereka ingin berlama-lama di luar rumah, menghilangkan jenuh yang pasti jua mereka rasakan."Lagian masih siang, Van. Baru jam satu. Biarin lah anak-anak main sebentar. Kasian mereka dikurung terus sama kamu!" kata si abang seraya memindai wajahku."Mas Erlang sudah di rumah, dan dia meminta kami untuk segera pulang.""Ribet banget suami kamu itu. Udah nggak bisa bahagiain istri, rempong pula. Udah, abaikan saja. Biarkan anak-anak seneng. Nggak tiap hari ini!"Aku mengambil gawai, menghubungi Mas Erlangga mengabari kalau anaknya tidak mau diajak pulang."Aturan nggak usah kamu ajak pergi, Dek. Kamu tau sendiri, 'kan. Anak-anak kalo udah di luar suka nggak mau pulang!" ucap Mas Erlangga terdengar menyalahkan."Tapi mereka juga butuh hiburan, Mas. Makan
"Dek, Sayang!" Tangan kekar pria itu terulur, mengusap lembut pipi ini lalu mengecup puncak kepalaku begitu lama.Aku membuka mata dan melihat dia tengah menghapus air matanya sendiri menggunakan punggung tangan. Tetapi lagi dan lagi bibir ini terkatup, terkunci rapat tanpa bisa aku gerakkan."Sudah malam. Makan dulu, yuk! Apa mau dibawa ke sini dan Mas suapi?"Aku menggeleng pelan, kemudian beranjak dari dudukku, mengayunkan kaki menuju kamar mandi berniat ingin mengambil wudhu supaya hati ini sedikit tenteram. Mungkin dengan cara mendekatkan diri kepada Illahi Rabbi bisa menghapus rasa yang tengah bertahta.Aku harus melawan rasa ini, supaya tetap menjadi wanita tangguh karena ada ketiga anakku yang masih membutuhkan.Menggelar sajadah, bertafakur diri, meminta pengampunan kepada Sang Pemilik alam semesta, memohon ketabahan serta kesabaran. Lagi dan lagi, air mata berlomba-lomba meluncur melewati pipi seolah tidak mau berhe
"Kalau kamu nggak mau pergi aku yang akan pergi!" Berusaha beranjak dari brankar, akan tetapi tubuh ini terasa begitu lemas tidak memiliki tenaga sama sekali."Jangan keras kepala, Dek. Kamu ini sedang mengandung anaknya Mas, dan Mas tidak mau pergi dari kamu. Kita akan hadapi semua bersama. Mas janji akan menjadi suami yang baik buat kamu." Lagi, dia menggengam erat jemariku, lalu mengecupnya sambil menitikkan air mata.Tidak lama kemudian pintu kamar rawatku kembali terbuka. Seorang perempuan beralmamater putih bersama asistennya menghampiri, memeriksa keadaanku serta menanyakan apa yang kurasakan saat ini."Lemes, Dokter. Kepala saya sakit!" jawabku dengan suara pelan, hampir tidak terdengar."Gimana nggak lemes? Orang kata Bapak, ibu sudah dua hari nggak makan. Tolong atur pola makannya ya, Bu. Jangan sampai nggak makan, karena badan Ibu juga sudah kurus sekali. Pun dengan janin yang ada di dalam rahim ibu. Kasian dia kalau sampai kekurangan g
Bang Damian berdiri di ambang pintu seraya mengepalkan tangan di samping tubuh. Aku sungguh benci kali ini melihat pria arogan itu. Aku sadar ini rumahnya marena aku dan suami belum bisa melunasi. Tetapi seharusnya tidak begitu cara dia memperlakukan kami. Kamar adalah ruang pribadi. Harusnya dia terlebih dahulu mengetuk, jangan asal main selonong seperti itu."Apa Abang tidak bisa berlaku sopan sedikit? Kalau masuk kamar orang itu ketuk pintu. Jangan asal maen selonong aja seperti itu!" protesku kesal."Maaf, Rivani. Abang terlalu khawatir saat asisten rumah tangga kamu mengabari kalau kamu sakit dan dirawat. Tolong jangan marah sama Abang!" Di berjalan mendekat, akan tetapi dengan cepat bersembunyi di belakang tubuh Mas Erlangga, sebab tahu pasti setelah ini dia akan memeluk tubuhku."Silakan keluar dari sini, Bang. Jangan ganggu aku!" usirku."Van?" Mata pria bertato ular naga itu terlihat berkaca-kaca, memindaiku penuh dengan luka."Tolong mengertilah, Bang. Pergi dari sini, ata