"Dek, Sayang!" Tangan kekar pria itu terulur, mengusap lembut pipi ini lalu mengecup puncak kepalaku begitu lama.Aku membuka mata dan melihat dia tengah menghapus air matanya sendiri menggunakan punggung tangan. Tetapi lagi dan lagi bibir ini terkatup, terkunci rapat tanpa bisa aku gerakkan."Sudah malam. Makan dulu, yuk! Apa mau dibawa ke sini dan Mas suapi?"Aku menggeleng pelan, kemudian beranjak dari dudukku, mengayunkan kaki menuju kamar mandi berniat ingin mengambil wudhu supaya hati ini sedikit tenteram. Mungkin dengan cara mendekatkan diri kepada Illahi Rabbi bisa menghapus rasa yang tengah bertahta.Aku harus melawan rasa ini, supaya tetap menjadi wanita tangguh karena ada ketiga anakku yang masih membutuhkan.Menggelar sajadah, bertafakur diri, meminta pengampunan kepada Sang Pemilik alam semesta, memohon ketabahan serta kesabaran. Lagi dan lagi, air mata berlomba-lomba meluncur melewati pipi seolah tidak mau berhe
"Kalau kamu nggak mau pergi aku yang akan pergi!" Berusaha beranjak dari brankar, akan tetapi tubuh ini terasa begitu lemas tidak memiliki tenaga sama sekali."Jangan keras kepala, Dek. Kamu ini sedang mengandung anaknya Mas, dan Mas tidak mau pergi dari kamu. Kita akan hadapi semua bersama. Mas janji akan menjadi suami yang baik buat kamu." Lagi, dia menggengam erat jemariku, lalu mengecupnya sambil menitikkan air mata.Tidak lama kemudian pintu kamar rawatku kembali terbuka. Seorang perempuan beralmamater putih bersama asistennya menghampiri, memeriksa keadaanku serta menanyakan apa yang kurasakan saat ini."Lemes, Dokter. Kepala saya sakit!" jawabku dengan suara pelan, hampir tidak terdengar."Gimana nggak lemes? Orang kata Bapak, ibu sudah dua hari nggak makan. Tolong atur pola makannya ya, Bu. Jangan sampai nggak makan, karena badan Ibu juga sudah kurus sekali. Pun dengan janin yang ada di dalam rahim ibu. Kasian dia kalau sampai kekurangan g
Bang Damian berdiri di ambang pintu seraya mengepalkan tangan di samping tubuh. Aku sungguh benci kali ini melihat pria arogan itu. Aku sadar ini rumahnya marena aku dan suami belum bisa melunasi. Tetapi seharusnya tidak begitu cara dia memperlakukan kami. Kamar adalah ruang pribadi. Harusnya dia terlebih dahulu mengetuk, jangan asal main selonong seperti itu."Apa Abang tidak bisa berlaku sopan sedikit? Kalau masuk kamar orang itu ketuk pintu. Jangan asal maen selonong aja seperti itu!" protesku kesal."Maaf, Rivani. Abang terlalu khawatir saat asisten rumah tangga kamu mengabari kalau kamu sakit dan dirawat. Tolong jangan marah sama Abang!" Di berjalan mendekat, akan tetapi dengan cepat bersembunyi di belakang tubuh Mas Erlangga, sebab tahu pasti setelah ini dia akan memeluk tubuhku."Silakan keluar dari sini, Bang. Jangan ganggu aku!" usirku."Van?" Mata pria bertato ular naga itu terlihat berkaca-kaca, memindaiku penuh dengan luka."Tolong mengertilah, Bang. Pergi dari sini, ata
"Jangan pernah pendam sendiri semua masalah yang ada di hati. Ungkapan, luapkan. Bila perlu berteriak sekencangnya, tepis segala lara yang bertahta. Aku siap menjadi pendengar sejati, juga tempat kamu untuk berbagi!" Jari-jari besar suami mengelus pipi, dan aku menikmati setiap inci sentuhannya yang sudah lama kurindukan.Mas Erlangga maju beberapa langkah, berteriak sekeras-kerasnya lalu aku pun melakukan hal yang sama."Aaaaaaa!" Suara gaungan terdengar samar-samar, seiring angin yang berhembus kencang menerbangkan luka yang meraja.Sang pemilik rahang tegas kembali menggenggam erat jemari ini, merapatkan tubuh semakin mendekat, hampir tanpa sekat."Mas sangat mencintai kamu, Dek," ucap suami pelan, hampir tidak terdengar."Aku tau!" Menjawab singkat."Tolong jangan pernah berpikir untuk berpisah dengan Mas."Aku mengangguk pelan."Janji!" Mas Erlangga menyodorkan kelingking kanannya, dan segera kusambut denga
Suara gemericik air beradu dengan lantai mengusikku dari lelapnya tidur.Pelan-pelan membuka mata, merapatkan selimut hingga ke leher, merasakan dingin luar biasa.Tidak lama kemudian Mas Erlangga keluar dengan hanya mengenakan handuk yang menggantung di pinggang, membuat dada ini kembali berdesir saat melihat perut sixpack miliknya yang sudah lama tidak terekspose di depanku."Sudah bangun?" tanya suami seraya berjalan mendekat."Tadi denger ada orang mandi. Jadi aku bangun!" jawabku sambil terus menatap perut lawan bicaraku."Kenapa? Malu lagi?""Apaan, sih?" Tersenyum malu-malu, sudah merasa kembali seperti pengantin baru. "Sudah sana pake baju. Masih jam satu pagi udah mandi aja, Mas. Memangnya nggak dingin?"Sang pemilik rahang tegas tidak menjawab. Dia lalu melepas handuk yang melilit tubuhnya, melemparkannya ke sembarang tempat dan masuk ke dalam selimut.***Lamat-lamat terdengar sang muadzin mengumandangkan azan subuh. Buru-buru mengambil daster yang tergeletak di atas kursi,
"Kamu selalu memikirkan perasaan orang tapi tidak pernah memikirkan perasaan aku, Mas. Aku tertekan hidup di sana. Di rumah yang masih milik bang Damian. Apa kamu mau lama-lama menjadi gila? Supaya kamu bisa mencari istri lagi yang masih muda, kencang juga cantik!""Jangan pernah berpikir buruk seperti itu. Kamu segalanya buat Mas. Jangan pernah berpikir yang macam-macam, karena itu akan menyakiti hati kamu sendiri. Sudah beribu kali Mas katakan kalau Mas itu sangat mencintai kamu, Dek. Mas menolak untuk tinggal di sini karena Mas tidak tau harus bekerja apa. Memangnya dengan makan cinta kita akan kenyang? Bagaimana dengan anak-anak juga?" Aku menggigit bibir bagian bawah, mencoba mencerna semua ucapan suami."Ya sudah. Kita sarapan. Jangan bengong di sini!" Bibir Mas Erlangga mendarat di pipi kiri. Dia lalu menggandengku ke sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan, lebih tepatnya seperti sebuah pondok kecil yang dipenuhi orang-orang yang tengah men
"Abang ini ngomong apa, sih? Aku ini adiknya Abang. Aku juga sudah punya suami. Abang nggak boleh begini terus sama aku!" ucapku sambil beringsut menjauh dari bang Damian, akan tetapi pria itu terus saja medekat, hingga membuatku tersudut di tembok."Menikahlah dengan Abang, Vani. Dan Abang berjanji akan selalu membahagiakan kamu!" katanya lagi seraya mengusap lembut pipiku, dan merenggut tubuh ini ke dalam pelukannya. "Abang sangat mencintai kamu. Jadilah milikku selamanya, Sayang!" bisiknya kemudian, dan aku berusaha memberontak ketika hidung mancung pria itu menyusuri setiap inci wajah."Lepaskan aku, Bang. Lepas!!"Bang Damian terus saja mendekap erat, tanpa memperdulikan teriakkanku. Dia sudah seperti orang sedang mabuk, tetapi dari mulutnya tidak tercium bau alkohol yang menyengat."Ayo kita pergi dari sini, Sayang. Kita arungi dunia bersama, menyelami Surga cinta, dan aku akan membuat kamu selalu merasa nyaman berada di sisiku!" "
Setelah itu dia kembali membawaku pergi, mengajakku ke sebuah butik untuk memilih baju pengantin."Bang! Aku mohon," pintaku dengan penuh harapan, memohon supaya bang Damian mengerti."Ayo, masuk. Jangan macam-macam sama Abang, atau anak-anak kita akan celaka!" Lagi-lagi dia mengancam.Ya Allah. Aku mohon. Jaga kami semua dari segala marabahaya. Aku sangat yakin bahwa Engkau Maha Pengasih lagi Maha Melindungi.Bang Damian menggandeng tanganku, menggengam erat jemari ini dan mengajakku memilih gaun pengantin yang terpajang di etalase."Mbak, tolong carikan baju pengantin untuk dia!" titah Abang kepada pelayan toko. "Jangan lupa carikan gaun yang paling bagus untuknya, karena saya mau calon pengantinku terlihat cantik nanti.""Siap, Mas. Ayo, Mbak. ikut saya ke dalam!" Aku melangkah ragu mengikuti perempuan berseragam batik tersebut, sementara bang Damian sedang mencoba salah satu pakaian pengantin pria dengan binar baha
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me