"Abang ini ngomong apa, sih? Aku ini adiknya Abang. Aku juga sudah punya suami. Abang nggak boleh begini terus sama aku!" ucapku sambil beringsut menjauh dari bang Damian, akan tetapi pria itu terus saja medekat, hingga membuatku tersudut di tembok.
"Menikahlah dengan Abang, Vani. Dan Abang berjanji akan selalu membahagiakan kamu!" katanya lagi seraya mengusap lembut pipiku, dan merenggut tubuh ini ke dalam pelukannya. "Abang sangat mencintai kamu. Jadilah milikku selamanya, Sayang!" bisiknya kemudian, dan aku berusaha memberontak ketika hidung mancung pria itu menyusuri setiap inci wajah."Lepaskan aku, Bang. Lepas!!"Bang Damian terus saja mendekap erat, tanpa memperdulikan teriakkanku. Dia sudah seperti orang sedang mabuk, tetapi dari mulutnya tidak tercium bau alkohol yang menyengat."Ayo kita pergi dari sini, Sayang. Kita arungi dunia bersama, menyelami Surga cinta, dan aku akan membuat kamu selalu merasa nyaman berada di sisiku!""Setelah itu dia kembali membawaku pergi, mengajakku ke sebuah butik untuk memilih baju pengantin."Bang! Aku mohon," pintaku dengan penuh harapan, memohon supaya bang Damian mengerti."Ayo, masuk. Jangan macam-macam sama Abang, atau anak-anak kita akan celaka!" Lagi-lagi dia mengancam.Ya Allah. Aku mohon. Jaga kami semua dari segala marabahaya. Aku sangat yakin bahwa Engkau Maha Pengasih lagi Maha Melindungi.Bang Damian menggandeng tanganku, menggengam erat jemari ini dan mengajakku memilih gaun pengantin yang terpajang di etalase."Mbak, tolong carikan baju pengantin untuk dia!" titah Abang kepada pelayan toko. "Jangan lupa carikan gaun yang paling bagus untuknya, karena saya mau calon pengantinku terlihat cantik nanti.""Siap, Mas. Ayo, Mbak. ikut saya ke dalam!" Aku melangkah ragu mengikuti perempuan berseragam batik tersebut, sementara bang Damian sedang mencoba salah satu pakaian pengantin pria dengan binar baha
Centang dua biru, dan itu tandanya Mas Erlangga sudah membaca pesan dariku.Tidak lama kemudian ponsel dalam genggaman berdering nyaring. Mas Erlangga memanggil. Aku segera menekan tombol merah, menolak telepon darinya karena itu malah akan membuat Bang Damian curiga.[Jangan telepon, Mas. Tapi buruan datang ke sini. Aku takut.] Kembali mengirimkan pesan kepada suami, juga mengirim foto diriku yang sudah mengenakan pakaian pengantin dan sedang dirias.Dengan dada berdebar menunggu kedatangan ayah dari anak-anakku, meremas jari jemari sendiri, berharap suami datang sebelum Bang Damian membawaku pergi dari tempat ini."Bagaimana? Apa sudah selesai diriasnya?" tanya Bang Damian seraya melongok dari balik pintu."Ih, Koko ganteng. Jangan ngintip, dong. Nanti bintitan. Tenang saja, calon istrinya nggak bakal eyke culik, kok!" Pria berjas pengantin itu mendengus kesal ketika sang pemilik salon menghampiri dan mengusap dadanya sambil mengedipkan mata. Setidaknya perbuatan laki-laki jadi-ja
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menikahkan kalian karena status mempelai perempuannya masih istri orang. Saya tidak mau melanggar hukum serta ketentuan Tuhan!" tolak pendeta seraya menggeleng."Nikahkan kami, atau kamu saya tembak!" ancam pria yang memiliki rahang tegas serta hidung mancung itu, membuat semua orang yang ada berteriak ketakutan.Dor!! Sebuah letusan tembakan peringatan terdengar satu kali. Beberapa orang polisi merangsek masuk, menodongkan senjata kepada Bang Damian, namun, lagi-lagi pria itu menempelkan pucuk senjata miliknya di perutku."Suruh mereka mundur, atau timah panas ini akan bersarang di perut calon istri saya. Saya tidak main-main. Kalau saya tidak bisa memiliki dia, berarti orang lain pun tidak bisa!" Pria di sebelahku tertawa nyaring, membuat diri ini semakin dilanda ketakutan luar biasa.Pak Arjuna, seorang polisi dengan rambut panjang diikat rapi terus saja menodongkan senjata, menatap tajam ke arah kami tanpa
"Abang...!" teriakku histeris, melihat tubuh Bang Damian ambruk di lantai. Segera kedekap erat tubuhnya, mengusap pipinya yang ditumbuhi jambang tipis sambil menepuk-nepuk pipinya pelan karena dia terus saja menutup mata."Aku mencintai kamu, Van!" rintihnya dengan mata setengah terpejam. Dia lalu mengambil tanganku, menggengamnya erat dan meletakkannya di dada."Bangun, Bang. Buka mata Abang. Jangan tinggalkan aku. Aku sayang sama Abang dan nggak mau kehilangan Abang!" ucapku di sela tangisan."Kalau Abang pergi tidak akan ada lagi yang menggangu kamu, Van. Kamu bisa bahagia sama Erlang.""Tapi nggak akan ada lagi yang melindungi aku. Karena selama ini hanya Abang yang selalu melindungi aku. Abang harus bertahan. Demi aku!" Kupeluk erat tubuh kekar itu, mengusap kepalanya. begitu takut kehilangan orang yang selalu ada di saat aku sedang bersedih juga terluka."Abang sayang sama kamu, Van. Abang sayang sama kamu!" bisiknya.
"Bu!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Sari mengetuk pintu kamar. Aku menyuruh perempuan itu masuk dan duduk, menanyakan ada apa dia datang ke bilik."Saya hanya ingin memastikan kalau Ibu baik-baik saja. Bu Rivani itu orang paling baik yang pernah aku temui, jadi aku ikut merasa sedih melihat keadaan Ibu seperti ini," ujarnya seraya menggengam erat jemariku."Terima kasih atas perhatiannya, Sar." Mengulas senyum tipis, menyandarkan punggung di headboard sambil menatap lurus ke depan. "Ibu mau makan apa? Biar saya ambilkan.""Tidak, Sar. Saya tidak lapar.""Kalau begitu minum susu saja, Bu.""Ya sudah. Boleh!"Sari menerbitkan senyuman, mengayunkan kaki keluar dan tidak lama kemudian kembali membawa segelas susu untukku dan lekas kuteguk hingga tandas.Pukul lima sore Mas Erlangga kembali bersama anak-anak, dan mereka langsung menghambur memelukku. Mata pria dengan garis wajah tegas itu berkabut ketika m
"Ada apa, Cik?" tanyaku panik."Cici mohon, Van. Buruan kamu ke sini. Keadaan Abang semakin mengkhawatirkan. Baru saja dia kejang-kejang. Mungkin kalau kamu datang dia akan sembuh, ataupun pergi dengan tenang. Sepertinya dia sedang menunggu kamu, Rivani!" jawab Cik Alin di sela isak tangisnya.Aku menatap wajah Mas Erlangga, kembali meminta izin untuk ke rumah sakit dan kali ini pria dengan garis wajah tegas itu mengangguk mengiyakan.Buru-buru melepas pakaian solat yang masih melekat, mengambil sweater dari dalam lemari dan segera mengenakannya."Mas antar," kata suami dengan intonasi lembut serta mata berembun."Apa tidak merepotkan kamu, Mas?" "Kamu itu tanggung jawab Mas. Ayo!" Dia merentangkan tangan, mentautkan jari jemari kami lalu berjalan beriringan keluar dari kamar."Sar, titip anak-anak. Saya sama Mas Erlang mau ke rumah sakit!" kataku kepada Sari."Iya, Bu. Hati-hati."Mas Erlang segera membuka pintu untukku, menutupnya kembali ketika aku sudah duduk dan mengenakan sabuk
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj