"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menikahkan kalian karena status mempelai perempuannya masih istri orang. Saya tidak mau melanggar hukum serta ketentuan Tuhan!" tolak pendeta seraya menggeleng.
"Nikahkan kami, atau kamu saya tembak!" ancam pria yang memiliki rahang tegas serta hidung mancung itu, membuat semua orang yang ada berteriak ketakutan.Dor!!Sebuah letusan tembakan peringatan terdengar satu kali. Beberapa orang polisi merangsek masuk, menodongkan senjata kepada Bang Damian, namun, lagi-lagi pria itu menempelkan pucuk senjata miliknya di perutku."Suruh mereka mundur, atau timah panas ini akan bersarang di perut calon istri saya. Saya tidak main-main. Kalau saya tidak bisa memiliki dia, berarti orang lain pun tidak bisa!" Pria di sebelahku tertawa nyaring, membuat diri ini semakin dilanda ketakutan luar biasa.Pak Arjuna, seorang polisi dengan rambut panjang diikat rapi terus saja menodongkan senjata, menatap tajam ke arah kami tanpa"Abang...!" teriakku histeris, melihat tubuh Bang Damian ambruk di lantai. Segera kedekap erat tubuhnya, mengusap pipinya yang ditumbuhi jambang tipis sambil menepuk-nepuk pipinya pelan karena dia terus saja menutup mata."Aku mencintai kamu, Van!" rintihnya dengan mata setengah terpejam. Dia lalu mengambil tanganku, menggengamnya erat dan meletakkannya di dada."Bangun, Bang. Buka mata Abang. Jangan tinggalkan aku. Aku sayang sama Abang dan nggak mau kehilangan Abang!" ucapku di sela tangisan."Kalau Abang pergi tidak akan ada lagi yang menggangu kamu, Van. Kamu bisa bahagia sama Erlang.""Tapi nggak akan ada lagi yang melindungi aku. Karena selama ini hanya Abang yang selalu melindungi aku. Abang harus bertahan. Demi aku!" Kupeluk erat tubuh kekar itu, mengusap kepalanya. begitu takut kehilangan orang yang selalu ada di saat aku sedang bersedih juga terluka."Abang sayang sama kamu, Van. Abang sayang sama kamu!" bisiknya.
"Bu!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Sari mengetuk pintu kamar. Aku menyuruh perempuan itu masuk dan duduk, menanyakan ada apa dia datang ke bilik."Saya hanya ingin memastikan kalau Ibu baik-baik saja. Bu Rivani itu orang paling baik yang pernah aku temui, jadi aku ikut merasa sedih melihat keadaan Ibu seperti ini," ujarnya seraya menggengam erat jemariku."Terima kasih atas perhatiannya, Sar." Mengulas senyum tipis, menyandarkan punggung di headboard sambil menatap lurus ke depan. "Ibu mau makan apa? Biar saya ambilkan.""Tidak, Sar. Saya tidak lapar.""Kalau begitu minum susu saja, Bu.""Ya sudah. Boleh!"Sari menerbitkan senyuman, mengayunkan kaki keluar dan tidak lama kemudian kembali membawa segelas susu untukku dan lekas kuteguk hingga tandas.Pukul lima sore Mas Erlangga kembali bersama anak-anak, dan mereka langsung menghambur memelukku. Mata pria dengan garis wajah tegas itu berkabut ketika m
"Ada apa, Cik?" tanyaku panik."Cici mohon, Van. Buruan kamu ke sini. Keadaan Abang semakin mengkhawatirkan. Baru saja dia kejang-kejang. Mungkin kalau kamu datang dia akan sembuh, ataupun pergi dengan tenang. Sepertinya dia sedang menunggu kamu, Rivani!" jawab Cik Alin di sela isak tangisnya.Aku menatap wajah Mas Erlangga, kembali meminta izin untuk ke rumah sakit dan kali ini pria dengan garis wajah tegas itu mengangguk mengiyakan.Buru-buru melepas pakaian solat yang masih melekat, mengambil sweater dari dalam lemari dan segera mengenakannya."Mas antar," kata suami dengan intonasi lembut serta mata berembun."Apa tidak merepotkan kamu, Mas?" "Kamu itu tanggung jawab Mas. Ayo!" Dia merentangkan tangan, mentautkan jari jemari kami lalu berjalan beriringan keluar dari kamar."Sar, titip anak-anak. Saya sama Mas Erlang mau ke rumah sakit!" kataku kepada Sari."Iya, Bu. Hati-hati."Mas Erlang segera membuka pintu untukku, menutupnya kembali ketika aku sudah duduk dan mengenakan sabuk
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi