"Bu!" Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara Sari mengetuk pintu kamar. Aku menyuruh perempuan itu masuk dan duduk, menanyakan ada apa dia datang ke bilik."Saya hanya ingin memastikan kalau Ibu baik-baik saja. Bu Rivani itu orang paling baik yang pernah aku temui, jadi aku ikut merasa sedih melihat keadaan Ibu seperti ini," ujarnya seraya menggengam erat jemariku."Terima kasih atas perhatiannya, Sar." Mengulas senyum tipis, menyandarkan punggung di headboard sambil menatap lurus ke depan."Ibu mau makan apa? Biar saya ambilkan.""Tidak, Sar. Saya tidak lapar.""Kalau begitu minum susu saja, Bu.""Ya sudah. Boleh!"Sari menerbitkan senyuman, mengayunkan kaki keluar dan tidak lama kemudian kembali membawa segelas susu untukku dan lekas kuteguk hingga tandas.Pukul lima sore Mas Erlangga kembali bersama anak-anak, dan mereka langsung menghambur memelukku. Mata pria dengan garis wajah tegas itu berkabut ketika m"Ada apa, Cik?" tanyaku panik."Cici mohon, Van. Buruan kamu ke sini. Keadaan Abang semakin mengkhawatirkan. Baru saja dia kejang-kejang. Mungkin kalau kamu datang dia akan sembuh, ataupun pergi dengan tenang. Sepertinya dia sedang menunggu kamu, Rivani!" jawab Cik Alin di sela isak tangisnya.Aku menatap wajah Mas Erlangga, kembali meminta izin untuk ke rumah sakit dan kali ini pria dengan garis wajah tegas itu mengangguk mengiyakan.Buru-buru melepas pakaian solat yang masih melekat, mengambil sweater dari dalam lemari dan segera mengenakannya."Mas antar," kata suami dengan intonasi lembut serta mata berembun."Apa tidak merepotkan kamu, Mas?" "Kamu itu tanggung jawab Mas. Ayo!" Dia merentangkan tangan, mentautkan jari jemari kami lalu berjalan beriringan keluar dari kamar."Sar, titip anak-anak. Saya sama Mas Erlang mau ke rumah sakit!" kataku kepada Sari."Iya, Bu. Hati-hati."Mas Erlang segera membuka pintu untukku, menutupnya kembali ketika aku sudah duduk dan mengenakan sabuk
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me