Adit kembali memijit. Ia merasa lebih tenang saat ini karena ternyata kliennya suka dengan pelayanannya.
Namun demikian, Adit bertanya-tanya; kenapa wanita itu meliuk-liuk seperti cacing dan juga mengeluarkan suara aneh?
Adit memang polos. Di usianya yang ke 22 tahun itu, dia belum pernah sekali pun nonton film dewasa.
Bukannya ia tak mengerti apa itu terangsang dan apa itu hubungan badan. Tapi sesungguhnya baru kali ini ia melihat secara langsung ada wanita yang sedang merasa seperti itu yang menurutnya sangat ambigu; apakah dia sakit atau apa? Sebab ia sungguh murni hanya memijit.
Adit juga sangat sopan dalam memijit. Ia tak aneh-aneh. Bahkan tak berani benar-benar melihat wanita itu. Ia memijit bagian yang semestinya sopan untuk dipijit.
Hingga kemudian, dua jam berlalu begitu saja. Dua jam adalah waktu standard klinik untuk melayani konsumen dengan pijitan.
“Huff... amazing... aku, sampai dibuat basah sama kamu. Siapa tadi namamu?” tanya wanita itu dengan nafas terengah.
“E—Adit, Nona...” jawab Adit. Ia pun juga tak begitu paham apa maksud wanita itu ketika dia mengatakan amazing; menjadi basah? Berkeringatkah maksudnya?
“Adit, sebentar. Jangan pergi dulu...”
“Ada yang bisa saya bantu lagi, nona?” tanya Adit.
“Nggak. Aku sudah puas. Tapi ada tips untukmu dan kalau aku ke sini lagi, aku mau kamu yang melayaniku ya!” kata wanita itu.
“Dengan senang hati, nona. Syukurlah jika Nona puas,” kata Adit.
Wanita itu mengambil uang 300 ribu dari dalam tasnya, lalu memberikan uang itu kepada Adit.
“Ini tips untukmu. Thanks ya. Sekarang kamu boleh pergi. Aku mau mandi dulu lalu check out!” kata wanita itu.
“Wah, banyak sekali... ini buat saya?”
“Wah, kamu ini beneran anak baru ya?”
“E—iya, nona...”
“Iya. Itu tips untuk kamu!”
“Terimakasih banyak, nona. Terimakasih. Semoga rejekinya lancar terus!” kata Adit. Lalu ia pamit pergi.
Rasanya masih deg-degan. Ia keluar dari kamar itu dan pergi menuju ke ruang istirahatnya para karyawan cowok. Di sana sepi. Yang lain sudah pasti sedang ada klien.
Adit masih terbayang-bayang dengan pekerjaan yang baru saja ia selesaikan itu. Namun kemudian, ia menyadari sesuatu; ia tak bereaksi sama sekali. Tak ada yang sesak dan mengganjal di celananya. Padahal, kadang-kadang benda tumpul itu mengembang juga jika ia melihat ada wanita yang berpenampilan seksi dan ketat.
Dan sebelumnya, ketika ia memijit wanita yang tampak menarik, sesuatu di dalam celananya pun pasti terbangun.
Namun kemudian, ia merasa baik-baik saja. Wajar jika miliknya tak bereaksi, sebab ia pun juga gugup saat memijit kliennya itu, sebab ia berada dalam posisi gawat. Rentan dipecat.
Lima belas menit istirahat untuk meredakan tangannya yang pegal, Bu Celina sang manager datang ke ruangan itu untuk mencarinya.
“Adit!”
“E—iya, ibu Celina...” Adit tersentak kaget.
“Good job! Customer puas. Tadi kamu kasih service apa aja? Berkali-kali dia memujimu!” kata Celina.
Adit lega sekaligus bingung, “Saya hanya pijit biasa seperti sebelumnya, Ibu...”
“Oh ya? Nggak ada service lain gitu?” Ibu Celina menyelidik curiga.
“Servis lain? Maksudnya Ibu?” tanya Adit bingung.
Celina menghela nafas, “Ya sudah. Kamu break aja dulu. Nggak ada jadwal klien lagi sampai nanti lewat makan siang. Jadi kamu lanjut training aja nanti!” kata Ibu Celina.
Tempat itu sebenarnya menawarkan satu layanan terselubung. Namun tidak semua karyawan tahu. Itu pun juga merupakan sesuatu yang dirahasiakan. Hanya pekerja senior yang tahu. Bagi Celina yang menjadi manager sekaligus yang mengatur pula permainan rahasia itu, Adit belum saatnya tahu.
Namun, kecurigaannya pada kemampuan Adit ia harap tepat. Sebab, ia bisa memanfatkan pria itu untuk memaksimalkan layanan terselubung yang paling menguntungkan panti pijatnya itu!
***
Tak ada jatah makan siang dari tempat kerja. Mereka harus mencari makan sendiri di luar atau di kantin untuk karyawan jika malas keluar.
Adit memilih untuk keluar mencari makan yang lebih murah. Meski tadi ia mendapatkan tips yang buatnya banyak, namun ia harus tetap hemat. Nasibnya belum jelas. Ia masih terancam dipecat.
Sampai di lobi, ia bertemu lagi dengan Pak Rudi. Orang itu menatapnya dengan tatapan penuh permusuhan.
Adit pura-pura tidak tahu. Ia kesal sebetulnya, namun tak mau mencari masalah. Bagaimana pun, Pak Rudi adalah supervisor; atasannya. Dia yang memiliki peran mengatur klien akan dilayani siapa. Kecuali klien meminta sendiri siapa yang harus melayaninya.
Banyak terapis, entah perempuan, entah lelaki, yang menghormatinya. Lebih ke arah takut sebetulnya, sebab Pak Rudi ini menentukan nasib mereka. Sekalinya Pak Rudi tidak suka dengan seseorang, dia akan memberikan kesialan bertubi-tubi.
“Hah kamu! Sini!”
“Bapak memanggil saya?” tanya Adit masih sopan.
“Ya!”
Adit mendekat. “Mau kemana kamu?”
“Ini istirahat siang Pak. Saya mau cari makan di luar...”
“Bersihkan gudang! Sekarang! Setelah itu kamu boleh makan siang!”
“Tapi ini jam istirahat, pak...” kata Adit.
“Aku bilang istirahatnya nanti ya nanti!” bentak Pak Rudi. Lalu ia mendekat dan berkata pelan penuh tekanan, “Kamu hanya beruntung hari ini. Lihat saja, kamu bikin masalah lagi denganku, maka kamu akan kehilangan pekerjaan!”
“Baik, Pak...” Adit sungguh kesal. Namun apa boleh buat. Ia menurut saja. Padahal membersihkan gudang jelas bukan bagiannya. Ia paham, Pak Rudi hanya sedang mencari pelampiasan.
Adit membersihkan gudang. Setelah selesai, waktu istirahat hanya tinggal 10 menit. Terpaksa ia ke kantin saja dan membeli roti sekadar untuk mengganjal perut.
Dari kantin itu, Adit agak tergesa menuju ke ruangan pelatihan. Ia tak tahu akan mendapatkan materi apa nantinya. Sebagai orang baru, seminggu sekali ia masih harus mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan performa kerja. Dan hari itu adalah jadwalnya.
Sampai di kelokan koridor, tanpa sengaja, Adit menabrak seseorang sampai jatuh. Ayunda nama orang yang ditabrak Adit. Dia seorang terapis senior. Masih muda. Cantik pula. Tapi dia galak, sombong dan tak mau tersaingi.
“Aduh... sialan! Jalan pakai mata dong!” Ayunda marah.
“Eh, maaf. Aku nggak sengaja. Buru-buru!” kata Adit. Ia cukup terpesona juga dengan kecantikan Ayunda. Siapapun akan terpesona oleh kecantikannya. Dan selama bekerja, Adit hanya berkesempatan sesekali melihat Ayunda dari jauh.
“Brengsek. Aduh sakit! Awas saja kau ini ya!” ketus Ayunda.
Adit mencoba membantu wanita itu. Namun tangannya ditepis dengan kasar. Ayunda ingin bangun sendiri. Namun ia agak terhuyung. Adit segera memasang badan untuk memegangi wanita itu agar dia tak terjatuh.
Telapak tangan Adit bersentuhan dengan kulit Ayunda. Seketika terjadi sebuah reaksi tak wajar di mana saat itu juga Ayunda merasakan sesuatu yang aneh.
Buru-buru Ayunda melepaskan diri dari rengkuhan Adit. Namun aura marah yang tadinya tampak di wajah cantik itu seketika lenyap, berganti rona merah di pipinya. Tanpa mengatakan apa-apa, Ayunda pergi meninggalkan Adit.‘Dia itu kenapa!’ ucap Adit dalam hati. Ia sungguh tak mengerti. Namun ia tak mau terlalu memikirkannya, sebab ia pun buru-buru harus ke ruang pelatihan.Ada lima orang termasuk Adit yang merupakan terapis baru. Adit satu-satunya calon terapis cowok. Lalu empat yang lain adalah terapis cewek. Ada dua trainer, satu cewek dan satu cowok. Keduanya adalah senior yang sudah lama bekerja di tempat itu.“Maaf terlambat!” kata Adit.“Loh, kok kamu ada di sini? Bukannya kata Pak Rudy kamu sudah out ya!” ucap Anton, trainer cowok yang mendapatkan tugas mengajari anak-anak baru itu.“Iya. Tiga hari kamu nggak masuk dan hari ini pun datang setelah istirahat siang!” kata Cindy, si trainer cewek. Adit bertanya-tanya pula, kenapa Cindy juga tahu ia tak masuk kerja.Di titik itu, ia yak
Pak Rudi menunggu di luar ruangan dengan senyum penuh kemenangan. Di sebelahnya ada Anton dan Cindy yang baru saja menyusul karena ingin menyampaikan sesuatu.“Nanti dulu. Aku ingin melihat drama!” kata Pak Rudy. Dia yakin sebentar lagi, Nyonya Nesya akan keluar dengan wajah merah padam dan mengomel seperti biasanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Saat pintu terbuka, yang keluar adalah seorang wanita yang sama sekali berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Nyonya Nesya terlihat begitu rileks, wajahnya berseri-seri, dan langkahnya ringan seolah baru saja kembali dari liburan mewah."Adit!" serunya sambil menepuk bahu pemuda itu dengan akrab. "jangan lupa ya, pokoknya aku hanya mau dipijat olehmu. Pastikan kamu ada setiap kali aku datang, ya?"Pak Rudi hampir terlonjak. Mata Anton dan Cindy terbelalak tak percaya. Mereka saling berpandangan, mencoba mencari penjelasan atas fenomena langka ini. Adit sendiri hanya bisa tersenyum canggung.“Siap Nyonya!” balas Adit.Nyonya Nesya
Petang itu, selepas melewati ujian tak terduga dari Ibu Celina, Adit akhirnya bisa pulang.Jam kerja seharusnya sudah selesai sejak satu jam lalu, tapi karena permintaan sang manajer, ia terpaksa lembur.Dengan tubuh yang masih terasa hangat setelah menyentuh kulit halus atasannya, Adit menghela napas panjang sambil menghidupkan motor bututnya.Mesin tua itu berderu kasar, seolah ikut lelah setelah hari yang terasa panjang.Adit melajukan motornya perlahan melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar, menerangi aspal yang masih terasa hangat sisa matahari siang tadi. Hembusan angin malam yang menerpa wajahnya sedikit mengurangi rasa penat yang menggelayuti tubuhnya.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.Di sebuah tikungan yang agak gelap, tiba-tiba seorang wanita muncul dari arah samping. Terlambat menyadari kehadirannya, Adit hanya sempat menarik rem sekuat tenaga. Motor oleng ke samping. Adit terpental dan menubruk wanita itu. Ia terhempas ke kanan, dan m
Adit bersandar di jok mobil, mencoba mencerna situasi. Cincin itu memang tidak terlihat bentuk fisiknya. Hanya seperti tatto di jari tangan adit. Namun demikian, Adit merasakannya saat merabanya.Dan kini, dekat dengan Larasati, ia tak mengerti kenapa jemarinya itu terasa hangat.Larasati mengemudi dengan ekspresi tegang, matanya sesekali melirik ke kaca spion seakan-akan sedang memastikan sesuatu. Di luar, matahari mulai condong ke barat, lampu-lampu jalanan mulai menyala, menciptakan bayangan panjang di kota yang masih cukup ramai."Kamu bilang ada yang mengejarmu?" Adit akhirnya membuka suara.Larasati menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Ya, dan aku tidak tahu harus lari ke mana lagi."Adit menghela napas. "Tapi kenapa aku? Kenapa kamu tiba-tiba menyeretku ke dalam masalah ini?"Larasati tidak langsung menjawab. Ia membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil yang lebih sepi, lalu mematikan mesin. Di bawah cahaya senja yang mulai meredup, wajahnya tampak sedikit pucat."Karena aku yak
Adit kembali ke tempat kerja dengan perasaan campur aduk. Setelah semua kejadian yang dialaminya bersama Larasati, pikirannya masih penuh tanda tanya.Sentuhan Larasati tadi menciptakan suatu reaksinya aneh; seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Namun, belum sempat ia merenungkan lebih jauh, langkahnya terhenti saat melihat sosok Pak Rudi berdiri di depan pintu klinik dengan tangan terlipat di dada."Akhirnya muncul juga," suara Pak Rudi terdengar tajam, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kamu pikir tempat ini warung kopi yang bisa keluar masuk seenaknya?"Adit menarik napas, menahan kesal. Ia tahu ia salah juga karena yang tadi itu bisa dibilang ia membolos kerja. Namun sikap Pak Rudi sungguh tak menyenangkan. "Saya tadi ada urusan mendadak, Pak."Pak Rudi mendengus. "Urusan? Saya lihat sendiri kamu pergi sama perempuan cantik naik mobil mewah. Enak ya, baru kerja sebentar sudah bisa keluyuran. Jangan-jangan kamu jadi gigolo, ya?"Ucapan itu membuat Adit merasa malu. Tak pe
Dari ruangan Ibu Celina, dan lolos dari Pak Rudi, Adit kembali bekerja seperti biasa. Belum ada klien yang datang. Ia memilih untuk mengobrol bersama terapis lain. Namun sesungguhnya, ia tidak fokus juga diajak mengobrol teman-temannya.Setelah kejadian dengan Larasati dan perdebatan panjang dengan Pak Rudi, ia merasa butuh angin segar sebetulnya. Mengobrol bersama yang lain bisa menjadi sebuah solusi. Namun, entah kenapa, pikirannya masih melayang ke kejadian-kejadian aneh yang dialaminya belakangan ini.Waktu berjalan dan satu demi satu para terapis senior itu sudah mendapatkan klien. Tinggal adit seorang di ruangan itu. Sendirian menunggu. Namun tak lama kemudian, ia mendengar seseorang memanggil namanya."Adit, kamu ada klien baru. Dia minta dipijat oleh terapis pria. Hanya kamu yang kosong kan!" ujar Tia, si resepsionis yang kemarin sore membelanya saat Pak Rudi marah-marah.“E, iya...” Adir segera berdiri. “Ruangan mana?”“Ruang 18,” balas Tia. Ia mendekat dan berkata pelan, “Ya
Adit menatap uang lima lembar seratus ribuan di tangannya. Rasanya masih sulit percaya kalau ia baru saja menerima tip sebesar itu hanya dari satu sesi pijat. Seumur-umur bekerja di tempat ini, belum pernah ada klien yang memberinya uang sebanyak ini sebagai bonus."Kamu layak mendapatkannya," kata Ratna tadi sebelum keluar dari ruangan. "Aku harap kamu tidak keberatan aku mengajakmu makan malam nanti."Adit tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Namun, melihat cara Ratna tersenyum, caranya menggenggam tangannya sesaat sebelum pergi, ia tahu bahwa ajakan itu bukan sekadar basa-basi.Maka, ia pun mengangguk dan menerima ajakan tersebut. Adit sendiri tak tahu kenapa ia tak bisa menolak. Mereka sempat bertukar nomor telepon sebelum Ratna meninggalkan tempat pijat dengan langkah ringan.Ia menyimpan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya yang sudah mulai usang. Lima ratus ribu—jumlah yang sangat berarti bagi Adit yang selama ini hidup pas-pasan. Apalagi ia masih harus membayar cici
Suasana kamar hotel terasa nyaman dengan pencahayaan temaram dari lampu gantung berwarna keemasan. Ruangan itu cukup luas, dengan sofa empuk berwarna krem, meja kaca kecil di tengah, dan ranjang besar di ujung ruangan. Pendingin ruangan menyebarkan hawa sejuk yang kontras dengan kehangatan wine yang mulai mengalir dalam tubuh Adit.Ratna duduk menyilangkan kakinya di sofa, tampak begitu santai, sementara Adit masih duduk kaku di ujung sofa lainnya, menggenggam gelas wine yang belum habis diminumnya. Kepalanya terasa sedikit ringan, tetapi kesadarannya masih cukup terjaga. Ia belum terbiasa dengan minuman keras, berbeda dengan Ratna yang tampak begitu terbiasa menenggaknya.“Sudah kubilang, minumlah pelan-pelan.” Ratna tersenyum, matanya sedikit menyipit, entah karena efek alkohol atau sesuatu yang lain.Adit tersenyum kecil. “Aku memang nggak biasa minum, Mbak... baru kali ini malah.”“Bagus, berarti kamu masih polos.” Ratna tertawa kecil, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Adit. Wangi
Renata menutup pintu kamar makan dengan pelan. Ia berjalan ke arah tangga, lalu menaikinya perlahan, langkah demi langkah. Hatinya masih penuh rasa jengkel, namun pikirannya sudah menyusun strategi. Begitu sampai di lantai atas, ia langsung menuju kamar Adit dan mengetuk dua kali, cepat dan tegas.Pintu terbuka tak lama kemudian.Adit, yang masih mengenakan kaus rumah dan celana pendek, memandangnya heran. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”Renata menatapnya sebentar, lalu berkata singkat, “Siapkan dirimu. Kita akan keluar siang ini. Pakai kemeja dan jaket. Aku mau kamu ikut.”Adit mengangguk pelan. “Baik, Bu… Kita mau pergi ke mana?”“Nanti kamu juga tahu!” potong Renata cepat. “Yang jelas kita akan mengurusi sesuatu yang penting. Dan aku butuh kamu di sana.”Nada suaranya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu, sebuah kecemasan samar, yang tak biasa terlihat dari sosok Renata. Ia kemudian berbalik dan berjalan ke kamarnya tanpa menunggu jawaban lebih lanjut.Adit menutup pintu kembali,
Cahaya pagi merayap pelan dari balik tirai tipis jendela kamar, menerpa kulit putih Renata yang masih terlentang di atas ranjang king size miliknya. Selimut tipis melingkari pinggulnya, menampakkan sebagian besar tubuh yang hanya dibalut pakaian dalam renda berwarna hitam keemasan.Ia menggeliat perlahan, menarik napas panjang dan membuka matanya. Tak seperti biasanya, pagi ini terasa… aneh. Tapi bukan aneh yang buruk. Justru sebaliknya.Ada sensasi hangat yang masih tersisa di tubuhnya. Bekas sentuhan Adit masih terasa samar di kulitnya. Jemari laki-laki muda itu, yang semalam menari begitu lihai di atas tubuhnya, telah membuatnya terlelap dalam kelelahan dan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun menjadi istri Darmawan yang tua itu.Renata menatap langit-langit kamar, tersenyum tipis.“Anak itu… bisa bikin perempuan lupa usia,” gumamnya.Ada denyut halus dalam dada yang tidak biasa. Ia terbiasa mengendalikan, memegang kendali penuh atas segala urusan, termasuk
Adit mengerutkan dahinya. Bukannya ia tak tahu apa maksud Renata. Tapi ia sungguh bingung harus merespon bagaimana.“E... saya... harus bagaimana, Bu...”“Hihihi, kau sungguh anak yang polos. Kamu pernah menyentuh perempuan?” tanya Renata.“Ya... ini, memijit Bu Renata. Dan memijit klien...” kata Adit.“Hahaha! Bukan itu maksudku. Apakah kamu pernah berhubungan badan dengan wanita?”“E—T-tidak... bu... tidak pernah...” kata Adit gugup.“Pacaran?”“Belum pernah pacaran juga...”“Astaga...”“Maaf Bu...”“Kenapa minta maaf?”“Ya... itu...”“Ya sudah. Tak usah gugup. Ayo kita lanjutkan lagi. Aku ingin kamu memijit dari belakang, dengan posisi duduk. Apakah kamu pernah mendapatkan training dengan posisi yang aku katakan?” tanya Renata.“Belum... hanya memijit seperti biasanya...”“Baiklah, aku akan mengajarimu memijit yang lebih intim dengan klien. Ini yang dilakukan para senior khusus di klinik atas permintaan tertentu dari klien. Sekarang, aku akan duduk dan kamu ada di belakangku, memij
Langkah kaki Adit dan Bayu terdengar mantap saat mereka menaiki anak tangga menuju lantai utama klub. Di belakang mereka, suasana basement seolah masih bergema oleh umpatan kasar Aldino yang akhirnya menyerah setelah merasa tak berdaya.Tapi tugas mereka selesai anak pejabat itu akhirnya pergi dengan mobil mewahnya, melaju dengan cepat meninggalkan basement.Adit dan Bayu tak tahu apakah Aldino nanti bisa pulang dengan selamat atau tidak dalam kondisinya yang seperti itu.Di ruang VIP, Renata masih duduk anggun di sofa panjang. Sebatang rokok baru mengepul di antara jari-jarinya. Matanya menatap layar monitor CCTV di meja, memperhatikan seluruh sudut ruangan. Saat mendengar pintu dibuka, ia menoleh dan menyambut keduanya dengan anggukan ringan.“Sudah beres?” tanyanya singkat.Bayu yang menjawab lebih dulu. “Sudah, Bu. Dia pergi. Tapi sebelum naik mobil, dia sempat melotot dan bilang dia nggak bakal lupa kejadian malam ini.”Renata mendengus kecil, lalu mematikan rokoknya di asbak kri
Malam sudah larut ketika mobil hitam itu berhenti di area parkir basement klub. Gemuruh musik bass yang berat terdengar menggema dari balik dinding beton. Lampu-lampu neon di dalam klub menari liar, menyiramkan warna merah dan ungu di sepanjang lorong.Club itu hanyalah sebuah kedok belaka. Ada kasino tersembunyi di sana. Dan juga, tempat orang bertransaksi barang haram atau mencari hiburan-hiburan terselubung lainnya.Renata turun lebih dulu, mengenakan setelan blazer hitam berpotongan tajam, dipadu celana panjang berpinggang tinggi. Sepatunya berhak tipis namun tegas. Wajahnya tanpa senyum, kacamata hitam masih bertengger meski malam begitu pekat.Di belakangnya, Bayu menyusul dengan tatapan penuh waspada, dan Adit pun demikian adanya. Ia masih terbawa suasana tegang sekaligus penasaran sebab itu kali pertama Adit masuk ke salah satu tempat misterius milik Renata. Klub malam eksklusif yang hanya dikunjungi oleh siapa saja yang telah terdaftar sebagai member. Tanpa itu, orang tak bis
Kini Renata sudah berada di mobil dengan Adit ada di sebelahnya.“Jadi secara keseluruhan, menurutmu tempat itu tadi bagaimana?” tanya Renata kepada Adit.“Bangunan itu, menurut saya sudah bobrok, Bu. Sebelumnya, saya juga sudah pernah menjadi kuli bangunan. Jika Bu Renata membeli tempat itu, biaya renovasinya sangat besar. Dan lagi, orang itu tadi tak mengatakan apa-apa dengan jujur. Jika tempat itu menguntungkan, dia tak akan menjualnya dengan harga yang murah...” kata Adit.“Kamu benar. Setelah dicek, memang tidak sama dengan yang difoto. Ya sudah. Lupakan saja soal tempat spa yang tadi. Sekarang pulang saja!” kata Renata.Bayu menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali ia melihat ke arah spion. Ia menilai, Adit memang bukan lelaki yang aneh-aneh yang ingin memanfaatkan Renata. Atau mungkin belum? Yang jelas, Bayu diam-diam masih memantau. Ia hanya ingin Renata baik-baik saja.“Jadi kamu dulu pernah kerja jadi tukang bangunan?” tanya Renata.“Pernah Bu. Saya kan lulus SMA
“PAK RUDI!!! MANA PAK RUDI?! KELUAR KAU!!!”Suara Bu Nesya menggelegar di lantai satu itu. Dia tahu nama Rudi sebab dia pelanggan lama dan sudah sering komplain. Apalagi, di seragam Pak Rudi tertera namanya, juga jabatannya.Beberapa staf yang lewat menoleh panik. Dedi hanya bisa berdiri pucat di ambang pintu.Tak lama, Pak Rudy muncul dari balik lorong dengan ekspresi terkejut, tapi mencoba tetap tenang.“Bu Nesya, ada apa? Kenapa berteriak—”“JANGAN BERLAGAK BODOH, RUDI!”Suara teriakan itu menggema keras, cukup untuk membuat para staf lainnya diam membeku. Suara itu bahkan terdengar jelas melewati dinding kaca dan masuk ke ruangan manajer di lantai atas, tempat Ibu Celina sedang menyeduh teh.“KAU KIRA AKU TAK BISA BEDAKAN SIAPA YANG MEMIJAT TUBUHKU?! KAU KIRIM ORANG LAIN YANG MENYAMAR JADI ADIT?! KAU KIRA AKU MAIN-MAIN DATANG KE SINI?!!”Pak Rudy mengangkat kedua tangan, mencoba meredakan. “Bu, tolong tenang dulu... Saya hanya…”“TENANG?!! KAU TIPU AKU LALU MEMINTA AKU TENANG?!!!”
Adit kembali ke kamar dan merenung lagi. Ada kelegaan setelah ia memastikan bisa mengendalikan kekuatan aneh di telapak tangannya, dan tadi ia mencobanya sekali lagi untuk menyentuh Dina tanpa intensi tertentu. Wanita itu baik-baik saja.Ya, Adit tahu, ia masih harus mengujinya lagi untuk memastikannya. Hanya satu yang tinggal menjadi keresahannya; kenapa bagian tubuh penting miliknya itu tak mau bangun? Ia memikirkan Renata yang menggeliat puas dan tampak menggoda itu, tangannya usil menelusup ke celananya sendiri, dan tak terjadi reaksi apapunDemi apa, sebagai lelaki, Adit cukup frustasi. Dengan itu, ia kehilangan kepercayaan dirinya. Adit mengambil ponselnya dan mencoba mencari penyebab impotensi dan bagaimana cara menanganinya. Hingga akhirnya, ia menyerah juga. Percuma. Tak ada gejala yang sama seperti yang dijelaskan di refrensi yang ia temukan di ponsel. Semua informasi pada akhirnya merujuk ke satu poin; harus ke dokter.‘Apakah aku harus ke dokter? Tapi ini memalukan!’ ucap
Mobil meluncur mulus memasuki pelataran rumah Renata yang besar dan sunyi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalur batu yang mengarah ke garasi. Setelah kejadian menegangkan tadi itu, suasana kini terasa tenang, tapi di balik ketenangan itu, masih ada denyut ketegangan yang belum sepenuhnya hilang.Renata melangkah cepat ke dalam rumah tanpa banyak bicara. Ia langsung menuju ruang kerjanya, membawa tas dan dokumen, lalu menutup pintu. Adit hanya menatap punggung wanita itu sejenak sebelum menghela napas dan berbalik naik ke lantai dua.Setibanya di kamarnya, Adit langsung menanggalkan kemeja dan celana panjangnya, menggantinya dengan kaos oblong dan celana pendek. Badannya lelah, pikirannya pun masih sibuk memutar ulang adegan perkelahian tadi, bagaimana ia bisa dengan cepat mengatasi tiga pria dewasa. Ia sendiri heran, seolah tubuhnya tahu harus bergerak bagaimana. Mungkin karena latihan di masa kecil. Mungkin karena adrenalin. Atau… mungkin