Pak Rudi menunggu di luar ruangan dengan senyum penuh kemenangan. Di sebelahnya ada Anton dan Cindy yang baru saja menyusul karena ingin menyampaikan sesuatu.
“Nanti dulu. Aku ingin melihat drama!” kata Pak Rudy. Dia yakin sebentar lagi, Nyonya Nesya akan keluar dengan wajah merah padam dan mengomel seperti biasanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Saat pintu terbuka, yang keluar adalah seorang wanita yang sama sekali berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Nyonya Nesya terlihat begitu rileks, wajahnya berseri-seri, dan langkahnya ringan seolah baru saja kembali dari liburan mewah.
"Adit!" serunya sambil menepuk bahu pemuda itu dengan akrab. "jangan lupa ya, pokoknya aku hanya mau dipijat olehmu. Pastikan kamu ada setiap kali aku datang, ya?"
Pak Rudi hampir terlonjak. Mata Anton dan Cindy terbelalak tak percaya. Mereka saling berpandangan, mencoba mencari penjelasan atas fenomena langka ini. Adit sendiri hanya bisa tersenyum canggung.
“Siap Nyonya!” balas Adit.
Nyonya Nesya diam sejenak, lalu ia Kembali mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Adit. "Ini aku tambahkan lagi untukmu. Hari ini aku sangat senang. Kamu pantas mendapatkannya. Sampai jumpa!"
“Terimakasih banyak, Nyonya. Anda sungguh murah hati. Semoga lancar terus rejekinya!” kata Adit.
Nyonya Nesya berjalan pergi dengan langkah ringan, meninggalkan keheningan di belakangnya.
Pak Rudi menggertakkan giginya. Rencananya untuk menyingkirkan Adit gagal total. Namun, seseorang lain justru lebih tertarik dengan kejadian ini; seorang wanita yang sejak tadi mengamati dari jauh dengan penuh rasa penasaran. Dia tak lain adalah sang manager.
Hari sudah sore. Jam kerja Adit habis meski tempat itu masih buka. Ia shift pagi sampai sore. Jadi kini ia hedak pulang. Ia melihat Pak Rudy sebetulnya. Namun ia memilih untuk tak mendekati lelaki itu, dan langsung saja ke ruangan ganti karyawan, membuka loker dan mengambil barang-barangnya.
Sementara itu, di dalam kantornya, Ibu Celina mengamati kejadian tadi dengan kening berkerut. Ia sudah bekerja di industri ini bertahun-tahun dan sudah melihat berbagai macam klien. Tapi ini? Ini adalah pertama kalinya dia melihat perubahan drastis dari seorang pelanggan yang dikenal paling sulit dipuaskan.
Ia menekan interkom. "Panggil Adit ke kantorku."
Adit yang saat itu hendak pulang segera dipanggil oleh staf di depan. “Jangan pulang dulu, barusan Ibu Celina mencarimu. Langsung saja datang ke ruangannya!”
“Oke…” balas Adit.
Tak lama kemudian, pintu diketuk. "Permisi, Bu. Anda memanggil saya?"
"Masuk, Adit. Duduklah."
Adit duduk dengan canggung, sementara wanita itu menatapnya tajam. "Aku ingin tahu," katanya, jari-jarinya mengetuk meja, "apa yang kamu lakukan hingga Nyonya Nesya keluar dari ruangan dengan ekspresi seperti itu?"
Adit menelan ludah. "Saya... hanya memijat seperti biasa, Bu."
"Seperti biasa?" Mata Celina menyipit. "Dengar, aku sudah bekerja di industri ini bertahun-tahun. Aku tahu perbedaan antara pijatan biasa dan sesuatu yang... lebih. Jadi, katakan padaku, teknik apa yang kamu gunakan?"
Adit benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dia bahkan sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi. "Saya tidak tahu, Bu. Saya hanya mengikuti prosedur."
Celina menyandarkan punggungnya ke kursi. Sejenak ia berpikir, lalu tiba-tiba tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu. Aku ingin memastikan sendiri. Pijat aku."
Adit terkejut. "Bu... Anda ingin saya memijat Anda?"
"Ya. Anggap saja ini sebagai ujian terakhirmu sebelum aku benar-benar memutuskan apakah kamu layak dipertahankan di sini atau tidak. Kamu berani?"
Adit menatapnya, lalu mengangguk. "Baik, Bu."
Mereka berpindah ke ruangan terapi khusus yang lebih privat. Ibu Celina melepas blazer yang dikenakannya, menyisakan pakaian dalam yang cukup sopan namun tetap menggoda. Ia berbaring tengkurap di atas meja pijat, sementara Adit menyiapkan minyak terapi.
"Kamu bisa mulai," katanya santai.
Adit menuangkan minyak ke tangannya, lalu mulai memijat punggung Ibu Celina dengan lembut. Baru beberapa detik berlalu, Aditya sudah bisa merasakan perubahan dari wanita itu. Otot-ototnya yang awalnya tegang mulai melunak. Napasnya, yang tadinya teratur, kini sedikit lebih berat.
Adit berusaha tetap profesional, tetapi ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tubuh manajernya mulai menunjukkan reaksi yang sama seperti klien sebelumnya. Wanita itu menggeliat tipis, dan hembusan napasnya semakin terdengar.
"Hmmm..." suara lirih lolos dari bibirnya, membuat Adit semakin yakin bahwa ini bukan pijatan biasa.
Sementara itu, di luar ruangan, Pak Rudi yang mendengar perintah Ibu Celina sebelumnya hanya bisa mengepalkan tangan dengan penuh kekesalan. "Apa-apaan ini?! Kenapa malah jadi begini?!"
Setelah hampir satu jam berlalu, pijatan itu selesai. Ibu Celina masih terdiam di tempatnya, matanya terpejam seolah sedang menikmati efek yang baru saja ia rasakan.
Adit mundur selangkah. "Selesai, Bu. Apa Anda merasa lebih baik?"
Perlahan, Celina membuka matanya. Ia menatap Aditya dengan pandangan yang berbeda; bukan lagi hanya sekadar seorang manajer yang menilai karyawannya, tapi ada sesuatu yang lebih dari itu.
"Adit..." katanya dengan suara lebih lembut dari biasanya. "Aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi... kamu spesial."
Adit hanya diam, menunggu kelanjutan dari kata-katanya.
Celina menarik napas dalam, lalu bangkit dari meja. Ia mengenakan kembali blazernya dan merapikan rambutnya. "Kamu lulus ujian ini. Dan mulai sekarang... aku ingin kamu tetap bekerja di sini. Tidak usah lagi ikut training mingguan. Aku akan menghubungi HRD dan merubah statusmu di sini! Kamu sudah setara terapis senior. Gajimu harus disesuaikan"
Adit mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya akan bekerja sebaik mungkin."
Saat ia keluar dari ruangan itu, Ibu Celina masih berdiri di tempatnya, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia meraba tengkuknya yang masih terasa hangat.
"Apa sebenarnya yang dimiliki anak itu...?" gumamnya lirih, senyum tipis terukir di bibirnya.
Di luar, Pak Rudi mendekati Adit dengan wajah muram. "Kamu pikir kamu bisa bertahan di sini selamanya?" bisiknya geram.
Adit hanya tersenyum. "Saya hanya melakukan pekerjaan saya, Pak."
Pak Rudi menggertakkan giginya. Ia tahu, rencananya telah gagal lagi. Tapi ini belum berakhir.
Sementara itu, di dalam kantornya, Ibu Celina masih belum bisa melupakan apa yang baru saja terjadi. Kini, ada satu pertanyaan besar di pikirannya:
Siapa sebenarnya Aditya Wijaya?
Petang itu, selepas melewati ujian tak terduga dari Ibu Celina, Adit akhirnya bisa pulang.Jam kerja seharusnya sudah selesai sejak satu jam lalu, tapi karena permintaan sang manajer, ia terpaksa lembur.Dengan tubuh yang masih terasa hangat setelah menyentuh kulit halus atasannya, Adit menghela napas panjang sambil menghidupkan motor bututnya.Mesin tua itu berderu kasar, seolah ikut lelah setelah hari yang terasa panjang.Adit melajukan motornya perlahan melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar, menerangi aspal yang masih terasa hangat sisa matahari siang tadi. Hembusan angin malam yang menerpa wajahnya sedikit mengurangi rasa penat yang menggelayuti tubuhnya.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.Di sebuah tikungan yang agak gelap, tiba-tiba seorang wanita muncul dari arah samping. Terlambat menyadari kehadirannya, Adit hanya sempat menarik rem sekuat tenaga. Motor oleng ke samping. Adit terpental dan menubruk wanita itu. Ia terhempas ke kanan, dan m
Adit bersandar di jok mobil, mencoba mencerna situasi. Cincin itu memang tidak terlihat bentuk fisiknya. Hanya seperti tatto di jari tangan adit. Namun demikian, Adit merasakannya saat merabanya.Dan kini, dekat dengan Larasati, ia tak mengerti kenapa jemarinya itu terasa hangat.Larasati mengemudi dengan ekspresi tegang, matanya sesekali melirik ke kaca spion seakan-akan sedang memastikan sesuatu. Di luar, matahari mulai condong ke barat, lampu-lampu jalanan mulai menyala, menciptakan bayangan panjang di kota yang masih cukup ramai."Kamu bilang ada yang mengejarmu?" Adit akhirnya membuka suara.Larasati menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Ya, dan aku tidak tahu harus lari ke mana lagi."Adit menghela napas. "Tapi kenapa aku? Kenapa kamu tiba-tiba menyeretku ke dalam masalah ini?"Larasati tidak langsung menjawab. Ia membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil yang lebih sepi, lalu mematikan mesin. Di bawah cahaya senja yang mulai meredup, wajahnya tampak sedikit pucat."Karena aku yak
Adit kembali ke tempat kerja dengan perasaan campur aduk. Setelah semua kejadian yang dialaminya bersama Larasati, pikirannya masih penuh tanda tanya.Sentuhan Larasati tadi menciptakan suatu reaksinya aneh; seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Namun, belum sempat ia merenungkan lebih jauh, langkahnya terhenti saat melihat sosok Pak Rudi berdiri di depan pintu klinik dengan tangan terlipat di dada."Akhirnya muncul juga," suara Pak Rudi terdengar tajam, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kamu pikir tempat ini warung kopi yang bisa keluar masuk seenaknya?"Adit menarik napas, menahan kesal. Ia tahu ia salah juga karena yang tadi itu bisa dibilang ia membolos kerja. Namun sikap Pak Rudi sungguh tak menyenangkan. "Saya tadi ada urusan mendadak, Pak."Pak Rudi mendengus. "Urusan? Saya lihat sendiri kamu pergi sama perempuan cantik naik mobil mewah. Enak ya, baru kerja sebentar sudah bisa keluyuran. Jangan-jangan kamu jadi gigolo, ya?"Ucapan itu membuat Adit merasa malu. Tak pe
Dari ruangan Ibu Celina, dan lolos dari Pak Rudi, Adit kembali bekerja seperti biasa. Belum ada klien yang datang. Ia memilih untuk mengobrol bersama terapis lain. Namun sesungguhnya, ia tidak fokus juga diajak mengobrol teman-temannya.Setelah kejadian dengan Larasati dan perdebatan panjang dengan Pak Rudi, ia merasa butuh angin segar sebetulnya. Mengobrol bersama yang lain bisa menjadi sebuah solusi. Namun, entah kenapa, pikirannya masih melayang ke kejadian-kejadian aneh yang dialaminya belakangan ini.Waktu berjalan dan satu demi satu para terapis senior itu sudah mendapatkan klien. Tinggal adit seorang di ruangan itu. Sendirian menunggu. Namun tak lama kemudian, ia mendengar seseorang memanggil namanya."Adit, kamu ada klien baru. Dia minta dipijat oleh terapis pria. Hanya kamu yang kosong kan!" ujar Tia, si resepsionis yang kemarin sore membelanya saat Pak Rudi marah-marah.“E, iya...” Adir segera berdiri. “Ruangan mana?”“Ruang 18,” balas Tia. Ia mendekat dan berkata pelan, “Ya
Adit menatap uang lima lembar seratus ribuan di tangannya. Rasanya masih sulit percaya kalau ia baru saja menerima tip sebesar itu hanya dari satu sesi pijat. Seumur-umur bekerja di tempat ini, belum pernah ada klien yang memberinya uang sebanyak ini sebagai bonus."Kamu layak mendapatkannya," kata Ratna tadi sebelum keluar dari ruangan. "Aku harap kamu tidak keberatan aku mengajakmu makan malam nanti."Adit tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Namun, melihat cara Ratna tersenyum, caranya menggenggam tangannya sesaat sebelum pergi, ia tahu bahwa ajakan itu bukan sekadar basa-basi.Maka, ia pun mengangguk dan menerima ajakan tersebut. Adit sendiri tak tahu kenapa ia tak bisa menolak. Mereka sempat bertukar nomor telepon sebelum Ratna meninggalkan tempat pijat dengan langkah ringan.Ia menyimpan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya yang sudah mulai usang. Lima ratus ribu—jumlah yang sangat berarti bagi Adit yang selama ini hidup pas-pasan. Apalagi ia masih harus membayar cici
Suasana kamar hotel terasa nyaman dengan pencahayaan temaram dari lampu gantung berwarna keemasan. Ruangan itu cukup luas, dengan sofa empuk berwarna krem, meja kaca kecil di tengah, dan ranjang besar di ujung ruangan. Pendingin ruangan menyebarkan hawa sejuk yang kontras dengan kehangatan wine yang mulai mengalir dalam tubuh Adit.Ratna duduk menyilangkan kakinya di sofa, tampak begitu santai, sementara Adit masih duduk kaku di ujung sofa lainnya, menggenggam gelas wine yang belum habis diminumnya. Kepalanya terasa sedikit ringan, tetapi kesadarannya masih cukup terjaga. Ia belum terbiasa dengan minuman keras, berbeda dengan Ratna yang tampak begitu terbiasa menenggaknya.“Sudah kubilang, minumlah pelan-pelan.” Ratna tersenyum, matanya sedikit menyipit, entah karena efek alkohol atau sesuatu yang lain.Adit tersenyum kecil. “Aku memang nggak biasa minum, Mbak... baru kali ini malah.”“Bagus, berarti kamu masih polos.” Ratna tertawa kecil, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Adit. Wangi
Udara malam terasa dingin saat Adit mengendarai motornya meninggalkan hotel. Tubuhnya masih terasa ringan akibat pengaruh wine, dan pikirannya melayang ke kejadian tadi. Ratna, godaan-godaan yang nyaris menggoyahkannya, dan kejadian aneh yang baru saja ia alami. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, tetapi ia belum bisa memahami kenapa hal itu bisa terjadi.‘Apa iya ini gara-gara minuman? Ituku tak bisa berdiri. Padahal... aku pun tergoda...’ ucap Adit dalam hati.Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah setelah gerimis sore tadi. Adit berusaha menjaga keseimbangan, tapi matanya terasa berat. Sesekali, ia menggelengkan kepala untuk mengusir rasa kantuk dan efek alkohol yang masih menguasainya. Kadang motornya sedikit oleng.Tiba-tiba, suara raungan knalpot pecah di udara. Sekelompok motor melaju kencang dari belakang, menyalip kendaraan-kendaraan lain dengan ugal-ugalan. Adit refleks menoleh ke kaca spion. Sebuah geng motor dengan jaket kulit hitam dan logo tengkora
Adit menyadari bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan tangannya. Sejak insiden-insiden sebelumnya, ia tak ingin sembarangan menyentuh orang. Karena itu, ke mana pun ia pergi, kini ia selalu mengenakan sarung tangan. Ia hanya akan melepasnya untuk keperluan tertentu, terutama saat memijat kliennya.Hari itu, di tempat kerja, suasana terasa lengang baginya. Seperti sebelumnya, Pak Rudi sengaja tak mengoperkan klien untuknya. Waktu terasa berjalan lambat, dan Adit hanya bisa duduk menunggu tanpa kepastian.Ketika jam makan siang tiba, Adit bangkit dari kursinya, bermaksud mencari makan di luar. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Tia, yang bekerja sebagai penerima tamu di bagian depan, menemui dan tersenyum ke arahnya."Adit, kamu mau makan siang bareng nggak? Aku juga lagi mau keluar cari makan," kata Tia sambil menepuk ringan lengan Adit.Adit menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Boleh. Kita makan di mana?""Ada warung enak di dekat sini. Nggak jauh kok, jalan kaki juga bisa,
Adit berdiri di tepi jalan, menatap layar ponselnya, hendak memesan ojek baru. Ia menghela napas panjang. Sial juga, baru separuh perjalanan dan kini ia harus keluar uang lagi untuk sampai ke rumah. Tapi sebelum sempat menekan tombol pemesanan, suara deru mesin mobil menarik perhatiannya.Sebuah mobil merah cerah melambat dan berhenti tepat di depannya. Adit mengerutkan kening, merasa tak asing dengan kendaraan itu. Benar saja, saat jendela sisi pengemudi terbuka, wajah Ratna muncul dengan senyum lebar."Lho, Adit? Kok bisa di sini?" sapa Ratna dengan nada riang.Adit mendekat ke jendela, masih sedikit terkejut. "Eh, Kak Ratna? Kebetulan sekali. Aku baru mau pesan ojek."Ratna tertawa kecil. "Kebetulan apanya? Jangan-jangan ini takdir? Mau ke mana malam-malam begini?""Pulang, Kak. Tadi ada urusan sedikit." Adit menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Hmm... kalau begitu, ikut aku saja. Aku juga lagi cari teman makan malam. Kamu lapar, kan?"Adit menatap Ratna sejenak, lalu melirik per
Adit berjalan santai ke luar klinik setelah jam kerja berakhir. Hari itu cukup melelahkan, lebih tepatnya lelah di pikiran sebab ia tak mendapatkan klien selama seharian itu.Tetapi ia tetap merasa tenang. Ia hanya tak mendapatkan tips mungkin. Atau bonus yang hanya diperoleh dari banyaknya klien yang ia tangani. Namun tetap mendapatkan gaji tetap.Di titik itu, sebetulnya Ranu kepikiran saran Larasati; pindah tempat kerja, menjadi terapis di klinik lain. Namun ia tak mau menyerah begitu saja. Lagipula, ia belum lama bekerja. Jika tiba-tiba keluar, pengalaman kerjanya di tempat itu masih belum cukup valid untuk digunakan melamar di tempat lain.Di dekat pintu keluar, Tia sudah berdiri dengan senyum cerahnya."Adit! Pulang bareng, yuk?" sapanya riang.Adit tersenyum tipis. "Aku naik ojek, motorku masih di bengkel. Tadi pagi aku tinggal gitu aja!""Oh iya, aku lupa. Ya sudah, ayo kita pesan ojol aja!” kata Tia.“Kamu kenapa nggak bawa motor sendiri, Tia? Kayaknya sebelum ini kamu bawa m
Iwan masih duduk di meja bersama Anton dan Cindy, sesekali menyeruput es teh manisnya sambil melontarkan keluhan tentang Adit. Ia masih kesal karena Tia menolak tawarannya untuk diantar pulang kemarin sore."Gue nggak ngerti, kenapa Tia lebih milih Adit daripada gue?" Iwan menggerutu, mengaduk es teh di depannya dengan kasar.Anton terkekeh. "Bro, lo terlalu serius. Siapa tahu dia cuma kasihan sama Adit.""Iya, kan. Aku juga mikir gitu. Tia itu ramah dan baik orangnya. Apalagi Adit selalu ditindas Pak Rudi! Semua juga tahu soal itu. Dan nggak ada yang mau dekat dengan Adit karena takut sama Pak Rudy!” tambah Cindy, setengah bercanda. "Mungkin dia cuma baik doang."Iwan mendengus. "Kasihan gimana? Jelas-jelas beda! Kalau cuma kasihan, kenapa dia nolak gue buat anterin pulang? Nggak masuk akal, kan?"Namun, sebelum ada yang sempat menjawab, terdengar suara yang tidak asing.Iwan menoleh, dan seketika wajahnya menegang. Tia masuk bersama Adit. Mereka terlihat akrab, berbincang ringan sam
Adit melangkah masuk ke dalam kafe, matanya langsung menangkap sosok Larasati yang duduk di dekat jendela besar. Wanita itu tampak santai dengan secangkir kopi di hadapannya, mengenakan blouse putih dengan rambut panjangnya yang tergerai. Begitu melihat Adit, ia tersenyum dan melambaikan tangan."Akhirnya datang juga," ujar Larasati saat Adit duduk di depannya."Macet, maaf kalau lama." Adit tersenyum ringan, meletakkan ponselnya di meja."Santai saja. Aku juga baru beberapa menit di sini. Mau pesan apa?" tanya Larasati sambil menyodorkan menu.Adit melihat sekilas daftar menu, lalu memutuskan, "Kopi hitam saja."Larasati mengangguk dan memanggil pelayan untuk memesan minuman Adit. Setelah itu, ia menatap lelaki itu dengan tatapan jahil. "Jadi, gimana kabarnya terapis muda kita? Ada cerita seru di tempat kerja?"Adit terkekeh. "Ada, tapi kebanyakan cerita sial. Motorku mogok tadi pagi, terus di tempat kerja juga dipersulit."“Dipersulit? Sama atasan?”“Ya. Supervisorku itu, sejak awal
Ia meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur, lalu membaringkan diri. Otaknya masih sibuk memikirkan banyak hal.Setelah beberapa menit menunggu, Adit melihat layar ponselnya menyala. Sebuah pesan dari Larasati muncul.Larasati: Adit? Tumben chat aku. Ada apa?Adit tersenyum kecil, lalu mengetik balasan.Adit: Nggak apa-apa. Pengen tanya kabar aja.Tak lama kemudian, layar ponselnya kembali menyala, tetapi kali ini dengan panggilan masuk dari Larasati. Adit terkejut sebentar sebelum buru-buru mengangkatnya."Halo?" suara Adit terdengar sedikit ragu."Hei, Adit! Kabarku baik. Kamu gimana?" suara Larasati terdengar renyah di seberang sana.“Aku baik kok. Kamu, nggak ada masalah lagi sama orang-orang waktu itu kan?” tanya Adit.Agak lama Larasati tidak menjawab. Namun ia kemudian bertanya, "Besok malam kamu ada waktu nggak? Aku mau ngajak kamu ketemuan.""Besok malam? Habis kerja?" Adit berpikir sejenak. "Bisa sih. Ketemuan di mana?""Aku tahu tempat yang asik buat ngobrol santai
Setelah selesai makan, Tia mengajak Adit mampir ke sebuah minimarket yang tak jauh dari warung kaki lima tempat mereka makan. "Aku mau beli beberapa barang sebentar, kamu ikut ke dalam atau tunggu di luar aja?" kata Tia sambil tersenyum."Oke, santai aja. Aku tunggu di sini," jawab Adit, menyandarkan tubuhnya ke motor dan mengeluarkan ponsel barunya, mengutak-atik fitur yang masih asing baginya. Semua itu terlalu membingungkan. Nanti ia ingin minta tolong Tia untuk mengajarinya. Tadi dia masih gengsi saat hendak bertanya di penjual HP.Saat Adit tengah sibuk dengan ponselnya, seorang pria tua berpakaian lusuh mendekatinya. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh keriput, dan sorot matanya tampak tajam meski tubuhnya terlihat renta."Anak muda," panggil pria tua itu dengan suara serak.Adit mendongak, sedikit terkejut. Ia berpikir pria itu mungkin hanya seorang pengemis yang ingin meminta uang. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, pria tua itu melanjutkan, "Kau memiliki sesuatu ya
Sore itu, selepas kerja, Adit dan Tia berjalan berdampingan menuju sebuah pusat perbelanjaan. Tujuan mereka sederhana: membeli ponsel baru untuk Adit. Pria itu tidak pernah memiliki ponsel bagus sebelumnya, dan kini, dengan uang tips yang ia kumpulkan, ia akhirnya bisa membeli satu yang layak."Jadi, kamu udah ada bayangan mau beli yang mana?" tanya Tia sambil melirik ke arah Adit yang tampak sedikit canggung.Adit menggaruk kepalanya. "Nggak terlalu ngerti, sih. Yang penting bisa buat WhatsApp, Instagram, dan kameranya lumayan. Tapi harganya nggak lebih dari dua juta."Tia tersenyum. "Oke, kalau gitu kita cari yang speknya bagus buat harga segitu. Ada kok, tenang aja."Mereka masuk ke sebuah toko ponsel yang cukup ramai. Rak-rak kaca di dalamnya dipenuhi berbagai model ponsel dari yang murah sampai yang mahal. Seorang penjaga toko segera menyambut mereka dengan ramah."Selamat datang, Kak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga toko itu.Tia langsung mengambil alih percakapan. "Mas
Lewat tengah hari, Adit sudah agak pesimis akan mendapatkan klien lagi. Ruang istirahat terapis itu sepi. Hanya dia seorang yang ada di sana. Yang lain sudah mendapatkan klien.‘Ya sudah, nikmati saja waktu luang ini!’ adit tidur-tiduran di kursi.Sementara itu, di depan, ada satu klien baru yang menarik perhatian sejak awal kedatangannya. Seorang wanita bertubuh besar dengan pakaian mewah masuk ke lobi dengan langkah penuh percaya diri."Saya mau pijat," katanya tegas kepada resepsionis. "Dan saya hanya mau dipijat oleh Adit."Resepsionis, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tersenyum sopan. "Maaf, Bu. Apa Ibu sudah pernah ke sini sebelumnya?"Wanita itu mengibaskan tangan dengan tidak sabar. "Belum, tapi teman saya, Nesya, bilang kalau pijatan anak itu luar biasa. Jadi saya harus mencobanya!"Celina, yang kebetulan berada di dekat meja resepsionis, mendengar percakapan itu. Ia segera menghampiri."Selamat datang, Bu... Desi, ya? Saya Celina, manajer di sini. Tad
Adit baru saja menyelesaikan pijatannya untuk Mira, dan ia bisa melihat betapa puasnya wanita itu. Mira berbaring beberapa saat, menikmati efek pijatan yang masih terasa di tubuhnya.Setelah sesi pijat selesai, Mira duduk di tepi ranjang dengan wajah masih sedikit memerah. Tubuhnya terasa ringan, nyaris seperti melayang. Ia merapikan rambutnya sambil tersenyum puas, lalu menatap Adit dengan sorot mata yang sulit dijelaskan."Adit, kamu benar-benar luar biasa. Aku belum pernah merasakan pijatan seperti ini sebelumnya," katanya, suara lembutnya mengandung kekaguman yang tulus. "Kamu harus jadi terapis pribadi buatku. Ya nggak Cel, ia menoleh ke arah lain.Adit ikut menoleh, ke belakang dan sedikit terkejut, “Eh, sejak Kapan Ibu ada di sana?”“Belum lama!” balas Celina sambil tersenyum. “Kamu sih, fokus banget sampai nggak sadar aku masuk ruangan ini dan duduk di sini!”"Gila, Dit... tanganku sampai kesemutan saking rileksnya," kata Mira sambil tertawa kecil. Ia perlahan bangkit dan dudu