Adit kembali ke tempat kerja dengan perasaan campur aduk. Setelah semua kejadian yang dialaminya bersama Larasati, pikirannya masih penuh tanda tanya.
Sentuhan Larasati tadi menciptakan suatu reaksinya aneh; seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Namun, belum sempat ia merenungkan lebih jauh, langkahnya terhenti saat melihat sosok Pak Rudi berdiri di depan pintu klinik dengan tangan terlipat di dada.
"Akhirnya muncul juga," suara Pak Rudi terdengar tajam, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kamu pikir tempat ini warung kopi yang bisa keluar masuk seenaknya?"
Adit menarik napas, menahan kesal. Ia tahu ia salah juga karena yang tadi itu bisa dibilang ia membolos kerja. Namun sikap Pak Rudi sungguh tak menyenangkan. "Saya tadi ada urusan mendadak, Pak."
Pak Rudi mendengus. "Urusan? Saya lihat sendiri kamu pergi sama perempuan cantik naik mobil mewah. Enak ya, baru kerja sebentar sudah bisa keluyuran. Jangan-jangan kamu jadi gigolo, ya?"
Ucapan itu membuat Adit merasa malu. Tak pernah ia berpikir untuk menjadi seperti apa yang dituduhkan oleh Pak Rudi. Ia hanya ingin bekerja baik-baik.
Beberapa pegawai yang masih ada di klinik mulai berbisik-bisik. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu dan, beberapa di antaranya, iri. Adit mengepalkan tangan, tapi ia tahu harus tetap tenang.
"Pak, saya nggak melakukan hal yang melanggar aturan. Kalau Bapak mau tahu, perempuan itu yang menarik saya pergi tanpa sempat saya menolak," jawabnya dengan nada datar.
"Alasan!" Pak Rudi membentak. "Saya sudah mencatat ini. Besok pagi saya akan laporkan ke Ibu Celina. Kita lihat apakah dia masih mau mempertahankan pegawai yang tidak disiplin seperti kamu!"
Adit menghela napas panjang. Ia tahu Pak Rudi memang mencari-cari celah untuk menyingkirkannya. Namun, belum sempat ia membalas, suara seorang pegawai perempuan menyela.
"Pak Rudi, mungkin lebih baik dengar penjelasan dari Adit dulu," ujar seorang pegawai bernama Tia, seorang resepsionis yang selalu tampak ramah padanya. "Selama ini dia bekerja dengan baik. Lagipula, kalau benar-benar pergi tanpa izin, kenapa Ibu Celina tidak langsung menegurnya?"
Pak Rudi menoleh tajam ke arah Tia. "Kamu membela anak ini? Kamu pikir kamu siapa di sini?" bentaknya.
Tia menunduk, tapi beberapa pegawai lain tampak setuju dengannya. Adit hanya diam, tak ingin memperpanjang masalah dengan perdebatan yang sia-sia.
***
Adit sampai di rumah. Rasanya lelah sekali, padahal seharian tadi, bisa dibilang, tak ada klien yang ia pijit. Tapi ia membantu menjadi asisten terapis senior lain. Kebanyakan klien yang datang maunya dilayani perempuan.
Terapis di tempat itu kadang memang menganggur jika memang tak ada klien. Namun kadang, mereka harus mengerjakan hal lain di luar urusan memijit. Ada banyak hal yang harud dikerjakan; membersihkan ruangan, loundry handuk dan lain-lain, mengurusi peralatan dan pokoknya banyak.
Pak Rudi juga tak akan rela melihat bawahannya bersantai saat tempat itu sepi. Jadi, pasti selalu ada hal yang harus dikerjakan.
Adit segera mandi, lalu membuat mie rebus. Tadi ia terlalu malas mampir untuk membeli makanan di jalan.
Kini setelah makan, ia berbaring di kasurnya. Rumah terasa sepi. Sejak dulu memang sepi. Tapi setidaknya, jika dulu kakeknya masih hidup, rasanya juga tak sesepi itu.
Kini sambil mencoba tidur, Adit mengingat kembali kejadian yang ia alami. Sungguh sial. Baru kali ini ia mengalami hal gila di mana ia berada satu mobil dengan seorang wanita yang dikejar sekelompok orang. Dan peliknya, ada tembakan pula. Untung masih selamat.
Yang membuat Adit heran, dalam situasi seperti itu, meski ia panik dan bingung, namun ia masih juga merasa tenang. Ia tak mengerti kenapa. Dan saat ia menggenggam tangan Larasati, ia merasakan ketenangan. Di saat yang sama, ia merasa seolah energinya mengalir masuk ke dalam tubuh Larasati, lalu juga sebaliknya, ia seolah merasakan ada getaran energi yang masuk ke dalam tubuhnya. Itu adalah sesuatu yang baginya sulit ia pahami.
Kini ia memandangi lingkaran hitam di jarinya itu.
“Kakek, sebenarnya apa yang terjadi padaku?” ucap Adit lirih.
Kemudian Adit terlelap.
Pagi harinya, seperti yang dijanjikan, Pak Rudi membawa masalah ini ke hadapan Ibu Celina. Adit dipanggil ke ruangannya, sementara Pak Rudi berdiri di samping dengan ekspresi penuh kemenangan.
Adit benar-benar tak habis pikir. Hari masih pagi dan ia baru saja datang. Tiba-tiba saja, Pak Rudi yang seolah sudah menunggunya, segera menghadangnya.
Kini mereka berada di ruangan Ibu Celina.
"Jadi, Adit," suara Ibu Celina terdengar tenang, tapi matanya tajam menatapnya. "Pak Rudi melaporkan bahwa kemarin kamu pergi meninggalkan tempat kerja tanpa izin. Bisa kamu jelaskan?"
Adit menatap lurus ke arah Ibu Celina. "Saya tidak pergi dengan sengaja, Bu. Seorang klien tiba-tiba datang dan menarik saya ke mobilnya. Saya sendiri kaget, tapi saat itu saya tak bisa langsung menolak karena situasinya mendadak."
Pak Rudi tertawa kecil dengan nada mengejek. "Oh, jadi alasanmu karena perempuan? Alasan klasik. Klien apaan! Tak boleh ada klien dilayani di luar klinik ini. Lantas mereka harus membayarnya bagaimana? Ke kamu secara langsung begitu? Ini menyalahi aturan dan kamu layak dipecat!"
Namun, sebelum Pak Rudi bisa melanjutkan serangannya, Ibu Celina menatapnya tajam. "Pak Rudi, saya yang bertanya di sini."
Pak Rudi langsung diam, meskipun wajahnya memerah karena kesal.
"Adit, siapa perempuan itu?" tanya Ibu Celina lagi.
Adit ragu sejenak. "Namanya Larasati, Bu. Saya juga tidak tahu kenapa dia menarik saya seperti itu. Tapi sepertinya dia dalam masalah."
Mata Ibu Celina menyipit. "Larasati?" gumamnya, seolah nama itu tidak asing baginya.
Adit menunggu tanggapannya, tapi alih-alih marah, Ibu Celina justru tersenyum kecil. "Baiklah, saya akan mencari tahu lebih lanjut. Untuk saat ini, saya anggap kamu tidak bersalah. Tapi lain kali, kalau ada hal seperti ini lagi, segera lapor ke saya atau supervisor yang bertugas. Mengerti?"
"Baik, Bu. Terima kasih."
Pak Rudi tampak tidak percaya dengan keputusan itu. Wajahnya merah padam, dan begitu Adit keluar dari ruangan, ia langsung mengejarnya.
"Jangan pikir kamu bisa lolos terus, anak baru," geram Pak Rudi. "Aku akan pastikan kamu jatuh. Ini belum selesai."
Adit hanya tersenyum tipis. Ia sudah tahu kalau Pak Rudi tidak akan berhenti begitu saja. Tapi yang lebih mengusik pikirannya sekarang bukan ancaman Pak Rudi, melainkan reaksi aneh Ibu Celina saat mendengar nama Larasati.
Siapa sebenarnya Larasati? Dan kenapa ia seolah punya hubungan dengan tempat ini?
Dari ruangan Ibu Celina, dan lolos dari Pak Rudi, Adit kembali bekerja seperti biasa. Belum ada klien yang datang. Ia memilih untuk mengobrol bersama terapis lain. Namun sesungguhnya, ia tidak fokus juga diajak mengobrol teman-temannya.Setelah kejadian dengan Larasati dan perdebatan panjang dengan Pak Rudi, ia merasa butuh angin segar sebetulnya. Mengobrol bersama yang lain bisa menjadi sebuah solusi. Namun, entah kenapa, pikirannya masih melayang ke kejadian-kejadian aneh yang dialaminya belakangan ini.Waktu berjalan dan satu demi satu para terapis senior itu sudah mendapatkan klien. Tinggal adit seorang di ruangan itu. Sendirian menunggu. Namun tak lama kemudian, ia mendengar seseorang memanggil namanya."Adit, kamu ada klien baru. Dia minta dipijat oleh terapis pria. Hanya kamu yang kosong kan!" ujar Tia, si resepsionis yang kemarin sore membelanya saat Pak Rudi marah-marah.“E, iya...” Adir segera berdiri. “Ruangan mana?”“Ruang 18,” balas Tia. Ia mendekat dan berkata pelan, “Ya
Adit menatap uang lima lembar seratus ribuan di tangannya. Rasanya masih sulit percaya kalau ia baru saja menerima tip sebesar itu hanya dari satu sesi pijat. Seumur-umur bekerja di tempat ini, belum pernah ada klien yang memberinya uang sebanyak ini sebagai bonus."Kamu layak mendapatkannya," kata Ratna tadi sebelum keluar dari ruangan. "Aku harap kamu tidak keberatan aku mengajakmu makan malam nanti."Adit tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Namun, melihat cara Ratna tersenyum, caranya menggenggam tangannya sesaat sebelum pergi, ia tahu bahwa ajakan itu bukan sekadar basa-basi.Maka, ia pun mengangguk dan menerima ajakan tersebut. Adit sendiri tak tahu kenapa ia tak bisa menolak. Mereka sempat bertukar nomor telepon sebelum Ratna meninggalkan tempat pijat dengan langkah ringan.Ia menyimpan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya yang sudah mulai usang. Lima ratus ribu—jumlah yang sangat berarti bagi Adit yang selama ini hidup pas-pasan. Apalagi ia masih harus membayar cici
Suasana kamar hotel terasa nyaman dengan pencahayaan temaram dari lampu gantung berwarna keemasan. Ruangan itu cukup luas, dengan sofa empuk berwarna krem, meja kaca kecil di tengah, dan ranjang besar di ujung ruangan. Pendingin ruangan menyebarkan hawa sejuk yang kontras dengan kehangatan wine yang mulai mengalir dalam tubuh Adit.Ratna duduk menyilangkan kakinya di sofa, tampak begitu santai, sementara Adit masih duduk kaku di ujung sofa lainnya, menggenggam gelas wine yang belum habis diminumnya. Kepalanya terasa sedikit ringan, tetapi kesadarannya masih cukup terjaga. Ia belum terbiasa dengan minuman keras, berbeda dengan Ratna yang tampak begitu terbiasa menenggaknya.“Sudah kubilang, minumlah pelan-pelan.” Ratna tersenyum, matanya sedikit menyipit, entah karena efek alkohol atau sesuatu yang lain.Adit tersenyum kecil. “Aku memang nggak biasa minum, Mbak... baru kali ini malah.”“Bagus, berarti kamu masih polos.” Ratna tertawa kecil, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Adit. Wangi
Udara malam terasa dingin saat Adit mengendarai motornya meninggalkan hotel. Tubuhnya masih terasa ringan akibat pengaruh wine, dan pikirannya melayang ke kejadian tadi. Ratna, godaan-godaan yang nyaris menggoyahkannya, dan kejadian aneh yang baru saja ia alami. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, tetapi ia belum bisa memahami kenapa hal itu bisa terjadi.‘Apa iya ini gara-gara minuman? Ituku tak bisa berdiri. Padahal... aku pun tergoda...’ ucap Adit dalam hati.Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah setelah gerimis sore tadi. Adit berusaha menjaga keseimbangan, tapi matanya terasa berat. Sesekali, ia menggelengkan kepala untuk mengusir rasa kantuk dan efek alkohol yang masih menguasainya. Kadang motornya sedikit oleng.Tiba-tiba, suara raungan knalpot pecah di udara. Sekelompok motor melaju kencang dari belakang, menyalip kendaraan-kendaraan lain dengan ugal-ugalan. Adit refleks menoleh ke kaca spion. Sebuah geng motor dengan jaket kulit hitam dan logo tengkora
Adit menyadari bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan tangannya. Sejak insiden-insiden sebelumnya, ia tak ingin sembarangan menyentuh orang. Karena itu, ke mana pun ia pergi, kini ia selalu mengenakan sarung tangan. Ia hanya akan melepasnya untuk keperluan tertentu, terutama saat memijat kliennya.Hari itu, di tempat kerja, suasana terasa lengang baginya. Seperti sebelumnya, Pak Rudi sengaja tak mengoperkan klien untuknya. Waktu terasa berjalan lambat, dan Adit hanya bisa duduk menunggu tanpa kepastian.Ketika jam makan siang tiba, Adit bangkit dari kursinya, bermaksud mencari makan di luar. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Tia, yang bekerja sebagai penerima tamu di bagian depan, menemui dan tersenyum ke arahnya."Adit, kamu mau makan siang bareng nggak? Aku juga lagi mau keluar cari makan," kata Tia sambil menepuk ringan lengan Adit.Adit menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Boleh. Kita makan di mana?""Ada warung enak di dekat sini. Nggak jauh kok, jalan kaki juga bisa,
Setelah insiden di warung makan, suasana di antara Adit dan Tia menjadi sedikit canggung. Tia tampak gelisah, beberapa kali melirik ke belakang, seolah takut Dewa masih mengikutinya. Adit, yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, akhirnya membuka suara."Tia, kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil tetap fokus mengendarai motornya.Tia terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Dit. Rasanya aku capek banget." Suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara deru kendaraan yang melintas.Mereka terus melaju di jalanan yang mulai lengang, lampu-lampu jalan menerangi trotoar yang kosong. Beberapa menit kemudian, Adit membelokkan motornya ke arah kos-kosan Tia. Ia memarkir kendaraan di depan pagar, lalu menoleh ke arah gadis itu yang masih duduk diam di boncengan."Mau ngobrol sebentar?" tawar Adit.Tia menatapnya, ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Di depan aja, ya. Aku nggak mau teman-teman kos lihat aku kayak gini."Mereka pun duduk di bangku k
Adit baru saja menyelesaikan pijatannya untuk Mira, dan ia bisa melihat betapa puasnya wanita itu. Mira berbaring beberapa saat, menikmati efek pijatan yang masih terasa di tubuhnya.Setelah sesi pijat selesai, Mira duduk di tepi ranjang dengan wajah masih sedikit memerah. Tubuhnya terasa ringan, nyaris seperti melayang. Ia merapikan rambutnya sambil tersenyum puas, lalu menatap Adit dengan sorot mata yang sulit dijelaskan."Adit, kamu benar-benar luar biasa. Aku belum pernah merasakan pijatan seperti ini sebelumnya," katanya, suara lembutnya mengandung kekaguman yang tulus. "Kamu harus jadi terapis pribadi buatku. Ya nggak Cel, ia menoleh ke arah lain.Adit ikut menoleh, ke belakang dan sedikit terkejut, “Eh, sejak Kapan Ibu ada di sana?”“Belum lama!” balas Celina sambil tersenyum. “Kamu sih, fokus banget sampai nggak sadar aku masuk ruangan ini dan duduk di sini!”"Gila, Dit... tanganku sampai kesemutan saking rileksnya," kata Mira sambil tertawa kecil. Ia perlahan bangkit dan dudu
Lewat tengah hari, Adit sudah agak pesimis akan mendapatkan klien lagi. Ruang istirahat terapis itu sepi. Hanya dia seorang yang ada di sana. Yang lain sudah mendapatkan klien.‘Ya sudah, nikmati saja waktu luang ini!’ adit tidur-tiduran di kursi.Sementara itu, di depan, ada satu klien baru yang menarik perhatian sejak awal kedatangannya. Seorang wanita bertubuh besar dengan pakaian mewah masuk ke lobi dengan langkah penuh percaya diri."Saya mau pijat," katanya tegas kepada resepsionis. "Dan saya hanya mau dipijat oleh Adit."Resepsionis, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tersenyum sopan. "Maaf, Bu. Apa Ibu sudah pernah ke sini sebelumnya?"Wanita itu mengibaskan tangan dengan tidak sabar. "Belum, tapi teman saya, Nesya, bilang kalau pijatan anak itu luar biasa. Jadi saya harus mencobanya!"Celina, yang kebetulan berada di dekat meja resepsionis, mendengar percakapan itu. Ia segera menghampiri."Selamat datang, Bu... Desi, ya? Saya Celina, manajer di sini. Tad
Begitu Adit turun dari tangga, ia langsung melihat Tia duduk di bangku kecil dekat lobi klinik. Tia pura-pura sibuk dengan ponselnya, seolah tak memperhatikan kehadiran Adit. Tapi Adit tahu, perempuan itu memang sengaja menunggu.Ia melangkah pelan lalu berdiri di depan Tia.“Mau aku antar pulang?”Tia mengangkat alis, ekspresinya sedikit cuek. “Aku udah mau order ojek tadi, tapi sinyal di sini jelek.”Adit tersenyum tipis. “Ya udah, biar aku antar. Mobilnya masih aku pegang.”Tia mengangguk singkat, lalu berdiri. “Oke.”Mereka berjalan keluar bersama, suasana sedikit canggung tapi juga tak terlalu dingin. Begitu masuk mobil, dan mesin dinyalakan, Tia menoleh sambil bertanya,“Tadi kamu nganter Ayunda ya?”Adit melirik sebentar ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Iya. Diminta Bu Renata buat nemenin Ayunda. Dia pijet klien khusus.”Tia menyipitkan mata. “Klien khusus kayak gimana tuh?”“Yang… ya, penting lah buat Renata. Katanya kalau urusan sukses, klinik dapat keuntungan besar,
Mobil hitam milik Renata berhenti perlahan di depan klinik. Adit mematikan mesin, namun tak segera keluar. Ia sempat melirik Ayunda yang masih memandangi jendela, seolah belum siap turun. Gadis itu akhirnya menoleh, menampilkan senyum kecil yang terasa lebih seperti rasa terima kasih ketimbang kebahagiaan.“Thanks, Dit…” katanya pelan.Adit hanya mengangguk. “Kapan-kapan, kalau butuh teman ngobrol… kabarin aja.”Ayunda mengangguk dan membuka pintu. Saat ia keluar, beberapa terapis wanita yang tengah duduk santai di bangku depan klinik langsung menghentikan obrolan mereka. Tatapan mereka serempak tertuju pada Ayunda dan Adit yang keluar dari mobil mewah itu.Di antara mereka, Tia berdiri paling depan, bersama seorang temannya yang hendak pulang. Matanya menajam begitu melihat Ayunda menutup pintu mobil, lalu melangkah ke arah pintu klinik tanpa terlihat gugup sedikit pun.Iwan dan Tony berdiri tak jauh di sisi kanan teras. Mereka awalnya hanya berbincang kosong, tapi suara tawa mereka
Mesin mobil menyala lembut. Adit menggenggam kemudi tanpa bicara. Ayunda duduk di sampingnya, memandangi jalanan lewat jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa. Keheningan di antara mereka nyaris menyatu dengan deru pelan pendingin udara yang menyembur dari dashboard.“Langsung ke klinik?” tanya Adit, suaranya pelan, nyaris ragu.Ayunda masih menatap ke luar. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, juga dengan nada yang nyaris tak terdengar.“Boleh nggak kalau muter-muter keliling kota sebentar?”Adit menoleh singkat. Pandangan Ayunda tampak… rapuh. Matanya tak bersinar seperti biasanya. Wajah yang biasanya penuh percaya diri kini justru seperti wajah gadis SMA yang kehilangan arah. Tidak ada senyum, tidak ada topeng. Hanya ada kejujuran yang diam-diam menyesakkan.Adit tak menjawab. Ia mengangguk pelan lalu mengarahkan mobil ke jalur yang lebih sepi. Melewati jalanan rindang dan gedung-gedung kota yang mulai teduh disinari mentari sore.Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga ak
Adit sebetulnya emosi mendengar ucapan itu. Ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa marah. Namun, ia tak menunjukkannya. Ia masih kuat menahan diri dan berpikir logis.“Wah, kalau seperti itu, saya tidak bisa bang. Saya orang yang memegang janji dan tugas dari bos. Jika mau begitu, biar Pak Surya yang kembali menyewa cewek itu di luar jam kerjanya bersama bos. Nah, kalau itu bebas. Yang ini kan, yang bawa ke sini bosku sendiri...” kata Adit.“Hehehe. Benar juga. Ya, kamu benar, Dit! Hehehe!” kata Bram.Waktu terus berjalan. Adit cukup bosan menunggu dan berada dalam situasi itu, di mana ia memilih untuk mendengarkan saja Bram dan Wanto bercerita. Kadang apa yang ia katakan sama sekali tak masuk di kepalanya.Tawa Bram dan Wanto terys terdengar samar di telinga Adit, bercampur dengan suara dentingan es batu di gelas dan suara plastik bungkus makanan yang berkeresek. Tapi dari balik pintu kamar yang tertutup itu, suara lain mulai menyusup masuk… pelan, nyaris seperti bisikan.Adit menega
Ayunda masih berdiri di tempatnya, kepala menunduk seperti sedang dihukum. Jemari tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin mematahkan kegugupan yang mengikat leher dan bahunya. Ia tahu, saat ini ia akan memberikan layanan eksklusif dan ia sudah sangat profesional dengan hal itu. Lagi-lagi, apa yang membuatnya sungguh merasa tak nyaman hanya karena kehadiran Adit. Mendadak saja, ia kehilangan cara dan mati gaya sehingga tak bisa bersikap centil namun elegan di depan kliennya itu; lelaki tua itu mulai menunjukkan gelagat tak sabaran.Padahal, dengan bersikap manja, misalnya, bersikap menyenangkan, Ayunda sangat tahu, ia akan mendapatkan tips besar.Pak Surya menyandarkan punggungnya ke sofa besar berlapis kulit, lalu menepuk-nepuk pahanya sambil tersenyum. "Sini, cantik. Duduk sini… Jangan bikin Bapak menunggu terlalu lama."Adit menegang. Meski ia tak bergerak, matanya mencuri pandang ke arah Ayunda, yang perlahan melangkah maju. Langkahnya ringan namun berat di hati. Tubuh inda
Renata melangkah keluar dari ruang negosiasi dengan langkah ringan, namun Adit tahu, itu hanya kamuflase. Ada hawa dingin yang menguar dari sosoknya, semacam kekesalan yang tak diluapkan. Ia memberi isyarat kecil dengan dagunya, dan Adit segera mengikuti langkahnya menuju ruangan depan tempat Bayu menunggu.Di ruangan itu, Bayu berdiri tegak seperti patung hidup. Tatapannya lurus, tubuhnya tetap. Namun sorot matanya mengamati dua pria bersetelan hitam yang berdiri di dekat jendela yang merupakan pengawal Pak Surya. Kedua pria itu diam, tapi aura mereka jelas, dingin dan waspada. Tak ada yang saling bicara. Hanya ada keheningan yang menebal, seperti kabut yang menggantung di tengah malam.Renata duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan elegan. Ia sibuk dengan ponselnya, mengirim lokasi kepada Celina dan juga pesan entah apa. Namun dia masih terus sibuk pula dengan ponsel itu. Jari-jarinya bergerak cepat mengetik pesan demi pesan, atau mungkin mengatur sesuatu yang tak ingin diketahui Ad
Ruangan itu tenang dan hangat, dengan sofa kulit dan pencahayaan yang temaram. Aroma parfum berat dan jejak asap cerutu menciptakan atmosfer yang khas: formal, tapi penuh tekanan tak kasat mata.Pak Surya duduk setelah mempersilakan Renata dan Adit masuk. Map cokelat tergeletak di meja kopi, dan sebotol wine tua berdiri di samping dua gelas kristal yang belum terisi.“Minum dulu, Renata? Masih pagi memang… tapi kalau kamu yang temani, saya bisa buat pengecualian,” ujarnya sambil menuang wine perlahan, tak menunggu jawaban.Renata tersenyum kecil. “Maaf, saya belum bisa. Belum sarapan.”Pak Surya tak memaksa, tapi pandangannya tetap lekat, seperti menimbang-nimbang daging mahal yang hendak dibeli. Ia menyodorkan map, menjelaskan sekilas soal izin tanah dan perpanjangan usaha yang diminta Darmawan.“Seperti yang kamu tahu… jalurnya nggak mudah. Banyak meja yang harus saya datangi. Dan, saya orangnya... cuma mau repot kalau ada sesuatu yang membuat saya niat banget bantu.”Renata tetap k
Renata menutup pintu kamar makan dengan pelan. Ia berjalan ke arah tangga, lalu menaikinya perlahan, langkah demi langkah. Hatinya masih penuh rasa jengkel, namun pikirannya sudah menyusun strategi. Begitu sampai di lantai atas, ia langsung menuju kamar Adit dan mengetuk dua kali, cepat dan tegas.Pintu terbuka tak lama kemudian.Adit, yang masih mengenakan kaus rumah dan celana pendek, memandangnya heran. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”Renata menatapnya sebentar, lalu berkata singkat, “Siapkan dirimu. Kita akan keluar siang ini. Pakai kemeja dan jaket. Aku mau kamu ikut.”Adit mengangguk pelan. “Baik, Bu… Kita mau pergi ke mana?”“Nanti kamu juga tahu!” potong Renata cepat. “Yang jelas kita akan mengurusi sesuatu yang penting. Dan aku butuh kamu di sana.”Nada suaranya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu, sebuah kecemasan samar, yang tak biasa terlihat dari sosok Renata. Ia kemudian berbalik dan berjalan ke kamarnya tanpa menunggu jawaban lebih lanjut.Adit menutup pintu kembali,
Cahaya pagi merayap pelan dari balik tirai tipis jendela kamar, menerpa kulit putih Renata yang masih terlentang di atas ranjang king size miliknya. Selimut tipis melingkari pinggulnya, menampakkan sebagian besar tubuh yang hanya dibalut pakaian dalam renda berwarna hitam keemasan.Ia menggeliat perlahan, menarik napas panjang dan membuka matanya. Tak seperti biasanya, pagi ini terasa… aneh. Tapi bukan aneh yang buruk. Justru sebaliknya.Ada sensasi hangat yang masih tersisa di tubuhnya. Bekas sentuhan Adit masih terasa samar di kulitnya. Jemari laki-laki muda itu, yang semalam menari begitu lihai di atas tubuhnya, telah membuatnya terlelap dalam kelelahan dan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun menjadi istri Darmawan yang tua itu.Renata menatap langit-langit kamar, tersenyum tipis.“Anak itu… bisa bikin perempuan lupa usia,” gumamnya.Ada denyut halus dalam dada yang tidak biasa. Ia terbiasa mengendalikan, memegang kendali penuh atas segala urusan, termasuk