Ayunda masih berdiri di tempatnya, kepala menunduk seperti sedang dihukum. Jemari tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin mematahkan kegugupan yang mengikat leher dan bahunya. Ia tahu, saat ini ia akan memberikan layanan eksklusif dan ia sudah sangat profesional dengan hal itu. Lagi-lagi, apa yang membuatnya sungguh merasa tak nyaman hanya karena kehadiran Adit. Mendadak saja, ia kehilangan cara dan mati gaya sehingga tak bisa bersikap centil namun elegan di depan kliennya itu; lelaki tua itu mulai menunjukkan gelagat tak sabaran.Padahal, dengan bersikap manja, misalnya, bersikap menyenangkan, Ayunda sangat tahu, ia akan mendapatkan tips besar.Pak Surya menyandarkan punggungnya ke sofa besar berlapis kulit, lalu menepuk-nepuk pahanya sambil tersenyum. "Sini, cantik. Duduk sini… Jangan bikin Bapak menunggu terlalu lama."Adit menegang. Meski ia tak bergerak, matanya mencuri pandang ke arah Ayunda, yang perlahan melangkah maju. Langkahnya ringan namun berat di hati. Tubuh inda
Adit sebetulnya emosi mendengar ucapan itu. Ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa marah. Namun, ia tak menunjukkannya. Ia masih kuat menahan diri dan berpikir logis.“Wah, kalau seperti itu, saya tidak bisa bang. Saya orang yang memegang janji dan tugas dari bos. Jika mau begitu, biar Pak Surya yang kembali menyewa cewek itu di luar jam kerjanya bersama bos. Nah, kalau itu bebas. Yang ini kan, yang bawa ke sini bosku sendiri...” kata Adit.“Hehehe. Benar juga. Ya, kamu benar, Dit! Hehehe!” kata Bram.Waktu terus berjalan. Adit cukup bosan menunggu dan berada dalam situasi itu, di mana ia memilih untuk mendengarkan saja Bram dan Wanto bercerita. Kadang apa yang ia katakan sama sekali tak masuk di kepalanya.Tawa Bram dan Wanto terys terdengar samar di telinga Adit, bercampur dengan suara dentingan es batu di gelas dan suara plastik bungkus makanan yang berkeresek. Tapi dari balik pintu kamar yang tertutup itu, suara lain mulai menyusup masuk… pelan, nyaris seperti bisikan.Adit menega
Mesin mobil menyala lembut. Adit menggenggam kemudi tanpa bicara. Ayunda duduk di sampingnya, memandangi jalanan lewat jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa. Keheningan di antara mereka nyaris menyatu dengan deru pelan pendingin udara yang menyembur dari dashboard.“Langsung ke klinik?” tanya Adit, suaranya pelan, nyaris ragu.Ayunda masih menatap ke luar. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, juga dengan nada yang nyaris tak terdengar.“Boleh nggak kalau muter-muter keliling kota sebentar?”Adit menoleh singkat. Pandangan Ayunda tampak… rapuh. Matanya tak bersinar seperti biasanya. Wajah yang biasanya penuh percaya diri kini justru seperti wajah gadis SMA yang kehilangan arah. Tidak ada senyum, tidak ada topeng. Hanya ada kejujuran yang diam-diam menyesakkan.Adit tak menjawab. Ia mengangguk pelan lalu mengarahkan mobil ke jalur yang lebih sepi. Melewati jalanan rindang dan gedung-gedung kota yang mulai teduh disinari mentari sore.Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga ak
Mobil hitam milik Renata berhenti perlahan di depan klinik. Adit mematikan mesin, namun tak segera keluar. Ia sempat melirik Ayunda yang masih memandangi jendela, seolah belum siap turun. Gadis itu akhirnya menoleh, menampilkan senyum kecil yang terasa lebih seperti rasa terima kasih ketimbang kebahagiaan.“Thanks, Dit…” katanya pelan.Adit hanya mengangguk. “Kapan-kapan, kalau butuh teman ngobrol… kabarin aja.”Ayunda mengangguk dan membuka pintu. Saat ia keluar, beberapa terapis wanita yang tengah duduk santai di bangku depan klinik langsung menghentikan obrolan mereka. Tatapan mereka serempak tertuju pada Ayunda dan Adit yang keluar dari mobil mewah itu.Di antara mereka, Tia berdiri paling depan, bersama seorang temannya yang hendak pulang. Matanya menajam begitu melihat Ayunda menutup pintu mobil, lalu melangkah ke arah pintu klinik tanpa terlihat gugup sedikit pun.Iwan dan Tony berdiri tak jauh di sisi kanan teras. Mereka awalnya hanya berbincang kosong, tapi suara tawa mereka
Begitu Adit turun dari tangga, ia langsung melihat Tia duduk di bangku kecil dekat lobi klinik. Tia pura-pura sibuk dengan ponselnya, seolah tak memperhatikan kehadiran Adit. Tapi Adit tahu, perempuan itu memang sengaja menunggu.Ia melangkah pelan lalu berdiri di depan Tia.“Mau aku antar pulang?”Tia mengangkat alis, ekspresinya sedikit cuek. “Aku udah mau order ojek tadi, tapi sinyal di sini jelek.”Adit tersenyum tipis. “Ya udah, biar aku antar. Mobilnya masih aku pegang.”Tia mengangguk singkat, lalu berdiri. “Oke.”Mereka berjalan keluar bersama, suasana sedikit canggung tapi juga tak terlalu dingin. Begitu masuk mobil, dan mesin dinyalakan, Tia menoleh sambil bertanya,“Tadi kamu nganter Ayunda ya?”Adit melirik sebentar ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Iya. Diminta Bu Renata buat nemenin Ayunda. Dia pijet klien khusus.”Tia menyipitkan mata. “Klien khusus kayak gimana tuh?”“Yang… ya, penting lah buat Renata. Katanya kalau urusan sukses, klinik dapat keuntungan besar,
Renata meletakkan gelas wine-nya di meja kaca dengan pelan. “Aku tahu kamu bukan anak kecil, Dit. Kamu pintar. Dan cepat baca situasi.”Renata berdiri perlahan, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman belakang rumahnya, lalu menatap ke luar. Bahunya agak merosot turun, suaranya jadi lebih tenang.“Klinik itu... cuma satu dari banyak wajah yang harus aku rawat. Di permukaan, ya, kita kasih terapi, layanan kecantikan, dan semacamnya. Tapi di balik itu, kita juga jadi pelampiasan untuk para lelaki kaya yang... lapar.”Adit masih diam di tempat duduknya. Ia mendengar tanpa menyela.“Dunia ini nggak adil buat perempuan, Dit. Dan kadang... perempuan kayak aku, atau Ayunda, nggak punya banyak pilihan. Jadi daripada kita diinjak, mending kita main di atas panggungnya, tapi dengan cara kita sendiri.”Ia menoleh ke Adit, pandangannya tajam lagi. “Yang penting, kontrolnya tetap di tangan kita. Aku nggak izinkan perempuan-perempuan di klinik itu dijadikan mainan tanpa batas. Aku jaga m
Adit cukup gugup dan mati gaya kali ini. Semakin ia menanggapi Renata, semakin pula situasi itu tak akan sederhana. Ia tak mau Renata mengetahui jika ia adalah lelaki yang ‘lemah’; kebanggaan di dalam celananya itu tak akan berfungsi dan saat itu pun, tak ada sesuatu yang keras.Demi apa, sesungguhnya Adit cukup frustasi dengan keadaannya. Sebagai seorang lelaki muda, sebagai seorang perjaka, tentu ia tergoda. Ia ingin mencoba seperti apa rasanya kenikmatan surgawi yang membuat setiap orang ketagihan itu.Adit menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh kekuatan tekadnya. Hanya ada satu cara ia bisa lolos dalam jerat asmara yang memabukkan itu; membuat Renata menggelepar puas dan tak bertenaga setelahnya, melalui pijitan tangannya.“Ibu Renata, em… boleh saya bertanya?” tanya Adit pelan.“Tanya apa sayang? Aku mengizinkanmu berbuat jauh. Lakukanlah…” kata Renata mendesah manja.“E, itu… gampang. Sebenarnya, saya ingin tanya, apakah weekend besok, saya boleh ke rumah. Kasihan rumah
Setengah jam kemudian, deru mesin halus terdengar dari luar. Adit berdiri di ambang pintu dan mendapati sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik terparkir di depan rumah. Di balik kaca jendela yang terbuka separuh, Larasati melambaikan tangan kecilnya dengan santai.Adit mengambil tas kecilnya, menutup pintu dan menguncinya. Lalu ia berjalan mendekat ke arah Larasati."Ayo, masuk." Kata Larasati sambil tersenyum cantik.Mobil itu begitu nyaman di dalamnya, aroma interior kulit bercampur parfum mahal langsung tercium begitu Adit masuk. Larasati mengendarainya dengan tenang dan tak terlalu kencang.“Kita mau pergi kemana ini?”“Ke tempat misterius!” kata Larasati.“Misterius?”“Candi kuno!”“Oh… oke…”“Kamu nggak tanyak kenapa kita pergi ke sana?”“E, kenapa kita pergi ke sana?” tanya Adit. Larasati tertawa.“Mencari petunjuk. Kamu nggak mimpi apa gitu semalam?” tanya Larasati.“Mimpi?” Wajah Adit seketika menghangat. Ia jelas tak mungkin menceritakan jika ia mimpi bercinta denga
Adit dan Larasati melangkah perlahan di antara reruntuhan candi yang diselimuti lumut dan semak belukar. Udara pagi terasa segar, seakan membawa aroma tanah basah dan batu tua yang menyimpan jejak waktu berabad-abad.Candi itu tidak utuh. Ada banyak puing-puing yang teronggok dan terabaikan, seolah menunggu tangan yang tepat untuk menyusunnya kembali menjadi bangunan suci yang anggun dan gagah.Bangunan utama canti itu pun, yang ada di tengah, juga sudah tidak utuh lagi. Mungkin karena itu, tempat tersebut sepi dari wisatawan, dan hanya dikunjungi para peneliti.Kadang Adit mendongak, memperhatikan ukiran-ukiran kuno di dinding candi; kadang pula Larasati menunjuk sebuah relief, mengajak Adit menebak-nebak maknanya.“Bentuk candi ini, sungguh sama seperti yang ada di mimpiku…” kata Larasati. Perasaannya semakin tak karuan.“Sama persis?”“Ya. Aku belum pernah ke sini sebelumnya, dan tahu tempat ini dari mimpi…” ujarnya.“Dan juga kantor yang di depan tadi itu, ada di mimpimu?” tanya A
Setengah jam kemudian, deru mesin halus terdengar dari luar. Adit berdiri di ambang pintu dan mendapati sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik terparkir di depan rumah. Di balik kaca jendela yang terbuka separuh, Larasati melambaikan tangan kecilnya dengan santai.Adit mengambil tas kecilnya, menutup pintu dan menguncinya. Lalu ia berjalan mendekat ke arah Larasati."Ayo, masuk." Kata Larasati sambil tersenyum cantik.Mobil itu begitu nyaman di dalamnya, aroma interior kulit bercampur parfum mahal langsung tercium begitu Adit masuk. Larasati mengendarainya dengan tenang dan tak terlalu kencang.“Kita mau pergi kemana ini?”“Ke tempat misterius!” kata Larasati.“Misterius?”“Candi kuno!”“Oh… oke…”“Kamu nggak tanyak kenapa kita pergi ke sana?”“E, kenapa kita pergi ke sana?” tanya Adit. Larasati tertawa.“Mencari petunjuk. Kamu nggak mimpi apa gitu semalam?” tanya Larasati.“Mimpi?” Wajah Adit seketika menghangat. Ia jelas tak mungkin menceritakan jika ia mimpi bercinta denga
Adit cukup gugup dan mati gaya kali ini. Semakin ia menanggapi Renata, semakin pula situasi itu tak akan sederhana. Ia tak mau Renata mengetahui jika ia adalah lelaki yang ‘lemah’; kebanggaan di dalam celananya itu tak akan berfungsi dan saat itu pun, tak ada sesuatu yang keras.Demi apa, sesungguhnya Adit cukup frustasi dengan keadaannya. Sebagai seorang lelaki muda, sebagai seorang perjaka, tentu ia tergoda. Ia ingin mencoba seperti apa rasanya kenikmatan surgawi yang membuat setiap orang ketagihan itu.Adit menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh kekuatan tekadnya. Hanya ada satu cara ia bisa lolos dalam jerat asmara yang memabukkan itu; membuat Renata menggelepar puas dan tak bertenaga setelahnya, melalui pijitan tangannya.“Ibu Renata, em… boleh saya bertanya?” tanya Adit pelan.“Tanya apa sayang? Aku mengizinkanmu berbuat jauh. Lakukanlah…” kata Renata mendesah manja.“E, itu… gampang. Sebenarnya, saya ingin tanya, apakah weekend besok, saya boleh ke rumah. Kasihan rumah
Renata meletakkan gelas wine-nya di meja kaca dengan pelan. “Aku tahu kamu bukan anak kecil, Dit. Kamu pintar. Dan cepat baca situasi.”Renata berdiri perlahan, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman belakang rumahnya, lalu menatap ke luar. Bahunya agak merosot turun, suaranya jadi lebih tenang.“Klinik itu... cuma satu dari banyak wajah yang harus aku rawat. Di permukaan, ya, kita kasih terapi, layanan kecantikan, dan semacamnya. Tapi di balik itu, kita juga jadi pelampiasan untuk para lelaki kaya yang... lapar.”Adit masih diam di tempat duduknya. Ia mendengar tanpa menyela.“Dunia ini nggak adil buat perempuan, Dit. Dan kadang... perempuan kayak aku, atau Ayunda, nggak punya banyak pilihan. Jadi daripada kita diinjak, mending kita main di atas panggungnya, tapi dengan cara kita sendiri.”Ia menoleh ke Adit, pandangannya tajam lagi. “Yang penting, kontrolnya tetap di tangan kita. Aku nggak izinkan perempuan-perempuan di klinik itu dijadikan mainan tanpa batas. Aku jaga m
Begitu Adit turun dari tangga, ia langsung melihat Tia duduk di bangku kecil dekat lobi klinik. Tia pura-pura sibuk dengan ponselnya, seolah tak memperhatikan kehadiran Adit. Tapi Adit tahu, perempuan itu memang sengaja menunggu.Ia melangkah pelan lalu berdiri di depan Tia.“Mau aku antar pulang?”Tia mengangkat alis, ekspresinya sedikit cuek. “Aku udah mau order ojek tadi, tapi sinyal di sini jelek.”Adit tersenyum tipis. “Ya udah, biar aku antar. Mobilnya masih aku pegang.”Tia mengangguk singkat, lalu berdiri. “Oke.”Mereka berjalan keluar bersama, suasana sedikit canggung tapi juga tak terlalu dingin. Begitu masuk mobil, dan mesin dinyalakan, Tia menoleh sambil bertanya,“Tadi kamu nganter Ayunda ya?”Adit melirik sebentar ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Iya. Diminta Bu Renata buat nemenin Ayunda. Dia pijet klien khusus.”Tia menyipitkan mata. “Klien khusus kayak gimana tuh?”“Yang… ya, penting lah buat Renata. Katanya kalau urusan sukses, klinik dapat keuntungan besar,
Mobil hitam milik Renata berhenti perlahan di depan klinik. Adit mematikan mesin, namun tak segera keluar. Ia sempat melirik Ayunda yang masih memandangi jendela, seolah belum siap turun. Gadis itu akhirnya menoleh, menampilkan senyum kecil yang terasa lebih seperti rasa terima kasih ketimbang kebahagiaan.“Thanks, Dit…” katanya pelan.Adit hanya mengangguk. “Kapan-kapan, kalau butuh teman ngobrol… kabarin aja.”Ayunda mengangguk dan membuka pintu. Saat ia keluar, beberapa terapis wanita yang tengah duduk santai di bangku depan klinik langsung menghentikan obrolan mereka. Tatapan mereka serempak tertuju pada Ayunda dan Adit yang keluar dari mobil mewah itu.Di antara mereka, Tia berdiri paling depan, bersama seorang temannya yang hendak pulang. Matanya menajam begitu melihat Ayunda menutup pintu mobil, lalu melangkah ke arah pintu klinik tanpa terlihat gugup sedikit pun.Iwan dan Tony berdiri tak jauh di sisi kanan teras. Mereka awalnya hanya berbincang kosong, tapi suara tawa mereka
Mesin mobil menyala lembut. Adit menggenggam kemudi tanpa bicara. Ayunda duduk di sampingnya, memandangi jalanan lewat jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa. Keheningan di antara mereka nyaris menyatu dengan deru pelan pendingin udara yang menyembur dari dashboard.“Langsung ke klinik?” tanya Adit, suaranya pelan, nyaris ragu.Ayunda masih menatap ke luar. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, juga dengan nada yang nyaris tak terdengar.“Boleh nggak kalau muter-muter keliling kota sebentar?”Adit menoleh singkat. Pandangan Ayunda tampak… rapuh. Matanya tak bersinar seperti biasanya. Wajah yang biasanya penuh percaya diri kini justru seperti wajah gadis SMA yang kehilangan arah. Tidak ada senyum, tidak ada topeng. Hanya ada kejujuran yang diam-diam menyesakkan.Adit tak menjawab. Ia mengangguk pelan lalu mengarahkan mobil ke jalur yang lebih sepi. Melewati jalanan rindang dan gedung-gedung kota yang mulai teduh disinari mentari sore.Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga ak
Adit sebetulnya emosi mendengar ucapan itu. Ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa marah. Namun, ia tak menunjukkannya. Ia masih kuat menahan diri dan berpikir logis.“Wah, kalau seperti itu, saya tidak bisa bang. Saya orang yang memegang janji dan tugas dari bos. Jika mau begitu, biar Pak Surya yang kembali menyewa cewek itu di luar jam kerjanya bersama bos. Nah, kalau itu bebas. Yang ini kan, yang bawa ke sini bosku sendiri...” kata Adit.“Hehehe. Benar juga. Ya, kamu benar, Dit! Hehehe!” kata Bram.Waktu terus berjalan. Adit cukup bosan menunggu dan berada dalam situasi itu, di mana ia memilih untuk mendengarkan saja Bram dan Wanto bercerita. Kadang apa yang ia katakan sama sekali tak masuk di kepalanya.Tawa Bram dan Wanto terys terdengar samar di telinga Adit, bercampur dengan suara dentingan es batu di gelas dan suara plastik bungkus makanan yang berkeresek. Tapi dari balik pintu kamar yang tertutup itu, suara lain mulai menyusup masuk… pelan, nyaris seperti bisikan.Adit menega
Ayunda masih berdiri di tempatnya, kepala menunduk seperti sedang dihukum. Jemari tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin mematahkan kegugupan yang mengikat leher dan bahunya. Ia tahu, saat ini ia akan memberikan layanan eksklusif dan ia sudah sangat profesional dengan hal itu. Lagi-lagi, apa yang membuatnya sungguh merasa tak nyaman hanya karena kehadiran Adit. Mendadak saja, ia kehilangan cara dan mati gaya sehingga tak bisa bersikap centil namun elegan di depan kliennya itu; lelaki tua itu mulai menunjukkan gelagat tak sabaran.Padahal, dengan bersikap manja, misalnya, bersikap menyenangkan, Ayunda sangat tahu, ia akan mendapatkan tips besar.Pak Surya menyandarkan punggungnya ke sofa besar berlapis kulit, lalu menepuk-nepuk pahanya sambil tersenyum. "Sini, cantik. Duduk sini… Jangan bikin Bapak menunggu terlalu lama."Adit menegang. Meski ia tak bergerak, matanya mencuri pandang ke arah Ayunda, yang perlahan melangkah maju. Langkahnya ringan namun berat di hati. Tubuh inda