Beranda / Urban / Tukang Pijat Tampan / Insiden Di Jalan

Share

Insiden Di Jalan

Penulis: Black Jack
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-03 15:22:08

Petang itu, selepas melewati ujian tak terduga dari Ibu Celina, Adit akhirnya bisa pulang.

Jam kerja seharusnya sudah selesai sejak satu jam lalu, tapi karena permintaan sang manajer, ia terpaksa lembur.

Dengan tubuh yang masih terasa hangat setelah menyentuh kulit halus atasannya, Adit menghela napas panjang sambil menghidupkan motor bututnya.

Mesin tua itu berderu kasar, seolah ikut lelah setelah hari yang terasa panjang.

Adit melajukan motornya perlahan melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar, menerangi aspal yang masih terasa hangat sisa matahari siang tadi. Hembusan angin malam yang menerpa wajahnya sedikit mengurangi rasa penat yang menggelayuti tubuhnya.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.

Di sebuah tikungan yang agak gelap, tiba-tiba seorang wanita muncul dari arah samping. Terlambat menyadari kehadirannya, Adit hanya sempat menarik rem sekuat tenaga. Motor oleng ke samping. Adit terpental dan menubruk wanita itu. Ia terhempas ke kanan, dan manita itu terdorong jatuh ke belakang.

"Aduh!" Suara rintihan terdengar dari orang yang ia tubruk.

Adit meringis, lutut dan sikunya nya terasa perih akibat bergesekan dengan jalanan. Tapi lebih dari itu, ia segera bangkit dan menghampiri korban.

Di bawah cahaya lampu jalan yang remang, ia melihat sosok seorang wanita muda yang terjatuh dengan lutut tertekuk. Wajahnya tersembunyi di balik helaian rambut panjang yang berantakan.

"Maaf, Mbak! Saya nggak sengaja!" Adit buru-buru mendekat, hatinya berdebar panik.

Wanita itu mendongak. Tatapan tajam dan penuh amarah langsung menghantam Adit.

"Matamu di mana?! Sembarangan bawa motor!" bentaknya.

Adit menelan ludah. Dari nada suaranya, wanita ini bukan tipe yang mudah diredakan hanya dengan permintaan maaf. Ia pun segera mengulurkan tangan. "Beneran saya nggak sengaja. Saya bantu berdiri, ya?"

Wanita itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan Adit. Begitu tangannya bersentuhan dengan kulit Adit, ekspresinya berubah sekilas. Napasnya tertahan, dan matanya membelalak sebelum buru-buru dikedipkan. Wajahnya tampak sedikit lebih merah, meskipun ia cepat-cepat mengalihkan perhatian dengan mendengus kesal.

Adit menyipitkan mata. Ada yang aneh lagi. Kini ia bertanya-tanya; apakah sentuhan tangannya bisa membuat wanita seketika berubah drastis? Tadi siang dia juga menabrak Ayunda. Setelah ia bersentuhan dengan wanita itu, ekspresi wajahnya berubah. Kurang lebih mirip dengan wanita yang ia tubruk kali ini.

Wanita itu menarik tangannya dengan cepat seolah tersengat, lalu berdehem dan berdiri tegak. Pakaian yang dikenakannya terlihat mahal, blazer hitam elegan membalut tubuhnya, dan sepatu hak tinggi yang kini ternoda debu makin memperjelas kelasnya. Rambutnya yang panjang tergerai, meski sedikit berantakan karena jatuh, tetap terlihat indah.

“Kamu tahu siapa aku?” tanyanya dengan nada penuh percaya diri. Namun sebetulnya, ia sedang merasa rumit. Sensasi aneh yang baru saja ia rasakan segera pula ia tutupi dengan sikapnya yang angkuh.

Adit mengerutkan kening. “Eh... Nggak. Memangnya saya harus tahu?”

Wanita itu mendengus. “Tentu saja! Aku Larasati Dharmawan. Dan kamu baru saja menabrakku!”

Nama itu terdengar familiar. Adit mencoba mengingat-ingat, lalu matanya sedikit membesar. Larasati Dharmawan... Bukankah itu nama putri dari seorang pengusaha besar yang sering muncul di berita? Gadis ini bukan sembarang orang! Kalau ia melaporkan kejadian ini, Adit bisa benar-benar dalam masalah.

Namun Adit tak habis pikir; bagaimana bisa wanita ini ada di tikungan dan menyeberang mendadak pula. Apa yang dia lakukan? Namun di seberang ada sebuah mobil mewah terparkir di pinggir jalan.

"Saya beneran minta maaf, Mbak Larasati. Apa saya perlu antar ke rumah sakit? Atau ada yang bisa saya lakukan?" tanya Adit dengan suara lebih hati-hati.

Larasati menatapnya dengan mata menyipit, lalu melirik lututnya yang sedikit lecet. Ia masih tampak sedikit linglung, tapi kembali menguasai dirinya.

"Aku nggak mau berurusan dengan rumah sakit. Tapi kamu tetap harus bertanggung jawab."

Adit menelan ludah. "Maksudnya?"

Larasati menyeringai tipis. "Mulai sekarang, kamu utang budi sama aku. Dan aku bakal cari cara buat menagihnya. Siap-siap aja."

Adit tidak tahu apakah harus lega atau semakin cemas. Ia tak begitu paham maksud wanita itu. Yang jelas, malam ini, hidupnya baru saja bertambah rumit.

“Nona, aku tidak paham...”

“Aku buru-buru. Berikan nomor ponselmu!”

“E, oke...” Adit mengucapkan nomornya. Wanita itu mencatatnya di ponsel mahalnya. Namun ia tak sekadar mencatat, namun juga memastikan dengan menelefon nomor itu.

Ponsel di saku Adit berbunyi. Ia mengambilnya dan mengeceknya. Larasati heran juga; betapa kuno ponsel pemuda tampan yang menabraknya itu.

“Ini nomormu, mbak?”

“Ya. Kamu simpan saja. Kamu kerja di mana?”

“E, terapis di Klinik Kesehatan dan Kecantikan Ophelia. Tak jauh dari sini... itu di sana!” kata Adit. Ia siap tanggung jawab jika wanita itu memang butuh ganti rugi. Entah apa itu.

“Namamu siapa?”

“Aditya...”

“Aditya siapa?”

“Aditya Wijaya...”

“Oke...” kata wanita itu. Ia meninggalkan Adit begitu saja; menyeberang dan masuk ke dalam mobil mewah di seberang jalan itu.

***

Keesokan harinya, Adit tiba di klinik dengan perasaan campur aduk. Setelah insiden dengan Larasati semalam, ia masih belum tahu apakah perempuan itu benar-benar serius menagih "utang budi" atau hanya sekadar menggertaknya. Namun, rasa penasaran yang lebih besar adalah efek cincin yang mulai menunjukkan perubahan.

Saat bersentuhan dengan Larasati, ia merasakan sesuatu yang berbeda; bukan sekadar reaksi biasa dari efek cincin, tetapi seolah-olah ada arus energi yang mengalir dari tubuh perempuan itu ke dirinya. Itu adalah sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Saat Adit baru saja mengganti seragamnya, pintu ruang loker terbuka dengan keras. Seorang staf masuk dengan wajah panik.

"Adit! Ada tamu mencarimu!"

Adit mengernyit. "Tamu? Siapa?"

"Seorang wanita cantik, kelihatannya orang kaya. Dia nunggu di lobi dan ngotot mau ketemu kamu."

Jantung Adit langsung berdegup kencang. Jangan-jangan…

Dengan langkah hati-hati, Adit keluar menuju lobi. Dan benar saja, di sana berdiri Larasati Dharmawan dengan pakaian kasual yang tetap terlihat mahal. Ia bersedekap, menatap Adit dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Akhirnya kamu datang juga," ucapnya dengan nada setengah mengejek.

Adit menarik napas. "Kenapa mencariku ke sini?"

Larasati tersenyum tipis. "Karena aku sudah bilang, kamu punya utang budi sama aku. Dan sekarang aku mau menagihnya."

"Oke. Apa yang kamu mau?"

Larasati mendekat dan berbisik pelan, "Ikut aku sekarang. Ada sesuatu yang harus kamu lakukan."

Adit menatapnya curiga. "Aku lagi kerja."

"Aku nggak peduli. Kamu ikut atau aku bikin masalah di tempat ini?"

Adit menggeram pelan. Perempuan ini benar-benar menyebalkan. Namun, ia tidak punya pilihan. Dengan sedikit enggan, ia menoleh ke resepsionis. "Bilang ke Pak Rudi aku ada urusan sebentar. Aku bakal balik dalam satu jam."

Tanpa menunggu balasan, Larasati menarik lengan Adit dan menyeretnya keluar. Begitu kulit mereka bersentuhan lagi, sesuatu yang aneh terjadi.

Jantung Adit berdetak lebih cepat, tapi bukan karena panik. Ada arus halus yang merambat dari ujung jarinya ke tubuhnya, seolah-olah cincin di jarinya merespons kehadiran Larasati. Perempuan itu juga tampak terkejut, tapi tidak melepaskan genggamannya.

Mereka masuk ke mobil mewah Larasati. Begitu mesin menyala, Larasati mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, membuat Adit semakin curiga.

"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Adit.

Larasati tidak langsung menjawab. Ia hanya mengetukkan jarinya ke kemudi, sebelum akhirnya menghela napas. "Aku butuh bantuanmu. Ada seseorang yang mengejarku."

Adit membelalak. "Apa?! Siapa?"

"Aku nggak bisa jelaskan sekarang. Tapi aku tahu satu hal." Larasati melirik sekilas ke arahnya. "Kamu bukan orang biasa, Adit. Sentuhanmu… Itu bukan sentuhan normal."

Adit tercekat. Jadi Larasati memang merasakan sesuatu saat bersentuhan dengannya semalam. Tapi bagaimana bisa perempuan ini menyadarinya begitu cepat?

"Jangan pura-pura nggak tahu," lanjut Larasati. "Aku nggak tahu apa yang kamu lakukan semalam, tapi tubuhku masih bereaksi. Dan aku yakin, kamu bisa melakukan lebih dari itu."

Adit menelan ludah. Situasi ini makin rumit. Tidak hanya cincin di jarinya bereaksi lebih kuat, kini ada perempuan kaya yang sepertinya memiliki masalah besar dan entah bagaimana menyeretnya ke dalamnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Tukang Pijat Tampan   Kejadian Di Sore Hari

    Adit bersandar di jok mobil, mencoba mencerna situasi. Cincin itu memang tidak terlihat bentuk fisiknya. Hanya seperti tatto di jari tangan adit. Namun demikian, Adit merasakannya saat merabanya.Dan kini, dekat dengan Larasati, ia tak mengerti kenapa jemarinya itu terasa hangat.Larasati mengemudi dengan ekspresi tegang, matanya sesekali melirik ke kaca spion seakan-akan sedang memastikan sesuatu. Di luar, matahari mulai condong ke barat, lampu-lampu jalanan mulai menyala, menciptakan bayangan panjang di kota yang masih cukup ramai."Kamu bilang ada yang mengejarmu?" Adit akhirnya membuka suara.Larasati menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Ya, dan aku tidak tahu harus lari ke mana lagi."Adit menghela napas. "Tapi kenapa aku? Kenapa kamu tiba-tiba menyeretku ke dalam masalah ini?"Larasati tidak langsung menjawab. Ia membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil yang lebih sepi, lalu mematikan mesin. Di bawah cahaya senja yang mulai meredup, wajahnya tampak sedikit pucat."Karena aku yak

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • Tukang Pijat Tampan   Pak Rudi Terus Mencari Celah

    Adit kembali ke tempat kerja dengan perasaan campur aduk. Setelah semua kejadian yang dialaminya bersama Larasati, pikirannya masih penuh tanda tanya.Sentuhan Larasati tadi menciptakan suatu reaksinya aneh; seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Namun, belum sempat ia merenungkan lebih jauh, langkahnya terhenti saat melihat sosok Pak Rudi berdiri di depan pintu klinik dengan tangan terlipat di dada."Akhirnya muncul juga," suara Pak Rudi terdengar tajam, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kamu pikir tempat ini warung kopi yang bisa keluar masuk seenaknya?"Adit menarik napas, menahan kesal. Ia tahu ia salah juga karena yang tadi itu bisa dibilang ia membolos kerja. Namun sikap Pak Rudi sungguh tak menyenangkan. "Saya tadi ada urusan mendadak, Pak."Pak Rudi mendengus. "Urusan? Saya lihat sendiri kamu pergi sama perempuan cantik naik mobil mewah. Enak ya, baru kerja sebentar sudah bisa keluyuran. Jangan-jangan kamu jadi gigolo, ya?"Ucapan itu membuat Adit merasa malu. Tak pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Tukang Pijat Tampan   Diajak Makan Malam Klien

    Dari ruangan Ibu Celina, dan lolos dari Pak Rudi, Adit kembali bekerja seperti biasa. Belum ada klien yang datang. Ia memilih untuk mengobrol bersama terapis lain. Namun sesungguhnya, ia tidak fokus juga diajak mengobrol teman-temannya.Setelah kejadian dengan Larasati dan perdebatan panjang dengan Pak Rudi, ia merasa butuh angin segar sebetulnya. Mengobrol bersama yang lain bisa menjadi sebuah solusi. Namun, entah kenapa, pikirannya masih melayang ke kejadian-kejadian aneh yang dialaminya belakangan ini.Waktu berjalan dan satu demi satu para terapis senior itu sudah mendapatkan klien. Tinggal adit seorang di ruangan itu. Sendirian menunggu. Namun tak lama kemudian, ia mendengar seseorang memanggil namanya."Adit, kamu ada klien baru. Dia minta dipijat oleh terapis pria. Hanya kamu yang kosong kan!" ujar Tia, si resepsionis yang kemarin sore membelanya saat Pak Rudi marah-marah.“E, iya...” Adir segera berdiri. “Ruangan mana?”“Ruang 18,” balas Tia. Ia mendekat dan berkata pelan, “Ya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07
  • Tukang Pijat Tampan   Ajakan Ke Hotel

    Adit menatap uang lima lembar seratus ribuan di tangannya. Rasanya masih sulit percaya kalau ia baru saja menerima tip sebesar itu hanya dari satu sesi pijat. Seumur-umur bekerja di tempat ini, belum pernah ada klien yang memberinya uang sebanyak ini sebagai bonus."Kamu layak mendapatkannya," kata Ratna tadi sebelum keluar dari ruangan. "Aku harap kamu tidak keberatan aku mengajakmu makan malam nanti."Adit tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Namun, melihat cara Ratna tersenyum, caranya menggenggam tangannya sesaat sebelum pergi, ia tahu bahwa ajakan itu bukan sekadar basa-basi.Maka, ia pun mengangguk dan menerima ajakan tersebut. Adit sendiri tak tahu kenapa ia tak bisa menolak. Mereka sempat bertukar nomor telepon sebelum Ratna meninggalkan tempat pijat dengan langkah ringan.Ia menyimpan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya yang sudah mulai usang. Lima ratus ribu—jumlah yang sangat berarti bagi Adit yang selama ini hidup pas-pasan. Apalagi ia masih harus membayar cici

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-08
  • Tukang Pijat Tampan   Malam Penuh Godaan

    Suasana kamar hotel terasa nyaman dengan pencahayaan temaram dari lampu gantung berwarna keemasan. Ruangan itu cukup luas, dengan sofa empuk berwarna krem, meja kaca kecil di tengah, dan ranjang besar di ujung ruangan. Pendingin ruangan menyebarkan hawa sejuk yang kontras dengan kehangatan wine yang mulai mengalir dalam tubuh Adit.Ratna duduk menyilangkan kakinya di sofa, tampak begitu santai, sementara Adit masih duduk kaku di ujung sofa lainnya, menggenggam gelas wine yang belum habis diminumnya. Kepalanya terasa sedikit ringan, tetapi kesadarannya masih cukup terjaga. Ia belum terbiasa dengan minuman keras, berbeda dengan Ratna yang tampak begitu terbiasa menenggaknya.“Sudah kubilang, minumlah pelan-pelan.” Ratna tersenyum, matanya sedikit menyipit, entah karena efek alkohol atau sesuatu yang lain.Adit tersenyum kecil. “Aku memang nggak biasa minum, Mbak... baru kali ini malah.”“Bagus, berarti kamu masih polos.” Ratna tertawa kecil, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Adit. Wangi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-09
  • Tukang Pijat Tampan   Masalah Dengan Geng Motor

    Udara malam terasa dingin saat Adit mengendarai motornya meninggalkan hotel. Tubuhnya masih terasa ringan akibat pengaruh wine, dan pikirannya melayang ke kejadian tadi. Ratna, godaan-godaan yang nyaris menggoyahkannya, dan kejadian aneh yang baru saja ia alami. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, tetapi ia belum bisa memahami kenapa hal itu bisa terjadi.‘Apa iya ini gara-gara minuman? Ituku tak bisa berdiri. Padahal... aku pun tergoda...’ ucap Adit dalam hati.Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah setelah gerimis sore tadi. Adit berusaha menjaga keseimbangan, tapi matanya terasa berat. Sesekali, ia menggelengkan kepala untuk mengusir rasa kantuk dan efek alkohol yang masih menguasainya. Kadang motornya sedikit oleng.Tiba-tiba, suara raungan knalpot pecah di udara. Sekelompok motor melaju kencang dari belakang, menyalip kendaraan-kendaraan lain dengan ugal-ugalan. Adit refleks menoleh ke kaca spion. Sebuah geng motor dengan jaket kulit hitam dan logo tengkora

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-10
  • Tukang Pijat Tampan   Bersama Tia

    Adit menyadari bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan tangannya. Sejak insiden-insiden sebelumnya, ia tak ingin sembarangan menyentuh orang. Karena itu, ke mana pun ia pergi, kini ia selalu mengenakan sarung tangan. Ia hanya akan melepasnya untuk keperluan tertentu, terutama saat memijat kliennya.Hari itu, di tempat kerja, suasana terasa lengang baginya. Seperti sebelumnya, Pak Rudi sengaja tak mengoperkan klien untuknya. Waktu terasa berjalan lambat, dan Adit hanya bisa duduk menunggu tanpa kepastian.Ketika jam makan siang tiba, Adit bangkit dari kursinya, bermaksud mencari makan di luar. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Tia, yang bekerja sebagai penerima tamu di bagian depan, menemui dan tersenyum ke arahnya."Adit, kamu mau makan siang bareng nggak? Aku juga lagi mau keluar cari makan," kata Tia sambil menepuk ringan lengan Adit.Adit menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Boleh. Kita makan di mana?""Ada warung enak di dekat sini. Nggak jauh kok, jalan kaki juga bisa,

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Tukang Pijat Tampan   Curhatan Tia

    Setelah insiden di warung makan, suasana di antara Adit dan Tia menjadi sedikit canggung. Tia tampak gelisah, beberapa kali melirik ke belakang, seolah takut Dewa masih mengikutinya. Adit, yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, akhirnya membuka suara."Tia, kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil tetap fokus mengendarai motornya.Tia terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Dit. Rasanya aku capek banget." Suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara deru kendaraan yang melintas.Mereka terus melaju di jalanan yang mulai lengang, lampu-lampu jalan menerangi trotoar yang kosong. Beberapa menit kemudian, Adit membelokkan motornya ke arah kos-kosan Tia. Ia memarkir kendaraan di depan pagar, lalu menoleh ke arah gadis itu yang masih duduk diam di boncengan."Mau ngobrol sebentar?" tawar Adit.Tia menatapnya, ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Di depan aja, ya. Aku nggak mau teman-teman kos lihat aku kayak gini."Mereka pun duduk di bangku k

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12

Bab terbaru

  • Tukang Pijat Tampan   Weekend Dan Waktunya Melepas Penat

    Adit cukup gugup dan mati gaya kali ini. Semakin ia menanggapi Renata, semakin pula situasi itu tak akan sederhana. Ia tak mau Renata mengetahui jika ia adalah lelaki yang ‘lemah’; kebanggaan di dalam celananya itu tak akan berfungsi dan saat itu pun, tak ada sesuatu yang keras.Demi apa, sesungguhnya Adit cukup frustasi dengan keadaannya. Sebagai seorang lelaki muda, sebagai seorang perjaka, tentu ia tergoda. Ia ingin mencoba seperti apa rasanya kenikmatan surgawi yang membuat setiap orang ketagihan itu.Adit menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh kekuatan tekadnya. Hanya ada satu cara ia bisa lolos dalam jerat asmara yang memabukkan itu; membuat Renata menggelepar puas dan tak bertenaga setelahnya, melalui pijitan tangannya.“Ibu Renata, em… boleh saya bertanya?” tanya Adit pelan.“Tanya apa sayang? Aku mengizinkanmu berbuat jauh. Lakukanlah…” kata Renata mendesah manja.“E, itu… gampang. Sebenarnya, saya ingin tanya, apakah weekend besok, saya boleh ke rumah. Kasihan rumah

  • Tukang Pijat Tampan   Semakin Hari, Godaan Semakin Menyiksa

    Renata meletakkan gelas wine-nya di meja kaca dengan pelan. “Aku tahu kamu bukan anak kecil, Dit. Kamu pintar. Dan cepat baca situasi.”Renata berdiri perlahan, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman belakang rumahnya, lalu menatap ke luar. Bahunya agak merosot turun, suaranya jadi lebih tenang.“Klinik itu... cuma satu dari banyak wajah yang harus aku rawat. Di permukaan, ya, kita kasih terapi, layanan kecantikan, dan semacamnya. Tapi di balik itu, kita juga jadi pelampiasan untuk para lelaki kaya yang... lapar.”Adit masih diam di tempat duduknya. Ia mendengar tanpa menyela.“Dunia ini nggak adil buat perempuan, Dit. Dan kadang... perempuan kayak aku, atau Ayunda, nggak punya banyak pilihan. Jadi daripada kita diinjak, mending kita main di atas panggungnya, tapi dengan cara kita sendiri.”Ia menoleh ke Adit, pandangannya tajam lagi. “Yang penting, kontrolnya tetap di tangan kita. Aku nggak izinkan perempuan-perempuan di klinik itu dijadikan mainan tanpa batas. Aku jaga m

  • Tukang Pijat Tampan   Menemani Renata Mengobrol

    Begitu Adit turun dari tangga, ia langsung melihat Tia duduk di bangku kecil dekat lobi klinik. Tia pura-pura sibuk dengan ponselnya, seolah tak memperhatikan kehadiran Adit. Tapi Adit tahu, perempuan itu memang sengaja menunggu.Ia melangkah pelan lalu berdiri di depan Tia.“Mau aku antar pulang?”Tia mengangkat alis, ekspresinya sedikit cuek. “Aku udah mau order ojek tadi, tapi sinyal di sini jelek.”Adit tersenyum tipis. “Ya udah, biar aku antar. Mobilnya masih aku pegang.”Tia mengangguk singkat, lalu berdiri. “Oke.”Mereka berjalan keluar bersama, suasana sedikit canggung tapi juga tak terlalu dingin. Begitu masuk mobil, dan mesin dinyalakan, Tia menoleh sambil bertanya,“Tadi kamu nganter Ayunda ya?”Adit melirik sebentar ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Iya. Diminta Bu Renata buat nemenin Ayunda. Dia pijet klien khusus.”Tia menyipitkan mata. “Klien khusus kayak gimana tuh?”“Yang… ya, penting lah buat Renata. Katanya kalau urusan sukses, klinik dapat keuntungan besar,

  • Tukang Pijat Tampan   Celina Buka Kartu

    Mobil hitam milik Renata berhenti perlahan di depan klinik. Adit mematikan mesin, namun tak segera keluar. Ia sempat melirik Ayunda yang masih memandangi jendela, seolah belum siap turun. Gadis itu akhirnya menoleh, menampilkan senyum kecil yang terasa lebih seperti rasa terima kasih ketimbang kebahagiaan.“Thanks, Dit…” katanya pelan.Adit hanya mengangguk. “Kapan-kapan, kalau butuh teman ngobrol… kabarin aja.”Ayunda mengangguk dan membuka pintu. Saat ia keluar, beberapa terapis wanita yang tengah duduk santai di bangku depan klinik langsung menghentikan obrolan mereka. Tatapan mereka serempak tertuju pada Ayunda dan Adit yang keluar dari mobil mewah itu.Di antara mereka, Tia berdiri paling depan, bersama seorang temannya yang hendak pulang. Matanya menajam begitu melihat Ayunda menutup pintu mobil, lalu melangkah ke arah pintu klinik tanpa terlihat gugup sedikit pun.Iwan dan Tony berdiri tak jauh di sisi kanan teras. Mereka awalnya hanya berbincang kosong, tapi suara tawa mereka

  • Tukang Pijat Tampan   Menemani Ayunda Curhat

    Mesin mobil menyala lembut. Adit menggenggam kemudi tanpa bicara. Ayunda duduk di sampingnya, memandangi jalanan lewat jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa. Keheningan di antara mereka nyaris menyatu dengan deru pelan pendingin udara yang menyembur dari dashboard.“Langsung ke klinik?” tanya Adit, suaranya pelan, nyaris ragu.Ayunda masih menatap ke luar. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, juga dengan nada yang nyaris tak terdengar.“Boleh nggak kalau muter-muter keliling kota sebentar?”Adit menoleh singkat. Pandangan Ayunda tampak… rapuh. Matanya tak bersinar seperti biasanya. Wajah yang biasanya penuh percaya diri kini justru seperti wajah gadis SMA yang kehilangan arah. Tidak ada senyum, tidak ada topeng. Hanya ada kejujuran yang diam-diam menyesakkan.Adit tak menjawab. Ia mengangguk pelan lalu mengarahkan mobil ke jalur yang lebih sepi. Melewati jalanan rindang dan gedung-gedung kota yang mulai teduh disinari mentari sore.Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga ak

  • Tukang Pijat Tampan   Hawa Panas

    Adit sebetulnya emosi mendengar ucapan itu. Ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa marah. Namun, ia tak menunjukkannya. Ia masih kuat menahan diri dan berpikir logis.“Wah, kalau seperti itu, saya tidak bisa bang. Saya orang yang memegang janji dan tugas dari bos. Jika mau begitu, biar Pak Surya yang kembali menyewa cewek itu di luar jam kerjanya bersama bos. Nah, kalau itu bebas. Yang ini kan, yang bawa ke sini bosku sendiri...” kata Adit.“Hehehe. Benar juga. Ya, kamu benar, Dit! Hehehe!” kata Bram.Waktu terus berjalan. Adit cukup bosan menunggu dan berada dalam situasi itu, di mana ia memilih untuk mendengarkan saja Bram dan Wanto bercerita. Kadang apa yang ia katakan sama sekali tak masuk di kepalanya.Tawa Bram dan Wanto terys terdengar samar di telinga Adit, bercampur dengan suara dentingan es batu di gelas dan suara plastik bungkus makanan yang berkeresek. Tapi dari balik pintu kamar yang tertutup itu, suara lain mulai menyusup masuk… pelan, nyaris seperti bisikan.Adit menega

  • Tukang Pijat Tampan   Obrolan Anak buah Pak Surya

    Ayunda masih berdiri di tempatnya, kepala menunduk seperti sedang dihukum. Jemari tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin mematahkan kegugupan yang mengikat leher dan bahunya. Ia tahu, saat ini ia akan memberikan layanan eksklusif dan ia sudah sangat profesional dengan hal itu. Lagi-lagi, apa yang membuatnya sungguh merasa tak nyaman hanya karena kehadiran Adit. Mendadak saja, ia kehilangan cara dan mati gaya sehingga tak bisa bersikap centil namun elegan di depan kliennya itu; lelaki tua itu mulai menunjukkan gelagat tak sabaran.Padahal, dengan bersikap manja, misalnya, bersikap menyenangkan, Ayunda sangat tahu, ia akan mendapatkan tips besar.Pak Surya menyandarkan punggungnya ke sofa besar berlapis kulit, lalu menepuk-nepuk pahanya sambil tersenyum. "Sini, cantik. Duduk sini… Jangan bikin Bapak menunggu terlalu lama."Adit menegang. Meski ia tak bergerak, matanya mencuri pandang ke arah Ayunda, yang perlahan melangkah maju. Langkahnya ringan namun berat di hati. Tubuh inda

  • Tukang Pijat Tampan   Menemani Ayunda

    Renata melangkah keluar dari ruang negosiasi dengan langkah ringan, namun Adit tahu, itu hanya kamuflase. Ada hawa dingin yang menguar dari sosoknya, semacam kekesalan yang tak diluapkan. Ia memberi isyarat kecil dengan dagunya, dan Adit segera mengikuti langkahnya menuju ruangan depan tempat Bayu menunggu.Di ruangan itu, Bayu berdiri tegak seperti patung hidup. Tatapannya lurus, tubuhnya tetap. Namun sorot matanya mengamati dua pria bersetelan hitam yang berdiri di dekat jendela yang merupakan pengawal Pak Surya. Kedua pria itu diam, tapi aura mereka jelas, dingin dan waspada. Tak ada yang saling bicara. Hanya ada keheningan yang menebal, seperti kabut yang menggantung di tengah malam.Renata duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan elegan. Ia sibuk dengan ponselnya, mengirim lokasi kepada Celina dan juga pesan entah apa. Namun dia masih terus sibuk pula dengan ponsel itu. Jari-jarinya bergerak cepat mengetik pesan demi pesan, atau mungkin mengatur sesuatu yang tak ingin diketahui Ad

  • Tukang Pijat Tampan   Permintaan Pak Surya

    Ruangan itu tenang dan hangat, dengan sofa kulit dan pencahayaan yang temaram. Aroma parfum berat dan jejak asap cerutu menciptakan atmosfer yang khas: formal, tapi penuh tekanan tak kasat mata.Pak Surya duduk setelah mempersilakan Renata dan Adit masuk. Map cokelat tergeletak di meja kopi, dan sebotol wine tua berdiri di samping dua gelas kristal yang belum terisi.“Minum dulu, Renata? Masih pagi memang… tapi kalau kamu yang temani, saya bisa buat pengecualian,” ujarnya sambil menuang wine perlahan, tak menunggu jawaban.Renata tersenyum kecil. “Maaf, saya belum bisa. Belum sarapan.”Pak Surya tak memaksa, tapi pandangannya tetap lekat, seperti menimbang-nimbang daging mahal yang hendak dibeli. Ia menyodorkan map, menjelaskan sekilas soal izin tanah dan perpanjangan usaha yang diminta Darmawan.“Seperti yang kamu tahu… jalurnya nggak mudah. Banyak meja yang harus saya datangi. Dan, saya orangnya... cuma mau repot kalau ada sesuatu yang membuat saya niat banget bantu.”Renata tetap k

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status