Juned terus mengikuti Lastri secara diam-diam, hingga Lastri sampai di depan rumahnya. Gadis itu melangkah perlahan memasuki halaman rumah.
Lampu depan rumah Lastri sudah menyala, dan dari jendela ia melihat bayangan seseorang yang sedang berjalan di ruang tamu.Belum sempat ia mencapai pintu, suara berat dan lantang memanggilnya.“Lastri! Ke mana saja kamu selama ini?”Lastri mendongak dan mendapati ayahnya, Pak Darmo, berdiri di ambang pintu. Wajahnya penuh dengan kemarahan. Di belakangnya, ibunya, Bu Mirah, berdiri dengan ekspresi khawatir.Lastri menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia sudah mempersiapkan hati untuk menghadapi ayahnya.“Aku gak ke mana-mana, aku gak pergi jauh, Pak,” jawab Lastri, suaranya tenang meskipun ada sedikit getaran. “Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”“Berpikir? Kamu pikir rumah ini tempat kamu keluar masuk sesuka hati?” bentakPak Darmo mendadak terdiam ketika Juned menahan tangannya, tapi itu hanya sesaat sebelum wajahnya berubah memerah, matanya menatap Juned dengan kemarahan yang membara. Ia menarik tangannya dengan kasar dan melangkah mendekati Juned, suaranya menggema di halaman rumah yang sunyi.“Juned, apa hakmu ikut campur dalam urusan keluarga kami?!” suara Pak Darmo terdengar penuh tekanan.Juned tetap berdiri tegak, tidak mundur sedikit pun. “Saya memang enggak punya hak, Pak. Tapi apa yang Bapak lakukan tadi enggak bisa saya biarkan. Lastri hanya ingin menyampaikan pendapatnya, dan dia berhak untuk itu.”“Dia anak aku!” Pak Darmo membentak keras. “Kamu enggak tahu bagaimana sulitnya membesarkan dia! Kalau aku mau mendidiknya dengan keras, itu hak aku sebagai orang tuanya. Kamu enggak ada urusan di sini!”“Orang tua memang punya hak mendidik anaknya, Pak. Tapi itu bukan berarti Bapak bisa menyakitinya, baik secara fisik maupun batin!” balas Juned dengan suara yang mulai meninggi. “Lastri bukan ba
Pak Darmo menghela napas berat, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, menatap Lastri dengan tatapan yang sulit diartikan.Lastri, yang sejak tadi berdiri diam di belakang Juned, akhirnya memberanikan diri melangkah maju. Dengan suara pelan tetapi tegas, ia berkata, “Pak, aku nggak pernah bermaksud melawan Bapak. Aku Cuma ingin hidupku berjalan sesuai dengan yang aku inginkan. Kalau Bapak kasih aku kesempatan, aku janji akan buktikan kalau aku bisa membuat keputusan yang benar.”Pak Darmo memandang Lastri untuk waktu yang terasa sangat lama. Wajahnya menunjukkan konflik batin yang mendalam, seolah ada perang yang terjadi di dalam dirinya. Tetapi pada akhirnya, ia hanya menghela napas panjang dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apa-apa.Bu Mirah menatap Juned dan Lastri dengan ekspresi penuh rasa syukur sebelum mengikuti suaminya ke dalam. Kini hanya tinggal Juned dan Lastri yang berdiri di halaman rumah.“Kamu enggak apa-apa?” tanya Juned, suaranya
Anton tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan makna licik. “Sabar, Sugeng. Kita enggak perlu gegabah. Kita harus cari kelemahan terbesar dari kekuatan Juned, tapi sebelum itu kita gunakan kelemahan terkecilnya dulu.”Sugeng mengangguk pelan, meskipun matanya masih menunjukkan keraguan. “Tapi kenapa sih mesti Lastri? Kita kan punya cara lain buat menjatuhkan Juned.”Anton mendesah pelan, seolah menjelaskan sesuatu yang sangat sederhana. “Karena Lastri itu salah satu kelemahannya yang terkecil. Kalau kita bisa mengganggu dia lewat Lastri, Juned bakal kehilangan fokus. Dia sibuk mengurus cewek itu, sementara kita bisa bebas melakukan apa aja. Ini cuma soal waktu sebelum kita mengetahui cara untuk melemahkan kekuatannya.”Sugeng melirik ke arah Juned sekali lagi, yang masih tak bergerak dari tempatnya. “Tapi, gimana kalau dia tahu kita yang di balik semua ini?”Anton mendekatkan wajahnya ke arah Sugeng, nada suaranya semakin rendah tapi penuh ancaman. “Kalau sampai dia tahu, itu artinya
Tak lama, aroma harum sayur daun kelor memenuhi rumah. Lilis membawa sepanci kecil sayur daun kelor ke meja makan. “Ayo, kita makan dulu,” ujarnya dengan nada ringan.Juned berjalan perlahan ke meja makan, duduk di kursi sambil memandangi sayur itu. Dia tampak ragu, mengingat apa yang terjadi sebelumnya saat menyentuh daun kelor. Vivi, yang duduk di sebelahnya, mencoba memberi semangat.“Juned, ini cuma sayur biasa. Mungkin tadi kamu Cuma kebetulan aja tergores. Lagipula, siapa tahu daun kelor malah bagus buat tubuh kamu,” ujar Vivi sambil tersenyum.Juned menghela napas. “Iya, mungkin kamu benar. Aku harus berpikir positif.”Dengan sedikit ragu, Juned mengambil sendok dan mulai menyendok sayur ke piringnya. Lilis, yang duduk di depannya, tersenyum puas melihat hasil masakannya.“Tuh, coba dulu, Juned. Ini resep spesialku,” kata Lilis sambil menatapnya penuh harap.Juned mengambil sesendok sayur daun kelor dan membawanya ke mulut. Namun, tepat saat dia hendak memasukkan makanan itu,
Vivi mengangguk mantap. “Aku janji.”Juned menghela napas sekali lagi sebelum akhirnya menyerah. “Baiklah. Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang.”Tanpa banyak bicara lagi, Juned dan Vivi keluar dari rumah, meninggalkan Lilis dan Bu Mirah yang masih tampak khawatir. Dalam perjalanan menuju rumah Anton, Juned terus mengawasi sekitar, pikirannya penuh dengan kemungkinan buruk yang mungkin mereka hadapi.Sementara itu, Vivi berjalan di sampingnya dengan langkah penuh tekad, siap membantu menemukan petunjuk untuk menyelamatkan Lastri. Tak butuh waktu lama, sampailah mereka di sekitar rumah Anton. Juned dan Vivi berdiri di balik pohon besar yang cukup jauh dari rumah Anton. “Banyak sekali anak buahnya,” bisik Vivi pelan, matanya menatap satu per satu pria yang tampak bersenjata dan berjaga dengan penuh kewaspadaan.Juned mengangguk, wajahnya serius. “Kita nggak bisa masuk lewat depan. Mereka pasti langsung menangkap kita.”Mata mereka fokus mengamati gerak-gerik para penjaga yang be
Cahaya senter penjaga itu menyapu ruangan dengan perlahan, semakin mendekati tempat mereka bersembunyi. Vivi merasakan tangannya mulai berkeringat dingin. Dia menunduk sedikit, memastikan dirinya benar-benar tersembunyi. Juned, di sisi lain, tetap tenang meski waspada, pandangannya fokus pada setiap gerakan penjaga itu.Tiba-tiba, sebuah tikus besar melintas di depan penjaga, tepat di bawah cahaya senternya. Tikus itu berlari menuju tumpukan barang di sudut ruangan, membuat suara berisik kecil saat melompat ke atas kardus. Penjaga itu menghela napas keras.“Hanya tikus,” gumamnya sambil mematikan senternya dan berbalik meninggalkan gudang. Suara pintu yang tertutup perlahan terdengar, menandakan penjaga itu telah pergi.Namun, tepat saat tikus itu melintas dekat dengan tempat mereka bersembunyi, Vivi tanpa sadar menggeliat dan nyaris berteriak karena jijik. Mulutnya terbuka, siap mengeluarkan suara, namun dengan cepat Juned bereaksi.Dia meraih wajah Vivi dan menutup mulutnya dengan t
“Kita tetap pada rencana awal. Cari tahu keberadaan Lastri dan Novi. Tapi kita harus lebih hati-hati,” jawab Juned, suaranya masih penuh dengan tekad.Juned mengalihkan pandangannya dari dua pria itu dan memberi isyarat kepada Vivi untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menyelinap lebih jauh, melewati sisi rumah dengan lebih waspada dari sebelumnya. Juned dan Vivi melangkah dengan sangat hati-hati, menghindari suara apa pun yang dapat menarik perhatian. Namun, nasib tampaknya tidak berpihak pada mereka kali ini. Ketika mereka mencoba melangkah lebih jauh ke sudut rumah, salah satu dari dua pria yang dikenali Juned tiba-tiba menoleh dan melihat bayangan mereka.“Hei, siapa di sana?!” salah satu dari pria itu berteriak sambil menarik perhatian temannya.Juned segera menyadari bahaya yang mengancam. “Sial, kita ketahuan!” bisiknya sambil menarik tangan Vivi, mencoba menjauh dengan cepat dari pandangan mereka.“Berhenti di sana!” teriak pria itu, membuat para penjaga lainnya mulai b
“Sudah, jangan bicara dulu. Kita harus keluar dari sini,” potong Juned. Dia memeriksa tali yang mengikat tangan dan kaki mereka. Tali itu diikat sangat kencang, dan Juned menyadari dia membutuhkan sesuatu untuk memotongnya.Dia melihat sekeliling ruangan, matanya mencari benda tajam apa pun yang bisa digunakan. Di sudut ruangan, dia melihat pecahan kaca dari botol yang mungkin terjatuh sebelumnya. Dia mengambil pecahan kaca itu dengan hati-hati, lalu kembali ke Lastri dan Novi.“Ini mungkin akan sedikit sakit, tapi bertahanlah. Aku akan memotong tali ini,” katanya sambil mulai menggesekkan pecahan kaca itu ke tali yang mengikat tangan Lastri.“Juned... hati-hati... kalau mereka kembali, kita semua bisa celaka,” bisik Lastri dengan ketakutan.“Mereka sibuk di luar. Kekacauan tadi cukup membantu kita,” balas Juned dengan nada meyakinkan. “Percayalah, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh kalian lagi.”Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, tali di tangan Lastri akhir
“Aneh... kenapa dia begitu menarik sekarang?” Gumam Juned dalam hatinya.Juned menatap Tania beberapa detik lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Tapi tak ada yang bisa dia tangkap dari ekspresi wanita itu selain ketegasan yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa berkata apa-apa lagi, Juned berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Tania sendirian dalam lamunannya. Tania menghela napas panjang, menatap punggung Juned yang semakin menjauh.Angin berembus pelan, membuat helaian rambut Tania sedikit berantakan. Dia menggigit bibir, mencoba menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya.“Kenapa aku harus peduli?” pikirnya dalam hati.Tapi bayangan Juned yang berjalan pergi tetap melekat dalam benaknya, membuatnya tak bisa benar-benar mengabaikan perasaan yang baru saja muncul itu.“Apa kamu masih akan melamun terus, kak?”Suara Alisa sedikit mengejutkan Tania yang sempat terbuai dalam lamunan.“Kamu mau ke mana, Alisa?” Tanya Tania sesaat setelah menoleh ke a
Alisa menepuk bahu Juned dengan penuh semangat. “Mas, kenapa nggak mulai pijat lagi aja? Ini kan keahlian Mas Juned. Daripada bingung mau ngapain, kan lebih baik buka pijat lagi di kehidupan baru ini?”Juned terdiam, tampak mempertimbangkan saran itu. “Aku memang suka memijat, dan itu satu-satunya yang paling aku kuasai...”Namun, sebelum Juned bisa melanjutkan kata-katanya, Tania langsung menyela dengan nada datar, “Menurutku nggak perlu.”Alisa menoleh cepat ke arah kakaknya, matanya menyipit curiga. “Lho, kenapa, Kak? Bukannya itu hal yang bagus?”Tania tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Aku Cuma mikir... mungkin Juned bisa mencoba hal lain. Nggak harus balik ke dunia pijat.”Alisa tersenyum licik, seperti baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Atau... Kakak sebenarnya nggak mau Mas Juned mijat orang lain?”Tania langsung merasakan wajahnya memanas, tapi dia tetap berusaha bersikap biasa saja. “Bukan itu alasannya.”Namun, Alisa tak begitu saja percaya. Dia bersa
Alisa menyilangkan tangan di dadanya dan tersenyum kecil. “Akhirnya kamu mulai berpikir lebih jernih.”Tania yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Juned, kamu tidak harus memaksakan diri untuk mencari orang yang tidak menginginkanmu.”Juned menoleh ke arah Tania, memperhatikan wajahnya dengan lebih saksama. Ada sesuatu di dalam tatapan Tania yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya—sebuah kehangatan yang selama ini mungkin ia abaikan.“Jadi... apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya pelan.Alisa tertawa kecil dan menepuk bahu Juned. “Itu pilihanmu, Mas. Tapi kalau kamu tanya aku... aku akan bilang tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Ada seseorang yang lebih pantas untuk kamu hargai di rumah ini.”Juned kembali menatap Tania, dan kali ini, hatinya mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pikirkan.Juned mengalihkan pandangannya menatap Alisa dengan raut bingung. “Kenapa kamu bisa tahu semua tentang aku? Bahkan hal-hal yang aku sendiri baru sada
Mereka bertiga duduk di ruang tengah, dengan secangkir teh di depan masing-masing.Juned mengerutkan kening, mencoba menggali ingatan terakhir yang masih terasa kabur di kepalanya. Seolah ada sesuatu yang penting, sesuatu yang begitu emosional, namun belum sepenuhnya jelas.Perlahan, bayangan tentang seseorang muncul di benaknya. “Apa benar kalau tante Lilis sudah meninggal?”Tania menganggukkan kepalanya perlahan. “Hal itulah yang membuatmu menjadi depresi, Juned.”Juned terdiam, napasnya sedikit berat. Ia mulai mengingat saat terakhir bersama Lilis, dan bagaimana wanita itu menghilang dari hidupnya. “Mas Juned harus merelakan apa yang sudah terjadi.” Sahut Alisa dengan serius.Tiba-tiba, amarah menyala di matanya. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal. “Anton...” gumamnya pelan, namun penuh kebencian.Tania dan Alisa yang sedari tadi memperhatikan perubahan ekspresi Juned saling bertukar pandang.“Apa kamu akan kembali membalas dendam kepada Anton?” tanya Tania dengan nad
“Ju... Juned?” Tania berbisik, masih belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi.Juned perlahan menarik diri, matanya yang sebelumnya kosong kini tampak lebih hidup. Ada kebingungan di wajahnya, tetapi juga ketenangan yang sebelumnya tidak ada.“Bukankah kamu... Tania?” tanya Juned dengan suara lembut, seperti seorang anak kecil yang baru saja bangun dari tidur panjang.Tania terdiam, hatinya mencelos. Ini pertama kalinya setelah sekian lama Juned berbicara dengan nada normal—bukan gumaman tak jelas atau ocehan seperti orang kehilangan akal.“Apa kau sudah mengingatku?” Tania sedikit tersenyum lega.Juned mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah baru menyadari sesuatu. Tatapannya menyapu tubuh Tania yang masih mengenakan handuk, lalu ia tersenyum lembut."Oh, Kenapa kamu hanya memakai handuk?" katanya santai. "Biasanya wanita yang hanya memakai handuk ingin aku untuk menidurinya. Apa kamu juga mau, Tania?"Tania membeku. Jantungnya kembali berdegup kencang, bukan hanya karen
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di