"Dengan siapa kamu jalan malam ini, Bu?!" Seru Mas Hendra, suami yang telah mendampingi hidupku selama dua puluh empat tahun ini.
Tatapan garangnya samasekali tak mempengaruhi nyali yang kumiliki justru sebaliknya hati ini semakin girang dibuatnya. Itu artinya Mas Hendra telah masuk kedalam perangkapku, permainan baru saja dimulai tapi ternyata dia sudah semarah itu, bagaimana dengan diriku yang sudah tujuh tahun dia selingkuhi bahkan lima tahun belakangan ini telah menikah siri dengan idaman lain tanpa sepengetahuan apalagi ijin dariku sebagai istri sahnya.
Tanpa memperdulikan wajah yang merah padam pertanda akan membaranya sebongkah daging di dalam sana, kutuntun lembut Mas Hendra memasuki kamar karena tak ingin pertikaian antar dua orang yang tak lagi muda ini terdengar keempat anak yang bahkan sudah berada di usia dewasa.
Pelan kuputar knop pintu begitu aku dan Mas Hendra telah masuk kedalam kamar.
"Ibu!" Seru Mas Hendra kembali seraya mencengkeram lenganku.
"Bapak, duduk dulu. Biar Ibu jelaskan," tukasku lembut seraya melepas lengan dari cengkeraman kuatnya dan memimpin untuk menghempaskan bobot tubuh ke ranjang tapi alih-alih ikut duduk, Mas Hendra nampak mematung dengan berkacak pinggang seakan siap menerkam tubuh mungilku.
"Ayuk, sini," titahku sembari menepuk sisi kasur disebelah kanan.
"Jawab Ibu," timpal Mas Hendra meradang sepertinya ketenangan yang kutunjukkan semakin menyulut emosinya.
Kusilangkan kedua kaki dan lekat menatap lelaki yang semakin berumur semakin menawan itu, sangat gagah memang dengan badan tegap dan kumis tipis menambah kewibawaan yang dimiliki. Apalagi dengan jabatan sebagai pemegang perusahaan yang cukup diagungkan, sangat mungkin jika banyak yang menaruh hati padanya.
Para wanita yang layak disebut sebagai perebut kebahagiaan wanita lain itu tak tahu saja bagaimana perjuangan istri dibalik kesuksesan suami, seringkali bukan hanya minat yang mencoba ditekan tapi kebutuhan perut pun tak jarang untuk ditahan. Bukan hanya itu seorang istri juga rela mengorbankan seluruh waktu yang bahkan tak mungkin untuk kembali diminta demi melancarkan pekerjaan suami meskipun hanya sekedar membangunkan kala subuh menyapa atau sekedar menyiapkan kebutuhan pokok seperti sarapan. Tapi, semua itu tak akan berjalan lancar bila sehari saja seorang istri melalaikan tugasnya.
Dan kini, kala kesuksesan telah erat berada di genggaman ketika harta seakan tak akan pernah habis selama tujuh turunan. Dirimu hadir melenggang diantara hubungan halal kami bahkan tak sungkan kalian halalkan pula hubungan terlarang itu meski tanpa restu dariku?! Bukankah syarat pernikahan kedua itu harus atas persetujuan istri pertama walaupun akad itu tetap halal jadinya tapi bagaimana bila kebaikan itu di tempuh dengan cara nista?!
"Ibu!" sentak Mas Hendra membuyarkan segala serapah yang tersimpan rapat dalam lubuk hati terdalamku.
Aku terhenyak, inginku cakar wajah Mas Hendra sekuat yang kumampu, mencabik isi dalam dadanya bila itu perlu dan menghancurkan hati yang telah berkhianat itu tapi tak mungkin kulakukan sekarang, sakit hati ini harus terbalas dengan luka yang tak terlihat pula. Bukankah, itu lebih membinasakan?! Biarlah amarah ini kutekan sekuat yang kubisa, hingga nanti terbalas semua rasa.
"Bapak, tenang dulu. Tadi Ibu jalan sama Pak Budhy Setyoadji untuk menjalin kerjasama dalam pengadaan barang di butik," beberku mencoba menjelaskan.
"Kenapa harus kerjasama dengan budhy Setyoadji. Ibu kan bisa kerjasama dengan orang lain lagian pengusaha kain juga bukan hanya dirinya di kota ini!" Sergah Mas Hendra kasar.
"Loh, Pak Budhy itu kan teman SMA ibu jadi wajar dong kalau kita menjalin kerjasama. Lagian kalau di tempat Pak Budhy harganya jauh dari tempat lain," tukasku membela diri.
Mas Hendra nampak menghembuskan nafas berat dan menghempaskan bobot tubuh di sebelahku.
"Tapi kan Pak Budhy itu juga mantan Ibu dan sampai sekarang pun masih menduda sejak ditinggal pergi istrinya," timpal Mas Hendra keberatan.
Aku terhenyak tak menyangka Mas Hendra mengetahui sebanyak itu informasi tentang mantan pacarku waktu SMA dulu padahal tak pernah sekalipun mereka bertemu bahkan cuma sekali aku menceritakan tentang Mas Budhy. Itupun, saat kami masih menjadi pengantin baru.
"Bapak, bukankah sebagai kawan kita harus menjaga silaturahmi. Lalu masalahnya dimana jika Ibu kerjasama dengan beliau," imbuhku mencoba meluruskan jalan fikirannya.
"Pokoknya bapak tidak setuju!" Sentak Mas Hendra mencoba menunjukkan eksistensinya sebagai seorang lelaki.
Aku tersentak dan tajam menatap Mas Hendra.
"Tidak bisa begitu dong, Pak. Kontrak kerjasamanya sudah dibuat, lagian tak biasanya bapak ikut campur urusan pekerjaan ibu. Lalu mengapa sekarang tiba-tiba seperti ini?" Elakku mencoba mempertahankan keteguhan diri.
Mas Hendra tergagap mendapati istri yang biasanya tak sepatah kata pun menolak kini menjadi sangat lantang pada keputusannya.
"Loh! Ibu melawan Bapak?!" Sentak Mas Hendra tak terima.
"Ah, sudahlah Pak. Bapak cemburu pada Pak Budhy?!" Sergahku sedikit menghina dengan senyum di sudut bibir.
"Memang salah kalau bapak cemburu?! Wajar kan sebagai suami aku merasakan itu!" Teriak Mas Hendra sembari mengernyitkan kening.
Lembut kugenggam tangan Mas Hendra meski sebenarnya ingin menghempaskan.
"Pak, untuk apa cemburu diusia kita yang sudah mendekati setengah abad ini? Terlalu banyak tawa canda bahkan air mata yang telah kita lewati secara bersama-sama. Lalu setelah sampai titik ini, dimana umur pun entah sampai kapan masih diberi. Haruskah, Ibu mencari lelaki lain?" Sergahku lembut.
Meski masih menyimpan amarah tapi sudah tak nampak sebesar tadi. Sedikit kuberi ruang untuk Mas Hendra berpikir sebelum melanjutkan kalimat selanjutnya.
Panjang kuhela nafas mencoba mengaburkan rasa yang sebenarnya sangat menyakitkan.
"Hidup bersama Bapak adalah hal yang paling aku syukuri tanpa ada sedikitpun keinginan untuk mencari tambatan hati lain. Aku yakin bapak pun juga seperti itu," imbuhku memberi tekanan dalam setiap kata.
Wajah yang sembari tadi menempel aura kemarahan kini nampak kelimpungan.
"Dulu kita pernah berjanji untuk menua bersama, bukan?! dan kini Allah mewujudkan impian kita, tak mungkin Ibu akan mengingkari janji kita, aku yakin Bapak pasti juga seperti itu?! Imbuhku kembali memberi tekanan.
Lelaki di hadapanku itu kini nampak manggut-manggut sembari menutupi rasa bersalah yang sangat kentara dari deru nafas tuanya.
"Percayalah Pak, sejengkal pun tak akan pernah kulupakan apa yang telah Bapak perjuangkan demi kebahagiaan kita dan aku yakin Bapak pun pasti juga seperti itu. Bapak ingat, kala Bapak dikantor masih sebagai pegawai magang, seringkali kita menunda untuk pulang kampung hanya karena memilih untuk membeli susu Rama daripada untuk tranportasi? Bukan hanya itu, kita juga harus menekan kebutuhan kita demi cukupnya keperluan Rama yang saat itu masih bayi, Bapak ingat kan?!" Jelasku mencoba menekannya yang tanpa terasa juga menggiring derai air mata sendiri.
"Iya," lirih Mas Hendra tertunduk dalam mungkin hatinya keras tertampar.
"Dan sekarang masa itu telah berlalu, Bapak pun sudah pegang perusahaan sendiri sementara Ibu mengurus usaha butik, mana mungkin Ibu akan berpaling dari Bapak setelah begitu banyak air mata yang terkorban. Dan Ibu yakin Bapak pun tak akan pernah berpaling dari Ibu. Benar begitu, Pak?" Tandasku menyentil jiwa yang tengah gundah.
"Iya, Bu," lirihnya yang bahkan terdengar sayup dirunguku.
Andai Mas Hendra tahu permainan baru saja dimulai.
****
Dalam dua malam tak sedetik pun mampu kupejamkan netra. Bayang-bayang kemesraan yang mungkin telah dilalui Mas Hendra bersama madu yang bahkan belum pernah nampak padaku sekilas wajahnya terus berputar dikepala.Bila berbicara soal muda, dulu pun aku pernah mengalaminya tapi kala usia telah menggerus semua, apa daya kita sebagai seorang hamba tentang ketentuan yang menjadi hakNya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena paras yang sempurna, bukankah dulu aku pernah sangat dipuja bahkan kecantikanku terkenal sampai seantero kampung, tapi kala waktu telah mengaburkan semua, apa kita punya kemampuan untuk terus memilikinya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena selaput dara, betapa nista lelaki yang telah kupilih sebagai imam itu. Bukankah, setiap wanita hanya memiliki satu hak atas nama itu, dan dulu Mas Hendra lah yang mengoyak milikku. Lalu setelah semua yang dia renggut dari diriku, masih tega lelaki itu menampar hatiku.'Allahu akbar,' lirihku didalam sana diiringi dengan luruhnya
"Buk, apa Ibu baik-baik saja," tukas Mas Hendra kala kubuka netra, nampak kentara dirinya begitu tidak tenang yang entah untuk apa segala rasa khawatir itu bila tombak kehidupanku pun telah lenyap dibinasakannya.Segera kupalingkan muka karena tak ingin beradu pandang lebih lama."Apa ada salah Bapak pada Ibu?" tukas Mas Hendra menyelidik. Salah?! tak sadarkah apa yang telah terucap dari mulutnya itu. bukan hanya salah yang telah dia lakukan tapi sebuah kejahatan dengan menikamku dari belakang."Tidak ada, Pak," sergahku tanpa mampu menatap karena ternyata tak mudah untuk bersandiwara, apalagi diusia yang sudah setua ini."Ibu yakin? Lantas, kenapa dari tadi Ibu selalu menghindari Bapak?" tukas Mas Hendra tak percaya.""Menghindari?! Ibu rasa tak pernah menghindari Bapak. Ah sudahlah, jam berapa ini, Pak?" elakku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Mas Hendra mengernyitkan kening pertanda akan ragu yang masih bersemayam di hatinya."Jam Sebelas," jawab Mas Hendra singkat. untuk
"Bapak, aku berangkat dulu ya," pamitku pagi ini pada Mas Hendra yang sedang menikmati secangkir kopi yang telah kuhindangkan.Sembari membetulkan letak tas hitam yang menggantung di pundak kananku senada dengan dress hitam yang dilengkapi dengan blazer putih menjuntai hingga atas lutut.Kuraih tangan Mas Hendra untuk menciumnya sebelum berlalu tapi alih-alih disambut, Mas Hendra dengan sigap malah menyingkirkannya."Sepagi ini?" seru Mas Hendra keberatan, pagi ini aku memang berangkat pukul enam lewat tiga puluh menit, satu jam lebih awal dari biasanya."Iya, Pak. Pagi ini aku ada janji bertemu dengan pelanggan, yang kebetulan khusus pesan pakaian seragam keluarga untuk acara pernikahan," beberku menjelaskan.Mas Hendra mengernyitkan kening, menambah banyak garis yang sudah tergambar alami oleh usia."Ketemu pelanggan sepagi ini?" tukasnya kembali dengan kelopak terbuka sempurna."Sebelum bertemu pelanggan, aku harus ketemu sama Pak Budhy dulu untuk membicarakan tentang bahan yang se
Kebahagiaan sebenarnya tak pernah sejengkal pun menjauh dari keluarga kami. Pun kala cobaan datang secara bertubi-tubi di sepuluh tahun pertama usia pernikahan ini, semuanya kami lewati dengan cara yang baik tanpa saling menyalahkan ataupun menyakiti. Komitmen kami, apapun kondisinya komunikasi harus tetap terjalin agar tak ada rasa saling curiga.Hingga pagi itu, kala kutemukan secarik nota belanja kebutuhan rumahtangga di saku celana Mas Hendra, mulai dari segala keperluan mandi, dapur hingga yang dibutuhkan wanita kala tamu bulanan tiba yang jelas tertera disana, seakan menyapu bersih bahagia yang selama ini kugenggam tanpa sedikitpun meninggalkan asa.Bukan soal nominal yang hampir mencapai angka enam juta dalam satu nota, tapi lebih dari itu, milik siapa nota belanja ini?! Sementara untuk belanja bulanan, aku lah yang memegang kendalinya.Gemetar kupegang kertas persegi panjang dengan segala daftar belanja tertera dan jelas terbaca setiap itemnya bukan merk yang biasa aku gunakan
Kebahagiaan sebenarnya tak pernah sejengkal pun menjauh dari keluarga kami. Pun kala cobaan datang secara bertubi-tubi di sepuluh tahun pertama usia pernikahan ini, semuanya kami lewati dengan cara yang baik tanpa saling menyalahkan ataupun menyakiti. Komitmen kami, apapun kondisinya komunikasi harus tetap terjalin agar tak ada rasa saling curiga.Hingga pagi itu, kala kutemukan secarik nota belanja kebutuhan rumahtangga di saku celana Mas Hendra, mulai dari segala keperluan mandi, dapur hingga yang dibutuhkan wanita kala tamu bulanan tiba yang jelas tertera disana, seakan menyapu bersih bahagia yang selama ini kugenggam tanpa sedikitpun meninggalkan asa.Bukan soal nominal yang hampir mencapai angka enam juta dalam satu nota, tapi lebih dari itu, milik siapa nota belanja ini?! Sementara untuk belanja bulanan, aku lah yang memegang kendalinya.Gemetar kupegang kertas persegi panjang dengan segala daftar belanja tertera dan jelas terbaca setiap itemnya bukan merk yang biasa aku gunakan
"Bapak, aku berangkat dulu ya," pamitku pagi ini pada Mas Hendra yang sedang menikmati secangkir kopi yang telah kuhindangkan.Sembari membetulkan letak tas hitam yang menggantung di pundak kananku senada dengan dress hitam yang dilengkapi dengan blazer putih menjuntai hingga atas lutut.Kuraih tangan Mas Hendra untuk menciumnya sebelum berlalu tapi alih-alih disambut, Mas Hendra dengan sigap malah menyingkirkannya."Sepagi ini?" seru Mas Hendra keberatan, pagi ini aku memang berangkat pukul enam lewat tiga puluh menit, satu jam lebih awal dari biasanya."Iya, Pak. Pagi ini aku ada janji bertemu dengan pelanggan, yang kebetulan khusus pesan pakaian seragam keluarga untuk acara pernikahan," beberku menjelaskan.Mas Hendra mengernyitkan kening, menambah banyak garis yang sudah tergambar alami oleh usia."Ketemu pelanggan sepagi ini?" tukasnya kembali dengan kelopak terbuka sempurna."Sebelum bertemu pelanggan, aku harus ketemu sama Pak Budhy dulu untuk membicarakan tentang bahan yang se
"Buk, apa Ibu baik-baik saja," tukas Mas Hendra kala kubuka netra, nampak kentara dirinya begitu tidak tenang yang entah untuk apa segala rasa khawatir itu bila tombak kehidupanku pun telah lenyap dibinasakannya.Segera kupalingkan muka karena tak ingin beradu pandang lebih lama."Apa ada salah Bapak pada Ibu?" tukas Mas Hendra menyelidik. Salah?! tak sadarkah apa yang telah terucap dari mulutnya itu. bukan hanya salah yang telah dia lakukan tapi sebuah kejahatan dengan menikamku dari belakang."Tidak ada, Pak," sergahku tanpa mampu menatap karena ternyata tak mudah untuk bersandiwara, apalagi diusia yang sudah setua ini."Ibu yakin? Lantas, kenapa dari tadi Ibu selalu menghindari Bapak?" tukas Mas Hendra tak percaya.""Menghindari?! Ibu rasa tak pernah menghindari Bapak. Ah sudahlah, jam berapa ini, Pak?" elakku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Mas Hendra mengernyitkan kening pertanda akan ragu yang masih bersemayam di hatinya."Jam Sebelas," jawab Mas Hendra singkat. untuk
Dalam dua malam tak sedetik pun mampu kupejamkan netra. Bayang-bayang kemesraan yang mungkin telah dilalui Mas Hendra bersama madu yang bahkan belum pernah nampak padaku sekilas wajahnya terus berputar dikepala.Bila berbicara soal muda, dulu pun aku pernah mengalaminya tapi kala usia telah menggerus semua, apa daya kita sebagai seorang hamba tentang ketentuan yang menjadi hakNya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena paras yang sempurna, bukankah dulu aku pernah sangat dipuja bahkan kecantikanku terkenal sampai seantero kampung, tapi kala waktu telah mengaburkan semua, apa kita punya kemampuan untuk terus memilikinya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena selaput dara, betapa nista lelaki yang telah kupilih sebagai imam itu. Bukankah, setiap wanita hanya memiliki satu hak atas nama itu, dan dulu Mas Hendra lah yang mengoyak milikku. Lalu setelah semua yang dia renggut dari diriku, masih tega lelaki itu menampar hatiku.'Allahu akbar,' lirihku didalam sana diiringi dengan luruhnya
"Dengan siapa kamu jalan malam ini, Bu?!" Seru Mas Hendra, suami yang telah mendampingi hidupku selama dua puluh empat tahun ini. Tatapan garangnya samasekali tak mempengaruhi nyali yang kumiliki justru sebaliknya hati ini semakin girang dibuatnya. Itu artinya Mas Hendra telah masuk kedalam perangkapku, permainan baru saja dimulai tapi ternyata dia sudah semarah itu, bagaimana dengan diriku yang sudah tujuh tahun dia selingkuhi bahkan lima tahun belakangan ini telah menikah siri dengan idaman lain tanpa sepengetahuan apalagi ijin dariku sebagai istri sahnya.Tanpa memperdulikan wajah yang merah padam pertanda akan membaranya sebongkah daging di dalam sana, kutuntun lembut Mas Hendra memasuki kamar karena tak ingin pertikaian antar dua orang yang tak lagi muda ini terdengar keempat anak yang bahkan sudah berada di usia dewasa.Pelan kuputar knop pintu begitu aku dan Mas Hendra telah masuk kedalam kamar. "Ibu!" Seru Mas Hendra kembali seraya mencengkeram lenganku. "Bapak, duduk dulu.