Dalam dua malam tak sedetik pun mampu kupejamkan netra. Bayang-bayang kemesraan yang mungkin telah dilalui Mas Hendra bersama madu yang bahkan belum pernah nampak padaku sekilas wajahnya terus berputar dikepala.
Bila berbicara soal muda, dulu pun aku pernah mengalaminya tapi kala usia telah menggerus semua, apa daya kita sebagai seorang hamba tentang ketentuan yang menjadi hakNya.
Bila perselingkuhan itu terjadi karena paras yang sempurna, bukankah dulu aku pernah sangat dipuja bahkan kecantikanku terkenal sampai seantero kampung, tapi kala waktu telah mengaburkan semua, apa kita punya kemampuan untuk terus memilikinya.
Bila perselingkuhan itu terjadi karena selaput dara, betapa nista lelaki yang telah kupilih sebagai imam itu. Bukankah, setiap wanita hanya memiliki satu hak atas nama itu, dan dulu Mas Hendra lah yang mengoyak milikku. Lalu setelah semua yang dia renggut dari diriku, masih tega lelaki itu menampar hatiku.
'Allahu akbar,' lirihku didalam sana diiringi dengan luruhnya tubuh di atas sajadah hijau dengan gambar ka'bah. Sajadah yang umurnya sama dengan usia perkawinanku, meski sudah nampak tak secerah dulu tapi ini adalah sajadah kesukaanku, mungkin karena ini adalah mahar atas terjadinya akad antara kami.
Sebenarnya sudah hampir satu tahun aku mencurigai akan perbedaan pada diri Mas Hendra, sikapnya yang semakin acuh dengan alibi lelah, pulang kerja kala pagi hampir menjelang dengan alasan kerjaan atau kehangatan bersama keluarga yang lambat laun mulai ditinggalkan.
Tanpa sepengetahuan Mas Hendra kupasang gps tracking di mobil miliknya, meski untuk melakukan itu, aku harus meminta orang melakukan pemasangan kala malam menyapa, ketika sang empu sedang terlelap dalam mimpi indahnya.
Dari gps itu terlihat jelas selain ke kantor mobil Mas Hendra tak pernah luput sehari pun meluncur ke satu lokasi itu. Iya, rumah dengan cat berwarna kuning menyala berpadu dengan hijau daun muda.
Siang itu dengan keteguhan hati yang telah lama kusiapkan kucoba untuk mengunjungi rumah itu, setidaknya bisa kudapatkan informasi dari para tetangga. Sendiri tanpa sepengetahuan siapapun termasuk anak-anakku yang dua diantaranya telah berada di usia matang, bahkan tinggal beberapa bulan lagi si sulung akan menikahi gadis pilihannya.
Miris memang, diusiaku yang sudah tinggal beberapa tahun lagi telah berada di masa menopause, harus rela mendapati suami yang telah dilayani berpuluh tahun lamanya dengan sepenuh jiwa, telah memilih untuk membagi hatinya.
Aku yakin dunia pun akan terbahak melihatku yang sudah layak dipanggil oma ini, menjadi detektif bagi suami sendiri. Mungkin aku akan dipanggil dengan sebutan bucin, iya nama yang mereka sematkan pada seseorang yang mengagungkan cinta tapi bagaimanapun juga, setua apapun diriku, aku tetaplah seorang wanita yang akan terluka kala penghianatan yang menjadi balasannya.
"Itu rumahnya Neng Aida, Bu. Orang yang sangat dermawan pada tetangganya. Sudah bersuami dengan Pak Hendra, Sudah lama mereka menikah bahkan semenjak pindah ke kampung ini lima tahun lalu, setahu saya mereka sudah menikah," jawab salah satu tetangga rumah, yang kebetulan mempunyai warung kelontong dengan alibi membeli sebotol minuman.
Benar saja Mas Hendra, nama yang sama persis dengan suamiku. Bahkan kala kutunjukkan fotonya, Ibu pemilik warung itu dengan tegas mengiyakan.
Sakit sungguh kentara menggerogoti seluruh asa yang kupunya, impian untuk berbahagia di masa tua yang sudah terpampang di pelupuk mata harus tergantikan dengan air mata.
Mas Hendra, lelaki yang sudah banyak makan asam garam kehidupan itu begitu lihai menutup kebusukannya. Bahkan, dari diriku yang seringkali bersama atau ini karena kepercayaan yang begitu buta kuberikan padanya. Hingga bertahun lamanya dimadu tanpa tahu.
Aida?! tak tahukah dirinya bahwa lelaki yang menikahinya telah berpasangan halal dengan wanita yang bahkan seumuran dengan Ibunya. Andai dia tahu tentang itu, betapa buruk perangainya memilih untuk meneguk bahagia diatas derita orang lain.
Tak ingin gegabah dalam mengambil tindakan, kupilih untuk berpura dan menutup segala yang kutahu rapat-rapat. Menahan luka yang yang telah membinasakan jiwa, demi satu kata balas dendam yang terdengar tak wajar untuk wanita setua diriku.
Tapi tekadku telah bulat, bila kubuka semuanya sekarang, maka akhirnya aku disuruh memilih mundur atau bertahan dan bila aku memutuskan berhenti, maka Aida akan leluasa menikmati susah payah dan derita yang kualami selama dua puluh empat tahun ini.
Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Biarlah aku bertahan lebih lama lagi meski harus memeluk luka ini sendiri, pada masanya akan kubuat mereka merasakan sakit yang mereka cipta di dalam sana.
🌸🌸🌸🌸
"Ibu, hari ini agenda kantor sangat padat. Kemungkinan Bapak tidak pulang malam ini," tutur Mas Hendra kala tengah menyantap sarapan bersama keempat anak kami.
Kuteguk sisa air putih di dalam gelas, meski tak mudah untuk mengalirkannya ke lambung karena tiba-tiba terasa ada yang mengganjal di kerongkongan.
"Iya," lirihku mencoba tenang agar terdengar wajar bagi rungu yang menangkap gelombangnya.
Kutatap langit-langit-langit rumah yang berwarna putih dengan hiasan gumpalan warna biru untuk menahan genangan air di pelupuk mata.
"Maaf ya, Bu. Bapak usahakan besok selepas sholat subuh sudah berada di rumah," timpal Bapak seakan menangkap kesedihan di wajahku.
Anak-anak yang berada di tengah obrolan kami saling tatap dengan senyum menggoda dan sesekali berlomba mengeluarkan suara batuk kambing.
Aku berpura menarik kedua sudut bibir untuk menutupi lara hati. Andai mereka tahu kemana sang ayah, orang yang mereka kagumi sedari dulu karena wibawa yang dia miliki itu akan pergi malam ini. Masih seperti inikah sikap mereka?! atau serentak akan keluar seribu serapah dari mulut mereka?! Entahlah, hatiku terlampau berat untuk memikirkannya, menata hati sendiri saja tak henti membuat derai air mata.
"Pergi saja, Pak. Selesaikan urusan Bapak, semoga diberi kelancaran hingga tak mesti sampai selepas subuh sudah di rumah," lirihku memberi ijin.
Kembali kuhela nafas panjang, mencoba mengatur deru jantung yang berpacu tak beraturan. Jelas mereka sudah sangat merindu untuk melewati keheningan malam bersama, sudah lebih dari seminggu Mas Hendra selalu tidur di rumah dan pastinya sangat merindukan istri mudanya begitupula sebaliknya.
Argh, membayangkan akan kehangatan yang akan Mas Hendra rasakan malam ini bersama istri mudanya, sungguh membuat sarapan yang baru saja bersemayam di perutku berlomba untuk kembali keluar.
Bergegas kuberlari ke kamar mandi karena sudah tak mampu lagi menahan isi perut, tanpa menghiraukan gedoran pintu yang di ketok bertalu-talu, kukeluarkan seluruh isi perut dengan air mata berderai.
Kutumpahkan air mata di dalam ruangan yang rapat kututup pintunya, air kran kunyalakan untuk mengaburkan isakan yang tak mampu kuheningkan.
'Allahu akbar sesakit ini rasanya sebuah penghianatan, andai bisa memilih mungkin aku akan memilih untuk dikuliti tubuhku, daripada digerus hati ini yang entah sampai kapan akan berakhir rasa ini,' gumamku pilu di tengah isakan memperihatinkan.
"Ibu," seru Rama, sulungku yang terdengar semakin sayup.
"Ibu, buka pintunya," teriak Mas Hendra dengan gedoran yang tak kalah keras.
Nanar kutatap seisi ruangan yang semakin mengabur di mataku hingga hanya gelap yang terpampang di depan mata.
****
"Buk, apa Ibu baik-baik saja," tukas Mas Hendra kala kubuka netra, nampak kentara dirinya begitu tidak tenang yang entah untuk apa segala rasa khawatir itu bila tombak kehidupanku pun telah lenyap dibinasakannya.Segera kupalingkan muka karena tak ingin beradu pandang lebih lama."Apa ada salah Bapak pada Ibu?" tukas Mas Hendra menyelidik. Salah?! tak sadarkah apa yang telah terucap dari mulutnya itu. bukan hanya salah yang telah dia lakukan tapi sebuah kejahatan dengan menikamku dari belakang."Tidak ada, Pak," sergahku tanpa mampu menatap karena ternyata tak mudah untuk bersandiwara, apalagi diusia yang sudah setua ini."Ibu yakin? Lantas, kenapa dari tadi Ibu selalu menghindari Bapak?" tukas Mas Hendra tak percaya.""Menghindari?! Ibu rasa tak pernah menghindari Bapak. Ah sudahlah, jam berapa ini, Pak?" elakku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Mas Hendra mengernyitkan kening pertanda akan ragu yang masih bersemayam di hatinya."Jam Sebelas," jawab Mas Hendra singkat. untuk
"Bapak, aku berangkat dulu ya," pamitku pagi ini pada Mas Hendra yang sedang menikmati secangkir kopi yang telah kuhindangkan.Sembari membetulkan letak tas hitam yang menggantung di pundak kananku senada dengan dress hitam yang dilengkapi dengan blazer putih menjuntai hingga atas lutut.Kuraih tangan Mas Hendra untuk menciumnya sebelum berlalu tapi alih-alih disambut, Mas Hendra dengan sigap malah menyingkirkannya."Sepagi ini?" seru Mas Hendra keberatan, pagi ini aku memang berangkat pukul enam lewat tiga puluh menit, satu jam lebih awal dari biasanya."Iya, Pak. Pagi ini aku ada janji bertemu dengan pelanggan, yang kebetulan khusus pesan pakaian seragam keluarga untuk acara pernikahan," beberku menjelaskan.Mas Hendra mengernyitkan kening, menambah banyak garis yang sudah tergambar alami oleh usia."Ketemu pelanggan sepagi ini?" tukasnya kembali dengan kelopak terbuka sempurna."Sebelum bertemu pelanggan, aku harus ketemu sama Pak Budhy dulu untuk membicarakan tentang bahan yang se
Kebahagiaan sebenarnya tak pernah sejengkal pun menjauh dari keluarga kami. Pun kala cobaan datang secara bertubi-tubi di sepuluh tahun pertama usia pernikahan ini, semuanya kami lewati dengan cara yang baik tanpa saling menyalahkan ataupun menyakiti. Komitmen kami, apapun kondisinya komunikasi harus tetap terjalin agar tak ada rasa saling curiga.Hingga pagi itu, kala kutemukan secarik nota belanja kebutuhan rumahtangga di saku celana Mas Hendra, mulai dari segala keperluan mandi, dapur hingga yang dibutuhkan wanita kala tamu bulanan tiba yang jelas tertera disana, seakan menyapu bersih bahagia yang selama ini kugenggam tanpa sedikitpun meninggalkan asa.Bukan soal nominal yang hampir mencapai angka enam juta dalam satu nota, tapi lebih dari itu, milik siapa nota belanja ini?! Sementara untuk belanja bulanan, aku lah yang memegang kendalinya.Gemetar kupegang kertas persegi panjang dengan segala daftar belanja tertera dan jelas terbaca setiap itemnya bukan merk yang biasa aku gunakan
"Dengan siapa kamu jalan malam ini, Bu?!" Seru Mas Hendra, suami yang telah mendampingi hidupku selama dua puluh empat tahun ini. Tatapan garangnya samasekali tak mempengaruhi nyali yang kumiliki justru sebaliknya hati ini semakin girang dibuatnya. Itu artinya Mas Hendra telah masuk kedalam perangkapku, permainan baru saja dimulai tapi ternyata dia sudah semarah itu, bagaimana dengan diriku yang sudah tujuh tahun dia selingkuhi bahkan lima tahun belakangan ini telah menikah siri dengan idaman lain tanpa sepengetahuan apalagi ijin dariku sebagai istri sahnya.Tanpa memperdulikan wajah yang merah padam pertanda akan membaranya sebongkah daging di dalam sana, kutuntun lembut Mas Hendra memasuki kamar karena tak ingin pertikaian antar dua orang yang tak lagi muda ini terdengar keempat anak yang bahkan sudah berada di usia dewasa.Pelan kuputar knop pintu begitu aku dan Mas Hendra telah masuk kedalam kamar. "Ibu!" Seru Mas Hendra kembali seraya mencengkeram lenganku. "Bapak, duduk dulu.
Kebahagiaan sebenarnya tak pernah sejengkal pun menjauh dari keluarga kami. Pun kala cobaan datang secara bertubi-tubi di sepuluh tahun pertama usia pernikahan ini, semuanya kami lewati dengan cara yang baik tanpa saling menyalahkan ataupun menyakiti. Komitmen kami, apapun kondisinya komunikasi harus tetap terjalin agar tak ada rasa saling curiga.Hingga pagi itu, kala kutemukan secarik nota belanja kebutuhan rumahtangga di saku celana Mas Hendra, mulai dari segala keperluan mandi, dapur hingga yang dibutuhkan wanita kala tamu bulanan tiba yang jelas tertera disana, seakan menyapu bersih bahagia yang selama ini kugenggam tanpa sedikitpun meninggalkan asa.Bukan soal nominal yang hampir mencapai angka enam juta dalam satu nota, tapi lebih dari itu, milik siapa nota belanja ini?! Sementara untuk belanja bulanan, aku lah yang memegang kendalinya.Gemetar kupegang kertas persegi panjang dengan segala daftar belanja tertera dan jelas terbaca setiap itemnya bukan merk yang biasa aku gunakan
"Bapak, aku berangkat dulu ya," pamitku pagi ini pada Mas Hendra yang sedang menikmati secangkir kopi yang telah kuhindangkan.Sembari membetulkan letak tas hitam yang menggantung di pundak kananku senada dengan dress hitam yang dilengkapi dengan blazer putih menjuntai hingga atas lutut.Kuraih tangan Mas Hendra untuk menciumnya sebelum berlalu tapi alih-alih disambut, Mas Hendra dengan sigap malah menyingkirkannya."Sepagi ini?" seru Mas Hendra keberatan, pagi ini aku memang berangkat pukul enam lewat tiga puluh menit, satu jam lebih awal dari biasanya."Iya, Pak. Pagi ini aku ada janji bertemu dengan pelanggan, yang kebetulan khusus pesan pakaian seragam keluarga untuk acara pernikahan," beberku menjelaskan.Mas Hendra mengernyitkan kening, menambah banyak garis yang sudah tergambar alami oleh usia."Ketemu pelanggan sepagi ini?" tukasnya kembali dengan kelopak terbuka sempurna."Sebelum bertemu pelanggan, aku harus ketemu sama Pak Budhy dulu untuk membicarakan tentang bahan yang se
"Buk, apa Ibu baik-baik saja," tukas Mas Hendra kala kubuka netra, nampak kentara dirinya begitu tidak tenang yang entah untuk apa segala rasa khawatir itu bila tombak kehidupanku pun telah lenyap dibinasakannya.Segera kupalingkan muka karena tak ingin beradu pandang lebih lama."Apa ada salah Bapak pada Ibu?" tukas Mas Hendra menyelidik. Salah?! tak sadarkah apa yang telah terucap dari mulutnya itu. bukan hanya salah yang telah dia lakukan tapi sebuah kejahatan dengan menikamku dari belakang."Tidak ada, Pak," sergahku tanpa mampu menatap karena ternyata tak mudah untuk bersandiwara, apalagi diusia yang sudah setua ini."Ibu yakin? Lantas, kenapa dari tadi Ibu selalu menghindari Bapak?" tukas Mas Hendra tak percaya.""Menghindari?! Ibu rasa tak pernah menghindari Bapak. Ah sudahlah, jam berapa ini, Pak?" elakku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Mas Hendra mengernyitkan kening pertanda akan ragu yang masih bersemayam di hatinya."Jam Sebelas," jawab Mas Hendra singkat. untuk
Dalam dua malam tak sedetik pun mampu kupejamkan netra. Bayang-bayang kemesraan yang mungkin telah dilalui Mas Hendra bersama madu yang bahkan belum pernah nampak padaku sekilas wajahnya terus berputar dikepala.Bila berbicara soal muda, dulu pun aku pernah mengalaminya tapi kala usia telah menggerus semua, apa daya kita sebagai seorang hamba tentang ketentuan yang menjadi hakNya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena paras yang sempurna, bukankah dulu aku pernah sangat dipuja bahkan kecantikanku terkenal sampai seantero kampung, tapi kala waktu telah mengaburkan semua, apa kita punya kemampuan untuk terus memilikinya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena selaput dara, betapa nista lelaki yang telah kupilih sebagai imam itu. Bukankah, setiap wanita hanya memiliki satu hak atas nama itu, dan dulu Mas Hendra lah yang mengoyak milikku. Lalu setelah semua yang dia renggut dari diriku, masih tega lelaki itu menampar hatiku.'Allahu akbar,' lirihku didalam sana diiringi dengan luruhnya
"Dengan siapa kamu jalan malam ini, Bu?!" Seru Mas Hendra, suami yang telah mendampingi hidupku selama dua puluh empat tahun ini. Tatapan garangnya samasekali tak mempengaruhi nyali yang kumiliki justru sebaliknya hati ini semakin girang dibuatnya. Itu artinya Mas Hendra telah masuk kedalam perangkapku, permainan baru saja dimulai tapi ternyata dia sudah semarah itu, bagaimana dengan diriku yang sudah tujuh tahun dia selingkuhi bahkan lima tahun belakangan ini telah menikah siri dengan idaman lain tanpa sepengetahuan apalagi ijin dariku sebagai istri sahnya.Tanpa memperdulikan wajah yang merah padam pertanda akan membaranya sebongkah daging di dalam sana, kutuntun lembut Mas Hendra memasuki kamar karena tak ingin pertikaian antar dua orang yang tak lagi muda ini terdengar keempat anak yang bahkan sudah berada di usia dewasa.Pelan kuputar knop pintu begitu aku dan Mas Hendra telah masuk kedalam kamar. "Ibu!" Seru Mas Hendra kembali seraya mencengkeram lenganku. "Bapak, duduk dulu.