Kebahagiaan sebenarnya tak pernah sejengkal pun menjauh dari keluarga kami. Pun kala cobaan datang secara bertubi-tubi di sepuluh tahun pertama usia pernikahan ini, semuanya kami lewati dengan cara yang baik tanpa saling menyalahkan ataupun menyakiti. Komitmen kami, apapun kondisinya komunikasi harus tetap terjalin agar tak ada rasa saling curiga.
Hingga pagi itu, kala kutemukan secarik nota belanja kebutuhan rumahtangga di saku celana Mas Hendra, mulai dari segala keperluan mandi, dapur hingga yang dibutuhkan wanita kala tamu bulanan tiba yang jelas tertera disana, seakan menyapu bersih bahagia yang selama ini kugenggam tanpa sedikitpun meninggalkan asa.
Bukan soal nominal yang hampir mencapai angka enam juta dalam satu nota, tapi lebih dari itu, milik siapa nota belanja ini?! Sementara untuk belanja bulanan, aku lah yang memegang kendalinya.
Gemetar kupegang kertas persegi panjang dengan segala daftar belanja tertera dan jelas terbaca setiap itemnya bukan merk yang biasa aku gunakan, dengan diiringi tubuh yang luruh ke lantai dan air mata berderai.
Meski belum tahu kepastiannya tapi entah mengapa rasanya sudah sangat menusuk jiwa, kuat kuremas dada ini dengan kedua tangan yang seketika terasa sangat menyesakkan, kepala yang terasa pusing dan pandangan berkunang-kunang.
'Allahu akbar, wanita mana yang bersama dengan suamiku? apa hubungan mereka hingga Mas Hendra harus mencukupi kebutuhan bulanannya?!' piluku di lubuk hati terdalam.
Kutangkupkan kedua telapak tangan menutupi wajah. Apa ini adalah tanda akan hadirnya sebuah penghianatan?!
"Ibu," seru Bapak mengagetkan, buru-buru kusimpan bukti awal itu ke dalam saku daster yang kukenakan.
Sangat cukup memang bila aku ingin melabrak dan menampar Mas Hendra saat itu juga tapi naluriku berkata lain, hingga kuputuskan menahan untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang sudah dia sembunyikan selama ini dariku.
"Ibu kenapa?" Tukas Mas Hendra heran mungkin dia menangkap bekas air di sudut netra yang belum sempat kuhilangkan.
"Eh, ini melihat drama korea. Ibu tak bisa menahan tangis, sedih banget ceritanya, Pak," tukasku mulai bersandiwara untuk pertama kali sembari menunjukkan drama yang sedang berputar di gawai dan kuletakkan tepat diatas mesin cuci.
Ternyata kebiasaan menonton drama korea sembari memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam mesin cuci menjadi penyelamatku kali ini.
"Ibu ... Ibu .... " decak Mas Hendra tertawa geli mendapati tingkahku yang memang sudah sangat dia hafal itu.
Aku tersenyum masam mengaburkan derita yang menerpa, bila sampai mengundang curiga maka dapat dipastikan Mas Hendra akan lebih waspada melanjutkan kebohongan. Aku tak tahu lelaki seperti apa yang tengah tegap berdiri di hadapanku ini, yang jelas dia bukanlah suami yang kukenal, yang selama ini mengagungkan satu nama yaitu komunikasi.
🌸🌸🌸🌸
Mungkin aku masih mampu berdiri kokoh menopang bobot tubuhku tapi ternyata tidak dengan hatiku yang setiap aku menelisik hanya hampa yang kudapat.
Mungkin bibirku masih bisa melukis seulas senyum tapi ternyata tidak dengan jiwaku yang tak henti meratap pilu.
Semenjak apa yang kudapatkan di saku celana Mas Hendra kini aku lebih terpacu untuk mencari bukti selanjutnya. Ruang kerja Mas Hendra juga tumpukan kotak di atas lemari yang baru kusadari sering berpindah posisi menjadi sasaran awalku mencari bukti.
Padahal kotak-kotak itu hanya berisi beberapa potong pakaian yang sudah tak di kenakan untuk mengurangi beban almari agar tak terlalu memberatkan. Tapi, mengapa posisinya seringkali berubah, apa sebenarnya yang Mas Hendra sembunyikan di sana?! gumamku penuh tanya.
Tak ingin ada yang terlepas dari penglihatan, kubolak-balik setiap tempat yang mungkin jadi persembunyian bukti kebusukan Mas Hendra dengan seribu mata elang, meski tubuh hampir lemas kelelahan tetap kucoba mengais serpihan kenyataan yang beberapa tahun ini dia sembunyikan.
Lembaran demi lembaran dokumen kubuka satu persatu tanpa terlupa, tapi nihil tak ada apapun yang kutemui disana, setiap sekat dalam meja dan lemari yang berada di ruang kerja pun tak luput dari jiwa detektifku, namun kembali lagi tak ada satupun penemuan berarti.
Dalam keputus asaan kuedarkan pandangan menelisik setiap jengkal ruangan di tempat yang biasa Mas Hendra gunakan untuk menghabiskan waktu senggangnya ini, inci demi inci kuteliti hingga nampak seakan aku telah menjadi wanita gila.
Dan benar saja kutemukan kotak yang tepat terletak di kolong meja Mas Hendra, kolong yang sebenernya teramat sempit untuk menyimpan sesuatu bahkan jika ada tikus yang mencoba masuk pun akan terjepit di tengah jalan.
Aku harus berusaha meyakinkan, apakah itu benar sebuah kotak atau hanya bayangan hitam saja, kuyalakan lampu penerangan di gawaiku dan mulai mengedarkan cahayanya di bawah kolong meja.
Benar sebuah kotak kecil tersimpan di sana, tapi bagaimana mengambilnya? kukernyitkan kening dan mulai memikirkan sebuah ide. Hingga, aku berinisiatif untuk mencoba mengangkatnya pelan dan menggunakan kaki kanan untuk menggesernya kala meja telah berhasil terangkat.
Meski telapak tangan memerah disertai rasa perih, tapi aku puas telah berhasil mengeluarkan benda persegi itu.
Sebuah kotak berwarna hijau daun muda dan berhiaskan simpul kecil yang tak kalah mempesona. Kukeluarkan secarik kertas yang sengaja dilipat sekecil mungkin agar bisa bersemayam di dalamnya.
Tanganku gemetar kala berlahan mulai terlihat akan hal yang tertera di sana. Pada barisan paling atas tepat berada di tengah, ada tulisan dengan huruf kapital yang di cetak tebal SURAT NIKAH SEMENTARA.
Deg ... detak jantungku tiba-tiba terasa berhenti, seluruh persediaan seakan telah lepas dari tempatnya, pun dengan darah yang sepertinya membeku, dengan tubuh yang telah luruh bersujud di lantai menangis pilu meratapi takdir hidup yang begitu menyakitkan.
Apa salah dan kurangku sebagai seorang istri?! mengapa tak pernah sekalipun ia ungkap akan ketidak sempurnaan diriku hingga mendorongnya untuk mencari yang lebih baik dari diri ini?!
Dianggap apa diriku selama ini, hingga tak pantas pendapatku sebagai istrinya kala memutuskan kembali menikah untuk yang kedua kalinya?! Allahurabbi, mengapa Mas Hendra hanya berusaha mengikis hatiku , kenapa tak sekalian dengan raga ini dia binasakan?!
Tak henti aku terus mencerca dan meratap, entah untuk siapa. Allah kah yang salah telah memberikan takdir seperti ini? atau Mas Hendra yang tak mampu menjaga hati? atau bahkan diri ini yang tak layak disebut sebagai seorang istri?!
Keras tak henti tanganku memukul dada yang seakan tidak memberikan ruang untukku bernapas, kucoba berdiri dan meraih air putih yang terletak di atas meja, namun gelas itu terlepas dari tangan hingga jatuh dan pecah berserakan sebelum mampu kuteguk isinya.
'Ah, mengapa semuanya seakan tak memihak padaku,' gumamku pilu dalam isakan. kuhempaskan bobot tubuh di atas kursi kerja Mas Hendra dan menghela nafas sepanjang yang kubisa sebelum akhirnya pelan menghembuskan.
Dengan terseok kucoba mengumpulkan kembali keberanian untuk melanjutkan membaca apa yang telah tertera disana.
Mempelai lelaki tertulis dengan nama Hendra Jendral Mahendra dengan mempelai perempuan bernama Aida Khairunnisa, dan dibarisan terakhir ada imbuhan tanda tangan kedua mempelai serta penghulu Nikah sebagai pengukuhan atas sahnya surat itu.
Aida Khairunnisa, siapa sebenarnya sosok wanita perebut laki orang itu?!
***
"Dengan siapa kamu jalan malam ini, Bu?!" Seru Mas Hendra, suami yang telah mendampingi hidupku selama dua puluh empat tahun ini. Tatapan garangnya samasekali tak mempengaruhi nyali yang kumiliki justru sebaliknya hati ini semakin girang dibuatnya. Itu artinya Mas Hendra telah masuk kedalam perangkapku, permainan baru saja dimulai tapi ternyata dia sudah semarah itu, bagaimana dengan diriku yang sudah tujuh tahun dia selingkuhi bahkan lima tahun belakangan ini telah menikah siri dengan idaman lain tanpa sepengetahuan apalagi ijin dariku sebagai istri sahnya.Tanpa memperdulikan wajah yang merah padam pertanda akan membaranya sebongkah daging di dalam sana, kutuntun lembut Mas Hendra memasuki kamar karena tak ingin pertikaian antar dua orang yang tak lagi muda ini terdengar keempat anak yang bahkan sudah berada di usia dewasa.Pelan kuputar knop pintu begitu aku dan Mas Hendra telah masuk kedalam kamar. "Ibu!" Seru Mas Hendra kembali seraya mencengkeram lenganku. "Bapak, duduk dulu.
Dalam dua malam tak sedetik pun mampu kupejamkan netra. Bayang-bayang kemesraan yang mungkin telah dilalui Mas Hendra bersama madu yang bahkan belum pernah nampak padaku sekilas wajahnya terus berputar dikepala.Bila berbicara soal muda, dulu pun aku pernah mengalaminya tapi kala usia telah menggerus semua, apa daya kita sebagai seorang hamba tentang ketentuan yang menjadi hakNya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena paras yang sempurna, bukankah dulu aku pernah sangat dipuja bahkan kecantikanku terkenal sampai seantero kampung, tapi kala waktu telah mengaburkan semua, apa kita punya kemampuan untuk terus memilikinya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena selaput dara, betapa nista lelaki yang telah kupilih sebagai imam itu. Bukankah, setiap wanita hanya memiliki satu hak atas nama itu, dan dulu Mas Hendra lah yang mengoyak milikku. Lalu setelah semua yang dia renggut dari diriku, masih tega lelaki itu menampar hatiku.'Allahu akbar,' lirihku didalam sana diiringi dengan luruhnya
"Buk, apa Ibu baik-baik saja," tukas Mas Hendra kala kubuka netra, nampak kentara dirinya begitu tidak tenang yang entah untuk apa segala rasa khawatir itu bila tombak kehidupanku pun telah lenyap dibinasakannya.Segera kupalingkan muka karena tak ingin beradu pandang lebih lama."Apa ada salah Bapak pada Ibu?" tukas Mas Hendra menyelidik. Salah?! tak sadarkah apa yang telah terucap dari mulutnya itu. bukan hanya salah yang telah dia lakukan tapi sebuah kejahatan dengan menikamku dari belakang."Tidak ada, Pak," sergahku tanpa mampu menatap karena ternyata tak mudah untuk bersandiwara, apalagi diusia yang sudah setua ini."Ibu yakin? Lantas, kenapa dari tadi Ibu selalu menghindari Bapak?" tukas Mas Hendra tak percaya.""Menghindari?! Ibu rasa tak pernah menghindari Bapak. Ah sudahlah, jam berapa ini, Pak?" elakku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Mas Hendra mengernyitkan kening pertanda akan ragu yang masih bersemayam di hatinya."Jam Sebelas," jawab Mas Hendra singkat. untuk
"Bapak, aku berangkat dulu ya," pamitku pagi ini pada Mas Hendra yang sedang menikmati secangkir kopi yang telah kuhindangkan.Sembari membetulkan letak tas hitam yang menggantung di pundak kananku senada dengan dress hitam yang dilengkapi dengan blazer putih menjuntai hingga atas lutut.Kuraih tangan Mas Hendra untuk menciumnya sebelum berlalu tapi alih-alih disambut, Mas Hendra dengan sigap malah menyingkirkannya."Sepagi ini?" seru Mas Hendra keberatan, pagi ini aku memang berangkat pukul enam lewat tiga puluh menit, satu jam lebih awal dari biasanya."Iya, Pak. Pagi ini aku ada janji bertemu dengan pelanggan, yang kebetulan khusus pesan pakaian seragam keluarga untuk acara pernikahan," beberku menjelaskan.Mas Hendra mengernyitkan kening, menambah banyak garis yang sudah tergambar alami oleh usia."Ketemu pelanggan sepagi ini?" tukasnya kembali dengan kelopak terbuka sempurna."Sebelum bertemu pelanggan, aku harus ketemu sama Pak Budhy dulu untuk membicarakan tentang bahan yang se
Kebahagiaan sebenarnya tak pernah sejengkal pun menjauh dari keluarga kami. Pun kala cobaan datang secara bertubi-tubi di sepuluh tahun pertama usia pernikahan ini, semuanya kami lewati dengan cara yang baik tanpa saling menyalahkan ataupun menyakiti. Komitmen kami, apapun kondisinya komunikasi harus tetap terjalin agar tak ada rasa saling curiga.Hingga pagi itu, kala kutemukan secarik nota belanja kebutuhan rumahtangga di saku celana Mas Hendra, mulai dari segala keperluan mandi, dapur hingga yang dibutuhkan wanita kala tamu bulanan tiba yang jelas tertera disana, seakan menyapu bersih bahagia yang selama ini kugenggam tanpa sedikitpun meninggalkan asa.Bukan soal nominal yang hampir mencapai angka enam juta dalam satu nota, tapi lebih dari itu, milik siapa nota belanja ini?! Sementara untuk belanja bulanan, aku lah yang memegang kendalinya.Gemetar kupegang kertas persegi panjang dengan segala daftar belanja tertera dan jelas terbaca setiap itemnya bukan merk yang biasa aku gunakan
"Bapak, aku berangkat dulu ya," pamitku pagi ini pada Mas Hendra yang sedang menikmati secangkir kopi yang telah kuhindangkan.Sembari membetulkan letak tas hitam yang menggantung di pundak kananku senada dengan dress hitam yang dilengkapi dengan blazer putih menjuntai hingga atas lutut.Kuraih tangan Mas Hendra untuk menciumnya sebelum berlalu tapi alih-alih disambut, Mas Hendra dengan sigap malah menyingkirkannya."Sepagi ini?" seru Mas Hendra keberatan, pagi ini aku memang berangkat pukul enam lewat tiga puluh menit, satu jam lebih awal dari biasanya."Iya, Pak. Pagi ini aku ada janji bertemu dengan pelanggan, yang kebetulan khusus pesan pakaian seragam keluarga untuk acara pernikahan," beberku menjelaskan.Mas Hendra mengernyitkan kening, menambah banyak garis yang sudah tergambar alami oleh usia."Ketemu pelanggan sepagi ini?" tukasnya kembali dengan kelopak terbuka sempurna."Sebelum bertemu pelanggan, aku harus ketemu sama Pak Budhy dulu untuk membicarakan tentang bahan yang se
"Buk, apa Ibu baik-baik saja," tukas Mas Hendra kala kubuka netra, nampak kentara dirinya begitu tidak tenang yang entah untuk apa segala rasa khawatir itu bila tombak kehidupanku pun telah lenyap dibinasakannya.Segera kupalingkan muka karena tak ingin beradu pandang lebih lama."Apa ada salah Bapak pada Ibu?" tukas Mas Hendra menyelidik. Salah?! tak sadarkah apa yang telah terucap dari mulutnya itu. bukan hanya salah yang telah dia lakukan tapi sebuah kejahatan dengan menikamku dari belakang."Tidak ada, Pak," sergahku tanpa mampu menatap karena ternyata tak mudah untuk bersandiwara, apalagi diusia yang sudah setua ini."Ibu yakin? Lantas, kenapa dari tadi Ibu selalu menghindari Bapak?" tukas Mas Hendra tak percaya.""Menghindari?! Ibu rasa tak pernah menghindari Bapak. Ah sudahlah, jam berapa ini, Pak?" elakku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Mas Hendra mengernyitkan kening pertanda akan ragu yang masih bersemayam di hatinya."Jam Sebelas," jawab Mas Hendra singkat. untuk
Dalam dua malam tak sedetik pun mampu kupejamkan netra. Bayang-bayang kemesraan yang mungkin telah dilalui Mas Hendra bersama madu yang bahkan belum pernah nampak padaku sekilas wajahnya terus berputar dikepala.Bila berbicara soal muda, dulu pun aku pernah mengalaminya tapi kala usia telah menggerus semua, apa daya kita sebagai seorang hamba tentang ketentuan yang menjadi hakNya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena paras yang sempurna, bukankah dulu aku pernah sangat dipuja bahkan kecantikanku terkenal sampai seantero kampung, tapi kala waktu telah mengaburkan semua, apa kita punya kemampuan untuk terus memilikinya. Bila perselingkuhan itu terjadi karena selaput dara, betapa nista lelaki yang telah kupilih sebagai imam itu. Bukankah, setiap wanita hanya memiliki satu hak atas nama itu, dan dulu Mas Hendra lah yang mengoyak milikku. Lalu setelah semua yang dia renggut dari diriku, masih tega lelaki itu menampar hatiku.'Allahu akbar,' lirihku didalam sana diiringi dengan luruhnya
"Dengan siapa kamu jalan malam ini, Bu?!" Seru Mas Hendra, suami yang telah mendampingi hidupku selama dua puluh empat tahun ini. Tatapan garangnya samasekali tak mempengaruhi nyali yang kumiliki justru sebaliknya hati ini semakin girang dibuatnya. Itu artinya Mas Hendra telah masuk kedalam perangkapku, permainan baru saja dimulai tapi ternyata dia sudah semarah itu, bagaimana dengan diriku yang sudah tujuh tahun dia selingkuhi bahkan lima tahun belakangan ini telah menikah siri dengan idaman lain tanpa sepengetahuan apalagi ijin dariku sebagai istri sahnya.Tanpa memperdulikan wajah yang merah padam pertanda akan membaranya sebongkah daging di dalam sana, kutuntun lembut Mas Hendra memasuki kamar karena tak ingin pertikaian antar dua orang yang tak lagi muda ini terdengar keempat anak yang bahkan sudah berada di usia dewasa.Pelan kuputar knop pintu begitu aku dan Mas Hendra telah masuk kedalam kamar. "Ibu!" Seru Mas Hendra kembali seraya mencengkeram lenganku. "Bapak, duduk dulu.