Suara desahan tertahan terdengar dari balik dinding. Seseorang berpakaian seperti prajurit dengan emblem bintang di bahunya mengernyit, karena ia seharusnya tidak mendengar suara seperti itu di ruangan ini.
"My Lord!" Suara tersebut terdengar lagi disertai erangan yang panjang. Jelas sekali itu suara perempuan. Meski pun suara tersebut tidak terlalu keras, tetapi prajurit tersebut mendengarnya dengan jelas.
Si prajurit yang menahan teriakan histerisnya, segera memberi kode kepada rekannya yang juga sedang berjaga, untuk menghampirinya.
"Ada apa?" tanya temannya dengan suara berbisik. Pesta sedang berlangsung, para menteri telah saling menyapa dan berbicara dengan tangan-tangan memegang gelas anggur. Tawa membahana menjadi dominan di ruangan itu, tapi tak ada yang bisa menandingi suara desahan yang kini mulai semakin gencar didengarkan oleh prajurit tersebut. Ia kemari untuk menjaga ruangan itu dari hal-hal yang tak diinginkan menyangkut keselamatan, karena orang nomor satu di negara Arthanavia akan memberikan sambutan terkait peresmian gedung baru yang akan menjadi balai serbaguna untuk rakyat.
Prajurit itu melirik gelisah ke dinding di belakangnya. Sepertinya itu ruang untuk janitor atau apa, sebab dinding itu ditutupi kain agar tidak mengganggu dekorasi yang ditata demi memeriahkan acara hari ini.
Rekannya yang mendekat akhirnya mendengar suara erangan yang sudah nyaris seperti adegan dalam film biru. Tangannya membekap mulutnya, sebelum ia kemudian memastikan tak banyak orang penting yang berada di aula itu. Hanya saja ia sungguh asing dengan situasi seperti ini. Biasanya mereka terlatih untuk mendengar suara mencurigakan seperti apa pun, seperti kokangan senjata di tengah kerumunan atau langkah kaki seseorang penyerang yang gugup.
Tangan sang prajurit sigap mengambil walkie talkie dan berbicara dengan kode yang hanya dimengerti oleh sang penerima pesan. Sang atasan yang mendengar itu mengernyitkan dahinya. Apa-apaan? Ada orang berbuat mesum di acara yang akan dihadiri oleh Raja Reginald?
Sang pimpinan akhirnya memutuskan untuk turun tangan sendiri, demi menjaga nama baik keluarga kerajaan Baldwin yang telah memerintah Negara Arthanavia selama lima generasi. Arthemis Thompson, sang pimpinan, menuju aula yang sedianya akan dilangsungkan pidato sambutan sang raja. Begitu ia sampai, banyak orang-orang penting yang mendekat padanya, mengucapkan salam. Mereka bisa saja hanya ramah atau menjilat, Arthemis tahu, tapi ia sedang tak ingin mengucapkan basa-basi. Kedatangannya harusnya bersamaan dengan kedatangan sang Raja yang dijadwalkan sepuluh menit lagi.
Arthemis hanya berkata bahwa ia sedang memeriksa keadaan sebelum Raja sampai kepada beberapa orang yang bertanya dan memberikan kedipan yang menandakan bahwa ia tak ingin diganggu. Para menteri dan pejabat lain pun meneruskan percakapan mereka, mengabaikan Arthemis.
Lelaki itu sampai di prajurit yang mulai mengucurkan keringat dingin karena suara itu sama sekali tak sepelan yang tadi. Bahkan diiringi dengan suara beberapa barang jatuh. Arthemis memutar bola mata. Ia segera berbicara di walkie talkie, memerintahkan agar para menteri dan para pejabat untuk duduk di kursi dan meja masing-masing, menjauh dari tempatnya sekarang, yang tersembunyi di belakang aula.
Dalam hitungan menit, para tamu dan undangan bergegas duduk di kursi mereka, dan pembawa acara pun segera memulai acaranya meski pun lebih awal.
Arthemis dan dua prajurit itu mencoba mengetuk, tetapi sepertinya siapa pun yang di dalam sama sekali tidak mendengarkan karena sedang sibuk.
"My Lord!" pekik seorang perempuan diiringi desahan. "This drives me insane!"
"Ah, damn!" Kini suara lelaki yang terdengar. "Apa kamu akan keluar?"
"Hampir, hampir," jawab perempuan itu dengan suara tertahan dan terengah-engah. "Ah!"
"Make it together, Baby."
"Yes, Darling. Aku ... hanya tak bisa ... menahannya lagi."
Arthemis yang mendengar suara lelaki itu serentak menahan napas. Dia tahu betul, suara siapa yang ada di dalam situ. Benar-benar membuatnya tertekan dan stres. Sebagai pimpinan prajurit militer kota Gaia, ibu kota Arthanavia, ia beberapa kali bertemu dengan seluruh orang penting yang ada di negara tersebut. Lelaki yang ada di dalam situ, jelas bukan orang asing bagi Arthemis.
Mayor tersebut menyuruh kedua prajurit yang mendengarkan dengan ekspresi cemas dan penasaran untuk pergi dari sana. Ia tak mau menambah daftar panjang masalah dengan adanya orang lain yang mengetahui siapa yang ada di dalam.
"Kamu sungguh ahli memuaskan wanita."
"Kamulah yang ahli memikatku, Sayang."
Kemudian sunyi sejenak sebelum akhirnya suara si wanita terdengar berbisik, yang tidak terlalu jelas terdengar oleh Arthemis.
Akhirnya permainan berakhir. Arthemis menunggu dengan raut wajah tak sabar, meski pun beberapa kali walkie talkienya berbunyi mengumumkan kedatangan sang raja. Arthemis akan menjelaskan kepada Raja Reginald, nanti. Beliau sudah didampingi pengawal pribadinya, dan wakilnya akan segera menggantikannya untuk menyambut raja ketika ia sedang tidak ada di tempat.
Pintu terbuka, dan kain yang menutupi ruangan janitor itu tersingkap sedikit. Perempuan bergaun merah dengan rambut acak-acakan keluar dan segera berlari tanpa sempat melihat ke arah Arthemis yang terkejut.
Lalu keluarlah lelaki dengan jas berwarna hitam, sedang membenahi celananya. Ekspresinya tampak tengil dengan seringaiannya yang menurut Arthemis menyebalkan. Arthemis segera menghadang lelaki itu.
"Selamat malam." Lelaki itu kembali memamerkan deretan giginya yang rapi dan bersih, hasil perawatan dokter gigi yang tersohor di kota Gaia. "Kamu ... Arthemis kan? Salam hormat, Mayor Thompson. Maaf jika kegiatanku mengganggu eh, kegiatanmu."
"Seharusnya Anda tidak melakukan itu DISINI." Teguran Arthemis itu diucapkan dengan gigi bergemeletuk. Ia menoleh ke arah undangan yang masih fokus dengan acara, dan Raja Reginald yang sudah memasuki aula. Suara gegap gempita musik yang diputar keras selama Raja masuk ruangan, benar-benar peredam suara yang sempurna untuk suara yang membuat para anggotanya panas dingin mendengarkan.
"Oh, come on. Memangnya kamu tidak pernah muda, hah? Akuilah Arthemis, bersenang-senang sedikit takkan mengganggu tensi acara ini. Lihat, semuanya berjalan lancar kan?" Lelaki itu mengangkat sebelah alis.
"Sejujurnya, saya tidak pernah peduli dengan APA yang Anda lakukan. Itu hal yang sifatnya pribadi. Saya hanya heran mengapa Anda HARUS melakukan itu di sini. Setidaknya Anda bisa MEMESAN hotel yang lebih layak."
Lelaki itu mengusap rambutnya yang berwarna kecokelatan yang indah, lalu menatap Arthemis dengan mata birunya yang berkilauan. "Ah, dia toh tidak masalah di mana pun kami melakukannya. Dia bahkan tidak mengenal siapa diriku."
"Anda telah mencoreng nama baik kakak Anda, juga keluarga Anda." Reputasi lelaki yang ada di hadapan Arthemis sekarang sudah terkenal seantero negeri. Sehingga ia sama sekali tidak terkejut dengan peristiwa seperti ini terjadi sekarang.
Lelaki itu melirik ke arah aula, kemudian kembali menyeringai. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Mayor. Dan harusnya kamu berbicara sopan kepadaku ya kan? Di mana sopan santunmu di hadapan keluarga Raja?" Lelaki itu mengangkat alis. "Tapi aku takkan mempermasalahkannya, aku akan pergi sekarang."
Mayor Arthemis Thompson berdiri menghalangi lelaki itu. "Sepertinya, Anda harus ikut saya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Anda ini, Pangeran Henry Baldwin."
“Kamu itu seorang pangeran, Henry! Bisa-bisanya kamu mempermalukan nama keluarga kita hanya demi nafsumu! Memangnya kamu tidak mau mempergunakan otakmu?” Reginald menanggalkan semua formalitas dan ketenangannya ketika ia hanya berdua dengan adiknya di ruangan pribadi.“Astaga, Yang Mulia.” Henry menghela napas. “Tidak banyak orang yang tahu, lagipula toh, itu tidak menambah apa-apa ketimbang popularitas kita yang akan semakin naik, ya kan?”“Henry Leonard Baldwin! Jaga bicaramu! Kita sudah bekerja keras dari generasi ke generasi mempertahankan reputasi kita, lalu kamu malah seenaknya sendiri? Kamu berada di nomor satu pewaris tahta. Kelakuanmu ini hanya akan mengecewakan rakyat kita!” Reginald berkacak pinggang, menunjuk adik laki-lakinya yang badung itu, karena tak tahan dengan emosinya yang meluap.“Yang Mulia, mereka toh tak peduli bagaimana perilaku kita selama kita tidak mengemplang pajak dan tampil baik di media.” Henry mengusap rambutnya yang ditata dengan indah setiap pagi ole
"Apa-apaan kamu ini, Anne?" Mary mendelik ketika menatap bungkusan yang barusan diberikan oleh adiknya itu.Anne tersenyum menggoda. "Ayolah, kamu akan menikah akhir pekan ini. Itu hadiah pernikahanmu, enjoy!"Mary, putri sulung keluarga Thomas memiliki rambut berwarna pirang keeemasan yang indah, menaruh bungkusan itu ke atas ranjangnya. Kertas pembungkusnya saja sudah meneriakkan nama perusahaan yang memproduksi pakaian dalam yang terkenal di dunia, Victoria's Secret. Gadis itu merasa risih bahkan sebelum membukanya."Tidak, aku takkan membukanya." Mary bergidik, menatap wajah cantik adiknya yang berambut hitam legam, kontras dengan kulitnya yang pucat. Selama ini, setiap orang yang melihat putri-putri keluarga Thomas selalu mengatakan bahwa Anne adalah kecantikan yang sempurna. Sementara Mary adalah simbol gadis sederhana dengan wajah yang biasa-biasa saja. Meski pun rambutnya yang pirang keemasan itu selalu membuat siapa pun menoleh dan menatapnya."Ssst, aku susah payah mendapatk
Henry Baldwin akhirnya terpaksa berdiri di aula yang megah dan mewah ini, mengenakan tuxedo yang dirancang oleh desainer terkenal menatap para undangan dengan mata kosong. Lelaki itu entah mengapa menuruti permintaan sang kakak, yang juga rajanya, untuk bertunangan dengan Catherine of Monaco. Putri dari kerajaan Monaco itu telah datang sebulan yang lalu, menjalani bimbingan dan pengajaran tradisi pertunangan sesuai dengan adat Arthanavia, demi bisa menyesuaikan dirinya pada saat hari H pertunangannya.Hingar bingar pesta kali ini sama sekali tak membuat Henry tergerak. Biasanya dia adalah raja pesta, mabuk-mabukan hingga berdansa dengan penuh gairah, tetapi kali ini ia merasa kebebasannya telah dikebiri. Henry Baldwin hanya akan setia pada satu perempuan, seumur hidupnya, padahal ia belum puas untuk bersenang-senang. Baginya menikah adalah penjara seumur hidup. Lihatlah kakaknya yang menikah dengan putri dari keluarga bangsawan Arthanavia itu. Henry takkan bisa seperti sang kakak, yan
"Sudah banyak orang yang mengatakan bahwa mataku indah." Henry tersenyum simpul. Perlahan ia mengarahkan matanya, memindai setiap jengkal wajah gadis berambut pirang di hadapannya. "Namun, matamu jauh lebih indah." Gadis itu menggigit bibir dengan gugup, sebelum ia memalingkan muka. Ia tak mengerti mengapa jantungnya berdebar begitu keras di bawah tatapan lelaki asing itu. Lidahnya mendadak kelu, sebelum akhirnya ia memalingkan wajah.“Siapa namamu?” tanya Henry dengan nada lembut. Ia mundur selangkah demi mengurangi ketidaknyamanan gadis di hadapannya.“Aku ... Mary.” Gadis itu tak berani menyebutkan nama keluarganya, karena takut akan mendapatkan masalah di kemudian hari.“Mary, namamu sungguh indah seperti wajahmu. Namun, kamu pasti sudah sering mendengar pujian seperti itu.”Pipi Mary bersemu merah, sehingga menyebabkan gadis itu menundukkan kepala. “Sebenarnya, ini pertama kalinya aku mendengar pujian seperti itu.”Ada gejolak yang mendadak menggelora dalam hati Henry, ketika m
"Dari mana saja kamu?" Raja Reginald memandang murka ke arah adiknya yang tampak termangu. Langkah kaki Henry terkesan lunglai tak bertenaga, kontras dengan kemarahan sang kakak. "Maaf. Aku akan masuk." Reginald mengerutkan glabela, merasa aneh dengan respons sang adik yang tidak membantahnya seperti biasa. "Kamu ..." "Aku hanya butuh udara segar, Yang Mulia. Sekarang aku akan masuk." Pipi Henry berdenyut nyeri, tetapi ia lebih merasakan sakit yang menusuk di dalam hatinya. Henry merasa lega karena acara pertunangannya hampir berakhir. Catherine masih duduk dengan kaku di kursinya, seolah ia memang dipahat di sana, dengan wajah minim ekspresi. "Maaf jika kamu menunggu lama, Putri Catherine," salam Henry kepada tunangannya yang menanggapinya dengan anggukan samar. Lelaki itu mengembuskan napas, kemudian duduk. Ia mengikuti sisa prosesi pertunangan mereka dengan wajah sama seperti tunangannya. Mungkinkah ini yang sedang dialami oleh Catherine? Menyembunyikan rasa sakit hatinya dan
"Dia menolak lamaranmu. Dan dia bersikeras akan menikah sore ini. Jadi sebaiknya kamu mundur, Henry." Reginald menatap sang adik yang tidak tidur semalaman karena menanti kabar baik dari Andrew. Raja itu juga bingung, mengapa Andrew yang sedari tadi menentang keinginan Henry, langsung tampak gembira ketika Henry menyebutkan nama putrinya. Mary bahkan menikah hari ini! Sungguh, sepertinya kerajaan Arthanavia sudah kehilangan orang waras. Reginald menerima undangannya, ia sendiri juga akan menyempatkan hadir. Calon suami Mary adalah Mayor Arthur Thompson. Bukan dari kalangan biasa-biasa saja. Berani betul, Andrew melepaskan komitmen itu hanya karena Henry menginginkan putrinya? "Tidak. Aku akan ke sana dan melamarnya sendiri!" "Henry!" Reginald berusaha mencegah agar adiknya tidak bertindak bodoh. "Hentikan kegilaanmu itu dan sadarlah!" Namun, Henry segera melepaskan tangan sang kakak dan segera berlari menuju garasi kerajaan. Ia sudah dikuasai egonya, yang tidak mau kalah karena ad
"Anne, Anne! Mengapa kamu di dalam kamar? Keluarlah!" Andrew berkata dengan riang gembira, tak menyangka nasib baiknya sudah tepat berada di depan mata. "Iya, Ayah?" Gadis itu menatap pintu kamarnya yang tertutup dengan panik. "Anne, mengapa kamu tidak bilang bahwa kamu yang bertemu pangeran dan bukannya, Mary? Pangeran sepertinya bingung antara kalian berdua. Dia ingin bertemu denganmu. Ayo cepat keluar!" Pangeran? Anne tertegun. Mengapa tiba-tiba pangeran ingin bertemu dengannya? Anne yakin bahwa ia tadi tidak melihat iring-iringan mobil kerajaan yang datang. Lagipula, kapan ia bertemu pangeran? Anne membuka pintu kamarnya dengan menyimpan rasa penasaran itu di dalam hati. Matanya segera menyambut sang ayah yang langsung memegang tangannya dengan wajah berseri. "Anne, oh, Anne. Ayah tak menduga kamu akhirnya bisa menembus keluarga kerajaan! Mari kita turun ke bawah. Pangeran Henry tak sabar ingin bertemu denganmu!" Gelak tawa Andrew tak mampu menghapus kegundahan di hati Anne.
Henry pulang ke kota Gaia dengan kecewa. Padahal ia sudah selangkah lebih dekat dengan Anne. Namun, paling tidak, ia sudah tahu identitas gadis itu. Henry bertekad akan menemuinya setelah huru-hara pembatalan pertunangannya berakhir. Ia harus menyampaikan berita gembira ini kepada Reginald. Setidaknya ia tidak perlu bertikai dengan suami orang. Anne masih lajang, statusnya masih keluarga pejabat parlemen. Tentu akan jauh lebih mudah meyakinkan parlemen untuk menerima Anne sebagai istrinya. Sementara itu di kediaman Thomas, Anne duduk diam di tepi ranjangnya. Ayahnya benar-benar murka karena ia telah melakukan kebodohan yang luar biasa. "Katakan pada Ayah, apa yang kamu lakukan di sana? Kamu hanya menyusup saja, kan? Hanya datang dan bertemu dengan pangeran kan?" desak Andrew. Anne menggeleng lemah. Ayahnya mungkin bukan orang kolot yang menutup mata dengan kegiatan seksual sang putri, tapi bercinta di ruang janitor, sementara suara mereka sempat membuat para pengawal kebingungan
Kata Gaia yang meluncur dari bibir Anne membuat Mary membeku. Kenangan dirinya yang berciuman di bawah sinar bintang kembali terlintas. "Hei, Mary. Kenapa wajahmu tampak tegang begitu?" "Aku butuh bicara denganmu sebentar." Suara Mary lebih menyerupai bisikan, yang membuat Anne mengerutkan glabela. "Baiklah." Anne menarik sang kakak untuk menjauh dari kerumunan tamu yang sedang berdansa, lalu berseru, "Maaf, Pengantin Wanita butuh pipis!" Sesampainya di toilet, Anne membuka semua pintu bilik yang ada untuk memastikan tak ada orang di sana. Barulah setelah itu ia berpaling kepada Mary yang bersandar pada wastafel. "Aku telah melakukan kesalahan besar, Anne!" "Tapi apa? Kamu sudah mengucapkan sumpah pernikahan, kamu juga bilang kamu bahagia menikahi Arthur. Apa yang salah?" Mary menggeleng dan menggigit bibirnya. "Kemarin ... saat kita berada di istana untuk pertunangan Pangeran ..." "Benar. Kamu menghilang saat kita hendak menuju tempatnya dan setelah aku menemukanmu, kamu mala
Henry pulang ke kota Gaia dengan kecewa. Padahal ia sudah selangkah lebih dekat dengan Anne. Namun, paling tidak, ia sudah tahu identitas gadis itu. Henry bertekad akan menemuinya setelah huru-hara pembatalan pertunangannya berakhir. Ia harus menyampaikan berita gembira ini kepada Reginald. Setidaknya ia tidak perlu bertikai dengan suami orang. Anne masih lajang, statusnya masih keluarga pejabat parlemen. Tentu akan jauh lebih mudah meyakinkan parlemen untuk menerima Anne sebagai istrinya. Sementara itu di kediaman Thomas, Anne duduk diam di tepi ranjangnya. Ayahnya benar-benar murka karena ia telah melakukan kebodohan yang luar biasa. "Katakan pada Ayah, apa yang kamu lakukan di sana? Kamu hanya menyusup saja, kan? Hanya datang dan bertemu dengan pangeran kan?" desak Andrew. Anne menggeleng lemah. Ayahnya mungkin bukan orang kolot yang menutup mata dengan kegiatan seksual sang putri, tapi bercinta di ruang janitor, sementara suara mereka sempat membuat para pengawal kebingungan
"Anne, Anne! Mengapa kamu di dalam kamar? Keluarlah!" Andrew berkata dengan riang gembira, tak menyangka nasib baiknya sudah tepat berada di depan mata. "Iya, Ayah?" Gadis itu menatap pintu kamarnya yang tertutup dengan panik. "Anne, mengapa kamu tidak bilang bahwa kamu yang bertemu pangeran dan bukannya, Mary? Pangeran sepertinya bingung antara kalian berdua. Dia ingin bertemu denganmu. Ayo cepat keluar!" Pangeran? Anne tertegun. Mengapa tiba-tiba pangeran ingin bertemu dengannya? Anne yakin bahwa ia tadi tidak melihat iring-iringan mobil kerajaan yang datang. Lagipula, kapan ia bertemu pangeran? Anne membuka pintu kamarnya dengan menyimpan rasa penasaran itu di dalam hati. Matanya segera menyambut sang ayah yang langsung memegang tangannya dengan wajah berseri. "Anne, oh, Anne. Ayah tak menduga kamu akhirnya bisa menembus keluarga kerajaan! Mari kita turun ke bawah. Pangeran Henry tak sabar ingin bertemu denganmu!" Gelak tawa Andrew tak mampu menghapus kegundahan di hati Anne.
"Dia menolak lamaranmu. Dan dia bersikeras akan menikah sore ini. Jadi sebaiknya kamu mundur, Henry." Reginald menatap sang adik yang tidak tidur semalaman karena menanti kabar baik dari Andrew. Raja itu juga bingung, mengapa Andrew yang sedari tadi menentang keinginan Henry, langsung tampak gembira ketika Henry menyebutkan nama putrinya. Mary bahkan menikah hari ini! Sungguh, sepertinya kerajaan Arthanavia sudah kehilangan orang waras. Reginald menerima undangannya, ia sendiri juga akan menyempatkan hadir. Calon suami Mary adalah Mayor Arthur Thompson. Bukan dari kalangan biasa-biasa saja. Berani betul, Andrew melepaskan komitmen itu hanya karena Henry menginginkan putrinya? "Tidak. Aku akan ke sana dan melamarnya sendiri!" "Henry!" Reginald berusaha mencegah agar adiknya tidak bertindak bodoh. "Hentikan kegilaanmu itu dan sadarlah!" Namun, Henry segera melepaskan tangan sang kakak dan segera berlari menuju garasi kerajaan. Ia sudah dikuasai egonya, yang tidak mau kalah karena ad
"Dari mana saja kamu?" Raja Reginald memandang murka ke arah adiknya yang tampak termangu. Langkah kaki Henry terkesan lunglai tak bertenaga, kontras dengan kemarahan sang kakak. "Maaf. Aku akan masuk." Reginald mengerutkan glabela, merasa aneh dengan respons sang adik yang tidak membantahnya seperti biasa. "Kamu ..." "Aku hanya butuh udara segar, Yang Mulia. Sekarang aku akan masuk." Pipi Henry berdenyut nyeri, tetapi ia lebih merasakan sakit yang menusuk di dalam hatinya. Henry merasa lega karena acara pertunangannya hampir berakhir. Catherine masih duduk dengan kaku di kursinya, seolah ia memang dipahat di sana, dengan wajah minim ekspresi. "Maaf jika kamu menunggu lama, Putri Catherine," salam Henry kepada tunangannya yang menanggapinya dengan anggukan samar. Lelaki itu mengembuskan napas, kemudian duduk. Ia mengikuti sisa prosesi pertunangan mereka dengan wajah sama seperti tunangannya. Mungkinkah ini yang sedang dialami oleh Catherine? Menyembunyikan rasa sakit hatinya dan
"Sudah banyak orang yang mengatakan bahwa mataku indah." Henry tersenyum simpul. Perlahan ia mengarahkan matanya, memindai setiap jengkal wajah gadis berambut pirang di hadapannya. "Namun, matamu jauh lebih indah." Gadis itu menggigit bibir dengan gugup, sebelum ia memalingkan muka. Ia tak mengerti mengapa jantungnya berdebar begitu keras di bawah tatapan lelaki asing itu. Lidahnya mendadak kelu, sebelum akhirnya ia memalingkan wajah.“Siapa namamu?” tanya Henry dengan nada lembut. Ia mundur selangkah demi mengurangi ketidaknyamanan gadis di hadapannya.“Aku ... Mary.” Gadis itu tak berani menyebutkan nama keluarganya, karena takut akan mendapatkan masalah di kemudian hari.“Mary, namamu sungguh indah seperti wajahmu. Namun, kamu pasti sudah sering mendengar pujian seperti itu.”Pipi Mary bersemu merah, sehingga menyebabkan gadis itu menundukkan kepala. “Sebenarnya, ini pertama kalinya aku mendengar pujian seperti itu.”Ada gejolak yang mendadak menggelora dalam hati Henry, ketika m
Henry Baldwin akhirnya terpaksa berdiri di aula yang megah dan mewah ini, mengenakan tuxedo yang dirancang oleh desainer terkenal menatap para undangan dengan mata kosong. Lelaki itu entah mengapa menuruti permintaan sang kakak, yang juga rajanya, untuk bertunangan dengan Catherine of Monaco. Putri dari kerajaan Monaco itu telah datang sebulan yang lalu, menjalani bimbingan dan pengajaran tradisi pertunangan sesuai dengan adat Arthanavia, demi bisa menyesuaikan dirinya pada saat hari H pertunangannya.Hingar bingar pesta kali ini sama sekali tak membuat Henry tergerak. Biasanya dia adalah raja pesta, mabuk-mabukan hingga berdansa dengan penuh gairah, tetapi kali ini ia merasa kebebasannya telah dikebiri. Henry Baldwin hanya akan setia pada satu perempuan, seumur hidupnya, padahal ia belum puas untuk bersenang-senang. Baginya menikah adalah penjara seumur hidup. Lihatlah kakaknya yang menikah dengan putri dari keluarga bangsawan Arthanavia itu. Henry takkan bisa seperti sang kakak, yan
"Apa-apaan kamu ini, Anne?" Mary mendelik ketika menatap bungkusan yang barusan diberikan oleh adiknya itu.Anne tersenyum menggoda. "Ayolah, kamu akan menikah akhir pekan ini. Itu hadiah pernikahanmu, enjoy!"Mary, putri sulung keluarga Thomas memiliki rambut berwarna pirang keeemasan yang indah, menaruh bungkusan itu ke atas ranjangnya. Kertas pembungkusnya saja sudah meneriakkan nama perusahaan yang memproduksi pakaian dalam yang terkenal di dunia, Victoria's Secret. Gadis itu merasa risih bahkan sebelum membukanya."Tidak, aku takkan membukanya." Mary bergidik, menatap wajah cantik adiknya yang berambut hitam legam, kontras dengan kulitnya yang pucat. Selama ini, setiap orang yang melihat putri-putri keluarga Thomas selalu mengatakan bahwa Anne adalah kecantikan yang sempurna. Sementara Mary adalah simbol gadis sederhana dengan wajah yang biasa-biasa saja. Meski pun rambutnya yang pirang keemasan itu selalu membuat siapa pun menoleh dan menatapnya."Ssst, aku susah payah mendapatk
“Kamu itu seorang pangeran, Henry! Bisa-bisanya kamu mempermalukan nama keluarga kita hanya demi nafsumu! Memangnya kamu tidak mau mempergunakan otakmu?” Reginald menanggalkan semua formalitas dan ketenangannya ketika ia hanya berdua dengan adiknya di ruangan pribadi.“Astaga, Yang Mulia.” Henry menghela napas. “Tidak banyak orang yang tahu, lagipula toh, itu tidak menambah apa-apa ketimbang popularitas kita yang akan semakin naik, ya kan?”“Henry Leonard Baldwin! Jaga bicaramu! Kita sudah bekerja keras dari generasi ke generasi mempertahankan reputasi kita, lalu kamu malah seenaknya sendiri? Kamu berada di nomor satu pewaris tahta. Kelakuanmu ini hanya akan mengecewakan rakyat kita!” Reginald berkacak pinggang, menunjuk adik laki-lakinya yang badung itu, karena tak tahan dengan emosinya yang meluap.“Yang Mulia, mereka toh tak peduli bagaimana perilaku kita selama kita tidak mengemplang pajak dan tampil baik di media.” Henry mengusap rambutnya yang ditata dengan indah setiap pagi ole