"Dari mana saja kamu?" Raja Reginald memandang murka ke arah adiknya yang tampak termangu. Langkah kaki Henry terkesan lunglai tak bertenaga, kontras dengan kemarahan sang kakak.
"Maaf. Aku akan masuk."
Reginald mengerutkan glabela, merasa aneh dengan respons sang adik yang tidak membantahnya seperti biasa. "Kamu ..."
"Aku hanya butuh udara segar, Yang Mulia. Sekarang aku akan masuk." Pipi Henry berdenyut nyeri, tetapi ia lebih merasakan sakit yang menusuk di dalam hatinya.
Henry merasa lega karena acara pertunangannya hampir berakhir. Catherine masih duduk dengan kaku di kursinya, seolah ia memang dipahat di sana, dengan wajah minim ekspresi.
"Maaf jika kamu menunggu lama, Putri Catherine," salam Henry kepada tunangannya yang menanggapinya dengan anggukan samar. Lelaki itu mengembuskan napas, kemudian duduk. Ia mengikuti sisa prosesi pertunangan mereka dengan wajah sama seperti tunangannya. Mungkinkah ini yang sedang dialami oleh Catherine? Menyembunyikan rasa sakit hatinya dan meminimalisir mimik muka demi menjaga semua pihak senang? Henry yang merasakan hatinya berdenyut nyeri kini mengikuti gerak-gerik Catherine yang menyapa semua tamu yang hadir, sebelum mereka keluar ruangan dan dikawal oleh penjaga serta pelayan.
"Selamat malam, Pangeran Henry. Aku akan segera naik ke atas. Terima kasih atas jamuan yang sangat baik untuk menyambutku di sini. Aku sungguh terkesan." Suara Catherine pun terdengar membosankan, tetapi Henry tak punya tenaga untuk mendebatnya. Lelaki itu hanya mengangguk, lalu berdiri menatap langkah kaki tunangannya yang sangat anggun.
"Mari kita kembali ke ruanganku, Theo." Henry mengangguk ke arah pengawal setianya. Theo mengikuti langkah kaki sang pangeran itu tanpa suara, seperti kebiasaannya. Henry tampak lesu ketimbang biasanya. Theo sempat menduga sepertinya Henry tidak punya teman kencan malam ini, untuk menghabiskan kegundahannya. Sebagai orang yang mendampingi lelaki itu setiap waktu, ia tahu bahwa Henry mengisi kesepiannya dengan perempuan yang tak pernah sama setiap malamnya.
"Apakah saya perlu panggilkan ..." Pertanyaan Theo terputus oleh tatapan Henry yang tampak dingin. "Baik, Yang Mulia."
***
"Aku ingin membatalkan pertunanganku." Henry berkata dengan dingin, setelah menerobos masuk ke ruangan pribadi Reginald malam itu. Ia sudah berusaha mendinginkan kepalanya, selama beberapa saat, tapi bayangan Mary yang lembut dan anggun sudah menerobos pertahanan hatinya.
"Jangan bicara omong kosong!" Reginald nyaris berteriak. "Kalian baru saja mengesahkan pertunangan kalian! Kau gila? Ini bahkan belum satu hari!"
Henry menarik napas panjang. "Aku jatuh cinta pada orang lain, Kak. Kumohon."
Tak ada sahutan yang diberikan oleh Reginald. Ia hanya menatap Henry dengan tatapan mencemooh. "Cinta? Keluar dari kata-kata lelaki seperti dirimu?"
"Entahlah. Mungkin saja itu benar cinta, atau bukan. Tapi aku jelas tak bisa menerima Catherine dalam kehidupanku." Henry mengatakan itu dengan jujur.
"Lantas? Kamu mau mengenyahkan usaha para menteri yang sudah berdiplomasi dengan kerajaan Monaco? Memangnya kamu sungguh ingin membuatku dibabat habis oleh parlemen?"
"Kak, untuk pertama kalinya, aku menemukan wanita ini dan aku lebih menyukai hidup dengannya daripada dengan seseorang yang sama menyedihkannya seperti aku. Aku tak bisa melakukan itu!" Suara Henry dipenuhi kabut putus asa. "Aku hanya ingin wanita ini. Dia lembut, manis dan baik hati. Aku bahkan belum mengenalnya, tetapi aku sungguh ingin menghabiskan waktuku dengannya. Bisakah, untuk sekali ini saja, aku memilih wanita yang kuinginkan? Setelah itu aku takkan melakukan kegilaan yang lain lagi. Aku bersumpah."
Mata sang raja terpejam. Ia sungguh tak bisa mengerti jalan pikiran adiknya yang mudah sekali tersulut emosi. Lelaki itu bahkan akan menghancurkan segalanya karena jatuh cinta pada wanita yang entah siapa.
"Biarkan aku menghubungi Andrew. Dia akan menjernihkan pikiranmu." Reginald segera menelepon salah satu menterinya yang sedang berada di istana malam ini untuk menyelesaikan pekerjaannya, sebelum mengambil cuti untuk menikahkan putrinya.
Henry duduk diam di sofa dengan sebotol Brendy di tangannya. Ia tahu bahwa ia tak boleh mabuk demi dianggap waras oleh menteri pertahanan dan rajanya. Namun, ia sungguh membutuhkan sesloki keberanian. Ia tak bisa menerima jika pada akhirnya sang raja akan mementahkan keinginannya.
"Saya datang, Yang Mulia. Salam Pangeran Henry. Ada yang bisa saya bantu?"
"Maafkan aku karena memanggilmu selarut ini, Andrew. Namun, adikku entah sampai kapan ia berhenti membuatku sakit kepala. Ia ingin membatalkan pertunangan dengan Catherine."
Andrew memasang mimik terkejut. "Putri Monaco? Tapi mengapa, Yang Mulia Henry? Anda baru saja memasang cincin di jari manisnya!"
Henry menarik napas panjang. "Salam, Menteri Pertahanan. Aku hanya ingin diberikan kebebasan untuk menentukan pendampingku sendiri."
"Namun, Anda tidak merespons saat kami mengajukan Putri Catherine. Mengapa Anda sekarang berubah pikiran?" Andrew jelas ingin mencekik pangeran yang suka seenaknya sendiri itu, tetapi jelas sebagai orang yang stratanya lebih rendah, ia hanya bisa menahan diri.
"Aku hanya ingin menikahi orang yang membuatku bahagia. Titik. Dan aku tak menemukan itu pada Catherine."
Sang menteri bahkan kehabisan kata-kata. Ia sudah memastikan sebelum mereka mengajukan lamaran kepada pihak kerajaan Monaco, bahwa pangeran Henry bersedia menikahi Catherine. Namun apa boleh buat, watak pangeran itu sungguh tidak bisa diduga.
"Jadi, apakah Anda telah menentukan calon?"
Henry memandang mata lelaki renta itu dengan serius. "Ya. Putrimu. Mary Thomas."
***
"Ayah! Aku tidak mau menikahinya, sekalipun dia itu pangeran!" Mary membelalakkan mata ketika pada dini hari, sang ayah pulang dan memaksa semua orang yang sedang mempersiapkan pernikahannya untuk pergi dari sana. "Lagipula hari ini aku akan melakukan pemberkatan, ingat?"
Andrew menggigit bibir, merasa terperangkap dilema karena berada pada situasi sulit. "Namun, Nak, dengan menjadi istri Pangeran Henry, keluarga kita akan mendapatkan banyak kemudahan. Ayah bahkan bisa menjadi perdana menteri!"
Mary mendadak merasa murka dengan ayahnya yang dengan mudahnya mengkhianati komitmen dengan keluarga Thompson. "Ayah! Aku sudah menyerahkan hatiku sepenuhnya kepada Arthur. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan dia demi orang yang kasar, arogan dan sembarangan! Jika memang dia adalah Pangeran Henry yang kutemui saat di istana, dia sudah seenaknya padaku!"
"Sayang, Mary. Dia takkan mengasarimu. Dia sudah berjanji. Dia bahkan rela meninggalkan putri Catherine untuk melamarmu. Bisakah kamu memikirkannya masak-masak? Ayah akan membatalkan pemberkatanmu hari ini."
"TIDAK. Sekali lagi kukatakan, tidak. Aku tak mau menikahi Pangeran itu! Apalagi dia juga sudah bertunangan dengan wanita lain. Ayah sungguh-sungguh gila!"
Lelaki paruh baya itu segera menghampiri dan membujuk putrinya. "Dengarkan Ayah, Sayang. Ini kesempatan yang langka. Ayah tak tahu apa yang membuat pangeran Henry begitu tertarik padamu, tapi itu bagus. Ayah sebenarnya ingin menjodohkan Anne dengannya, tetapi ternyata dia malah tertarik padamu. Bisakah kamu menerimanya?"
"Dia menolak lamaranmu. Dan dia bersikeras akan menikah sore ini. Jadi sebaiknya kamu mundur, Henry." Reginald menatap sang adik yang tidak tidur semalaman karena menanti kabar baik dari Andrew. Raja itu juga bingung, mengapa Andrew yang sedari tadi menentang keinginan Henry, langsung tampak gembira ketika Henry menyebutkan nama putrinya. Mary bahkan menikah hari ini! Sungguh, sepertinya kerajaan Arthanavia sudah kehilangan orang waras. Reginald menerima undangannya, ia sendiri juga akan menyempatkan hadir. Calon suami Mary adalah Mayor Arthur Thompson. Bukan dari kalangan biasa-biasa saja. Berani betul, Andrew melepaskan komitmen itu hanya karena Henry menginginkan putrinya? "Tidak. Aku akan ke sana dan melamarnya sendiri!" "Henry!" Reginald berusaha mencegah agar adiknya tidak bertindak bodoh. "Hentikan kegilaanmu itu dan sadarlah!" Namun, Henry segera melepaskan tangan sang kakak dan segera berlari menuju garasi kerajaan. Ia sudah dikuasai egonya, yang tidak mau kalah karena ad
"Anne, Anne! Mengapa kamu di dalam kamar? Keluarlah!" Andrew berkata dengan riang gembira, tak menyangka nasib baiknya sudah tepat berada di depan mata. "Iya, Ayah?" Gadis itu menatap pintu kamarnya yang tertutup dengan panik. "Anne, mengapa kamu tidak bilang bahwa kamu yang bertemu pangeran dan bukannya, Mary? Pangeran sepertinya bingung antara kalian berdua. Dia ingin bertemu denganmu. Ayo cepat keluar!" Pangeran? Anne tertegun. Mengapa tiba-tiba pangeran ingin bertemu dengannya? Anne yakin bahwa ia tadi tidak melihat iring-iringan mobil kerajaan yang datang. Lagipula, kapan ia bertemu pangeran? Anne membuka pintu kamarnya dengan menyimpan rasa penasaran itu di dalam hati. Matanya segera menyambut sang ayah yang langsung memegang tangannya dengan wajah berseri. "Anne, oh, Anne. Ayah tak menduga kamu akhirnya bisa menembus keluarga kerajaan! Mari kita turun ke bawah. Pangeran Henry tak sabar ingin bertemu denganmu!" Gelak tawa Andrew tak mampu menghapus kegundahan di hati Anne.
Henry pulang ke kota Gaia dengan kecewa. Padahal ia sudah selangkah lebih dekat dengan Anne. Namun, paling tidak, ia sudah tahu identitas gadis itu. Henry bertekad akan menemuinya setelah huru-hara pembatalan pertunangannya berakhir. Ia harus menyampaikan berita gembira ini kepada Reginald. Setidaknya ia tidak perlu bertikai dengan suami orang. Anne masih lajang, statusnya masih keluarga pejabat parlemen. Tentu akan jauh lebih mudah meyakinkan parlemen untuk menerima Anne sebagai istrinya. Sementara itu di kediaman Thomas, Anne duduk diam di tepi ranjangnya. Ayahnya benar-benar murka karena ia telah melakukan kebodohan yang luar biasa. "Katakan pada Ayah, apa yang kamu lakukan di sana? Kamu hanya menyusup saja, kan? Hanya datang dan bertemu dengan pangeran kan?" desak Andrew. Anne menggeleng lemah. Ayahnya mungkin bukan orang kolot yang menutup mata dengan kegiatan seksual sang putri, tapi bercinta di ruang janitor, sementara suara mereka sempat membuat para pengawal kebingungan
Kata Gaia yang meluncur dari bibir Anne membuat Mary membeku. Kenangan dirinya yang berciuman di bawah sinar bintang kembali terlintas. "Hei, Mary. Kenapa wajahmu tampak tegang begitu?" "Aku butuh bicara denganmu sebentar." Suara Mary lebih menyerupai bisikan, yang membuat Anne mengerutkan glabela. "Baiklah." Anne menarik sang kakak untuk menjauh dari kerumunan tamu yang sedang berdansa, lalu berseru, "Maaf, Pengantin Wanita butuh pipis!" Sesampainya di toilet, Anne membuka semua pintu bilik yang ada untuk memastikan tak ada orang di sana. Barulah setelah itu ia berpaling kepada Mary yang bersandar pada wastafel. "Aku telah melakukan kesalahan besar, Anne!" "Tapi apa? Kamu sudah mengucapkan sumpah pernikahan, kamu juga bilang kamu bahagia menikahi Arthur. Apa yang salah?" Mary menggeleng dan menggigit bibirnya. "Kemarin ... saat kita berada di istana untuk pertunangan Pangeran ..." "Benar. Kamu menghilang saat kita hendak menuju tempatnya dan setelah aku menemukanmu, kamu mala
Suara desahan tertahan terdengar dari balik dinding. Seseorang berpakaian seperti prajurit dengan emblem bintang di bahunya mengernyit, karena ia seharusnya tidak mendengar suara seperti itu di ruangan ini."My Lord!" Suara tersebut terdengar lagi disertai erangan yang panjang. Jelas sekali itu suara perempuan. Meski pun suara tersebut tidak terlalu keras, tetapi prajurit tersebut mendengarnya dengan jelas.Si prajurit yang menahan teriakan histerisnya, segera memberi kode kepada rekannya yang juga sedang berjaga, untuk menghampirinya."Ada apa?" tanya temannya dengan suara berbisik. Pesta sedang berlangsung, para menteri telah saling menyapa dan berbicara dengan tangan-tangan memegang gelas anggur. Tawa membahana menjadi dominan di ruangan itu, tapi tak ada yang bisa menandingi suara desahan yang kini mulai semakin gencar didengarkan oleh prajurit tersebut. Ia kemari untuk menjaga ruangan itu dari hal-hal yang tak diinginkan menyangkut keselamatan, karena orang nomor satu di negara Ar
“Kamu itu seorang pangeran, Henry! Bisa-bisanya kamu mempermalukan nama keluarga kita hanya demi nafsumu! Memangnya kamu tidak mau mempergunakan otakmu?” Reginald menanggalkan semua formalitas dan ketenangannya ketika ia hanya berdua dengan adiknya di ruangan pribadi.“Astaga, Yang Mulia.” Henry menghela napas. “Tidak banyak orang yang tahu, lagipula toh, itu tidak menambah apa-apa ketimbang popularitas kita yang akan semakin naik, ya kan?”“Henry Leonard Baldwin! Jaga bicaramu! Kita sudah bekerja keras dari generasi ke generasi mempertahankan reputasi kita, lalu kamu malah seenaknya sendiri? Kamu berada di nomor satu pewaris tahta. Kelakuanmu ini hanya akan mengecewakan rakyat kita!” Reginald berkacak pinggang, menunjuk adik laki-lakinya yang badung itu, karena tak tahan dengan emosinya yang meluap.“Yang Mulia, mereka toh tak peduli bagaimana perilaku kita selama kita tidak mengemplang pajak dan tampil baik di media.” Henry mengusap rambutnya yang ditata dengan indah setiap pagi ole
"Apa-apaan kamu ini, Anne?" Mary mendelik ketika menatap bungkusan yang barusan diberikan oleh adiknya itu.Anne tersenyum menggoda. "Ayolah, kamu akan menikah akhir pekan ini. Itu hadiah pernikahanmu, enjoy!"Mary, putri sulung keluarga Thomas memiliki rambut berwarna pirang keeemasan yang indah, menaruh bungkusan itu ke atas ranjangnya. Kertas pembungkusnya saja sudah meneriakkan nama perusahaan yang memproduksi pakaian dalam yang terkenal di dunia, Victoria's Secret. Gadis itu merasa risih bahkan sebelum membukanya."Tidak, aku takkan membukanya." Mary bergidik, menatap wajah cantik adiknya yang berambut hitam legam, kontras dengan kulitnya yang pucat. Selama ini, setiap orang yang melihat putri-putri keluarga Thomas selalu mengatakan bahwa Anne adalah kecantikan yang sempurna. Sementara Mary adalah simbol gadis sederhana dengan wajah yang biasa-biasa saja. Meski pun rambutnya yang pirang keemasan itu selalu membuat siapa pun menoleh dan menatapnya."Ssst, aku susah payah mendapatk
Henry Baldwin akhirnya terpaksa berdiri di aula yang megah dan mewah ini, mengenakan tuxedo yang dirancang oleh desainer terkenal menatap para undangan dengan mata kosong. Lelaki itu entah mengapa menuruti permintaan sang kakak, yang juga rajanya, untuk bertunangan dengan Catherine of Monaco. Putri dari kerajaan Monaco itu telah datang sebulan yang lalu, menjalani bimbingan dan pengajaran tradisi pertunangan sesuai dengan adat Arthanavia, demi bisa menyesuaikan dirinya pada saat hari H pertunangannya.Hingar bingar pesta kali ini sama sekali tak membuat Henry tergerak. Biasanya dia adalah raja pesta, mabuk-mabukan hingga berdansa dengan penuh gairah, tetapi kali ini ia merasa kebebasannya telah dikebiri. Henry Baldwin hanya akan setia pada satu perempuan, seumur hidupnya, padahal ia belum puas untuk bersenang-senang. Baginya menikah adalah penjara seumur hidup. Lihatlah kakaknya yang menikah dengan putri dari keluarga bangsawan Arthanavia itu. Henry takkan bisa seperti sang kakak, yan
Kata Gaia yang meluncur dari bibir Anne membuat Mary membeku. Kenangan dirinya yang berciuman di bawah sinar bintang kembali terlintas. "Hei, Mary. Kenapa wajahmu tampak tegang begitu?" "Aku butuh bicara denganmu sebentar." Suara Mary lebih menyerupai bisikan, yang membuat Anne mengerutkan glabela. "Baiklah." Anne menarik sang kakak untuk menjauh dari kerumunan tamu yang sedang berdansa, lalu berseru, "Maaf, Pengantin Wanita butuh pipis!" Sesampainya di toilet, Anne membuka semua pintu bilik yang ada untuk memastikan tak ada orang di sana. Barulah setelah itu ia berpaling kepada Mary yang bersandar pada wastafel. "Aku telah melakukan kesalahan besar, Anne!" "Tapi apa? Kamu sudah mengucapkan sumpah pernikahan, kamu juga bilang kamu bahagia menikahi Arthur. Apa yang salah?" Mary menggeleng dan menggigit bibirnya. "Kemarin ... saat kita berada di istana untuk pertunangan Pangeran ..." "Benar. Kamu menghilang saat kita hendak menuju tempatnya dan setelah aku menemukanmu, kamu mala
Henry pulang ke kota Gaia dengan kecewa. Padahal ia sudah selangkah lebih dekat dengan Anne. Namun, paling tidak, ia sudah tahu identitas gadis itu. Henry bertekad akan menemuinya setelah huru-hara pembatalan pertunangannya berakhir. Ia harus menyampaikan berita gembira ini kepada Reginald. Setidaknya ia tidak perlu bertikai dengan suami orang. Anne masih lajang, statusnya masih keluarga pejabat parlemen. Tentu akan jauh lebih mudah meyakinkan parlemen untuk menerima Anne sebagai istrinya. Sementara itu di kediaman Thomas, Anne duduk diam di tepi ranjangnya. Ayahnya benar-benar murka karena ia telah melakukan kebodohan yang luar biasa. "Katakan pada Ayah, apa yang kamu lakukan di sana? Kamu hanya menyusup saja, kan? Hanya datang dan bertemu dengan pangeran kan?" desak Andrew. Anne menggeleng lemah. Ayahnya mungkin bukan orang kolot yang menutup mata dengan kegiatan seksual sang putri, tapi bercinta di ruang janitor, sementara suara mereka sempat membuat para pengawal kebingungan
"Anne, Anne! Mengapa kamu di dalam kamar? Keluarlah!" Andrew berkata dengan riang gembira, tak menyangka nasib baiknya sudah tepat berada di depan mata. "Iya, Ayah?" Gadis itu menatap pintu kamarnya yang tertutup dengan panik. "Anne, mengapa kamu tidak bilang bahwa kamu yang bertemu pangeran dan bukannya, Mary? Pangeran sepertinya bingung antara kalian berdua. Dia ingin bertemu denganmu. Ayo cepat keluar!" Pangeran? Anne tertegun. Mengapa tiba-tiba pangeran ingin bertemu dengannya? Anne yakin bahwa ia tadi tidak melihat iring-iringan mobil kerajaan yang datang. Lagipula, kapan ia bertemu pangeran? Anne membuka pintu kamarnya dengan menyimpan rasa penasaran itu di dalam hati. Matanya segera menyambut sang ayah yang langsung memegang tangannya dengan wajah berseri. "Anne, oh, Anne. Ayah tak menduga kamu akhirnya bisa menembus keluarga kerajaan! Mari kita turun ke bawah. Pangeran Henry tak sabar ingin bertemu denganmu!" Gelak tawa Andrew tak mampu menghapus kegundahan di hati Anne.
"Dia menolak lamaranmu. Dan dia bersikeras akan menikah sore ini. Jadi sebaiknya kamu mundur, Henry." Reginald menatap sang adik yang tidak tidur semalaman karena menanti kabar baik dari Andrew. Raja itu juga bingung, mengapa Andrew yang sedari tadi menentang keinginan Henry, langsung tampak gembira ketika Henry menyebutkan nama putrinya. Mary bahkan menikah hari ini! Sungguh, sepertinya kerajaan Arthanavia sudah kehilangan orang waras. Reginald menerima undangannya, ia sendiri juga akan menyempatkan hadir. Calon suami Mary adalah Mayor Arthur Thompson. Bukan dari kalangan biasa-biasa saja. Berani betul, Andrew melepaskan komitmen itu hanya karena Henry menginginkan putrinya? "Tidak. Aku akan ke sana dan melamarnya sendiri!" "Henry!" Reginald berusaha mencegah agar adiknya tidak bertindak bodoh. "Hentikan kegilaanmu itu dan sadarlah!" Namun, Henry segera melepaskan tangan sang kakak dan segera berlari menuju garasi kerajaan. Ia sudah dikuasai egonya, yang tidak mau kalah karena ad
"Dari mana saja kamu?" Raja Reginald memandang murka ke arah adiknya yang tampak termangu. Langkah kaki Henry terkesan lunglai tak bertenaga, kontras dengan kemarahan sang kakak. "Maaf. Aku akan masuk." Reginald mengerutkan glabela, merasa aneh dengan respons sang adik yang tidak membantahnya seperti biasa. "Kamu ..." "Aku hanya butuh udara segar, Yang Mulia. Sekarang aku akan masuk." Pipi Henry berdenyut nyeri, tetapi ia lebih merasakan sakit yang menusuk di dalam hatinya. Henry merasa lega karena acara pertunangannya hampir berakhir. Catherine masih duduk dengan kaku di kursinya, seolah ia memang dipahat di sana, dengan wajah minim ekspresi. "Maaf jika kamu menunggu lama, Putri Catherine," salam Henry kepada tunangannya yang menanggapinya dengan anggukan samar. Lelaki itu mengembuskan napas, kemudian duduk. Ia mengikuti sisa prosesi pertunangan mereka dengan wajah sama seperti tunangannya. Mungkinkah ini yang sedang dialami oleh Catherine? Menyembunyikan rasa sakit hatinya dan
"Sudah banyak orang yang mengatakan bahwa mataku indah." Henry tersenyum simpul. Perlahan ia mengarahkan matanya, memindai setiap jengkal wajah gadis berambut pirang di hadapannya. "Namun, matamu jauh lebih indah." Gadis itu menggigit bibir dengan gugup, sebelum ia memalingkan muka. Ia tak mengerti mengapa jantungnya berdebar begitu keras di bawah tatapan lelaki asing itu. Lidahnya mendadak kelu, sebelum akhirnya ia memalingkan wajah.“Siapa namamu?” tanya Henry dengan nada lembut. Ia mundur selangkah demi mengurangi ketidaknyamanan gadis di hadapannya.“Aku ... Mary.” Gadis itu tak berani menyebutkan nama keluarganya, karena takut akan mendapatkan masalah di kemudian hari.“Mary, namamu sungguh indah seperti wajahmu. Namun, kamu pasti sudah sering mendengar pujian seperti itu.”Pipi Mary bersemu merah, sehingga menyebabkan gadis itu menundukkan kepala. “Sebenarnya, ini pertama kalinya aku mendengar pujian seperti itu.”Ada gejolak yang mendadak menggelora dalam hati Henry, ketika m
Henry Baldwin akhirnya terpaksa berdiri di aula yang megah dan mewah ini, mengenakan tuxedo yang dirancang oleh desainer terkenal menatap para undangan dengan mata kosong. Lelaki itu entah mengapa menuruti permintaan sang kakak, yang juga rajanya, untuk bertunangan dengan Catherine of Monaco. Putri dari kerajaan Monaco itu telah datang sebulan yang lalu, menjalani bimbingan dan pengajaran tradisi pertunangan sesuai dengan adat Arthanavia, demi bisa menyesuaikan dirinya pada saat hari H pertunangannya.Hingar bingar pesta kali ini sama sekali tak membuat Henry tergerak. Biasanya dia adalah raja pesta, mabuk-mabukan hingga berdansa dengan penuh gairah, tetapi kali ini ia merasa kebebasannya telah dikebiri. Henry Baldwin hanya akan setia pada satu perempuan, seumur hidupnya, padahal ia belum puas untuk bersenang-senang. Baginya menikah adalah penjara seumur hidup. Lihatlah kakaknya yang menikah dengan putri dari keluarga bangsawan Arthanavia itu. Henry takkan bisa seperti sang kakak, yan
"Apa-apaan kamu ini, Anne?" Mary mendelik ketika menatap bungkusan yang barusan diberikan oleh adiknya itu.Anne tersenyum menggoda. "Ayolah, kamu akan menikah akhir pekan ini. Itu hadiah pernikahanmu, enjoy!"Mary, putri sulung keluarga Thomas memiliki rambut berwarna pirang keeemasan yang indah, menaruh bungkusan itu ke atas ranjangnya. Kertas pembungkusnya saja sudah meneriakkan nama perusahaan yang memproduksi pakaian dalam yang terkenal di dunia, Victoria's Secret. Gadis itu merasa risih bahkan sebelum membukanya."Tidak, aku takkan membukanya." Mary bergidik, menatap wajah cantik adiknya yang berambut hitam legam, kontras dengan kulitnya yang pucat. Selama ini, setiap orang yang melihat putri-putri keluarga Thomas selalu mengatakan bahwa Anne adalah kecantikan yang sempurna. Sementara Mary adalah simbol gadis sederhana dengan wajah yang biasa-biasa saja. Meski pun rambutnya yang pirang keemasan itu selalu membuat siapa pun menoleh dan menatapnya."Ssst, aku susah payah mendapatk
“Kamu itu seorang pangeran, Henry! Bisa-bisanya kamu mempermalukan nama keluarga kita hanya demi nafsumu! Memangnya kamu tidak mau mempergunakan otakmu?” Reginald menanggalkan semua formalitas dan ketenangannya ketika ia hanya berdua dengan adiknya di ruangan pribadi.“Astaga, Yang Mulia.” Henry menghela napas. “Tidak banyak orang yang tahu, lagipula toh, itu tidak menambah apa-apa ketimbang popularitas kita yang akan semakin naik, ya kan?”“Henry Leonard Baldwin! Jaga bicaramu! Kita sudah bekerja keras dari generasi ke generasi mempertahankan reputasi kita, lalu kamu malah seenaknya sendiri? Kamu berada di nomor satu pewaris tahta. Kelakuanmu ini hanya akan mengecewakan rakyat kita!” Reginald berkacak pinggang, menunjuk adik laki-lakinya yang badung itu, karena tak tahan dengan emosinya yang meluap.“Yang Mulia, mereka toh tak peduli bagaimana perilaku kita selama kita tidak mengemplang pajak dan tampil baik di media.” Henry mengusap rambutnya yang ditata dengan indah setiap pagi ole