Home / CEO / Tuan Presdir, Kamulah Ayah Anakku / Bab 2. Hancurnya Hidup Evelyn

Share

Bab 2. Hancurnya Hidup Evelyn

Satu bulan berlalu sejak kejadian malam hilangnya kesucian Evelyn. Gadis malang tersebut mulai merasakan tanda-tanda kehamilan, seperti mual-mual, tak selera makan dan mood yang berubah-ubah. Awalnya Evelyn berpikir jika itu terjadi karena stres berlebih, sampai akhirnya ia ingat jika sudah terlambat datang bulan.

"Apa aku benar-benar hamil? Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak ingin punya anak dari seorang pria jahat." Evelyn mengacak-acak rambutnya sambil meringkuk, menangis dalam selimut.

Hingga tanpa sadar, dalam suasana kamar yang minim cahaya tersebut Evelyn terlelap. Barulah setelah malam tiba, ia terbangun, itu pun karena merasa lapar dan mual.

Rasa penasaran masih menyelimuti, Evelyn mengatur rencana untuk mengendap-endap keluar rumah demi bisa membeli test pack tanpa ada satu orang pun yang tahu.

Evelyn langsung mengenakan hoodie hitam dan masker demi menyamarkan identitasnya. Ia tidak berniat pergi melalui pintu dan tanpa ragu keluar perlahan melalui jendela besar di kamarnya.

"Kuharap tidak bertemu siapa pun," gumam Evelyn.

Perlahan tapi pasti, Evelyn yang kamarnya berada paling belakang memilih untuk mengendap-endap ke halaman belakang dan keluar melalui pintu kecil yang terhubung langsung ke sebuah jalan setapak.

Evelyn melangkah menyusuri jalanan kecil, udara malam yang terasa menusuk kulit seakan tak menghambat langkahnya. Ia bahkan berlari kecil demi bisa segera sampai di apotek 24 jam yang berada di ujung jalan utama.

Saat Evelyn hendak menyebrang jalan utama, sebuah sedan hitam tiba-tiba melesat dari kejauhan, membuatnya jatuh karena terserempet.

"Ah, sakit," gumam Evelyn yang lututnya berdarah.

Saat tengah duduk memegangi lutut, tiba-tiba mata Evelyn menangkap sosok yang sangat ia kenal di balik jendela mobil. Pria yang telah menodainya malam itu tampak menoleh ke arahnya, meski terhalang kaca, Evelyn sangat yakin jika itu adalah pria yang wajahnya takkan pernah bisa ia lupakan.

Dan saat itu juga muncul Lukas, menghampiri Evelyn yang sedang kebingungan.

"Apa Anda baik-baik saja?" Lukas membungkuk dan mengulurkan tangan, berusaha membantu Evelyn untuk berdiri.

"Aku baik-baik saja," jawab Evelyn yang langsung berlalu pergi, meski darah mengalir di kakinya.

Lukas keheranan melihat tingkah perempuan yang baru saja pergi tersebut. Sambil menatap dari kejauhan, ia hanya bisa berharap jika semua akan baik-baik saja.

"Bagaimana?" tanya Sean, sesaat setelah Lukas memasuki mobil.

"Saya belum sempat menawarkan bantuan."

"Kita jalan saja," ucap Sean, seakan akan tak memperdulikan Evelyn yang tengah terluka.

Lain dengan Evelyn, dia sejak tadi terus menoleh ke belakang dengan perasaan ketakutan. Sampai setelah memasuki apotek, perempuan itu bisa merasakan sedikit tenang.

Setelah mendapatkan apa yang ia cari, dengan langkah tertatih, Evelyn kembali ke rumah sambil mengendap-endap masuk lewat jendela. Beruntung saat itu sudah tengah malam, di mana yang lain sedang pulas-pulasnya.

Saat sampai di kamar, dengan perasaan berdebar Evelyn buru-buru ke kamar mandi. Membaca aturan pakai alat tes kehamilan tersebut. Baru setelah merasa paham, ia pun langsung mencelupkan test pack pada urine dalam gelas kecil.

Evelyn menutup mata, berharap yang muncul adalah garis satu. Meski sadar jika semua tanda-tanda kehamilan sudah ia rasakan, tetap saja perempuan itu masih sangat berharap jika dirinya tidak hamil.

Saat membuka mata, Evelyn merasa dadanya kembali sesak. Garis dua itu begitu jelas, membuatnya semakin merasa marah.

"Aku tidak ingin kamu! Kenapa kamu harus hidup di perutku! Keluar … keluar sekarang!" teriak Evelyn seraya memukul-mukul perutnya.

Pikiran Evelyn kacau, di tengah emosinya itu secara spontan ia malah terkekeh. "Apa aku akan menjadi seorang Ibu sekarang?"

Sesaat kemudian Evelyn malah menangis sambil mengusap perutnya. "Maafkan Ibu, ini bukan salahmu. Tidak seharusnya Ibu membencimu."

Dalam kebimbangannya itu Evelyn tiba-tiba teringat pada Leon, lalu berusaha menghubungi kekasihnya itu. Namun berkali-kali mencoba pun nomornya selalu tidak aktif.

"Leon, kenapa kamu sulit dihubungi. Aku hanya ingin mengatakan semuanya. Aku sedang hamil dan itu bukan anakmu. Meski tubuhku sudah kotor, setidaknya kamu harus tahu fakta yang sebenarnya," ucap Evelyn, tak hentinya menangis.

Sekilas Evelyn teringat pada email Leon yang biasa digunakan untuk bermain game. Ia berusaha mengirimkan pesan melalui surat elektronik tersebut dan langsung menceritakan semua yang menimpanya secara detail.

"Setidaknya aku sudah memberitahumu, Leon. Kuharap kamu bisa mengerti."

Suasana hati Evelyn masih terus berubah-ubah. Terlalu banyak hal yang ia rasakan seakan bercampur menjadi satu. Pada akhirnya, tetap kesedihan yang terus menyelimuti. Perempuan malang itu hanya bisa menangis semalaman dan tanpa sadar terlelap dalam pilunya.

***

Saat pagi, tiba-tiba Evelyn merasakan ada yang menepuk-nepuk pipinya. Ia tidak langsung bangun karena berpikir jika itu hanyalah mimpi. Sampai akhirnya seseorang dengan sangat tega menyiramnya dengan seember air.

"Bangun!" teriak Helen, ibu tiri Evelyn.

Evelyn beranjak meski kepalanya pusing. "Kenapa Ibu bisa masuk kamarku?"

"Tentu saja kami punya kunci cadangan seluruh ruangan di rumah ini," ucap Jennifer seraya menatap Evelyn dengan tatapan hina.

"Apa ini?" Helen mengacungkan test pack.

"Aku tidak tahu," jawab Evelyn dengan santainya.

Helen tampak kesal dengan sikap Evelyn. Perempuan tua itu langsung menarik anak tirinya turun dari kasur.

"Cepat pergi dari rumah ini! Jangan membuat kami malu!" hardik Helen.

"Ini rumah orang tuaku! Kenapa kalian merasa berkuasa?" timpal Evelyn.

"Apa kamu tidak takut sesuatu terjadi pada ayahmu?" ancam Helen.

Evelyn mulai kesal, rasanya ingin menampar ibu tirinya itu jika tak memikirkan keselamatan ayahnya. Dengan sangat berat hati, ia pun mengambil koper dan menaruh beberapa pakaian dengan asal.

"Baiklah, aku akan pergi sekarang!" seru Evelyn.

Pergi dari rumah yang bagaikan neraka itu adalah pilihan terbaik menurut Evelyn. Sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi, hanya berharap jika ayahnya bisa hidup dengan baik meski sampai detik ini pun masih belum sadarkan diri.

Helen dan Jennifer tertawa melihat Evelyn keluar dengan menyeret koper. Mereka akhirnya bisa berkuasa atas seluruh harta tanpa ada penghalang lagi. Sampai tiba-tiba Daren datang dan menahan Evelyn keluar dari kamarnya.

"Aku sudah dengar semuanya. Aku akan menikahi Evelyn, Ibu!" ucap Daren sambil memegangi lengan Evelyn.

"Apa kamu gila, Daren?" hardik Helen.

"Tidak, Bu. Aku sangat yakin dengan ucapanku."

Baru saja Daren selesai berbicara, dari belakang Jennifer malah memukul kakaknya itu sampai pingsan.

"Bu, maafkan aku. Tapi Kakak bisa menghambat rencana kita, sedangkan orang-orang itu sudah menunggu di depan.

"Ya sudah, kita bawa Evelyn sekarang," sahut Helen.

Evelyn yang masih kebingungan hanya bisa menatap Daren yang tergeletak di lantai. Ia tak mengerti dengan apa yang terjadi, sampai akhirnya Helen dan Jennifer menariknya secara paksa untuk keluar dari rumah.

"Apa yang kalian lakukan?!" bentak Evelyn.

"Membawamu ke tempat yang indah," Jennifer tertawa dengan sangat keras.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiara
Ibu n kakak tiri sama2 jahat....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status