Satu bulan berlalu sejak kejadian malam hilangnya kesucian Evelyn. Gadis malang tersebut mulai merasakan tanda-tanda kehamilan, seperti mual-mual, tak selera makan dan mood yang berubah-ubah. Awalnya Evelyn berpikir jika itu terjadi karena stres berlebih, sampai akhirnya ia ingat jika sudah terlambat datang bulan.
"Apa aku benar-benar hamil? Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak ingin punya anak dari seorang pria jahat." Evelyn mengacak-acak rambutnya sambil meringkuk, menangis dalam selimut.Hingga tanpa sadar, dalam suasana kamar yang minim cahaya tersebut Evelyn terlelap. Barulah setelah malam tiba, ia terbangun, itu pun karena merasa lapar dan mual.Rasa penasaran masih menyelimuti, Evelyn mengatur rencana untuk mengendap-endap keluar rumah demi bisa membeli test pack tanpa ada satu orang pun yang tahu.Evelyn langsung mengenakan hoodie hitam dan masker demi menyamarkan identitasnya. Ia tidak berniat pergi melalui pintu dan tanpa ragu keluar perlahan melalui jendela besar di kamarnya."Kuharap tidak bertemu siapa pun," gumam Evelyn.Perlahan tapi pasti, Evelyn yang kamarnya berada paling belakang memilih untuk mengendap-endap ke halaman belakang dan keluar melalui pintu kecil yang terhubung langsung ke sebuah jalan setapak.Evelyn melangkah menyusuri jalanan kecil, udara malam yang terasa menusuk kulit seakan tak menghambat langkahnya. Ia bahkan berlari kecil demi bisa segera sampai di apotek 24 jam yang berada di ujung jalan utama.Saat Evelyn hendak menyebrang jalan utama, sebuah sedan hitam tiba-tiba melesat dari kejauhan, membuatnya jatuh karena terserempet."Ah, sakit," gumam Evelyn yang lututnya berdarah.Saat tengah duduk memegangi lutut, tiba-tiba mata Evelyn menangkap sosok yang sangat ia kenal di balik jendela mobil. Pria yang telah menodainya malam itu tampak menoleh ke arahnya, meski terhalang kaca, Evelyn sangat yakin jika itu adalah pria yang wajahnya takkan pernah bisa ia lupakan.Dan saat itu juga muncul Lukas, menghampiri Evelyn yang sedang kebingungan."Apa Anda baik-baik saja?" Lukas membungkuk dan mengulurkan tangan, berusaha membantu Evelyn untuk berdiri."Aku baik-baik saja," jawab Evelyn yang langsung berlalu pergi, meski darah mengalir di kakinya.Lukas keheranan melihat tingkah perempuan yang baru saja pergi tersebut. Sambil menatap dari kejauhan, ia hanya bisa berharap jika semua akan baik-baik saja."Bagaimana?" tanya Sean, sesaat setelah Lukas memasuki mobil."Saya belum sempat menawarkan bantuan.""Kita jalan saja," ucap Sean, seakan akan tak memperdulikan Evelyn yang tengah terluka.Lain dengan Evelyn, dia sejak tadi terus menoleh ke belakang dengan perasaan ketakutan. Sampai setelah memasuki apotek, perempuan itu bisa merasakan sedikit tenang.Setelah mendapatkan apa yang ia cari, dengan langkah tertatih, Evelyn kembali ke rumah sambil mengendap-endap masuk lewat jendela. Beruntung saat itu sudah tengah malam, di mana yang lain sedang pulas-pulasnya.Saat sampai di kamar, dengan perasaan berdebar Evelyn buru-buru ke kamar mandi. Membaca aturan pakai alat tes kehamilan tersebut. Baru setelah merasa paham, ia pun langsung mencelupkan test pack pada urine dalam gelas kecil.Evelyn menutup mata, berharap yang muncul adalah garis satu. Meski sadar jika semua tanda-tanda kehamilan sudah ia rasakan, tetap saja perempuan itu masih sangat berharap jika dirinya tidak hamil.Saat membuka mata, Evelyn merasa dadanya kembali sesak. Garis dua itu begitu jelas, membuatnya semakin merasa marah."Aku tidak ingin kamu! Kenapa kamu harus hidup di perutku! Keluar … keluar sekarang!" teriak Evelyn seraya memukul-mukul perutnya.Pikiran Evelyn kacau, di tengah emosinya itu secara spontan ia malah terkekeh. "Apa aku akan menjadi seorang Ibu sekarang?"Sesaat kemudian Evelyn malah menangis sambil mengusap perutnya. "Maafkan Ibu, ini bukan salahmu. Tidak seharusnya Ibu membencimu."Dalam kebimbangannya itu Evelyn tiba-tiba teringat pada Leon, lalu berusaha menghubungi kekasihnya itu. Namun berkali-kali mencoba pun nomornya selalu tidak aktif."Leon, kenapa kamu sulit dihubungi. Aku hanya ingin mengatakan semuanya. Aku sedang hamil dan itu bukan anakmu. Meski tubuhku sudah kotor, setidaknya kamu harus tahu fakta yang sebenarnya," ucap Evelyn, tak hentinya menangis.Sekilas Evelyn teringat pada email Leon yang biasa digunakan untuk bermain game. Ia berusaha mengirimkan pesan melalui surat elektronik tersebut dan langsung menceritakan semua yang menimpanya secara detail."Setidaknya aku sudah memberitahumu, Leon. Kuharap kamu bisa mengerti."Suasana hati Evelyn masih terus berubah-ubah. Terlalu banyak hal yang ia rasakan seakan bercampur menjadi satu. Pada akhirnya, tetap kesedihan yang terus menyelimuti. Perempuan malang itu hanya bisa menangis semalaman dan tanpa sadar terlelap dalam pilunya.***Saat pagi, tiba-tiba Evelyn merasakan ada yang menepuk-nepuk pipinya. Ia tidak langsung bangun karena berpikir jika itu hanyalah mimpi. Sampai akhirnya seseorang dengan sangat tega menyiramnya dengan seember air."Bangun!" teriak Helen, ibu tiri Evelyn.Evelyn beranjak meski kepalanya pusing. "Kenapa Ibu bisa masuk kamarku?""Tentu saja kami punya kunci cadangan seluruh ruangan di rumah ini," ucap Jennifer seraya menatap Evelyn dengan tatapan hina."Apa ini?" Helen mengacungkan test pack."Aku tidak tahu," jawab Evelyn dengan santainya.Helen tampak kesal dengan sikap Evelyn. Perempuan tua itu langsung menarik anak tirinya turun dari kasur."Cepat pergi dari rumah ini! Jangan membuat kami malu!" hardik Helen."Ini rumah orang tuaku! Kenapa kalian merasa berkuasa?" timpal Evelyn."Apa kamu tidak takut sesuatu terjadi pada ayahmu?" ancam Helen.Evelyn mulai kesal, rasanya ingin menampar ibu tirinya itu jika tak memikirkan keselamatan ayahnya. Dengan sangat berat hati, ia pun mengambil koper dan menaruh beberapa pakaian dengan asal."Baiklah, aku akan pergi sekarang!" seru Evelyn.Pergi dari rumah yang bagaikan neraka itu adalah pilihan terbaik menurut Evelyn. Sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi, hanya berharap jika ayahnya bisa hidup dengan baik meski sampai detik ini pun masih belum sadarkan diri.Helen dan Jennifer tertawa melihat Evelyn keluar dengan menyeret koper. Mereka akhirnya bisa berkuasa atas seluruh harta tanpa ada penghalang lagi. Sampai tiba-tiba Daren datang dan menahan Evelyn keluar dari kamarnya."Aku sudah dengar semuanya. Aku akan menikahi Evelyn, Ibu!" ucap Daren sambil memegangi lengan Evelyn."Apa kamu gila, Daren?" hardik Helen."Tidak, Bu. Aku sangat yakin dengan ucapanku."Baru saja Daren selesai berbicara, dari belakang Jennifer malah memukul kakaknya itu sampai pingsan."Bu, maafkan aku. Tapi Kakak bisa menghambat rencana kita, sedangkan orang-orang itu sudah menunggu di depan."Ya sudah, kita bawa Evelyn sekarang," sahut Helen.Evelyn yang masih kebingungan hanya bisa menatap Daren yang tergeletak di lantai. Ia tak mengerti dengan apa yang terjadi, sampai akhirnya Helen dan Jennifer menariknya secara paksa untuk keluar dari rumah."Apa yang kalian lakukan?!" bentak Evelyn."Membawamu ke tempat yang indah," Jennifer tertawa dengan sangat keras.Di luar rumah terlihat empat orang laki-laki sedang berdiri dekat sebuah mobil van hitam. Penampilan mereka sedikit menyeramkan. Evelyn berusaha menarik lengannya yang sedang ditarik oleh Helen dan Jennifer."Jangan banyak bergerak!" hardik Jennifer sambil terus menyeret Evelyn menuju empat orang pria di depannya."Ini barang yang kamu maksud?" tanya salah seorang pria."Iya, mana uangnya?" Jennifer tampak begitu bersemangat.Salah seorang pria mengeluarkan amplop coklat yang sedikit tebal. Dengan sangat bersemangat, Helen menyambarnya dan mendorong Evelyn ke salah seorang pria.Evelyn terpaku, memandangi Helen dan Jennifer yang tengah tertawa sambil mengipasi wajahnya dengan lembaran uang.Merasa jika hidupnya sudah hancur dan tak memiliki harapan lagi, Evelyn pun memilih untuk pasrah meski sadar dirinya telah dijual oleh kedua perempuan jahat itu.Sepanjang perjalanan Evelyn hanya diam dengan tatapan kosong, pikirannya sudah kacau. Sampai tak ada lagi semangat untuk melanjutkan hidu
Lukas yang sudah kebingungan pun terus membujuk Evelyn agar mau masuk ke mobil."Tolong bantu saya. Kalau Anda tidak masuk, pria di dalam itu akan memarahi saya," ucap Lukas menyatukan dua tangan di depan wajah layaknya seseorang yang memohon.Evelyn pun akhirnya luluh, meski takut, ia akhirnya memilih duduk di kursi belakang sambil terus memalingkan wajah, berusaha menghindari menatap pria yang sangat dibencinya itu."Pak Sean, apa kita langsung pulang?" Lukas sedikit ragu bertanya di tengah keheningan itu."Ke toko pakaian," jawab Sean dengan tatapan dinginnya."B-baik, Pak," jawab Lukas yang merasa tidak nyaman dengan situasi di mana Evelyn seperti ketakutan, sedangkan Sean yang membeli perempuan itu malah terlihat tidak peduli.Lukas langsung melajukan mobilnya ke arah salah satu toko pakaian mewah yang selama ini menjadi tempat langganan Sean. Meski Evelyn sudah mengenakan pakaian termahal di rumah lelang, semua seakan sia-sia mengingat tubuh perempuan itu sangat kotor dengan ramb
"Kenapa? Apa Anda mengingat sesuatu?" tanya Evelyn tiba-tiba. Entah kenapa emosinya yang telah lama terpendam seakan muncul ke permukaan. Ia berharap jika Sean akan ingat dengan kejadian malam itu dan meminta maaf padanya.Lukas hanya bisa menatap dengan perasaan resah. Ia merasa tak nyaman berada di tengah-tengah dua orang yang terlihat seperti sedang perang dingin tersebut."Berani sekali menatapku seperti itu!" hardik Sean pada Evelyn."Ah, itu … apa kita langsung toko pakaian saja?" Lukas berusaha menghentikan percikan kecil di antara keduanya."Langsung pulang saja!" timpal Sean yang terlihat kesal setiap kali melihat Evelyn.Emosi Evelyn semakin memuncak. Ia sangat membenci pria yang pernah menidurinya itu. Bagaimana mungkin seorang pria begitu tidak tahu malu, setelah merenggut kesuciannya Sean malah seperti tidak merasa bersalah dan menatapnya dengan perasaan jijik.Namun, Evelyn tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pada akhirnya memilih untuk pasrah di bawa ke rumah Sean karena
Lukas mengerutkan dahi saat melihat raut wajah Evelyn yang terlihat begitu terkejut."Apa ada sesuatu yang salah? Tanya Lukas yang diliputi perasaan heran."Tidak, aku hanya tiba-tiba teringat sesuatu," jawab Evelyn, mengusap bulir bening di matanya."Apa itu sesuatu yang menyedihkan?" Lukas merasa tidak nyaman dengan ekspresi Evelyn. Ia takut disalahkan oleh atasannya jika sampai perempuan itu terlihat murung."Aku tidak tahu, entah ini sesuatu yang menyedihkan atau malah membahagiakan," jawab Evelyn dengan tatapan sendu. Evelyn teringat kembali kenangan bersama Leon yang selalu memberikannya boneka beruang biru. Padahal boneka tersebut termasuk sedikit langka mengingat yang dijual kebanyakan berwarna coklat.Lukas tidak berani menanyakan lebih jauh lagi. Setidaknya ia sudah tahu alasan Evelyn bersedih itu bukanlah tentang sesuatu yang berhubungan dengan dirinya atau sang atasan.Merasa sudah terlalu lama bersama Evelyn, Lukas pun berniat untuk membiarkannya beristirahat. "Aku kelu
Bukannya menjawab, orang tersebut malah langsung masuk seakan tak menghiraukan Evelyn yang sedang kebingungan."Tolong berbaring sebentar!" ucap pria itu dengan wajah datarnya."Berbaring? apa maksudmu?" Evelyn semakin ragu dan ketakutan. Ia sampai mundur beberapa langkah saat pria itu berusaha maju."Iya, memang apalagi?" jawab pria itu tegas."Aku bukan perempuan seperti itu! jangan mendekat!" tubuh Evelyn gemetar ketakutan."Apa maksudmu? Cepatlah berbaring! Aku akan memeriksa kandunganmu," jawab pria itu seolah paham jika Evelyn telah salah menduga maksudnya."Apa kamu seorang Dokter?" Evelyn menatap pria itu lagi dengan sorot mata yang masih dipenuhi rasa curiga."Menurutmu? Ayo cepatlah! Aku masih ada janji dengan pasien lain, Sean memaksaku kemari padahal sudah kubilang jika besok saja," terang pria tersebut. Evelyn pun menuruti perintah pria tersebut meski masih ragu. Ia berbaring telentang lalu mengangkat pakaiannya."Tidak perlu mengangkat pakaian, aku tidak membawa alat US
Instruktur senam itu menoleh ke arah suara lalu menatap perempuan di belakangnya dengan tatapan heran."Siapa kamu?" tanya instruktur senam itu."Saya hanya pelayan di rumah ini, tapi Pak Sean sudah menitipkan perempuan itu pada saya!""Pelayan? beraninya kamu mengusikku! Lihat sampai aku mengadukanmu pada Sean," ucap instruktur senam yang merasa tak terima."Adukan saja! Saya tidak takut karena Pak Sean sendiri yang meminta saya untuk menjaganya," sahut pelayan itu lagi.Instruktur senam yang emosinya semakin menggebu itu pun memilih untuk pergi sambil terus menggerutu sepanjang jalannya.Sedangkan pelayan tersebut mendekati Evelin lalu bertanya, "apa kamu baik-baik saja?""Ya aku baik-baik saja, terima kasih untuk bantuannya." Evelyn tersenyum simpul."Tidak masalah, aku hanya tidak senang dengan seseorang yang selalu merendahkan orang lain."Evelyn lagi-lagi tersenyum, merasa jika keberuntungan perlahan mulai menyertainya. Berada di rumah ini benar-benar telah membuatnya bertemu de
Sean dibuat keheranan dengan tingkah Evelyn. Secara mendadak perempuan berwajah datar itu tiba-tiba menunjukkan ekspresi ketakutan."Ada apa?" tanya Sean, ketus.Namun bukannya menjawab, Evelyn malah terus menatap seorang pria yang kini mulai berjalan menghampiri ke arah mereka bertiga."Halo, apa kabar?" tanya pria tersebut dengan tawa yang membuat Evelyn semakin takut."Apa urusanmu?" tanya Sean yang mulai beranjak dan menatap tajam ke arah pria tersebut."Hey, santailah! Kenapa harus emosi begitu?" pria itu berusaha menenangkan Sean yang terlihat sedang diliputi emosi.Lukas yang merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut pun buru-buru berdiri dan mendekati pria itu. Ia memegangi lengan dan menariknya menjauh dari Evelyn juga Sean."Saya tahu Anda tidak memiliki niat buruk, tapi kedatangan Anda telah membuat Evelyn menjadi ketakutan. Saya harap jangan dekati kami," ucap Lukas yang tahu persis jika pria itu adalah si pemilik rumah lelang."Menyebalkan … aku hanya ingin menyapa saja
"Mau jalan-jalan?" tanya Lukas berusaha mengalihkan perhatian Evelyn."Ke mana?" jawab Evelyn yang dadanya masih terasa sesak."Sebutkan saja tempat yang ingin kamu kunjungi!""Aku tidak ingin ke mana-mana, hanya ingin pulang," jawab Evelyn, tegas.Wajah Lukas berkeringat. Ia panik karena tidak tahu harus mengatakan apa. Bukan hanya Evelyn, dirinya saja tidak tahu apa maksud dari perkataan Sean tadi."Sebenarnya aku juga tidak tahu apa maksud Pak Sean. Lebih baik kita menunggu kabar selanjutnya saja," terang Lukas yang tidak berani menatap mata Evelyn."Apa aku benar-benar diusir?" tanya Evelyn lagi."Aku tidak tahu, semuanya masih belum pasti. Tunggu sampai ada kabar dari Pak Sean saja." Lukas berusaha menenangkan Evelyn."Baiklah," jawab Evelyn, tertunduk lesu.Pikiran Evelyn Melayang-layang jauh. Ia mulai merencanakan antisipasi jika seandainya diusir dari rumah Sean. Ke mana aku harus pergi? bagaimana caranya aku mendapat kerja? dua kalimat itu seakan terus terngiang-ngiang dalam