"Hotel Carlton, kamar 206," ucap Maria, sahabat Evelyn, dari balik telepon.
Evelyn langsung mengakhiri panggilan, bergegas menuju tempat sang kekasih berada.Perasaan cemas seakan menghantui sepanjang perjalanannya. Ia takut terjadi sesuatu pada Leon, mengingat kekasihnya itu memang sudah sering pingsan di sembarang tempat karena kanker otak yang dideritanya.Sesampainya di hotel, Evelyn yang telah berada di lantai dua puluh itu pun mulai mencari-cari kamar dengan nomor 206, sampai tak sengaja dari kejauhan samar ia melihat seseorang yang wajahnya mirip Leon sedang berusaha membuka pintu salah satu kamar."Leon!" teriak Evelyn.Merasa semakin cemas, Evelyn pun berlari menuju pria yang terlihat sedang tidak baik-baik saja itu.Pada akhirnya, Evelyn memutuskan untuk mengikuti ke kamar karena khawatir terjadi sesuatu pada Leon. Namun, tanpa disadari, perempuan itu malah memasuki kamar nomor 209."Leon, kenapa kamu di sini? Sejak kapan penyakitmu kambuh?" Evelyn berjalan menghampiri pria itu dan memegangi tangannya.Namun, bukannya menjawab, pria itu malah berbalik dan mendorong tubuh Evelyn hingga terhempas ke kasur.Evelyn membelalak, tak percaya dengan kenyataan jika yang berada di hadapannya bukanlah sang kekasih, melainkan seseorang yang terlihat sangat mirip. Alis tegas dengan hidung mancung juga bibir tipis menambah kesan indah pada wajah pria itu. Hanya saja, meski tampak persis, perawakannya sangat berbeda dengan Leon."Siapa kamu?" teriak Evelyn sambil berusaha mendorong tubuh pria yang sedang menahan tangannya itu.Namun, bukannya menjawab, pria itu malah melepas pakaiannya, hingga menunjukan dengan jelas sebuah dada bidang dengan bentuk otot yang indah."Lepaskan! Jangan sentuh aku!" teriak Evelyn sambil meronta-ronta.Seakan tak peduli dengan apa yang Evelyn katakan, pria tersebut langsung menyapu setiap jengkal tubuh sang gadis. Tak ingin menyerah begitu saja, gadis itu dengan sekuat tenaga menarik lengannya, lalu mendorong dada bidang sang pria sampai hampir terjatuh.Namun dengan kekuatan yang begitu besar, pria itu tetap bisa mempertahankan posisi dan dengan sigap mengunci setiap pergerakan Evelyn. Semua perlawanan pun seakan sia-sia ketika pada akhirnya kesucian terenggut, menyisakan rasa sakit yang begitu hebat.Evelyn hanya bisa pasrah sambil menangis, meratapi nasib tubuhnya yang seolah bukan miliknya lagi. Pria itu dengan leluasa melakukan apa pun yang ia inginkan, sudah tidak ada perlawanan atau pemberontakan lagi.Satu jam berlalu, pria yang telah mencapai puncaknya itu pun menghempaskan tubuhnya ke samping Evelyn, lalu terlelap begitu saja.Evelyn beranjak sambil meringis, sekujur tubuhnya terasa nyeri, bahkan bagian bawah pun rasa sakitnya begitu sulit diungkapkan. Sesekali ia terisak, teringat kembali saat kesuciannya direnggut paksa.Sejenak Evelyn mengamati wajah pria asing di sampingnya. Ia berusaha mengingat orang yang telah menodainya itu. Wajah tampan yang begitu mirip dengan Leon, hanya saja tubuhnya terlalu gagah bila dibandingkan sang kekasih yang sangat kurus dan terlihat lemah."Aku tidak akan pernah melupakan kejadian malam ini," ucap Evelyn seraya menatap tajam pria di sampingnya, lalu bersiap pergi dari kamar tersebut.Lima jam kemudian, pria asing yang meniduri gadis itu pun terbangun dengan kepala yang teramat pusing. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya, meski terasa sedikit sulit."Menyebalkan!" seru pria itu sambil memijat-mijat bagian kening yang terasa pusing. Ia juga kebingungan saat mendapati tubuhnya tanpa sehelai benang pun.Pria yang bernama Sean itu adalah seorang Presdir dari sebuah perusahaan manufaktur. Kedatangannya ke hotel tersebut karena mendapat undangan dari beberapa pengusaha yang mengajak bekerja sama. Namun, tanpa disadari itu semua hanyalah jebakan yang dibuat untuk menghancurkan reputasi sang Presdir dengan sebuah rumor buruk.Tiba-tiba Sean terbayang kembali saat dirinya tengah meneguk secangkir Americano. Tak ada yang aneh dengan kopi tersebut, tetapi setelah meminumnya, ia malah merasa panas di sekujur tubuh dan pusing di kepala yang begitu mengganggu. Ia menjadi curiga jika seseorang telah mencampurkan obat per*ngsang, mengingat jika dulu dirinya pun pernah dijebak dengan cara yang sama."Bodoh," gumam Sean, sambil meremas seprai. Pria itu merasa jika orang-orang lemah yang menjebaknya terlalu bodoh dengan menjadikannya sebagai lawan.Di tengah amarahnya itu, ponsel Sean berdering. Nama Lukas, sang asisten, tertera di layar benda pipih tersebut."Hallo, Pak. Saya sudah membereskan perempuan yang menjadi alat para pengusaha itu," terang Lukas."Membereskan?" tanya Sean kebingungan."Ya, saya sudah menangkap perempuan itu sebelum sempat melancarkan aksinya.""Kamu yakin?" Sean sedikit ragu pada asistennya itu, mengingat jika seorang perempuan telah naik ke ranjangnya."Ya, saya sangat yakin," jawab Lukas dengan penuh percaya diri.Sean langsung menutup telepon. Ia lagi-lagi dibuat bingung oleh pernyataan Lukas. Jika memang perempuan itu sudah ditangkap, lalu kenapa sekarang dirinya terbangun dengan tanpa sehelai benang pun? Dan juga, ia merasa begitu letih seperti telah melakukan suatu kegiatan yang melelahkan.Mata Sean tanpa sengaja menangkap sebuah noda darah yang terlihat begitu mencolok di seprai putih.Noda darah tersebut membuat Sean yakin jika memang dirinya telah melewati malam dengan seorang gadis, hanya saja sang Presdir tak terlalu ingin ambil pusing. Ia berpikir jika perempuan tersebut merasa dirugikan maka akan datang dengan sendirinya.***Hari sudah menjelang pagi, Dering telepon membangunkan Evelyn yang sedang terlelap di kamarnya. Meski malas, ia tetap meraih ponselnya dan mengusap garis hijau di layar."Aku menunggumu semalaman. Kenapa kamu tidak datang di malam anniversary kita?" tanya Leon, lirih.Dada Evelyn terasa sesak, tetapi ia berusaha untuk tetap terlihat tenang agar Leon tidak mengkhawatirkannya."Maaf, semalam perutku tiba-tiba sakit. Aku sampai lupa menghubungimu dulu," ujar Evelyn dengan suara bergetar.Leon menghela napas panjang. "Kalau ada masalah, kamu bisa menceritakannya padaku. Tolong terbukalah! Aku ini kekasihmu."Tangis Evelyn pecah, ia tak bisa lagi berkata-kata. Rasanya tidak mungkin jika harus menceritakan tentang kesuciannya yang telah direnggut pria asing pada sang kekasih."Tidak ada. Sudah dulu, ya, perutku sakit." Evelyn buru-buru menutup telepon.Evelyn meraih foto dirinya dan sang kekasih, lalu memeluk kertas tersebut dengan sangat erat."Leon, maafkan aku. Aku tidak ingin menambah beban pikiranmu. Mungkin lebih baik kamu tidak pernah tahu jika aku sudah menjadi seorang wanita kotor," gumam Evelyn.Sejak saat itu, Evelyn yang biasanya ceria pun berubah murung dan pendiam. Berhari-hari ia menjalani keseharian tanpa gairah hidup. Kejadian nahas kemarin seakan menambah deritanya. Ibu tiri yang jahat, kakak tiri yang selalu saja berusaha menyakitinya, ayah yang tak berdaya dan terus berbaring di kasur, sampai kekasih yang memiliki kanker otak. Semua menjadi satu, menambah penderitaan dalam hidupnya.Hingga, dua minggu setelah kejadian malam nahas tersebut terjadi, tepatnya di sabtu malam, tiba-tiba ponsel Evelyn berdering. Sebuah panggilan masuk dari seseorang yang sangat tak disangka-sangka."Kenapa dia menghubungiku?" gumam Evelyn dengan dada yang terasa sesak.Dengan perasaan berat hati dan kesal, Evelyn terpaksa mengangkat telepon tersebut."Ada apa?" tanya Evelyn, ketus."Aku cuma ingin minta maaf soal waktu itu. Aku tidak punya pilihan lain. Kakak tirimu mengancamku. Dia yang merancang semua jebakan itu!" terang Maria, dengan nada yang sama sekali tak menunjukan rasa bersalah."Aku tidak peduli. Anggap saja jika kita tidak pernah saling mengenal." Evelyn menutup telepon, lalu melempar ponselnya karena kesal.Sejak mengetahui fakta tentang kakak tiri dan sang sahabat yang begitu tega menjebaknya, Evelyn lebih memilih untuk mengurangi interaksi dengan orang di sekitarnya, bahkan sampai mengambil cuti kuliah dan hanya mengurung diri di kamar.Hingga sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh Evelyn pun terjadi dalam hidupnya.Satu bulan berlalu sejak kejadian malam hilangnya kesucian Evelyn. Gadis malang tersebut mulai merasakan tanda-tanda kehamilan, seperti mual-mual, tak selera makan dan mood yang berubah-ubah. Awalnya Evelyn berpikir jika itu terjadi karena stres berlebih, sampai akhirnya ia ingat jika sudah terlambat datang bulan."Apa aku benar-benar hamil? Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak ingin punya anak dari seorang pria jahat." Evelyn mengacak-acak rambutnya sambil meringkuk, menangis dalam selimut.Hingga tanpa sadar, dalam suasana kamar yang minim cahaya tersebut Evelyn terlelap. Barulah setelah malam tiba, ia terbangun, itu pun karena merasa lapar dan mual.Rasa penasaran masih menyelimuti, Evelyn mengatur rencana untuk mengendap-endap keluar rumah demi bisa membeli test pack tanpa ada satu orang pun yang tahu.Evelyn langsung mengenakan hoodie hitam dan masker demi menyamarkan identitasnya. Ia tidak berniat pergi melalui pintu dan tanpa ragu keluar perlahan melalui jendela besar di kamarn
Di luar rumah terlihat empat orang laki-laki sedang berdiri dekat sebuah mobil van hitam. Penampilan mereka sedikit menyeramkan. Evelyn berusaha menarik lengannya yang sedang ditarik oleh Helen dan Jennifer."Jangan banyak bergerak!" hardik Jennifer sambil terus menyeret Evelyn menuju empat orang pria di depannya."Ini barang yang kamu maksud?" tanya salah seorang pria."Iya, mana uangnya?" Jennifer tampak begitu bersemangat.Salah seorang pria mengeluarkan amplop coklat yang sedikit tebal. Dengan sangat bersemangat, Helen menyambarnya dan mendorong Evelyn ke salah seorang pria.Evelyn terpaku, memandangi Helen dan Jennifer yang tengah tertawa sambil mengipasi wajahnya dengan lembaran uang.Merasa jika hidupnya sudah hancur dan tak memiliki harapan lagi, Evelyn pun memilih untuk pasrah meski sadar dirinya telah dijual oleh kedua perempuan jahat itu.Sepanjang perjalanan Evelyn hanya diam dengan tatapan kosong, pikirannya sudah kacau. Sampai tak ada lagi semangat untuk melanjutkan hidu
Lukas yang sudah kebingungan pun terus membujuk Evelyn agar mau masuk ke mobil."Tolong bantu saya. Kalau Anda tidak masuk, pria di dalam itu akan memarahi saya," ucap Lukas menyatukan dua tangan di depan wajah layaknya seseorang yang memohon.Evelyn pun akhirnya luluh, meski takut, ia akhirnya memilih duduk di kursi belakang sambil terus memalingkan wajah, berusaha menghindari menatap pria yang sangat dibencinya itu."Pak Sean, apa kita langsung pulang?" Lukas sedikit ragu bertanya di tengah keheningan itu."Ke toko pakaian," jawab Sean dengan tatapan dinginnya."B-baik, Pak," jawab Lukas yang merasa tidak nyaman dengan situasi di mana Evelyn seperti ketakutan, sedangkan Sean yang membeli perempuan itu malah terlihat tidak peduli.Lukas langsung melajukan mobilnya ke arah salah satu toko pakaian mewah yang selama ini menjadi tempat langganan Sean. Meski Evelyn sudah mengenakan pakaian termahal di rumah lelang, semua seakan sia-sia mengingat tubuh perempuan itu sangat kotor dengan ramb
"Kenapa? Apa Anda mengingat sesuatu?" tanya Evelyn tiba-tiba. Entah kenapa emosinya yang telah lama terpendam seakan muncul ke permukaan. Ia berharap jika Sean akan ingat dengan kejadian malam itu dan meminta maaf padanya.Lukas hanya bisa menatap dengan perasaan resah. Ia merasa tak nyaman berada di tengah-tengah dua orang yang terlihat seperti sedang perang dingin tersebut."Berani sekali menatapku seperti itu!" hardik Sean pada Evelyn."Ah, itu … apa kita langsung toko pakaian saja?" Lukas berusaha menghentikan percikan kecil di antara keduanya."Langsung pulang saja!" timpal Sean yang terlihat kesal setiap kali melihat Evelyn.Emosi Evelyn semakin memuncak. Ia sangat membenci pria yang pernah menidurinya itu. Bagaimana mungkin seorang pria begitu tidak tahu malu, setelah merenggut kesuciannya Sean malah seperti tidak merasa bersalah dan menatapnya dengan perasaan jijik.Namun, Evelyn tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pada akhirnya memilih untuk pasrah di bawa ke rumah Sean karena
Lukas mengerutkan dahi saat melihat raut wajah Evelyn yang terlihat begitu terkejut."Apa ada sesuatu yang salah? Tanya Lukas yang diliputi perasaan heran."Tidak, aku hanya tiba-tiba teringat sesuatu," jawab Evelyn, mengusap bulir bening di matanya."Apa itu sesuatu yang menyedihkan?" Lukas merasa tidak nyaman dengan ekspresi Evelyn. Ia takut disalahkan oleh atasannya jika sampai perempuan itu terlihat murung."Aku tidak tahu, entah ini sesuatu yang menyedihkan atau malah membahagiakan," jawab Evelyn dengan tatapan sendu. Evelyn teringat kembali kenangan bersama Leon yang selalu memberikannya boneka beruang biru. Padahal boneka tersebut termasuk sedikit langka mengingat yang dijual kebanyakan berwarna coklat.Lukas tidak berani menanyakan lebih jauh lagi. Setidaknya ia sudah tahu alasan Evelyn bersedih itu bukanlah tentang sesuatu yang berhubungan dengan dirinya atau sang atasan.Merasa sudah terlalu lama bersama Evelyn, Lukas pun berniat untuk membiarkannya beristirahat. "Aku kelu
Bukannya menjawab, orang tersebut malah langsung masuk seakan tak menghiraukan Evelyn yang sedang kebingungan."Tolong berbaring sebentar!" ucap pria itu dengan wajah datarnya."Berbaring? apa maksudmu?" Evelyn semakin ragu dan ketakutan. Ia sampai mundur beberapa langkah saat pria itu berusaha maju."Iya, memang apalagi?" jawab pria itu tegas."Aku bukan perempuan seperti itu! jangan mendekat!" tubuh Evelyn gemetar ketakutan."Apa maksudmu? Cepatlah berbaring! Aku akan memeriksa kandunganmu," jawab pria itu seolah paham jika Evelyn telah salah menduga maksudnya."Apa kamu seorang Dokter?" Evelyn menatap pria itu lagi dengan sorot mata yang masih dipenuhi rasa curiga."Menurutmu? Ayo cepatlah! Aku masih ada janji dengan pasien lain, Sean memaksaku kemari padahal sudah kubilang jika besok saja," terang pria tersebut. Evelyn pun menuruti perintah pria tersebut meski masih ragu. Ia berbaring telentang lalu mengangkat pakaiannya."Tidak perlu mengangkat pakaian, aku tidak membawa alat US
Instruktur senam itu menoleh ke arah suara lalu menatap perempuan di belakangnya dengan tatapan heran."Siapa kamu?" tanya instruktur senam itu."Saya hanya pelayan di rumah ini, tapi Pak Sean sudah menitipkan perempuan itu pada saya!""Pelayan? beraninya kamu mengusikku! Lihat sampai aku mengadukanmu pada Sean," ucap instruktur senam yang merasa tak terima."Adukan saja! Saya tidak takut karena Pak Sean sendiri yang meminta saya untuk menjaganya," sahut pelayan itu lagi.Instruktur senam yang emosinya semakin menggebu itu pun memilih untuk pergi sambil terus menggerutu sepanjang jalannya.Sedangkan pelayan tersebut mendekati Evelin lalu bertanya, "apa kamu baik-baik saja?""Ya aku baik-baik saja, terima kasih untuk bantuannya." Evelyn tersenyum simpul."Tidak masalah, aku hanya tidak senang dengan seseorang yang selalu merendahkan orang lain."Evelyn lagi-lagi tersenyum, merasa jika keberuntungan perlahan mulai menyertainya. Berada di rumah ini benar-benar telah membuatnya bertemu de
Sean dibuat keheranan dengan tingkah Evelyn. Secara mendadak perempuan berwajah datar itu tiba-tiba menunjukkan ekspresi ketakutan."Ada apa?" tanya Sean, ketus.Namun bukannya menjawab, Evelyn malah terus menatap seorang pria yang kini mulai berjalan menghampiri ke arah mereka bertiga."Halo, apa kabar?" tanya pria tersebut dengan tawa yang membuat Evelyn semakin takut."Apa urusanmu?" tanya Sean yang mulai beranjak dan menatap tajam ke arah pria tersebut."Hey, santailah! Kenapa harus emosi begitu?" pria itu berusaha menenangkan Sean yang terlihat sedang diliputi emosi.Lukas yang merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut pun buru-buru berdiri dan mendekati pria itu. Ia memegangi lengan dan menariknya menjauh dari Evelyn juga Sean."Saya tahu Anda tidak memiliki niat buruk, tapi kedatangan Anda telah membuat Evelyn menjadi ketakutan. Saya harap jangan dekati kami," ucap Lukas yang tahu persis jika pria itu adalah si pemilik rumah lelang."Menyebalkan … aku hanya ingin menyapa saja