Lukas yang sudah kebingungan pun terus membujuk Evelyn agar mau masuk ke mobil.
"Tolong bantu saya. Kalau Anda tidak masuk, pria di dalam itu akan memarahi saya," ucap Lukas menyatukan dua tangan di depan wajah layaknya seseorang yang memohon.Evelyn pun akhirnya luluh, meski takut, ia akhirnya memilih duduk di kursi belakang sambil terus memalingkan wajah, berusaha menghindari menatap pria yang sangat dibencinya itu."Pak Sean, apa kita langsung pulang?" Lukas sedikit ragu bertanya di tengah keheningan itu."Ke toko pakaian," jawab Sean dengan tatapan dinginnya."B-baik, Pak," jawab Lukas yang merasa tidak nyaman dengan situasi di mana Evelyn seperti ketakutan, sedangkan Sean yang membeli perempuan itu malah terlihat tidak peduli.Lukas langsung melajukan mobilnya ke arah salah satu toko pakaian mewah yang selama ini menjadi tempat langganan Sean. Meski Evelyn sudah mengenakan pakaian termahal di rumah lelang, semua seakan sia-sia mengingat tubuh perempuan itu sangat kotor dengan rambut yang terlihat lengket."Tunggu! ke salon saja," titah Sean, "menjijikan," sambungnya seraya menatap Evelyn dengan sinis."B-baik, Pak." Lukas kemudian berbelok ke arah salon yang jaraknya tak jauh dari sana.Kini mobil sudah terparkir di depan salon. Sean enggan turun dan tak mau tahu dengan urusan Evelyn. Ia menyerahkan semuanya pada Lukas."Bu Evelyn, tolong turun dari mobil dan ikut saya pergi ke salon," pinta Lukas yang merasa kesulitan setiap kali mengajak Evelyn."Bu? Dia bukan istriku!" bentak Sean, tak terima."Maaf, Pak." Lukas membungkukan badannya."Panggil nama saja, derajatnya tidak jauh lebih tinggi darimu," protes Sean."B-baik, Pak."Lukas merasa selalu salah di mata Sean semenjak ada Evelyn. Kini ia berusaha lebih berhati-hati agar tak menyulut emosi atasannya itu lagi."Aku panggil Velyn saja," ucap Lukas pada Evelyn.Evelyn hanya mengangguk, tatapannya kosong."Tolong ikut aku ke salon." Lukas menatap Evelyn dengan penuh harap.Evelyn tersenyum, entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga menunjukan senyum aneh dan menyeramkan seperti itu. Namun, meski demikian, perempuan itu tetap menuruti permintaan Lukas yang terlihat dalam kesulitan karenanya.Kini, Lukas dan Evelyn berjalan menuju salon dan langsung memasukinya.Semua mata menatap Evelyn, mereka seakan jijik melihatnya yang kumal dan sedikit bau karena terlalu lama berada di ruang pengap. Beruntung Lukas tak memiliki perasaan seperti itu, dibanding malu, ia malah lebih merasa kasihan pada perempuan di sampingnya."Apa dia orang gila? Mengapa pria tampan itu mau bersamanya?""Aku mual melihatnya.""Abaikan saja, aku juga jijik melihatnya."Para perempuan di salon terus saja menggunjing Evelyn. Namun, ia sama sekali tak menghiraukannya dan berjalan seolah tak terjadi apa pun.Lukas mendatangi salah satu pegawai di salon tersebut, ia meminta pegawai tersebut untuk membersihkan tubuh Evelyn. Ia bahkan memberikan tips besar pada siapa saja yang mau membantunya."Maaf, tidak bisa. Salon ini khusus untuk para sosialita. Kami tak menerima perempuan lusuh dan kumal seperti dia!" cela salah satu pegawai salon.Lukas sedikit berkecil hati, tak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini hanya karena penampilan Evelyn saja."I-itu, apa saya boleh mengajukan diri untuk membantu Anda?" usul salah seorang pegawai yang sepertinya masih magang, terlihat dari dirinya yang tak mengenakan seragam, hanya memakai pakaian hitam putih."Kamu yakin? Terserah saja jika kamu memang mau," sahut salah satu perempuan dengan rambut sebahu pada pegawai magang tersebut."Tidak masalah, saya sedang membutuhkan uang untuk berobat Ibu," ucap pegawai magang itu."Tenang saja, aku akan memberi tips yang besar untukmu," ujar Lukas yang merasa sangat berterima kasih pada pegawai magang tersebut. Berkatnya, ia akan terhindar dari amarah sang atasan kalau sampai perintahnya tak terpenuhi."Terima kasih, Tuan," sahut si pegawai magang.Evelyn pun diajak ke ruangan bagian dalam untuk dimandikan, pegawai magang itu sangat telaten dan tidak jijik sama sekali pada perempuan lusuh di hadapannya. Bukan tanpa alasan, ia sudah terbiasa merawat sang ibu yang terkadang keadaannya jauh lebih menjijikan daripada Evelyn."Mengapa kamu tidak jijik padaku?" Evelyn merasa ada sedikit gejolak di dadanya akibat dari perasaan terharu, setelah sekian lama akhirnya ada yang menganggapnya manusia."Aku sudah sering merawat ibuku yang gangguan jiwa. Ibu bahkan lebih kotor dari Kakak. Lagipula, dimataku semua orang itu sama, Kak," jawab gadis yang dari wajahnya diperkirakan baru lulus sekolah."Tapi aku wanita kotor, anakku pun hadir tanpa sebuah pernikahan," sanggah Evelyn yang masih berpikir jika dirinya tidak layak mendapat perlakuan baik."Ibu juga selalu mengatakan hal seperti itu setiap kali kambuh. Aku dan anak dalam kandungan Kakak memiliki nasib yang sama. Namun, aku ingin Ibu bisa terus hidup dengan baik," ujar gadis itu, sambil terus menyabuni tubuh Evelyn.Air mata Evelyn tiba-tiba keluar dengan sendirinya, untuk pertama kalinya, ia merasa tersentuh oleh ucapan seseorang, setelah sekian lama hati dan pikirannya seolah membeku.Gadis magang itu terlihat sangat telaten, ia benar-benar pandai merawat seseorang seperti Evelyn.Tiga puluh menit berlalu, Evelyn kini sudah terlihat lebih bersih dan cantik. Semua mata lagi-lagi tertuju padanya. Perempuan yang tadi sangat lusuh dan kumal ternyata memiliki kecantikan yang sempurna melebihi perempuan-perempuan yang sedang berada di salon itu.Evelyn melepaskan cincin dan memberikannya pada gadis magang itu."Ini untuk berobat Ibumu!"Gadis itu menerimanya begitu saja tanpa tahu jika cincin lusuh itu sangatlah mahal, harganya saja bisa mencapai ratusan juta."Terima kasih, saya akan menyimpannya dengan baik.""Tidak, kamu harus jual secepatnya!" seru Evelyn dengan sedikit memelotot."B-baik, Kak."Evelyn langsung berlalu keluar dari salon. Ia menuju mobil tanpa harus Lukas minta.Saat di mobil, Sean yang baru sadar dengan kedatangan Evelyn pun langsung membelalak ketika melihat wajah perempuan tersebut."Kamu?" Sean menatap Evelyn dengan sorot mata tajam."Kenapa? Apa Anda mengingat sesuatu?" tanya Evelyn tiba-tiba. Entah kenapa emosinya yang telah lama terpendam seakan muncul ke permukaan. Ia berharap jika Sean akan ingat dengan kejadian malam itu dan meminta maaf padanya.Lukas hanya bisa menatap dengan perasaan resah. Ia merasa tak nyaman berada di tengah-tengah dua orang yang terlihat seperti sedang perang dingin tersebut."Berani sekali menatapku seperti itu!" hardik Sean pada Evelyn."Ah, itu … apa kita langsung toko pakaian saja?" Lukas berusaha menghentikan percikan kecil di antara keduanya."Langsung pulang saja!" timpal Sean yang terlihat kesal setiap kali melihat Evelyn.Emosi Evelyn semakin memuncak. Ia sangat membenci pria yang pernah menidurinya itu. Bagaimana mungkin seorang pria begitu tidak tahu malu, setelah merenggut kesuciannya Sean malah seperti tidak merasa bersalah dan menatapnya dengan perasaan jijik.Namun, Evelyn tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pada akhirnya memilih untuk pasrah di bawa ke rumah Sean karena
Lukas mengerutkan dahi saat melihat raut wajah Evelyn yang terlihat begitu terkejut."Apa ada sesuatu yang salah? Tanya Lukas yang diliputi perasaan heran."Tidak, aku hanya tiba-tiba teringat sesuatu," jawab Evelyn, mengusap bulir bening di matanya."Apa itu sesuatu yang menyedihkan?" Lukas merasa tidak nyaman dengan ekspresi Evelyn. Ia takut disalahkan oleh atasannya jika sampai perempuan itu terlihat murung."Aku tidak tahu, entah ini sesuatu yang menyedihkan atau malah membahagiakan," jawab Evelyn dengan tatapan sendu. Evelyn teringat kembali kenangan bersama Leon yang selalu memberikannya boneka beruang biru. Padahal boneka tersebut termasuk sedikit langka mengingat yang dijual kebanyakan berwarna coklat.Lukas tidak berani menanyakan lebih jauh lagi. Setidaknya ia sudah tahu alasan Evelyn bersedih itu bukanlah tentang sesuatu yang berhubungan dengan dirinya atau sang atasan.Merasa sudah terlalu lama bersama Evelyn, Lukas pun berniat untuk membiarkannya beristirahat. "Aku kelu
Bukannya menjawab, orang tersebut malah langsung masuk seakan tak menghiraukan Evelyn yang sedang kebingungan."Tolong berbaring sebentar!" ucap pria itu dengan wajah datarnya."Berbaring? apa maksudmu?" Evelyn semakin ragu dan ketakutan. Ia sampai mundur beberapa langkah saat pria itu berusaha maju."Iya, memang apalagi?" jawab pria itu tegas."Aku bukan perempuan seperti itu! jangan mendekat!" tubuh Evelyn gemetar ketakutan."Apa maksudmu? Cepatlah berbaring! Aku akan memeriksa kandunganmu," jawab pria itu seolah paham jika Evelyn telah salah menduga maksudnya."Apa kamu seorang Dokter?" Evelyn menatap pria itu lagi dengan sorot mata yang masih dipenuhi rasa curiga."Menurutmu? Ayo cepatlah! Aku masih ada janji dengan pasien lain, Sean memaksaku kemari padahal sudah kubilang jika besok saja," terang pria tersebut. Evelyn pun menuruti perintah pria tersebut meski masih ragu. Ia berbaring telentang lalu mengangkat pakaiannya."Tidak perlu mengangkat pakaian, aku tidak membawa alat US
Instruktur senam itu menoleh ke arah suara lalu menatap perempuan di belakangnya dengan tatapan heran."Siapa kamu?" tanya instruktur senam itu."Saya hanya pelayan di rumah ini, tapi Pak Sean sudah menitipkan perempuan itu pada saya!""Pelayan? beraninya kamu mengusikku! Lihat sampai aku mengadukanmu pada Sean," ucap instruktur senam yang merasa tak terima."Adukan saja! Saya tidak takut karena Pak Sean sendiri yang meminta saya untuk menjaganya," sahut pelayan itu lagi.Instruktur senam yang emosinya semakin menggebu itu pun memilih untuk pergi sambil terus menggerutu sepanjang jalannya.Sedangkan pelayan tersebut mendekati Evelin lalu bertanya, "apa kamu baik-baik saja?""Ya aku baik-baik saja, terima kasih untuk bantuannya." Evelyn tersenyum simpul."Tidak masalah, aku hanya tidak senang dengan seseorang yang selalu merendahkan orang lain."Evelyn lagi-lagi tersenyum, merasa jika keberuntungan perlahan mulai menyertainya. Berada di rumah ini benar-benar telah membuatnya bertemu de
Sean dibuat keheranan dengan tingkah Evelyn. Secara mendadak perempuan berwajah datar itu tiba-tiba menunjukkan ekspresi ketakutan."Ada apa?" tanya Sean, ketus.Namun bukannya menjawab, Evelyn malah terus menatap seorang pria yang kini mulai berjalan menghampiri ke arah mereka bertiga."Halo, apa kabar?" tanya pria tersebut dengan tawa yang membuat Evelyn semakin takut."Apa urusanmu?" tanya Sean yang mulai beranjak dan menatap tajam ke arah pria tersebut."Hey, santailah! Kenapa harus emosi begitu?" pria itu berusaha menenangkan Sean yang terlihat sedang diliputi emosi.Lukas yang merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut pun buru-buru berdiri dan mendekati pria itu. Ia memegangi lengan dan menariknya menjauh dari Evelyn juga Sean."Saya tahu Anda tidak memiliki niat buruk, tapi kedatangan Anda telah membuat Evelyn menjadi ketakutan. Saya harap jangan dekati kami," ucap Lukas yang tahu persis jika pria itu adalah si pemilik rumah lelang."Menyebalkan … aku hanya ingin menyapa saja
"Mau jalan-jalan?" tanya Lukas berusaha mengalihkan perhatian Evelyn."Ke mana?" jawab Evelyn yang dadanya masih terasa sesak."Sebutkan saja tempat yang ingin kamu kunjungi!""Aku tidak ingin ke mana-mana, hanya ingin pulang," jawab Evelyn, tegas.Wajah Lukas berkeringat. Ia panik karena tidak tahu harus mengatakan apa. Bukan hanya Evelyn, dirinya saja tidak tahu apa maksud dari perkataan Sean tadi."Sebenarnya aku juga tidak tahu apa maksud Pak Sean. Lebih baik kita menunggu kabar selanjutnya saja," terang Lukas yang tidak berani menatap mata Evelyn."Apa aku benar-benar diusir?" tanya Evelyn lagi."Aku tidak tahu, semuanya masih belum pasti. Tunggu sampai ada kabar dari Pak Sean saja." Lukas berusaha menenangkan Evelyn."Baiklah," jawab Evelyn, tertunduk lesu.Pikiran Evelyn Melayang-layang jauh. Ia mulai merencanakan antisipasi jika seandainya diusir dari rumah Sean. Ke mana aku harus pergi? bagaimana caranya aku mendapat kerja? dua kalimat itu seakan terus terngiang-ngiang dalam
Sean menatap Evelyn dengan tajam, ingin marah pun percuma karena sejak awal perempuan di hadapannya itu memanglah sangat ceroboh.Sedangkan Evelyn dan Lukas, dengan perasaan yang sedikit cemas terus saja menatap Sean, menunggunya berbicara.Namun, sampai selesai makan siang pun Sean seakan tidak peduli dengan kejadian barusan dan langsung beranjak pergi begitu saja."Ada apa dengannya?" bisik Evelyn pada Lukas yang tepat berada di sampingnya."Entahlah," jawab Lukas seraya mengangkat bahunya."Aku tidak bisa membedakan wajahnya saat marah karena rasanya selalu sama saja," bisik Evelyn lagi.Lukas tertawa kecil. Ia tak berani mengatakan hal buruk tentang atasannya itu karena khawatir jika ketahuan maka gajinya akan dipotong."Apa kamu masih merasa mual?" tanya Lukas yang berusaha mengganti topik pembicaraan."Tidak terlalu, teh mint benar-benar mengurangi rasa mual," jawab Evelyn."Syukurlah," jawab Lukas seraya membuang napas.Evelyn tersenyum, merasa senang dengan perhatian yang Luka
Sean yang biasanya tidak peduli pun mendadak panik, lalu dengan sigap menggendong Evelyn dan membawanya ke mobil.Lukas mengekor dari belakang dengan perasaan yang kacau. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Evelyn."Ke rumah sakit, sekarang!" titah Sean pada Lukas yang sudah berada di depan kemudi.Tanpa basa-basi Lukas pun melajukan mobil dan menuju ke rumah sakit terdekat.Sepanjang perjalanan Sean tak hentinya memandangi wajah Evelyn. I takut terjadi sesuatu pada perempuan tersebut, mengingat saat jatuh tadi terdapat darah yang tidak sedikit di lantai."Apa yang kamu rasakan?" tanya Sean seraya menggenggam erat tangan Evelyn."Sakit," ucap Evelyn, lirih."Apa yang harus aku lakukan?" Sean semakin ketakutan.Evelyn tidak menjawab, ia hanya meringis sambil memejamkan mata. Wajahnya pucat dipenuhi bulir-bulir keringat dingin, membuat pikiran Sean semakin ketakutan tak karuan."Cepatlah!" titah Sean pada Lukas yang sejak tadi terus saja menoleh ke belakang."Baik, Pak." Lukas menambah kece