"Sudah kuduga, tampaknya mereka tidak sesederhana yang kita lihat," ujar Sean yang mendadak dadanya terasa bergemuruh akibat kesal."Lalu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Evelyn mendadak cemas. Ia tidak ingin usahanya berakhir sia-sia."Kita lanjutkan memberi sanksi sosial untuk orang-orang itu, meski pada akhirnya pemerintah daerah tetap akan melindungi mereka," jelas Sean.Evelyn menghela napas panjang. Komentar di unggahan tersebut membuatnya merasa tak habis pikir, bagaimana mungkin sekelompok preman sudah lama berkeliaran dan dibiarkan membuat onar begitu saja karena mendapat perlindungan pemerintah setempat? "Aku benar-benar benci preman-preman itu," ungkap Evelyn."Sudah sore, mau kubantu untuk mandi?" tanya Sean dengan wajah datar."Tidak perlu, kamu pasti akan mengambil kesempatan dariku." Evelyn tersenyum malu."Memang kenapa? Tidak ada larangan untuk sepasang suami istri.""Tapi, aku takut perbanku basah.""Tinggal dibuka. Itu bukan luka, aku akan meman
Sean berjalan dengan penuh keberanian, tidak ada rasa takut apalagi cemas di hatinya. Ia malah merasa tertantang dengan kedatangan dua preman itu."Tuan, mereka terus memaksa ingin bertemu padahal saya sudah berusaha untuk menyuruh mereka pergi," lapor salah seorang security yang berjaga di depan."Biarkan saja, mungkin ada yang mereka ingin sampaikan padaku," sahut Sean sambil tersenyum tipis.Langkah Sean terhenti saat berada tepat di depan gerbang. Ia menatap kedua preman yang saat itu terus membuat kerusuhan di depan rumahnya."Apa yang kalian inginkan?" Wajah Sean menunjukan aura dingin yang menusuk, membuat kedua preman itu sempat merasa bergidik."Bos ingin memastikan. Kau kan yang menyebar video tentang kami di media sosial?" ucap salah seorang preman dengan mata membelalak, seolah ingin membuat nyali Sena ciut."Yakin jika itu aku? Bosmu pikir hanya aku yang membenci kalian di muka bumi ini?" Sean tersenyum miring dengan tatapan sedingin es."I-itu … tapi tetap saja, kau yang
"Berhati-hatilah! Kakimu masih sakit, jangan terburu-buru, takutnya malah jatuh!" ucap Dion sambil memegangi tangan Evelyn.Saat itu Sean langsung menghajar Dion tepat di wajah. Tampaknya kesabaran pria itu benar-benar sudah habis. Ia tak bisa lagi menahan gejolak di dada yang sejak awal terus bergemuruh."Lepaskan tanganmu dari istriku!" bentak Sean.Saat itu semua orang yang berada di sana seketika berkumpul mendekati Sean, hendak melerai pertikaian di antara kedua pria itu."Jangan bertengkar di sini! Kami baru saja menata tempat ini," ucap salah seorang anak buah Dion yang bertugas menata area dekat situ."Persetan dengan dekorasi ini!" bentak Sean yang segera menggendong Evelyn menuju ke dalam rumah."Ayo, Key! Kita masuk ke dalam saja!" ajak Sean yang sekilas melirik ke anaknya, lalu mendelik lagi ke arah Dion.Dion lagi-lagi terlihat tenang. Ia tidak berhenti tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, meski dari pinggir bibirnya mengeluarkan darah.Merry yang berada di situ menjadi
Nicki melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi karena cemas dengan keadaan Sean. Ia khawatir atasannya itu pergi ke tempat yang tidak baik demi melampiaskan amarahnya."Semoga pikiranku salah," gumam Nicki yang terus fokus menyetir.Tak berselang lama Nicki sampai di depan sebuah bar ternama di kota itu. Selain besar, tempat itu juga terkenal karena sering dikunjungi para wisatawan dan beberapa orang penting dari ibu kota yang sedang jalan-jalan ke kota tersebut.Nicki menoleh ke sana kemari, mencari kendaraan Sean yang mungkin saja terparkir di sana.Mata pria itu seketika tertuju pada sebuah mobil sport hitam yang terparkir tak jauh dari gerbang utama. Nicki lantas menghela napas panjang karenanya."Kuharap Pak Sean tidak melakukan sesuatu yang bodoh." Nicki bergegas memasuki bar.Saat berada di dalam bar, matanya terus menatap sekeliling, berusaha mencari keberadaan Sean. Hingga sosok sang atasan yang sedang mabuk terlihat sedang duduk bersandar dengan beberapa perempuan tampak me
Nicki menelan ludah, tak tahu apa yang akan dihadapinya nanti. Dari suaranya saja jelas terdengar jika Evelyn sedang dalam keadaan emosi.Pria itu perlahan berbalik dan kembali menuju Evelyn."Ya, ada yang bisa saya bantu, Bu Evelyn?" Nicki hanya menunduk, tak berani menatap mata Evelyn yang sebelumnya sekilas tampak penuh amarah."Aku mencium parfum perempuan di pakaian suamiku. Apa kamu bisa menjelaskan itu?" Evelyn menatap Nicki, lekat.Nicki langsung menelan ludah, tak menyangka jika akhirnya akan terjadi hal seperti itu. Bahkan, dalam lubuk hati terdalam ia merasa tertekan dengan perkara rumah tangga sang atasan yang malah menyeret dirinya."I-itu …." Nicki sangat gugup, rasa cemas terus menghantuinya."Katakan saja! Aku tidak akan memarahimu." Dari suaranya saja jelas terlihat jika Evelyn sedang emosi."Saat Pak Sean mabuk, beberapa perempuan memanfaatkan itu. Mereka berusaha menggoda Pak Sean yang sedang tak berdaya," jelas Nicki yang saat itu terus mengeluarkan keringat dingin.
Evelyn langsung menelepon Diana saat itu juga, kaki yang sedang sakit membuatnya tak bisa leluasa untuk mencari sendiri keberadaan Sean dan Kelvin."Apa kamu melihat Kelvin?" tanya Evelyn sesaat setelah Diana mengangkat telepon."Sepertinya Kelvin dan Pak Sean pergi ke arah taman. Memang kenapa? Apa ada yang bisa aku bantu, Kak?""Oh, tidak ada. Kalau begitu terima kasih," jawab Evelyn yang penasaran dengan apa yang sebenarnya Sean lakukan bersama dengan Kelvin.Evelyn beranjak dari duduknya, berniat untuk pergi ke taman sambil berjalan perlahan. Baginya suasana di taman cukup bagus untuk menjelaskan tentang acara pernikahan sang mertua.Dengan langkah tertatih sambil memakai tongkat, Evelyn berjalan perlahan keluar dari kamar. Ingin berbincang dengan suasana yang tenang, berharap jika Sean bisa merespon dengan kepala dingin."Apa yang sedang Kakak lakukan? Jangan memaksakan diri seperti itu!" Diana menghampiri Evelyn dengan wajah panik."Ah, itu … aku ingin pergi ke taman sebentar,"
Evelyn memilih untuk diam terpaku. Ia menaikan kakinya ke atas kloset agar tidak terlihat dari celah bawah pintu. Dengan menahan sakit, Evelyn terus menaikan kaki sambil membekap mulut dengan mata berkaca-kaca.'ini sangat menyakitkan,"' batin Evelyn yang kakinya terasa ngilu karena dipaksa di tekuk.Evelyn tanpa sadar meneteskan air mata akibat menahan rasa sakit. Namun, setidaknya masih bisa menahan agar tidak mengeluarkan suara."Di mana perempuan itu?" Mendadak terdengar suara seorang pria di luar bilik toilet.Seketika Evelyn tercengang sekaligus ketakutan saat tahu ada suara pria di toilet wanita. Hal tersebut tentunya bukan sesuatu yang sederhana, entah apa yang sedang menunggunya di luar."Kita cek satu persatu saja," sahut pria lainnya.Suara dua orang pria semakin menambah kepanikan Evelyn, diperparah dengan perbincangan mereka yang hendak mengecek bilik satu persatu."Jangan harap bisa bersembunyi dari kami!" teriak salah seorang pria.Suara pintu yang dihantam kencang teru
Sebelum memberi tahu tentang idenya pada Sean, Andi memilih untuk mengecek terlebih dahulu setiap jalan yang kemungkinan dilalui Evelyn."Ada apa? Apa kamu menemukan sesuatu?" tanya Sean saat melihat Andi terus mondar-mandir."Tunggu sebentar, Pak. Saya mau mengeceknya dulu," jawab Andi yang wajahnya terlihat begitu serius.Sean mengerutkan alis karena sedikit bingung dengan maksud Andi, hingga setelah ia menyaksikan bawahannya itu beberapa saat kemudian baru menyadari apa yang sedang dicari."CCTV?" Sean segera menghentikan Andi. "Jadi, apa yang kamu temukan?""Tidak semua jalan menuju toilet dilengkapi CCTV. Dan saya perhatikan beberapa diantaranya palsu, hanya hiasan saja." Andi terlihat serius saat memandangi sebuah CCTV yang menurutnya hanya hiasan semata."Dari mana kamu tahu jika itu CCTV palsu?"Sebelum menjawab Andi malah tertawa sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Karena saya punya beberapa di rumah, hanya untuk terlihat keren saja. Dan kebetulan yang ada di sana persis