Helen segera menuju kamar Daren, berharap jika anaknya itu masih menyimpan surat keterangan ahli waris yang sengaja ia sembunyikan di brankas dalam lemari."Sial, dasar anak kurang ajar. Aku menyesal telah melahirkan dan membesarkannya," gumam Helen sambil terus menggerutu sepanjang perjalan menuju kamar Daren.Saat sampai di depan kamar Daren, ternyata pintunya terkunci. Helen yang saat itu sudah emosi sekaligus ketakutan langsung memanggil seorang tukang untuk membongkar kunci kamar sang anak.Selama proses pembongkaran, jantung Helen terus berdebar tak karuan. Ia takut jika rencana yang sudah hampir sempurna itu berakhir gagal hanya karena ulah sang anak yang lebih berpihak pada lawannya.Tak berselang lama, kunci pintu pun berhasil dibongkar. Helen segera mengobrak-abrik lemari, laci bahkan kasur Daren seakan sang anak adalah seorang pencuri."Di mana dia menaruhnya?" Dada Helen terasa bergemuruh hebat, ia begitu membenci situasi tersebut."Benar-benar pembawa sial, pasti anak it
Sean menyadari kebimbangan Evelyn, sambil mengusap lembut istrinya itu, ia berkata, "kalau kamu ingin tahu, temui saja. Dia hanya seorang diri, tidak mungkin berani menyakitimu."Evelyn yang semula kebingungan pun kini menjadi mantap untuk menemui Jennifer. Terlebih ucapan Sean memang ada benarnya, tidak mungkin saudara tirinya itu berani berbuat macam-macam di rumah Sean yang sudah jelas banyak pengawal dan security."Kalau begitu biarkan dia datang kemari saja," pinta Evelyn sambil membetulkan posisi duduk menjadi lebih tegak meski masih bersandar di kepala tempat tidur.Sean tersenyum, lalu segera meraih ponselnya untuk menelpon security."Bawa saja perempuan itu ke kamarku, panggil beberapa pengawal untuk berjaga-jaga," titah Sean yang kemudian menutup telepon.Tak perlu menunggu waktu lama, Jennifer pun datang dengan ditemani beberapa pengawal Sean."Lepas! Ini sangat menyakitkan! Aku tidak memiliki niat buruk pada Evelyn," teriak Jennifer sambil berusaha melepaskan tangannya dar
Acara para pengusaha yang bergengsi itu tampak begitu meriah, Sean yang duduk di kursi VIP karena statusnya itu tak hentinya tersenyum dengan perasaan berdebar tidak sabar menanti pembalasan yang sebentar lagi akan datang.Setelah beberapa bagian acara selesai, yang ditunggu-tunggu pun tiba, kini sudah waktunya untuk sesi perkenalan para anggota baru yang mana David termasuk salah satunya. Bagi adik Helen itu, bisa bergabung dengan asosiasi pengusaha merupakan surat kebanggan yang bahkan tidak pernah ia impikan sama sekali.Dengan bangga David berjalan seorang diri menuju ke atas panggung karena secara kebetulan saat itu hanya dialah satu-satunya anggota baru."Terima kasih untuk sambutannya, saya merasa sangat terhormat bisa berdiri di sini, di antara para pengusaha hebat seperti rekan-rekan sekalian," jelas David yang masih melanjutkan omong kosongnya.Hingga mendadak dari kursi VIP, seorang rekan Sean mendadak bertanya pada David."Jadi, bagaimana Anda bisa mengambil alih Win Compa
Evelyn melangkahkan kakinya menuju teras rumah kedua orang tuanya itu. Matanya nanar menatap sebuah bangunan yang memiliki begitu banyak kenangan itu.Sean langsung berlari menuju ke dalam rumah, hendak mencari keberadaan sang mertua."Evelyn, tetap berdiri di sana! Jangan ke mana-mana!" teriak Sean sambil berlari ke dalam rumah.Tatapan Evelyn kosong, ia terjatuh bersimpuh melihat pemandangan yang begitu menyedihkan. Sebuah rumah yang dipenuhi kenangan masa kecilnya itu sudah hancur tak karuan. Jendela pecah, pintu lepas dari tempatnya, bahkan dinding-dinding pun tak luput dari pengrusakan. Seseorang tampak dengan sengaja ingin menghancurkan tempat itu.Sedangkan Sean yang kini sudah berada di dalam terus mengecek setiap kamar satu persatu. Ia khawatir jika terjadi sesuatu pada sang mertua."Siapa yang melakukan ini?" gumam Sean sambil terus mengedarkan pandangan, mencari keberadaan sang mertua.Berulang Kali Sean mencari, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Sehingga
Saat itu, Helen tampak seperti orang tak waras, tatapan matanya terlihat seperti bukan dia yang biasanya."Cepat pergi dari sini!" Evelyn berusaha mengusir ibu tirinya itu lagi.Bukannya pergi, Helen malah melangkah semakin jauh. Tatapan matanya tampak kosong meski tak berkedip memandang Evelyn.Perempuan tua itu mendadak tersenyum dan secara tiba-tiba berlari ke arah Evelyn, lalu menyambar leher istrinya Sean itu."Lepas! Apa kamu gila?" Sean berusaha melepaskan tangan Helen yang entah kenapa begitu kuat mencengkram leher Evelyn.Helen yang terlihat seperti orang gila itu malah tertawa dengan begitu kencang saat melihat Evelyn kesulitan bernapas. Pasien lain yang berada di ruangan tersebut lantas menjadi ketakutan dan beberapa perawat yang melihat kejadian tersebut langsung memanggil security.Merasa sudah tidak ada jalan keluar, Sean pun segera mendorong tubuh wanita tua itu sehingga membuat Evelyn ikut terjatuh ke lantai juga."Apa kamu baik-baik saja?" Sean berusaha membantu Evely
Kelvin terlihat gugup, bocah itu mendadak jadi pendiam dan tak berani menatap mata sang ibu."Kenapa diam saja?" Evelyn meninggikan suaranya.Namun hal itu tidak membuat Kelvin mau menjawab dan malah terus saja menunduk ketakutan.Merasa jika tidak akan mendapat jawaban dari Kelvin, Evelyn lantas mengambil ponselnya, lalu menelpon Diana."Datang ke kamarku sekarang!" titah Evelyn yang perasaannya sedang tidak karuan."Tenanglah, kita cari tahu dulu apa penyebabnya," ucap Sean yang sejak tadi hanya menyimak.Kepala Evelyn rasanya mau pecah, baru saja merasa bahagia mendengar kondisi sang ayah setelah sebelumnya sempat stres memikirkan kematian Helen, tetapi sekarang malah harus dihadapkan dengan kenyataan jika Kelvin sedang mengalami sesuatu yang membuat Evelyn merasa tidak enak hati."Kak …." Suara Diana terdengar beriringan dengan ketukan pintu."Masuk!" titah Evelyn sambil menahan emosi karena berpikir jika Diana begitu ceroboh dalam menjaga Kelvin.Diana langsung masuk begitu saja
"Menyebalkan kenapa dia ada di sini?" gumam Sean sambil memutar bola matanya.Lain dengan Kelvin yang tampak bahagia saat melihat temannya yang sebentar lagi akan ia ajak ke rumah."Apa Key punya teman lain? Sepertinya anak itu sedang asyik bermain, ayah tidak ingin mengusiknya," ungkap Sean yang sebenarnya malas untuk bertemu dengan perempuan dari bocah tersebut."Tenang saja Ayah, dia pasti lebih senang bermain dengan Key daripada main sendiri begitu," bantah Kelvin yang sejak tadi terus tersenyum memandangi temannya dari kejauhan.Sean menghela napas panjang, pada akhirnya ia tidak bisa berdalih lagi dan berakhir harus menuruti keinginan sang anak, jika tidak Evelyn mungkin akan murka.Sean segera memarkirkan mobilnya di area parkir dekat taman dan segera turun untuk menemani Kelvin menghampiri temannya."Clay!" teriak Kelvin.Bocah yang sedang bermain ayunan seorang diri itu seketika menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya yang semula terlihat murung pun mendadak berubah girang saat
Sebelumnya Sean menghela napas terlebih dahulu saking cemas jika nantinya Evelyn sampai kesal atau malah marah padanya."Memang dia siapa? Kenapa kamu begitu sulit untuk mengatakannya?" timpal Evelyn yang kini menatap Sean dengan sinis."Bukan siapa-siapa, dia itu perempuan yang selalu mengejarku saat masih sekolah. Dia tidak waras dan aneh," jelas Sean.Evelyn terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Terlebih ia merasa lucu saat melihat ekspresi Sean yang terlihat bergidik ngeri."Apa dia semenyeramkan itu?" tanya Evelyn seraya tersenyum miring."Ya, sangat mengerikan, sampai aku saja takut dibuatnya," sahut Sean.Mendengar ucapan Sean, Evelyn yang semula kesal pun mendadak tertawa geli."Jadi, kamu sudah tidak marah padaku, kan?" tanya Sean seraya meraih tangan Evelyn, lalu menggenggamnya."Tentu saja tidak, aku tidak mungkin marah tanpa alasan, apalagi kamu mau terbuka dan menceritakan semua," jawab Evelyn."Hanya saja, sekarang bagaimana caranya agar Kelvin tidak terus marah padaku?