Bunga Allesia, wanita cantik yang selalu menjadi bahan perbincangan banyak orang, terutama para pria.
Ia terlahir di keluarga kaya yang membuat dirinya semakin sempurna.Sesaat, ia memandangi dan mengagumi kecantikan yang selalu ia syukuri itu di depan cermin, hingga suara seorang anak laki-laki mengalihkan perhatiannya.“Ibu, aku lapar...” rengek Jordhy.“Tunggu sebentar, Sayang. Kembalilah ke kamarmu, akan ibu antarkan nanti.”Cup! Sebuah kecupan mendarat di kening anak itu sebelum langkahnya benar-benar meninggalkan tempat itu.“Ah, tidak!” Suara teriakan itu segera membuat Jordhy masuk dan bersembunyi di kolong kamarnya.Sesaat kemudian, tampak jika dua pasang kaki memasuki kamarnya.“Duduk di atas ranjang dan buka pakaianmu!” Perintah itu begitu jelas terdengar seperti sebuah ancaman.Bunga tampak amat sangat ketakutan sekarang, terlebih lagi keberadaan putranya yang tak ia ketahui.Perlahan tapi pasti, ia melucuti pakaiannya sendiri saat ini.Jordhy yang tengah bersembunyi di bawah tempat ibunya duduk ingin sekali bertanya ada apa, namun ia yang bijak memilih untuk diam dan menunggu situasi menjadi lebih kondusif.Tak berselang lama, sesaat pria itu hendak menyentuh tubuh Bunga, beberapa orang juga ikut masuk.“Mas?” Terdengar panggilan lirih dari bibir wanita itu.“Siapa sebenarnya kalian semua?” tanya Abigael dengan nada pasrah tepat ketika ia ditendang hingga berlutut di lantai sekarang.“Kamu tidak perlu tau siapa kami. Untuk saat ini, yang paling penting adalah beri izin untuk kami mencicipi istrimu.”“Sialan! Awas saja kalian berani menyentuh, akan kubunuh kalian semua!” bentak Abigael yang tentu saja tidak terima.Pria sejati mana yang akan terima dan membiarkan istrinya digilir oleh pria asing yang juga entah siapa.Dor!Suara tembakan itu tepat mengenai bahu Abigael yang membuat cairan kental merah mulai tercecer di mana-mana.Hal itu membuat Jordhy semakin diam dalam persembunyiannya. Anak itu juga bisa mendengar dengan jelas suara isak tangis sang ibu yang tengah menahan rasa takut.‘Ibu, tolong usir mereka pergi, aku takut. Ibu, tolong Ayah, dia terluka sekarang,’ batin anak itu memeluk diri sendiri.Diam selama beberapa saat, sampai akhirnya salah satu dari orang asing itu mendekat ke arah Abigael, sepertinya ia adalah bos dari komplotan orang-orang itu sebab ia paling banyak bicara.“Cepat! Berikan izin pada kami, atau dia akan mendapat luka yang sama denganmu!” ancamnya.Abigael menatap sang istri yang terus menggelengkan kepala, menunjukkan rasa takut yang dideritanya.Abigael membuang pandangannya, ia menatap kelima pria itu. Berpikir sejenak.Mungkin, bahkan jika ia memberi izin sekalipun, ia akan tetap dibunuh.“Lebih baik, bunuh saja aku. Jangan bawa-bawa masalah ini dengan keluargaku. Walau aku bahkan tidak tau masalahnya apa.”Ucapan itu nyatanya membuat orang-orang jahat itu kian kesal.Tak ingin dianggap bermain-main, sebuah tembakan segera diarahkan ke lengan Abigael yang satu lagi. Lagi, cairan kental merah itu tercecer di mana-mana.“Arrgghh! Siapapun kalian, semoga keluargamu mendapatkan perlakuan yang sama. Semoga kematian kalian tidak pernah benar. Itu sumpahku!” teriak Abigael yang sudah tidak tahan lagi tatkala emosinya dipermainkan.“Baiklah!” jawab bos komplotan itu lalu memberikan tembakan dua kali di masing-masing kaki Abigael.Tak berhenti sampai di sana, pria itu memberi perintah agar anak buahnya membaringkan Bunga di sisi suaminya.Ia mendekat sekarang, menikmati tubuh Bunga seolah ia sangat mengimpikannya sejak lama.“Ah, luar biasa!” pekiknya dengan nada jahat di telinga Abigael yang masih sadarkan diri dan harus melihat istrinya menderita.Tak berujung sampai di sana, bos komplotan itu juga memberi perintah pada keempat anak buahnya yang lain agar ikut menikmati tubuh wanita itu.“Semoga Tuhan menerima sumpah suamiku,” ujar Bunga dengan sangat geram setelah ia mendapatkan luka yang mungkin tidak akan terlupakan sampai ia mati nanti.Suara tawa gelak kelima orang jahat itu malah berkumandang dengan sangat jelas sekarang. Kelima orang itu menatap Abigael dengan penuh ejekan seolah merekala pemenangnya.“Sudah, habisi dia!” Sebuah perintah yang segera dilakukan.Dor!Satu tembakan terakhir yang segera menembus jantung Abigael.Di sisa napasnya yang sudah tersengal-sengal, tatapannya tertuju pada putranya yang ternyata berada di bawah tempat tidur.Ia memberi isyarat agar anak itu tidak bersuara. Begitulah hidupnya berakhir dengan mata terbuka.“Mas, bangun ... Mas?”“Mas?”“Dengar aku, Mas!”“Mas, tolong bangun!” teriak Bunga dengan nada memohon yang tentu saja tidak akan pernah mendapat jawaban sebab pria itu telah benar-benar tak bernyawa.Ia bahkan tidak dibiarkan menyentuh pria itu ketika dirinya ditarik paksa untuk berlalu dari sana.Lagi, ia dipaksa untuk melayani nafsu para pria bejat itu. Entah dosa apa yang sudah ia lakukan sehingga harus mendapatkan luka yang mungkin akan mengubah kehidupannya 180 derajat.Jordhy yang masih berada di tempatnya memutuskan untuk tidak berpindah. Ia memilih diam dan berharap jika mungkin bantuan akan segera datang.Perlahan, ia menutup mata lalu tertidur.Seminggu telah berlalu. Kini, keadaan kacau di villa itu akhirnya diketahui oleh khalayak ramai. Para petugas pun berjejer berdatangan ke sana untuk melakukan investigasi.Sampai akhirnya, keberadaan Jordhy juga diketahui. Keadaan anak itu sungguh miris.Ia bahkan tidak makan dan minum selama itu. Matanya juga masih tertutup dan tiba-tiba berteriak histeris ketika melewati tempat pengeksekusian ayahnya yang sekarang masih bercecer darah.“No, no, no. Semuanya baik-baik saja, Nak,” ujar Joenathan—sang paman, sekaligus orang pertama yang melihat kekacauan itu.“Ada kami di sini, Nak.” Suara sang petugas wanita juga membuat keadaan Jordhy sedikit lebih tenang.“Ayo, segera bawa dia ke rumah sakit!” teriak Joenathan dalam kepanikannya sambil menitikkan air mata.Dalam matanya yang tampak tertutup, Jordhy masih bisa melihat kejadian di sekitarnya. Dengan pemandangan itu, ia menjadi yakin pada pria itu sekarang.“Tolong tangani keponakan saya sebaik mungkin. Tolong, Dok ... tolong ...”Suara penuh rasa cemas itu juga membuat Jordhy semakin yakin jika Joenathan adalah orang yang patut ia percayai.“Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Pak!” jawab seseorang yang kemungkinan besar adalah dokter.“Ada korban lainnya!” Sebuah suara yang juga membuat kehebohan kembali tercipta.Jordhy tak lagi tau apa yang terjadi setelahnya sebab dirinya segera dibawa pergi setelah itu.“Di-di ma-na a-ana-k sa-ya?” tanya Bunga dengan nada lirih.Keadaannya amat sangat mencemaskan sebab ia ditemukan bahkan tanpa sehelai pakaian. Tubuhnya juga sangat kaku namun bergetar hebat.“Tolong selamatkan kakak ipar saya juga!” teriak Joenathan dengan nada histeris sebelum akhirnya menangis terisak.Ia sungguh tidak menyangka jika panggilan ancaman dari para penjahat itu benar adanya. Nyawa sang abang telah melayang bahkan dengan keadaan yang sangat mengerikan.“Kami akan berusaha mengusut tuntas kasus ini,” ujar Devi—petugas keamanan wanita yang tampak prihatin dengan keadaan pria itu.Joenathan tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap tempat itu dengan penuh amarah dan dendam.***"Di mana Ibu?"3 hari telah berlalu. Jordhy membuka mulutnya untuk pertama kali. Joe yang sudah menunggu saat itu, pun segera mendekat lalu memberikan dekapannya."Kamu baik-baik saja, Nak? Syukurlah." Jordhy segera menarik ke luar kepalanya dari dekapan pria dewasa itu, menatap ke segala arah. Ia ingin bicara sesuatu pada siapapun yang ingin mendengarkannya."Di mana ibuku?""Kamu jangan terlalu banyak pergerakan dulu, Nak. Keadaanmu belum begitu baik," ujar sang paman mencoba memberikan ketenangan.Merasa dirinya mendapat himpitan pergerakan, anak itu lantas memberontak kemudian mencoba ke luar dari sana. Merupakan sebuah usaha yang sia-sia ketika anak buah pria itu menarik dan menangkapnya."Panggil dokter sekarang juga!" titah Joe.Devi yang baru saja tiba di tempat itu, segera masuk kemudian mendekat. Ia mencoba mencari tahu apa yang tengah terjadi. Bukannya mendapat jawaban, ia malah ditarik paksa oleh Joe."Kamu ... tolong jangan bertindak terlalu jauh. Keponakanku butuh keten
“Om, di mana kita? Aku tidak tau tempat ini,” tutur Jordhy merasa keheranan dengan keadaan sekitarnya.Joe tidak segera menjawab. Ia hanya tersenyum sembari membuatkan segelas susu yang kemudian disajikan di hadapan anak itu.“Diminum ya, Jord."“Om, di mana kita? Apa ibuku sudah ketemu?”Joe sedikit berdecak sembari menggelengkan kepalanya dalam. Ia duduk di sisi anak itu kemudian memberikan dekapan dengan penuh kasih sayang.“Maafkan om yang belum bisa berbuat banyak untuk kamu, Nak.”“Om?” Memanggil dengan nada sendu.“Keadaan memaksa kamu untuk kuat dan cepat dewasa. Jadi, mengertilah. Perlahan, keadaan akan mengajari kamu untuk cepat paham.”Tak lagi menuntut penjelasan, Jordhy memilih untuk menurut. Ia segera meneguk habis susu itu kemudian tidur.Joe tampaknya bersikap sangat baik. Ia bahkan membacakan dongeng sekarang. Entahlah dari mana ia tahu kebiasaan itu.Beberapa saat kemudian, ia mengubah lampu ke mode lampu tidur. Lalu memberikan sebuah kecupan di kening anak kecil itu
“Om, aku pamit, ya?” ujar Jordhy yang memilih untuk berkelana sejak hari itu. Sejak kelulusannya dari SMA, masih ada waktu baginya bersantai sebelum masuk ke perguruan tinggi. Hal itulah yang membuat hati Joe sedikit terbuka.Pria setengah baya itu tampak tidak begitu senang. Ia seolah tidak rela dengan kepergian keponakannya itu. Baginya, dunia luar hanya menyediakan ancaman dan bahaya.Trauma adalah perasaan dan prasangka yang paling tepat yang dialami saat ini. Sungguh, ia tengah menunjukkan ketidaksukaannya sekarang berharap anak itu akan merubah keputusannya.“Om, kalau aku kelamaan di sini, bakal ketinggalan bus, dong.”Iya, Jordhy juga memilih untuk naik bus dengan alasan agar bisa mendapatkan pengalaman lebih banyak. Nyatanya, ia hanya ingin menikmati waktu.“Ya sudah, pergilah sana. Jangan lupakan kami di sini. Setiap busnya berhenti, kasih kabar!” titah Joe pada akhirnya.“Siap, Om!” Menjawab dengan penuh energik agar si paman lebih merelakannya.“Nak, jangan sampai kamu ti
Bunga baru saja menyelesaikan pekerjaannya segera menuju ruang administrasi di rumah sakit itu. Ia mendapatkan gaji yang kesekian kalinya.Hingga saat ini, ada rasa syukur yang teramat sebab ia yang dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit dan diberi pekerjaan walau hanya sebatas cleaning service.“Anda sudah diberi kehendak untuk ke luar dari sini, silakan …”Bunga menggeleng.“Bu, kalau saya masih diberi kesempatan untuk tinggal di sini. Rasanya saya tinggal di sini saja. Saya ingin membantu lebih banyak pasien untuk sembuh.”“Memangnya kamu tidak merasa rugi? Sudah sehat malah menghabiskan waktu di tempat ini.”“Tidak.” Wanita itu kembali menggeleng. “Saya akan menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk mereka. Walau mungkin sampai waktunya tiba untuk bertemu anak saya nanti. Tidak apa-apa, kan, Bu?”Wanita berjas putih itu menggeleng seraya tersenyum ramah.“Malah saya juga akan berusaha membantu sebisa saya. Sekarang kamu pulang dan istirahat saja dulu. Tubuh kamu sepertinya kuran
Setelah pelarian yang cukup melelahkan dan memakan korban enam orang, Jordhy memilih untuk rehat. Ia mengajak Sarah untuk ikut dengannya.Gadis itu tampak sudah sangat lemah. Ia segera memuntahkan isi perutnya yang segera dibantu oleh Jordhy sekarang.“Aku haus, tolong ambilkan air.”Setelah drama muntah-muntah yang cukup panjang, akhirnya Sarah bisa lebih tenang sekarang. Ia juga mengeluarkan sisa dua ponsel yang masih ia simpan.“Tolong pesanan kami segera diproses, ya.” Terlihat jika pria berumur 17 tahun itu membuat pesanan makanan mereka.“Ini, HP nya. Aku serahkan semua padamu, ya. Jadi, tidak ada lagi urusan di antara kita.”“Simpan saja. Kalau orang lain melihat semua HP ini, bisa-bisa aku dituduh sebagai perampok,” tolak Jordhy.“Apaan! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Capek tau!”“Ara-ara, tolonglah aku. Setidaknya bantu aku sampai ke kota itu. Tujuan kita juga sama, kan. Setidaknya kamu membawaku sampai ke kota itu saja.”“Ara-ara, ara-ara,” omel Sarah terlihat tidak
Terlihat jika seorang pria tengah menghampiri Sarah dengan perlahan kemudian mengagetkan gadis itu. Keduanya segera berpelukan kemudian. Terlihat jelas jika persahabatan mereka sudah begitu akrab.Beberapa saat kemudian, pria itu juga mengajaknya makan bersama. Hal itu memang selalu dilakukan setiap mereka bertemu di penghujung semester. Dan kali ini, mereka ingin merayakan kelulusan Sarah.“Kai, aku sebenarnya masih kenyang.”“Halah. Kamu kan orang yang selalu kelaparan setiap mudik karena takut beli cemilan selama perjalanan. Sudah, aku yang bayari, kok.” Pria itu menarik tangan Sarah sekarang.Langkah gadis itu terhenti tatkala memang dirinya tidak sedang lapar. Ia menolak ajakan itu untuk pertama kalinya.“Ada apa? Biasanya juga kamu yang ngajakin. Ada orang baik yang beliin kamu, ya?”Sarah mengangguk membuat pria itu sedikit terkejut sekarang. Ia tahu betul jika gadis ini bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain.“Siapa dia? Aku mau temuin dia. Jangan-jangan …”“Ssst.
Santai, menikmati secangkir kopi yang dibuatkan sendiri sambil memainkan ponsel adalah gambaran kegiatan Jordhy sekarang. Ia tengah menatap benda pipih yang berjumlah tujuh buah di hadapannya.Sungguh, ia sudah mulai merasa muak dan lelah. Seminggu bukanlah waktu yang singkat untuk memainkan situasi sehingga dirinya tidak dicurigai.Berangan-angan, ia akhirnya mulai mengubah taktik. Sejak saat itu, ia tak lagi membalas pesan dari pamannya secara bersamaan. Ia membuat jarak.Tangannya juga mengetikkan pesan yang ternyata isinya adalah tanggal kematian ayahnya. Air matanya bahkan ingin menetes sekarang. Ah, seharusnya hari ini ia berkunjung ke sana. Namun, ia tak ada keberanian untuk meminta izin.Tatkala ia terbengong cukup lama, Rein segera mendekat bahkan membuatnya terkejut.“Lagi mikirin apa? Bosan sudah pasti kamu di rumah saja. Sudah sana, mainlah dulu. Entah jalan-jalan. Ada motor, tuh.”“Bro, seriusan nih saya dikasih izin
Sarah dicecar oleh sang ibu yang memang selalu ingin jika dirinya melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Berbeda dengan gadis itu yang ingin menjelajah ke luar kota dan sesekali pulang untuk mengunjungi rumahnya.Hal itu tentu saja menjadi bahan perdebatan di antara mereka. Sarah tetap pada keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya walau seberapa banyak pun keluarganya memaksa.“Aku ke luar sekarang. Mau tenangin pikiran dulu,” ujarnya segera berlalu dengan sepedanya yang sebenarnya tidak begitu bagus lagi.“Kai, tolong datang dan kejar Sarah sana. Takutnya nanti dia ngelakuin hal nekat,” ujar sang ibu melalui sambungan telepon.Kai yang sebenarnya sudah berada di sekitar tempat itu pun segera meluncur. Apalagi ia yang telah melihat kepergian Sarah.Terlihat jika gadis itu sangat ceria sekarang. Seolah tidak ada masalah dalam hidupnya. Gadis berusia 17 tahun itu terus mendayung sepedanya sambil bersenandung.“Ck,” deca
“Kalau enak buburnya, yang ada kapan-kapan ke sini lagi! Bukan nginap lagi!” gerutu sang ibu.“UPS!”“Kamu itu memang cowok tukang modus sejati, ya?” Ibu bertanya dengan nada tegasnya.“Enggak kok, Ma. Sama anak Mama aja,” balas Jord dengan cepat ketika wanita itu memilih untuk kembali ke kamarnya. “Soalnya kalau kamu baper, aku dengan senang hati akan tanggung jawab,” lanjutnya menggoda Sarah.‘Huft, pagi-pagi sudah sarapan bubur dengan gombalan, kenyang di perut, kenyang pula di hati,’ batin Sarah yang tak ingin mengungkapkannya.“Aku langsung pulang aja, ya, Sar … enggak enak sama Om Leo yang sepertinya udah nungguin aku nyelesaiin urusan peternakan hari ini,” pamit Jord.“Iya, hati-hati, Sayang,” kata Sarah dengan nada ceria dibuat-buat, Jord mencebikkan mulutnya saat mendengar itu.“Lain kali kalau mau panggil sayang, yang ikhlas dong.” Jord menarik dirinya ke pelukannya dan mencium puncak kepala Sarah sebelum merek
“Ngelamun aja!” Jord mencolek pipi Sarah dengan tangannya yang berminyak. Jorok banget!“Ya ampun! Kamu kok nakal banget, sih!” pekik Sarah tidak terima, menatap Jord dengan geram. Lelaki itu malah tertawa dan berjalan ke dapur untuk membuang sampah dan mencuci tangan.“Ngambek nih?” Jord menyenggok Sarah yang duduk di kursi kayu, matanya fokus melihat tayangan di layar ponsel.“Memangnya aku anak kecil? Tukang ngambek.” Sarah mendengus.“Beneran ngambek ternyata.” Sarah terkekeh geli. “Kamu kalau melamun lucu banget. Mulutnya mangap-mangap, kayak orang lagi ngomong, tapi enggak ada suaranya.”Sarah tanpa ragu memukul paha kekasihnya, keras. Biar kapok memang. “Ya namanya melamun kan enggak sadar lagi ngapain.”“Memang ngelamunin apa, sih?” Jord berbaring, menjadikan paha Sarah jadi bantalnya.“Lupa, enggak ingat.” Ia memilih berbohong. Daripada menceritakan hal memalukan yang sempat berkeliaran di pikirannya.‘Andai saja kamu jadi pria di bayanganku, ngelapin bibirku yang ketempelan
Terlalu fokus dengan pekerjaannya, Jord sampai tidak sadar jika jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Suara deru motor membuat pria itu mendongakkan kepalanya. Ponselnya yang bergetar sejak tadi tak ia hiraukan.Terlihat kepala Joe menyembul, dengan senyum lebar di bibirnya membuat Jord menatap dengan penuh selidik. ‘Nih orang kenapa tiba-tiba datang?’ batinnya.Tidak perlu waktu lama untuk menjawab pertanyaan Jord. Di belakang Joe, muncul sosok laki-laki bertubuh tinggi tegap, dengan kulit agak gelap karena terbakar panasnya Terik matahari. Rein.“Om, ngapain?”“Kamu ih yang ngapain, Jord. Kamu nekat banget pengen mandiri sampai ngurusin kandang orang. Bau lah,” jawab Joe dengan sedikit meledek, pun merendahkan.“Hm …” Jord menarik napas.“Baguslah dia mandiri. Setengah tahun lagi, dia sudah banyak lahan di mana-mana,” balas Rein dengan cepat, sedikit bercanda namun membela anak muda itu.Entah mengapa, perasaan Jord benar-benar tidak baik-baik saja. Ia merasa sesuatu yang buruk akan te
“Jord, aku udah ga bisa menahan ini semua.” Sarah berucap dengan nada lirih.Jord yang tengah sibuk dengan buku-bukunya pun menoleh. Ia mengerutkan kening melihat tingkah gadis di depannya yang cukup aneh.Wajah yang sedikit pucat, tangannya yang terus memelintir bajunya, serta jempol kakinya yang tak kunjung diam.“Kenapa kamu?”“Jord, kita udah deket segini lamanya. Aku pikir kita juga udah saling kenal satu sama lain. Jadi …”“Ssst …” Jord menempelkan telunjuknya di bibir gadis itu.Kedua sejoli itu saling menatap, sungguh dalam. Perlahan, mereka duduk di atas kursi kayu yang sebenarnya sudah cukup reyot.“Aku sepertinya paham maksud pembicaraan kamu ini, Sarah. Apa kamu yang harus memulainya? Ah, aku jadi malu.”Sarah dibuat cukup bingung selama beberapa waktu hingga akhirnya ia tergelak. Senyumannya melebar. Bahu pria itu dipukulnya pelan.“Jord, kalau bukan aku siapa lagi. Kamu hanya kalah gesit bukan kalah beneran.”Menghela napas cukup panjang setelah berupaya meyakinkan diri,
“Gue mau ngajak lo ke suatu tempat.” Tidak ada hujan, tidak ada angin, Jord berucap demikian yang tentu saja membuat Sarah kaget.Gadis itu terdiam cukup lama. Antara percaya dan tidak percaya. Namun, karena diamnya Jord dan tidak melanjutkan perkataannya, ia segera menganggap hal itu sebagai candaan.Gadis itu membuang pandangannya ke arah kolam ikan yang memang ada di belakang rumah Rein. Perbincangan panjang mereka memang tak akan ada usainya.Hal itulah yang membuat mereka banyak diamnya sebab sudah terlalu banyak bercerita.“Gue serius, Sarah. Kok lo malah diam aja?”“Ya iya, gue juga serius. Tapi jelasin dong, mau ke mana, tujuannya apa, dan berapa lama. Lo tau sendiri kan nyokap gue sendirian sekarang, ga ada yang bisa diandalkan,” jelas gadis itu panjang lebar dan mendetail.“Gue cuma butuh persetujuan dari lo.”Sarah terdiam. Cukup lama ia menatap mata pria itu hingga kembali ke posisinya.“Sejak kapan kita jadi gue lo. Sok gaul banget deh keknya,” decitnya.“Ara, gue lagi bi
Joe semakin menjadi. Ia bahkan tidak lagi peduli dengan keluarganya sendiri. Devi dan Sarma benar-benar diabaikan. Tidak jarang, pria itu diantar pulang oleh wanita-wanita bayarannya. Dan tak jarang pula, wanita itu terpaksa menginap sebab ditahan.Tak ingin merusak mental Sarma, Devi terpaksa diam. Ia juga sengaja tidur bersama anak kecil itu.Suatu sore, rumahnya kedatangan tamu. Pria itu segera mencari keberadaan Devi yang segera membuatnya curiga dan ingin melimpahkan segala kekesalannya.“Kamu selingkuh ya?” tanyanya ketika sang istri baru saja menyelesaikan urusannya di taman belakang.“Lah kocak. Lo lupa siapa gue? gue Robby. polisi yang pernah bantuin lo dulu. Gimana sih.” Robby menyahut. “Lo ganti baju dulu aja kali, Dev. Basah-basahan gitu.”Joe menaikkan salah satu sudut bibirnya. Ia tidak begitu peduli.Dengan santai, buah-buahan di hadapannya ia santap, bahkan tanpa menawari pada tamunya. Saat itu juga, Robby sadar jika kehadirannya tidak dianggap.“Langsung aja ya, Joe.
“Sejak kapan lo suka sama Sarah?” tanya Leo pada putranya yang sedang bermalas-malasan di sofa di ruang TV.Anak muda itu terlihat tidak begitu akur dengan sang ayah, begitulah ia bangkit kemudian berjalan menuju kamarnya.“Lo bisa sopan? Kai, duduk!” titah sang ayah.Walau masih kesal, Kai menurut. Ia menatap sang ayah dengan penuh kebencian.“Di mana Mami?” tanyanya.“Gue nanyain elo, sejak kapan suka sama Sarah?”“Ayolah, ga semua masalah di hidupku jadi urusan Papi.” Kai mengangkat kedua bahunya. Ia benar-benar heran dengan sikap sang ayah.“Gue ga suka dengan gadis itu. Dia ga cocok jadi pasangan lo.”“Papi, sudah ya, urus saja urusan papi sendiri. Aku mau nanya sekarang, kenapa mengundurkan diri dari pekerjaan papi sebagai pejabat? Kalo temen-temenku tau, aku harus bilang apa? Sarah juga pasti nanyain.”“Semua yang terjadi pasti punya alasan masing-masing. Itu sebabnya gue ga suka sama Sarah, dia terlalu kepo. Kalau sampai dia berani mengorek-ngorek tentang gue, kreeek ...” Meng
Jord memang sudah dengan keputusannya, mencari tau secara perlahan pelaku yang dicari-cari. Tiga nama sudah tercatat di tangannya.“Aku akan berikan apapun yang kamu mau kalau bisa ngasih tau siapa dalang dibalik semua ini,” katanya pada Miko—sang pembunuh putranya sendiri.“Tidak semudah itu ferguso.”“Shit!”“Hei, apa kau sedang mengumpatku? Usiamu berapa memang? Tidak pantas sama sekali.”“Apa bedanya dengan perbuatanmu? Membunuh ayahku, dengan tega pula membunuh putramu sendiri.”Setelah mendengar umpatan dan ledekan itu, Miko segera memilih untuk kembali ke selnya. Ia seolah tidak senang setiap membahas pembunuhannya di masa lalu.Ada begitu banyak pertanyaan yang tersirat di otaknya namun tak bisa ia pastikan.Setelahnya, ia bergerak menuju pasar di desa itu. Ia memang hendak membelikan beberapa barang pesanan Alma pagi tadi.“Itu bukannya yang kemaren bareng Om Joe, ya?” gumamnya sambil mengikuti orang itu setelah menggantungkan barang bawaannya di motor.Ia terhenti di sebuah
“Pagi semua,” sapa Jord ketika bangun lebih awal dan memang sudah memainkan laptopnya di dekat kolam.“Hm.” Joe membalas dengan santai sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit lembab.“Di mana dia?” tanya Jord merujuk pada anak pamannya itu.“Tau tuh, tanyain sendiri sama tantemu.” Joe menjawab dengan nada ogah-ogahan.“Ini makan buah dulu,” kata Devi sembari menyajikan buah yang telah dipotong. “Dia lagi belajar menari di kamarnya. Bakatnya memang disitu.”“Bagus dong.” Jord memuji.“Bagus apanya? Devi, kamu ga usah sok berbangga seperti itu. Hobinya ga sesuai dengan pekerjaan di rumah ini. Asah dong otaknya buat belajar. Mau jadi apa dia besar nanti? Selebgram?” Devi dan Jord saling menatap. Pria itu terlalu cerewet yang tak bisa mereka lawan.“Siapa namanya, Tante?” tanya Jord yang segera dihampiri oleh gadis kecil itu.Nyatanya ia sudah cukup peka terhadap keadaan di rumah itu. Ia yang tak ingin ayahnya marah, pun harus menyelesaikan sesi latihannya.“Sarma Allesia,” ujarnya den