Bunga baru saja menyelesaikan pekerjaannya segera menuju ruang administrasi di rumah sakit itu. Ia mendapatkan gaji yang kesekian kalinya.
Hingga saat ini, ada rasa syukur yang teramat sebab ia yang dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit dan diberi pekerjaan walau hanya sebatas cleaning service.“Anda sudah diberi kehendak untuk ke luar dari sini, silakan …”Bunga menggeleng.“Bu, kalau saya masih diberi kesempatan untuk tinggal di sini. Rasanya saya tinggal di sini saja. Saya ingin membantu lebih banyak pasien untuk sembuh.”“Memangnya kamu tidak merasa rugi? Sudah sehat malah menghabiskan waktu di tempat ini.”“Tidak.” Wanita itu kembali menggeleng. “Saya akan menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk mereka. Walau mungkin sampai waktunya tiba untuk bertemu anak saya nanti. Tidak apa-apa, kan, Bu?”Wanita berjas putih itu menggeleng seraya tersenyum ramah.“Malah saya juga akan berusaha membantu sebisa saya. Sekarang kamu pulang dan istirahat saja dulu. Tubuh kamu sepertinya kurang fit. Saya juga sudah buat surat cuti yang bisa kamu gunakan kapan saja.”“Tiga hari? Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih.”“Jangan sungkan. Kamu sudah berbuat banyak di tempat ini.”Bunga berjalan melewati tempat itu sekarang. Ia memasukkan uang ke dalam sakunya yang memenuhi tabungan yang jumlahnya semakin banyak.“Bunga?” panggil Boris dan Meta.Terlihat jika sepasang suami istri itu sudah beruban sekarang. Keduanya juga sudah pensiun dari tempat itu sebab usia mereka yang tidak lagi muda.“Bapak dan Ibu datang ke sini? Ngapain, sih. Aku baru saja mendapat surat cuti dari Bu Dokter. Rencananya, aku yang akan pulang.” Bunga memeluk sepasang suami istri itu.Ia memang telah mengubah panggilan pada mereka sejak ia dinyatakan sembuh sepuluh tahun yang lalu. Hal itu membuat tidak ada jarak di antara mereka. Bahkan, hubungan mereka semakin menempel seiring berjalannya waktu.“Ya sudah, kita pulang sekarang saja. Kamu istirahat di rumah. Ibu akan masakin kamu yang enak-enak,” ajak Boris.“Iya, benar kata bapakmu,” sambung Meta.Ajakan penuh semangat itu membuat Bunga tak kuasa untuk menolak. Hanya dengan satu anggukan, ketiganya berjalan beriringan sekarang. Sungguh sebuah kebahagiaan sederhana yang membuat hati terasa damai.***Jordhy sadar jika dirinya akan terus diikuti. Ia mulai memasang pertahanan sekarang.Tatkala ia hendak memulai rencananya, gadis bernama lengkap Sarah Aradella itu segera ikut dengannya.Jordhy tentu saja tidak setuju. Bagaimana bisa ia menerima seorang gadis yang begitu berisik untuk membantunya.“Aku jago bertarung, jangan meragukanku,” ujar gadis itu menyombongkan ototnya yang sebenarnya sama sekali tidak terbentuk.“Oh, kamu luar biasa. Kalau begitu, mari kita lakukan.”Kedua anak muda itu berjalan beriringan sekarang, membuat kedua anak buah Joe mengikuti keduanya. Tatkala ada kesempatan, Jordhy segera melakukan penyerangan yang dibantu oleh Sarah.Keduanya melawan kedua orang itu dengan sekuat tenaga sampai benar-benar terkalahkan.“Ambil HP nya!” titah Jordhy yang segera dilakukan oleh gadis itu.“Selanjutnya, kamu yang kerjakan. Aku kembali ke kursi sekarang.”Sarah berlalu tanpa tau apa yang selanjutnya dilakukan oleh Jordhy yang nyatanya tengah bingung sekarang.Kedua matanya tertuju pada matras yang ada di tempat penyimpanan barang. Ia mengeluarkannya bersamaan dengan tubuh kedua pria itu.Ia tahu jika kekacauan akan terjadi, namun itu masih akan lebih baik daripada harus terus berkabar dengan pamannya, Joe.“Mana HP nya?”“Jangan terlalu tegang, dong. Jangan bilang kalau kamu ini baik-baik, ya?” balas Sarah sembari menunjukkan gambaran tato di lengannya.“Ck! Aku minta HP nya. Tidak ada niatan untuk berteman denganmu. Terserah deh, mau kamu itu monster atau apalah, aku tidak peduli.”Jordhy kembali bersikap dingin dan cuek sebagaimana sifat aslinya. Hal itu nyatanya membuat rasa penasaran Sarah kian menjadi. Ia segera memberikan tangannya untuk saling menjabat dengan pria itu.Ia tak mendapat balasan.“Sial!” umpatnya dengan segera.“Apa, apa? Kamu tuh sama saja, mengumpat!”“Ya sudah, ini ini HP nya. Heboh sekali!” kesal gadis itu kemudian memberikan benda pipih yang ia letakkan begitu saja di jarak antara keduanya.Jordhy mencoba berpikir sejenak. Mungkinkah perkenalannya dengan gadis ini akan sedikit membantu? Ah, mencoba tidak salah.Segera saja ia menarik tangan gadis itu untuk berkenalan.“Jordhy Allesia.”“Hehe …”“Namamu hehe?”“Sarah Aradella!” seru gadis itu kesal, bibirnya manyun, tatapannya juga sengit.“Ara-ara?”“Apaan, sih!”“Aku pernah mendengar teman sekolahku menyebut kata itu.”“Lalu, apa hubungannya dengan namaku, ha?!” Menantang ke hadapan wajah Jordhy yang sekarang membuat matanya bahkan menjadi juling.“Sarah bisa disingkat menjadi ara, Aradella juga. Jadi, jika digabungkan menjadi ….”“Ara-ara.” Sarah malah menerima candaan yang sebenarnya tidak begitu lucu itu.Keduanya tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya tidur dengan kepala yang menempel sekarang. Harapnya kejadian beberapa menit yang lalu tidak menjadi mimpi buruk bagi keduanya sebab mereka hanya ingin menendang bahaya yang mengintai.***Seorang anak perempuan kini hadir di kediaman Joe. Devi sangat antusias menyambut kedatangan gadis berumur empat tahun itu.Ia menyiapkan kamar yang begitu luas yang memang masih hanya menyediakan tempat tidur dan lemari itu. Isinya masih belum ada sebab tidak sempatnya waktu untuk menyiapkan segalanya.Joe menatap dengan menarik sudut hidungnya, seolah merasa jijik dengan anak kecil itu.“Tasnya tidak usah dibawa masuk, deh ke rumah.”“Loh, kenapa, Mas? Itu kan baju-baju dia, lagian juga bersih, kok.”“Kelihatannya saja bersih. Warnanya saja kusam begitu, mungkin banyak sekali kuman di sana. Sana, sana, buang saja.”“Jangan dong, Mas.”“Buang saja.” Joe masih memberi perintah yang sama pada pembantu di rumah itu.Anak kecil itu menjadi sangat sedih. Ia memeluk tasnya sekarang. Tatapannya begitu sendu membuat Devi sadar jika anak itu tidak setuju apabila tasnya dibuang.“Nak, berikan saja sini sama mama.” Menerima semua barang bawaan anak perempuan itu yang sebenarnya hanya berisi beberapa pakaian dan sebuah boneka bear kecil yang memang kusam.“Jangan dibuang,” pinta anak itu dengan nada ragu.“Tidak akan, kok. Mama akan suruh si Bibi mencuci barang bawaan kamu ini, ya. Nanti sore juga pasti sudah kering. Tenang saja.”“Benarkah?”“Heem. Tentu saja.” Mengangguk penuh semangat.“Sudah, sudah. Ah. Banyak tingkah sekali. Keluarlah sana, belanjain barang yang dia perlukan. Bawa dia jalan-jalan, tapi jangan pulang kemalaman.” Joe akhirnya bersuara.“Kamu masih kerja ya, Mas?”“Iya. Aku harus kerja, biar kamu sama anak itu bisa makan!”Devi tersenyum tipis. Bentakan itu tidak ia masukkan dalam hati sebab memang begitulah suaminya.“Em, Mas … jangan lupa, ya. Pikirkan nama untuk anak kita,” tutur wanita itu walau dengan nada sedikit ragu.“Iya, iya. Nanti aku pikirkan. Sekarang pergilah dulu. Kalau kalian pulang, pastikan dia sudah tidak bau lagi.”“Sudahlah, Mas. Kami berangkat sekarang,” putus Devi sebab tidak ingin anak itu mendapat cercaan yang malah semakin menusuk hati nantinya.***Setelah pelarian yang cukup melelahkan dan memakan korban enam orang, Jordhy memilih untuk rehat. Ia mengajak Sarah untuk ikut dengannya.Gadis itu tampak sudah sangat lemah. Ia segera memuntahkan isi perutnya yang segera dibantu oleh Jordhy sekarang.“Aku haus, tolong ambilkan air.”Setelah drama muntah-muntah yang cukup panjang, akhirnya Sarah bisa lebih tenang sekarang. Ia juga mengeluarkan sisa dua ponsel yang masih ia simpan.“Tolong pesanan kami segera diproses, ya.” Terlihat jika pria berumur 17 tahun itu membuat pesanan makanan mereka.“Ini, HP nya. Aku serahkan semua padamu, ya. Jadi, tidak ada lagi urusan di antara kita.”“Simpan saja. Kalau orang lain melihat semua HP ini, bisa-bisa aku dituduh sebagai perampok,” tolak Jordhy.“Apaan! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Capek tau!”“Ara-ara, tolonglah aku. Setidaknya bantu aku sampai ke kota itu. Tujuan kita juga sama, kan. Setidaknya kamu membawaku sampai ke kota itu saja.”“Ara-ara, ara-ara,” omel Sarah terlihat tidak
Terlihat jika seorang pria tengah menghampiri Sarah dengan perlahan kemudian mengagetkan gadis itu. Keduanya segera berpelukan kemudian. Terlihat jelas jika persahabatan mereka sudah begitu akrab.Beberapa saat kemudian, pria itu juga mengajaknya makan bersama. Hal itu memang selalu dilakukan setiap mereka bertemu di penghujung semester. Dan kali ini, mereka ingin merayakan kelulusan Sarah.“Kai, aku sebenarnya masih kenyang.”“Halah. Kamu kan orang yang selalu kelaparan setiap mudik karena takut beli cemilan selama perjalanan. Sudah, aku yang bayari, kok.” Pria itu menarik tangan Sarah sekarang.Langkah gadis itu terhenti tatkala memang dirinya tidak sedang lapar. Ia menolak ajakan itu untuk pertama kalinya.“Ada apa? Biasanya juga kamu yang ngajakin. Ada orang baik yang beliin kamu, ya?”Sarah mengangguk membuat pria itu sedikit terkejut sekarang. Ia tahu betul jika gadis ini bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain.“Siapa dia? Aku mau temuin dia. Jangan-jangan …”“Ssst.
Santai, menikmati secangkir kopi yang dibuatkan sendiri sambil memainkan ponsel adalah gambaran kegiatan Jordhy sekarang. Ia tengah menatap benda pipih yang berjumlah tujuh buah di hadapannya.Sungguh, ia sudah mulai merasa muak dan lelah. Seminggu bukanlah waktu yang singkat untuk memainkan situasi sehingga dirinya tidak dicurigai.Berangan-angan, ia akhirnya mulai mengubah taktik. Sejak saat itu, ia tak lagi membalas pesan dari pamannya secara bersamaan. Ia membuat jarak.Tangannya juga mengetikkan pesan yang ternyata isinya adalah tanggal kematian ayahnya. Air matanya bahkan ingin menetes sekarang. Ah, seharusnya hari ini ia berkunjung ke sana. Namun, ia tak ada keberanian untuk meminta izin.Tatkala ia terbengong cukup lama, Rein segera mendekat bahkan membuatnya terkejut.“Lagi mikirin apa? Bosan sudah pasti kamu di rumah saja. Sudah sana, mainlah dulu. Entah jalan-jalan. Ada motor, tuh.”“Bro, seriusan nih saya dikasih izin
Sarah dicecar oleh sang ibu yang memang selalu ingin jika dirinya melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Berbeda dengan gadis itu yang ingin menjelajah ke luar kota dan sesekali pulang untuk mengunjungi rumahnya.Hal itu tentu saja menjadi bahan perdebatan di antara mereka. Sarah tetap pada keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya walau seberapa banyak pun keluarganya memaksa.“Aku ke luar sekarang. Mau tenangin pikiran dulu,” ujarnya segera berlalu dengan sepedanya yang sebenarnya tidak begitu bagus lagi.“Kai, tolong datang dan kejar Sarah sana. Takutnya nanti dia ngelakuin hal nekat,” ujar sang ibu melalui sambungan telepon.Kai yang sebenarnya sudah berada di sekitar tempat itu pun segera meluncur. Apalagi ia yang telah melihat kepergian Sarah.Terlihat jika gadis itu sangat ceria sekarang. Seolah tidak ada masalah dalam hidupnya. Gadis berusia 17 tahun itu terus mendayung sepedanya sambil bersenandung.“Ck,” deca
“Kenapa kalian memperlakukan anak itu dengan sangat buruk? Dia sudah tidak punya keluarga. Kami yang akan bertanggungjawab kalau memang terbukti melakukan kejahatan.” Alma menyuarakan pendapatnya dengan lantang.Tak terasa, air matanya bahkan menetes tatkala melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh anak itu. Ia menjadi sangat iba. Hal itu juga membuktikan betapa ia sangat menyayangi Jordhy.“Halah, jangan bilang karena kalian orang berada bisa semena-mena!” seru seorang penduduk.“Kaya dari mana? Kami hanya petani. Hei, berhenti berpikiran kuno seperti itu. Saya bisa laporkan kalian ke pihak berwenang. Memangnya kalian mau dipenjara?” balas Alma menantang. Ia benar-benar tidak mau mengalah dan kalah.Bagaimana tidak. Ia berada di tempat itu saja sudah penuh perjuangan. Saat ini suaminya tengah berada di rumah sakit, sendirian.Sudah merasa muak dan tidak terima diperlakukan tidak adil. Jordhy angkat suara.“Kalau memang saya t
Merasa semua ini tidak lagi benar, Jordhy melakukan penyelidikan sendirian. Keadaan di desa sangatlah kacau.Anak-anak bahkan tidak lagi dibiarkan bermain di depan rumah sendiri. Ke mana-mana selaluberamai-ramai atau setidaknya membawa hewan peliharaan sebagai teman.Satu tempat yang memang sangat ingin dikunjungi adalah persawahan ekstrem itu. ia melangkah sendirian ke sana tanpa ada keraguan.Hingga akhirnya tepat di siang itu, jantungnya bahkan hampir lepas. Ia sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Sebuah mayat dengan posisi terbalik di pinggiran sawah yang memisahkan lahan itu dengan ladang.“Tolong!” teriaknya dengan sangat kencang.Para warga dan polisi yang memang selalu berpatroli di segala tempat yang kebetulan tidak begitu jauh dari sana, pun datang. Mereka ikut terkejut.Kabar tentang ditemukannya anak itu menyebar ke mana-mana. Tidak sedikit media yang meliput berita itu sebab memang sudah sangat meresahkan sejauh ini.Miko dan istrinya yang memang sedikit akur d
Kini, kasus telah ditutup. Miko dihukum penjara selama 20 tahun lamanya. Memang bukan waktu yang singkat. Namun, keluarga sudah menerima dengan lapang dada, sebab perbuatannya memang sudah sangat keterlaluan. Pria itu bahkan diberi peringatan agar tidak pernah mengunjungi desa sampai kapan pun.Hal itu berpengaruh besar terhadap nama baik Jordhy. Kini, ia diterima dengan baik oleh warga. Tak sedikit dari mereka yang mendekatkan anak muda di sana untuk berteman dengannya.Rein dan Alma secara kekeluargaan membuat pesta kecil-kecilan untuk menyambut anak itu. Ya, Jordhy diangkat menjadi anak mereka.Sebuah kebahagiaan yang benar-benar dapat dirasakan oleh pria itu. Ia bahkan berharap agar kebahagiaan yang nyata ini bisa dirasakan selamanya.Namun, kebahagiaan itu tidak lama, setelah dirinya mendapatkan panggilan dari pamannya. Ia segera menjauh sekarang.“Jord, apa masih ada yang jagain kamu di sana?” Sebuah pertanyaan yang segera membuat Jordhy tertegun. Sepertinya sang paman sudah t
Joe merasakan kecurigaan yang teramat pada Jordhy. Terlebih ketika ia berkali-kali berusaha menghubungi semua anak buahnya yang selalu hanya berbalas dengan pesan.Kini, ia mengirimkan bala bantuan untuk mencari informasi yang sesungguhnya. Setelahnya, ia memperhatikan Sarma yang tengah memperhatikan wajah Jordhy di pajangan foto.Ia mendekat kemudian membentak gadis itu dengan nada lantang.“Ngapain?! Jangan terlalu berharap banyak! Saya nggak suka kalau kamu berharap bakal ada di pajangan foto itu. ngerti kamu? Sana, menjauhlah!”Ia bahkan secara terang-terangan mendorong tubuh anak itu menjauh.Sarma yang tengah menahan air mata segera berjalan cepat menghampiri Devi yang tengah membersihkan area dapur.Ia memeluk wanita itu dengan sangat erat. lalu menceritakan apa yang baru ia alami barusan.“Dia tidak jahat, Nak. Kamu nggak usah takut, ya?”Sarma menatap wanita di hadapannya dengan tatapan sendu. Ia masih