“Kalau enak buburnya, yang ada kapan-kapan ke sini lagi! Bukan nginap lagi!” gerutu sang ibu.
“UPS!”“Kamu itu memang cowok tukang modus sejati, ya?” Ibu bertanya dengan nada tegasnya.“Enggak kok, Ma. Sama anak Mama aja,” balas Jord dengan cepat ketika wanita itu memilih untuk kembali ke kamarnya. “Soalnya kalau kamu baper, aku dengan senang hati akan tanggung jawab,” lanjutnya menggoda Sarah.‘Huft, pagi-pagi sudah sarapan bubur dengan gombalan, kenyang di perut, kenyang pula di hati,’ batin Sarah yang tak ingin mengungkapkannya.“Aku langsung pulang aja, ya, Sar … enggak enak sama Om Leo yang sepertinya udah nungguin aku nyelesaiin urusan peternakan hari ini,” pamit Jord.“Iya, hati-hati, Sayang,” kata Sarah dengan nada ceria dibuat-buat, Jord mencebikkan mulutnya saat mendengar itu.“Lain kali kalau mau panggil sayang, yang ikhlas dong.” Jord menarik dirinya ke pelukannya dan mencium puncak kepala Sarah sebelum merekBunga Allesia, wanita cantik yang selalu menjadi bahan perbincangan banyak orang, terutama para pria.Ia terlahir di keluarga kaya yang membuat dirinya semakin sempurna. Sesaat, ia memandangi dan mengagumi kecantikan yang selalu ia syukuri itu di depan cermin, hingga suara seorang anak laki-laki mengalihkan perhatiannya.“Ibu, aku lapar...” rengek Jordhy.“Tunggu sebentar, Sayang. Kembalilah ke kamarmu, akan ibu antarkan nanti.”Cup! Sebuah kecupan mendarat di kening anak itu sebelum langkahnya benar-benar meninggalkan tempat itu.“Ah, tidak!” Suara teriakan itu segera membuat Jordhy masuk dan bersembunyi di kolong kamarnya.Sesaat kemudian, tampak jika dua pasang kaki memasuki kamarnya.“Duduk di atas ranjang dan buka pakaianmu!” Perintah itu begitu jelas terdengar seperti sebuah ancaman.Bunga tampak amat sangat ketakutan sekarang, terlebih lagi keberadaan putranya yang tak ia ketahui.Perlahan tapi pasti, ia melucuti pakaiannya sendiri saat ini.Jordhy yang tengah bersembunyi di b
"Di mana Ibu?"3 hari telah berlalu. Jordhy membuka mulutnya untuk pertama kali. Joe yang sudah menunggu saat itu, pun segera mendekat lalu memberikan dekapannya."Kamu baik-baik saja, Nak? Syukurlah." Jordhy segera menarik ke luar kepalanya dari dekapan pria dewasa itu, menatap ke segala arah. Ia ingin bicara sesuatu pada siapapun yang ingin mendengarkannya."Di mana ibuku?""Kamu jangan terlalu banyak pergerakan dulu, Nak. Keadaanmu belum begitu baik," ujar sang paman mencoba memberikan ketenangan.Merasa dirinya mendapat himpitan pergerakan, anak itu lantas memberontak kemudian mencoba ke luar dari sana. Merupakan sebuah usaha yang sia-sia ketika anak buah pria itu menarik dan menangkapnya."Panggil dokter sekarang juga!" titah Joe.Devi yang baru saja tiba di tempat itu, segera masuk kemudian mendekat. Ia mencoba mencari tahu apa yang tengah terjadi. Bukannya mendapat jawaban, ia malah ditarik paksa oleh Joe."Kamu ... tolong jangan bertindak terlalu jauh. Keponakanku butuh keten
“Om, di mana kita? Aku tidak tau tempat ini,” tutur Jordhy merasa keheranan dengan keadaan sekitarnya.Joe tidak segera menjawab. Ia hanya tersenyum sembari membuatkan segelas susu yang kemudian disajikan di hadapan anak itu.“Diminum ya, Jord."“Om, di mana kita? Apa ibuku sudah ketemu?”Joe sedikit berdecak sembari menggelengkan kepalanya dalam. Ia duduk di sisi anak itu kemudian memberikan dekapan dengan penuh kasih sayang.“Maafkan om yang belum bisa berbuat banyak untuk kamu, Nak.”“Om?” Memanggil dengan nada sendu.“Keadaan memaksa kamu untuk kuat dan cepat dewasa. Jadi, mengertilah. Perlahan, keadaan akan mengajari kamu untuk cepat paham.”Tak lagi menuntut penjelasan, Jordhy memilih untuk menurut. Ia segera meneguk habis susu itu kemudian tidur.Joe tampaknya bersikap sangat baik. Ia bahkan membacakan dongeng sekarang. Entahlah dari mana ia tahu kebiasaan itu.Beberapa saat kemudian, ia mengubah lampu ke mode lampu tidur. Lalu memberikan sebuah kecupan di kening anak kecil itu
“Om, aku pamit, ya?” ujar Jordhy yang memilih untuk berkelana sejak hari itu. Sejak kelulusannya dari SMA, masih ada waktu baginya bersantai sebelum masuk ke perguruan tinggi. Hal itulah yang membuat hati Joe sedikit terbuka.Pria setengah baya itu tampak tidak begitu senang. Ia seolah tidak rela dengan kepergian keponakannya itu. Baginya, dunia luar hanya menyediakan ancaman dan bahaya.Trauma adalah perasaan dan prasangka yang paling tepat yang dialami saat ini. Sungguh, ia tengah menunjukkan ketidaksukaannya sekarang berharap anak itu akan merubah keputusannya.“Om, kalau aku kelamaan di sini, bakal ketinggalan bus, dong.”Iya, Jordhy juga memilih untuk naik bus dengan alasan agar bisa mendapatkan pengalaman lebih banyak. Nyatanya, ia hanya ingin menikmati waktu.“Ya sudah, pergilah sana. Jangan lupakan kami di sini. Setiap busnya berhenti, kasih kabar!” titah Joe pada akhirnya.“Siap, Om!” Menjawab dengan penuh energik agar si paman lebih merelakannya.“Nak, jangan sampai kamu ti
Bunga baru saja menyelesaikan pekerjaannya segera menuju ruang administrasi di rumah sakit itu. Ia mendapatkan gaji yang kesekian kalinya.Hingga saat ini, ada rasa syukur yang teramat sebab ia yang dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit dan diberi pekerjaan walau hanya sebatas cleaning service.“Anda sudah diberi kehendak untuk ke luar dari sini, silakan …”Bunga menggeleng.“Bu, kalau saya masih diberi kesempatan untuk tinggal di sini. Rasanya saya tinggal di sini saja. Saya ingin membantu lebih banyak pasien untuk sembuh.”“Memangnya kamu tidak merasa rugi? Sudah sehat malah menghabiskan waktu di tempat ini.”“Tidak.” Wanita itu kembali menggeleng. “Saya akan menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk mereka. Walau mungkin sampai waktunya tiba untuk bertemu anak saya nanti. Tidak apa-apa, kan, Bu?”Wanita berjas putih itu menggeleng seraya tersenyum ramah.“Malah saya juga akan berusaha membantu sebisa saya. Sekarang kamu pulang dan istirahat saja dulu. Tubuh kamu sepertinya kuran
Setelah pelarian yang cukup melelahkan dan memakan korban enam orang, Jordhy memilih untuk rehat. Ia mengajak Sarah untuk ikut dengannya.Gadis itu tampak sudah sangat lemah. Ia segera memuntahkan isi perutnya yang segera dibantu oleh Jordhy sekarang.“Aku haus, tolong ambilkan air.”Setelah drama muntah-muntah yang cukup panjang, akhirnya Sarah bisa lebih tenang sekarang. Ia juga mengeluarkan sisa dua ponsel yang masih ia simpan.“Tolong pesanan kami segera diproses, ya.” Terlihat jika pria berumur 17 tahun itu membuat pesanan makanan mereka.“Ini, HP nya. Aku serahkan semua padamu, ya. Jadi, tidak ada lagi urusan di antara kita.”“Simpan saja. Kalau orang lain melihat semua HP ini, bisa-bisa aku dituduh sebagai perampok,” tolak Jordhy.“Apaan! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Capek tau!”“Ara-ara, tolonglah aku. Setidaknya bantu aku sampai ke kota itu. Tujuan kita juga sama, kan. Setidaknya kamu membawaku sampai ke kota itu saja.”“Ara-ara, ara-ara,” omel Sarah terlihat tidak
Terlihat jika seorang pria tengah menghampiri Sarah dengan perlahan kemudian mengagetkan gadis itu. Keduanya segera berpelukan kemudian. Terlihat jelas jika persahabatan mereka sudah begitu akrab.Beberapa saat kemudian, pria itu juga mengajaknya makan bersama. Hal itu memang selalu dilakukan setiap mereka bertemu di penghujung semester. Dan kali ini, mereka ingin merayakan kelulusan Sarah.“Kai, aku sebenarnya masih kenyang.”“Halah. Kamu kan orang yang selalu kelaparan setiap mudik karena takut beli cemilan selama perjalanan. Sudah, aku yang bayari, kok.” Pria itu menarik tangan Sarah sekarang.Langkah gadis itu terhenti tatkala memang dirinya tidak sedang lapar. Ia menolak ajakan itu untuk pertama kalinya.“Ada apa? Biasanya juga kamu yang ngajakin. Ada orang baik yang beliin kamu, ya?”Sarah mengangguk membuat pria itu sedikit terkejut sekarang. Ia tahu betul jika gadis ini bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain.“Siapa dia? Aku mau temuin dia. Jangan-jangan …”“Ssst.
Santai, menikmati secangkir kopi yang dibuatkan sendiri sambil memainkan ponsel adalah gambaran kegiatan Jordhy sekarang. Ia tengah menatap benda pipih yang berjumlah tujuh buah di hadapannya.Sungguh, ia sudah mulai merasa muak dan lelah. Seminggu bukanlah waktu yang singkat untuk memainkan situasi sehingga dirinya tidak dicurigai.Berangan-angan, ia akhirnya mulai mengubah taktik. Sejak saat itu, ia tak lagi membalas pesan dari pamannya secara bersamaan. Ia membuat jarak.Tangannya juga mengetikkan pesan yang ternyata isinya adalah tanggal kematian ayahnya. Air matanya bahkan ingin menetes sekarang. Ah, seharusnya hari ini ia berkunjung ke sana. Namun, ia tak ada keberanian untuk meminta izin.Tatkala ia terbengong cukup lama, Rein segera mendekat bahkan membuatnya terkejut.“Lagi mikirin apa? Bosan sudah pasti kamu di rumah saja. Sudah sana, mainlah dulu. Entah jalan-jalan. Ada motor, tuh.”“Bro, seriusan nih saya dikasih izin