“Om, di mana kita? Aku tidak tau tempat ini,” tutur Jordhy merasa keheranan dengan keadaan sekitarnya.
Joe tidak segera menjawab. Ia hanya tersenyum sembari membuatkan segelas susu yang kemudian disajikan di hadapan anak itu.“Diminum ya, Jord."“Om, di mana kita? Apa ibuku sudah ketemu?”Joe sedikit berdecak sembari menggelengkan kepalanya dalam. Ia duduk di sisi anak itu kemudian memberikan dekapan dengan penuh kasih sayang.“Maafkan om yang belum bisa berbuat banyak untuk kamu, Nak.”“Om?” Memanggil dengan nada sendu.“Keadaan memaksa kamu untuk kuat dan cepat dewasa. Jadi, mengertilah. Perlahan, keadaan akan mengajari kamu untuk cepat paham.”Tak lagi menuntut penjelasan, Jordhy memilih untuk menurut. Ia segera meneguk habis susu itu kemudian tidur.Joe tampaknya bersikap sangat baik. Ia bahkan membacakan dongeng sekarang. Entahlah dari mana ia tahu kebiasaan itu.Beberapa saat kemudian, ia mengubah lampu ke mode lampu tidur. Lalu memberikan sebuah kecupan di kening anak kecil itu sebelum benar-benar pergi dari sana.“Ayah, Ibu, aku rindu kalian,” gumam Jordhy menahan tangis.***Bunga menatap ke sekeliling. Keningnya mengerut sebab tidak merasa begitu familiar dengan tempatnya sekarang.Tak ingin menggila, ia mencoba memahami keadaan sekitar hingga akhirnya benar-benar sadar akan keberadaannya sekarang.“Rumah sakit jiwa? Apa aku ditempatkan di sini sebagai orang berpenyakit mental?” tanyanya pada diri sendiri.Air matanya mulai mengalir, sungguh ia tidak paham dengan apa yang sedang ia rasakan saat ini.Beberapa saat kemudian, orang yang masih ia percayai hingga detik ini, pun mendekat. Ya, seperti yang ia tahu, pria dan wanita itu memang bekerja di tempat yang sama.“Kalian memperlakukanku seperti ini? Atas dasar apa, Bibi?” tanyanya sembari memasang wajah penuh harap.“Bunga, terserah kamu mau marah atau benci pada kami. Tapi, memang inilah keputusan terakhir yang terbaik untukmu. Bersabarlah, suatu hari nanti kamu pasti akan bertemu anakmu lagi,” terang Boris.“Nyawamu aman di sini dan itulah yang paling terpenting. Di luar sana, tidak ada lagi yang bisa kita percayai. Keluarga suamimu ingin kamu lenyap, Nak,” sambung Meta membuat Bunga semakin terhanyut dalam emosi kesedihan.Ia baru tahu kenyataannya sekarang. Sungguh ternyata hidupnya sedang dipermainkan. Permainan itu begitu kejam, permainan yang bahkan telah membuat nyawa suaminya melayang.“Siapa dalang dibalik ini semua?” tanyanya.Boris dan Meta hanya menggeleng. Mereka tidak bisa banyak bergerak, pun tidak ada kuasa untuk itu. Takut dan cemas jika suatu hari nanti biang keladinya akan bertindak lebih ganas.Bunga kembali menyendiri. Ia merapikan tampilannya sekarang, setidaknya tidak terlihat begitu menyedihkan walau statusnya adalah orang dalam gangguan jiwa.***Brugh!Terdengar keributan di gudang, keributan antara Joe dengan anak buahnya. Mereka gagal menemukan keberadaan Bunga.“Bos, kami sudah mencari ke mana-mana, tapi memang tidak ketemu. Malah kami mendapat informasi konyol seperti ini.”“Apa?” balas Joe dengan nada bentakannya.Pria itu segera membaca informasi dari ponsel sang anak buah yang membuat salah satu sudut bibirnya menaik. Sama seperti darahnya yang juga meluap-luap sekarang.“Apa-apaan ini? Berita konyol seperti ini kalian percayai? Bagaimana mungkin dia sudah mati?”“Memang itulah yang kami dapatkan, Bos.”“Kumpulan orang-orang yang ingin bunuh diri?” Joe tidak begitu percaya.Segera saja ia membanting ponsel yang ada di tangannya hingga hancur tak bersisa sekarang. Sisa-sisa benda pipih itu berserakan di mana-mana.“Bos, apa yang harus kami lakukan sekarang?”“Berbaring!”Kedua pria itu berbaring di lantai. Begitulah Joe menyiksa mereka dengan tendangan bertubi-tubi dilanjutkan pukulan dengan kayu balok yang tersusun banyak di sana.Sisa dari pukulan itu bahkan membuat kayunya hancur. Sepertinya pukulan itu amat sakit dan menyiksa.“Ampun!” Teriakan minta tolong itu pada akhirnya membuat Joe terhenti.Ia juga baru teringat akan tempat eksekusinya sekarang. Tak ingin Jordhy tahu apa yang telah ia lakukan, kegiatannya pun dihentikan saat itu juga.“Pergilah,” usirnya dengan nada yang sedikit melemah.“Bos, biaya untuk perbaikan ponsel saya?” Memohon dengan mengatupkan kedua tangannya.“Tidak tau diri!” umpatnya kemudian menusukkan kayu balok kecil yang segera merobek kulit dagu pria itu.Ringisan kesakitan itu terdengar begitu jelas. Kedua pria itu tak lagi berani berbuat selain segera berlalu dari sana dengan menahan rasa sakit yang teramat sekarang.“Aku akan ceritakan ini pada keturunanku nanti, biarlah mereka yang membalasnya,” gumam pria yang benar-benar teraniaya itu.***Devi masih sibuk dengan kasus yang ia hadapi sekarang. Seolah semua bukti semakin menyulitkannya. Ia bahkan ingin sekali mundur dari tanggung jawab dan kewajiban itu, apalagi setelah tahu jika Bunga malah menghilang sekarang.Keningnya mengerut, wajahnya murung sepanjang hari. Rekan kerjanya yang sudah mengingatkan untuk makan tak ia hiraukan sama sekali. Pikirannya hanya tertuju dengan kasus itu.“Sudahlah, sudah. Kita ke coffee shop dulu, aku yang bayar,” ujar Robby—rekan kerja sekaligus pria yang menyukainya sejak lama.“Nanti saja dulu. Ada yang janggal dengan bagian ini, aku masih bingung,” ungkap gadis itu menjelaskan.“Ah, sudahlah. Jangan sampai pekerjaan menjadi penyakit bagimu. Kalau kasusnya selesai dan kamu jatuh sakit, belum tentu keluarga korban akan berterima kasih dan menjengukmu. Ayo!”Devi masih tetap dengan keputusannya. Ia menolak untuk bergerak. Pantatnya seolah sudah di lem untuk terus menempel di kursi kerjanya.Hal itu membuat ketua untuk bagian kriminal cukup prihatin. Ia turun langsung untuk mengingatkan Devi. Bagaimana pun, gadis itu masih muda, tentu saja harus tetap memikirkan kesehatannya.“Kita makan sekarang, saya yang bayar!”Sebuah perintah yang akhirnya berhasil membuat Devi berubah pikiran. Ia ke luar dari meja kerjanya yang seolah telah terikat dengannya.Gadis itu juga makan dengan sangat lahap membuat rekan kerjanya merasa keheranan.“Sudah tambah berapa kali?”“Tiga,” jawabnya santai dan masih menikmati makanannya.“Dev, dev, kamu ini seperti orang kelaparan. Sudah berapa hari anda tidak makan?”“Tiga hari. Ini baru makan nasi. Biasanya cuma mie rebus yang harganya hanya delapan ribu. Itu juga kemarin siang,” terang gadis itu dengan sangat tergesa-gesa membuat tenggorokannya seolah tersumbat sekarang.“Minum dulu!” ujar Robby segera memberikan air yang juga segera diteguk habis oleh gadis itu.Semua orang diam menatap ke arah Devi yang tengah menahan malu sekarang. Ia yang memang satu-satunya wanita itu seolah kehilangan martabatnya. Bagaimana tidak, ia benar-benar tidak menjaga image.“Em, Dev … bukannya dulu kamu pernah ada hubungan dengan Joenathan? Selama kalian berhubungan, apa dia ada kasus … atau apa alasan dan sebab kalian putus?”Pertanyaan dari Robby yang membuat Devi merasa muak. Ia mengambil ponselnya kemudian berlalu dari tempat itu.Ia juga mundur, menyempatkan waktu untuk mengucapkan terima kasih pada sang atasan yang telah mengajaknya makan.“Devi?!” teriak Robby sambil berlari mengejar Devi yang juga berlari kemudian masuk ke dalam taksi yang tengah terparkir di sana.***“Om, aku pamit, ya?” ujar Jordhy yang memilih untuk berkelana sejak hari itu. Sejak kelulusannya dari SMA, masih ada waktu baginya bersantai sebelum masuk ke perguruan tinggi. Hal itulah yang membuat hati Joe sedikit terbuka.Pria setengah baya itu tampak tidak begitu senang. Ia seolah tidak rela dengan kepergian keponakannya itu. Baginya, dunia luar hanya menyediakan ancaman dan bahaya.Trauma adalah perasaan dan prasangka yang paling tepat yang dialami saat ini. Sungguh, ia tengah menunjukkan ketidaksukaannya sekarang berharap anak itu akan merubah keputusannya.“Om, kalau aku kelamaan di sini, bakal ketinggalan bus, dong.”Iya, Jordhy juga memilih untuk naik bus dengan alasan agar bisa mendapatkan pengalaman lebih banyak. Nyatanya, ia hanya ingin menikmati waktu.“Ya sudah, pergilah sana. Jangan lupakan kami di sini. Setiap busnya berhenti, kasih kabar!” titah Joe pada akhirnya.“Siap, Om!” Menjawab dengan penuh energik agar si paman lebih merelakannya.“Nak, jangan sampai kamu ti
Bunga baru saja menyelesaikan pekerjaannya segera menuju ruang administrasi di rumah sakit itu. Ia mendapatkan gaji yang kesekian kalinya.Hingga saat ini, ada rasa syukur yang teramat sebab ia yang dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit dan diberi pekerjaan walau hanya sebatas cleaning service.“Anda sudah diberi kehendak untuk ke luar dari sini, silakan …”Bunga menggeleng.“Bu, kalau saya masih diberi kesempatan untuk tinggal di sini. Rasanya saya tinggal di sini saja. Saya ingin membantu lebih banyak pasien untuk sembuh.”“Memangnya kamu tidak merasa rugi? Sudah sehat malah menghabiskan waktu di tempat ini.”“Tidak.” Wanita itu kembali menggeleng. “Saya akan menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk mereka. Walau mungkin sampai waktunya tiba untuk bertemu anak saya nanti. Tidak apa-apa, kan, Bu?”Wanita berjas putih itu menggeleng seraya tersenyum ramah.“Malah saya juga akan berusaha membantu sebisa saya. Sekarang kamu pulang dan istirahat saja dulu. Tubuh kamu sepertinya kuran
Setelah pelarian yang cukup melelahkan dan memakan korban enam orang, Jordhy memilih untuk rehat. Ia mengajak Sarah untuk ikut dengannya.Gadis itu tampak sudah sangat lemah. Ia segera memuntahkan isi perutnya yang segera dibantu oleh Jordhy sekarang.“Aku haus, tolong ambilkan air.”Setelah drama muntah-muntah yang cukup panjang, akhirnya Sarah bisa lebih tenang sekarang. Ia juga mengeluarkan sisa dua ponsel yang masih ia simpan.“Tolong pesanan kami segera diproses, ya.” Terlihat jika pria berumur 17 tahun itu membuat pesanan makanan mereka.“Ini, HP nya. Aku serahkan semua padamu, ya. Jadi, tidak ada lagi urusan di antara kita.”“Simpan saja. Kalau orang lain melihat semua HP ini, bisa-bisa aku dituduh sebagai perampok,” tolak Jordhy.“Apaan! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Capek tau!”“Ara-ara, tolonglah aku. Setidaknya bantu aku sampai ke kota itu. Tujuan kita juga sama, kan. Setidaknya kamu membawaku sampai ke kota itu saja.”“Ara-ara, ara-ara,” omel Sarah terlihat tidak
Terlihat jika seorang pria tengah menghampiri Sarah dengan perlahan kemudian mengagetkan gadis itu. Keduanya segera berpelukan kemudian. Terlihat jelas jika persahabatan mereka sudah begitu akrab.Beberapa saat kemudian, pria itu juga mengajaknya makan bersama. Hal itu memang selalu dilakukan setiap mereka bertemu di penghujung semester. Dan kali ini, mereka ingin merayakan kelulusan Sarah.“Kai, aku sebenarnya masih kenyang.”“Halah. Kamu kan orang yang selalu kelaparan setiap mudik karena takut beli cemilan selama perjalanan. Sudah, aku yang bayari, kok.” Pria itu menarik tangan Sarah sekarang.Langkah gadis itu terhenti tatkala memang dirinya tidak sedang lapar. Ia menolak ajakan itu untuk pertama kalinya.“Ada apa? Biasanya juga kamu yang ngajakin. Ada orang baik yang beliin kamu, ya?”Sarah mengangguk membuat pria itu sedikit terkejut sekarang. Ia tahu betul jika gadis ini bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain.“Siapa dia? Aku mau temuin dia. Jangan-jangan …”“Ssst.
Santai, menikmati secangkir kopi yang dibuatkan sendiri sambil memainkan ponsel adalah gambaran kegiatan Jordhy sekarang. Ia tengah menatap benda pipih yang berjumlah tujuh buah di hadapannya.Sungguh, ia sudah mulai merasa muak dan lelah. Seminggu bukanlah waktu yang singkat untuk memainkan situasi sehingga dirinya tidak dicurigai.Berangan-angan, ia akhirnya mulai mengubah taktik. Sejak saat itu, ia tak lagi membalas pesan dari pamannya secara bersamaan. Ia membuat jarak.Tangannya juga mengetikkan pesan yang ternyata isinya adalah tanggal kematian ayahnya. Air matanya bahkan ingin menetes sekarang. Ah, seharusnya hari ini ia berkunjung ke sana. Namun, ia tak ada keberanian untuk meminta izin.Tatkala ia terbengong cukup lama, Rein segera mendekat bahkan membuatnya terkejut.“Lagi mikirin apa? Bosan sudah pasti kamu di rumah saja. Sudah sana, mainlah dulu. Entah jalan-jalan. Ada motor, tuh.”“Bro, seriusan nih saya dikasih izin
Sarah dicecar oleh sang ibu yang memang selalu ingin jika dirinya melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Berbeda dengan gadis itu yang ingin menjelajah ke luar kota dan sesekali pulang untuk mengunjungi rumahnya.Hal itu tentu saja menjadi bahan perdebatan di antara mereka. Sarah tetap pada keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya walau seberapa banyak pun keluarganya memaksa.“Aku ke luar sekarang. Mau tenangin pikiran dulu,” ujarnya segera berlalu dengan sepedanya yang sebenarnya tidak begitu bagus lagi.“Kai, tolong datang dan kejar Sarah sana. Takutnya nanti dia ngelakuin hal nekat,” ujar sang ibu melalui sambungan telepon.Kai yang sebenarnya sudah berada di sekitar tempat itu pun segera meluncur. Apalagi ia yang telah melihat kepergian Sarah.Terlihat jika gadis itu sangat ceria sekarang. Seolah tidak ada masalah dalam hidupnya. Gadis berusia 17 tahun itu terus mendayung sepedanya sambil bersenandung.“Ck,” deca
“Kenapa kalian memperlakukan anak itu dengan sangat buruk? Dia sudah tidak punya keluarga. Kami yang akan bertanggungjawab kalau memang terbukti melakukan kejahatan.” Alma menyuarakan pendapatnya dengan lantang.Tak terasa, air matanya bahkan menetes tatkala melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh anak itu. Ia menjadi sangat iba. Hal itu juga membuktikan betapa ia sangat menyayangi Jordhy.“Halah, jangan bilang karena kalian orang berada bisa semena-mena!” seru seorang penduduk.“Kaya dari mana? Kami hanya petani. Hei, berhenti berpikiran kuno seperti itu. Saya bisa laporkan kalian ke pihak berwenang. Memangnya kalian mau dipenjara?” balas Alma menantang. Ia benar-benar tidak mau mengalah dan kalah.Bagaimana tidak. Ia berada di tempat itu saja sudah penuh perjuangan. Saat ini suaminya tengah berada di rumah sakit, sendirian.Sudah merasa muak dan tidak terima diperlakukan tidak adil. Jordhy angkat suara.“Kalau memang saya t
Merasa semua ini tidak lagi benar, Jordhy melakukan penyelidikan sendirian. Keadaan di desa sangatlah kacau.Anak-anak bahkan tidak lagi dibiarkan bermain di depan rumah sendiri. Ke mana-mana selaluberamai-ramai atau setidaknya membawa hewan peliharaan sebagai teman.Satu tempat yang memang sangat ingin dikunjungi adalah persawahan ekstrem itu. ia melangkah sendirian ke sana tanpa ada keraguan.Hingga akhirnya tepat di siang itu, jantungnya bahkan hampir lepas. Ia sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Sebuah mayat dengan posisi terbalik di pinggiran sawah yang memisahkan lahan itu dengan ladang.“Tolong!” teriaknya dengan sangat kencang.Para warga dan polisi yang memang selalu berpatroli di segala tempat yang kebetulan tidak begitu jauh dari sana, pun datang. Mereka ikut terkejut.Kabar tentang ditemukannya anak itu menyebar ke mana-mana. Tidak sedikit media yang meliput berita itu sebab memang sudah sangat meresahkan sejauh ini.Miko dan istrinya yang memang sedikit akur d