"Di mana Ibu?"
3 hari telah berlalu. Jordhy membuka mulutnya untuk pertama kali. Joe yang sudah menunggu saat itu, pun segera mendekat lalu memberikan dekapannya."Kamu baik-baik saja, Nak? Syukurlah."Jordhy segera menarik ke luar kepalanya dari dekapan pria dewasa itu, menatap ke segala arah. Ia ingin bicara sesuatu pada siapapun yang ingin mendengarkannya."Di mana ibuku?""Kamu jangan terlalu banyak pergerakan dulu, Nak. Keadaanmu belum begitu baik," ujar sang paman mencoba memberikan ketenangan.Merasa dirinya mendapat himpitan pergerakan, anak itu lantas memberontak kemudian mencoba ke luar dari sana. Merupakan sebuah usaha yang sia-sia ketika anak buah pria itu menarik dan menangkapnya."Panggil dokter sekarang juga!" titah Joe.Devi yang baru saja tiba di tempat itu, segera masuk kemudian mendekat. Ia mencoba mencari tahu apa yang tengah terjadi. Bukannya mendapat jawaban, ia malah ditarik paksa oleh Joe."Kamu ... tolong jangan bertindak terlalu jauh. Keponakanku butuh ketenangan, tolong jangan dipaksa."Joe tidak lupa memberikan tatapan penuh arti yang membuat wanita itu tidak bisa menolak. Perlahan walau dengan tatapan sendunya, ia ke luar dari sana meninggalkan mereka.***Tak jauh berbeda dengan kondisi anaknya, Bunga tersadar dari komanya. Ia segera menyebut nama suami dan anaknya yang kemudian membawa tangis penuh histeris di ruangan rawat itu.Ia mencoba memperhatikan ke segala arah dan tak menemukan Jordhy di sana. Padahal yang ia tahu, putranya masih hidup dan mungkin tengah terluka. Apa salahnya jika mereka harus dirawat di ruangan yang sama?"Bibi, di mana anakku?" tanyanya dengan air mata yang terus menetes setelah diberi obat penenang oleh dokter."Nak, pikirkan kesehatanmu dulu. Kami tidak bisa berbuat banyak sekarang." Seorang wanita tua yang rambutnya telah memutih hanya bisa menberikan jawaban sesingkat itu."Bagaimana bisa? Apa kalian tidak mempedulikannya? Apa hanya aku yang harus peduli dengan kalian semua?" tanyanya dengan nada sedikit menuntut."Bunga, hentikan! Hentikan, Nak!" sahut Bokir. Ia menunjuk ke arah kaki wanita itu yang sekarang telah buntung."Paman, di- di ma-na kakiku?" tanyanya dengan nada kurang yakin."Bunga, kamu tetap akan tau kenyataan ini. Nak, kamu telah kehilangan segalanya." Meta mendekat, ia memberikan penjelasan yang segera membuatnya menundukkan kepala, menahan tangis. "Kamu sudah kehilangan segalanya, Nak. Kenapa nasibmu begini? Aaa ..."Tampak jika kesedihan menutupi tempat itu. Bunga juga tampaknya segera sadar akan maksud perkataan sang bibi. Ia diam kemudian membuang pandangannya sehingga tidak lagi menatap ke arah sepasang orang tua itu.Ia menjadi semakin terisak tatkala mengingat kejadian yang menimpa suaminya. Segera saja traumanya bangun sekarang."Mas, kembalilah! Aku tidak akan sanggup kalau begini. Bagaimana bisa aku menahannya? Tolong jemput aku!" rengek wanita itu menuntut sebelum akhirnya tertidur oleh pengaruh obat yang baru saja di konsumsi.***"Nak, kamu tidak boleh terlalu percaya dengan siapapun di dunia ini. Sekarang, kamu sudah punya om di sini. Apapun akan saya lakukan untukmu."Lagi, Joe memperlakukan anak itu dengan cukup baik.Jordhy tidak memahami maksud perkataan pria itu. Yang sangat ingin ia ketahui adalah keberadaan sang ibu yang entah di mana sekarang.Anak kecil itu bergumam memanggil sang ibu yang keberadaannya sangat dibutuhkan saat ini.Joe segera mendekat, ia berusaha memberikan pengertian untuk Jordhy."Nak, kamu harus tau ini. Ibumu adalah pelaku di balik ini semua. Dia yang seharusnya bertanggungjawab untuk semua yang terjadi. Dia adalah pengkhianat. Dia juga sudah pergi meninggalkan kita. Dia memilih kebahagiaan barunya.""Om, di mana Ibu?"Lagi, anak itu kembali merengek ingin bertemu sang ibu. Ia juga tidak dapat memahami ucapan panjang lebar Joe.Pria itu menahan rasa kesal yang teramat sekarang. Namun, sebisa mungkin ia tahankan sebelum akhirnya ke luar untuk menemui Devi."Jangan lupa, jaga dia!" Perintah yang ditinggalkan sebelum benar-benar berlalu dari sana."Joe, ada apa sebenarnya? Apa kamu tau sesuat tentang apa yang sebenarnya telah terjadi? Tolong jangan menutupi, jangan mempersulit penyelidikan." Devi menangkup tangan Joe dan memohon.Pria itu segera menepisnya dengan penuh amarah seolah ada kebencian yang teramat di sorot matanya. Ia juga berjalan menjauh untuk membuat jarak dengan wanita itu."Dev, bersikaplah profesional dalam bekerja. Saya tidak mau kamu membawa-bawa hubungan kita di masa lalu. Hubungan kita sekarang adalah sebatas klien. Saya keluarga korban sedangkan kamu polisi detektifnya. Camkan itu!"Devi terdiam. Ia tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh pria itu."Apa maksudmu, Joe? Aku hanya ingin tau, kenapa kamu melarangku ketika berusaha menenangkan anak itu? Mungkin saja dia ingin menceritakan segala sesuatu yang ia tau, juga ingin bicara denganku."Cuih! Joe meludah sembarang, Ia juga melemparkan sebuah ponsel pada wanita itu."Cari tau informasi dari sana. Saya sudah mengerahkan seluruh orang untuk mencari tau. Pelakunya tidak bisa ditemukan, sepertinya mereka sudah terlalu biasa."Devi yang berniat membuka isi ponsel tersebut sontak terkaget dan menatap heran pada pria di hadapannya itu."Tidak. Kasus seperti ini baru terjadi kali ini.""Apa kamu yakin?" tanya Joe dengan tatapan remeh."Iya. Aku sudah menanyakannya ke seluruh bagian tempat di kota ini, tidak ada yang sama. Kasus keluargamu benar-benar berbeda."Joe yang terkesan sombong itu segera berlalu dari sana. Ia tidak ingin peduli dengan Devi yang padahal masih ingin menjelaskan begitu banyak hal.Terlihat jika wanita itu menghela napas panjang sekarang. Ia menatap punggung Joe yang semakin menjauh dari posisinya sekarang.Tak berhenti sampai di sana, ia juga masuk ke ruangan rawat Jordhy."Saya dari kepolisian. Kalian harus bersikap kooperatif, tolong bantuannya," ujarnya dengan nada tegas sebelum akhirnya mendekat pada anak yang tengah menangis tanpa suara."Kamu kenapa, Nak?""Um ..." Memanyunkan bibirnya. "Di mana ibuku?"Devi yang cukup paham akan kesedihan anak itu, pun mendekat kemudian memberikan pelukan tulusnya. Ia juga tidak lupa membisikkan kalimat penenang."Kami dari kepolisian masih berusaha ya, Nak. Walau kamu tidak mengerti, jangan pernah berhenti berharap dan berdoa. Saya janji akan memberikan hidup saya untuk mencari pelaku sialan itu."Jordhy tampak lebih yakin pada wanita itu dibanding pamannya sendiri. Hal itu tampak jelas ketika ia segera memberikan pelukan pada Devi."Tolong bawa pulang ibuku, Bu Polisi.""Tentu saja. Kami akan berusaha kuat tenaga. Untuk sekarang, kamu istirahat dulu, ya. Bu Polisi akan segera menuntaskan masalah ini!" serunya yang segera tangannya membentuk perwakilan kata semangat."Temukan ibuku," ujar Jordhy yang juga segera tertidur.Devi yang merasa curiga hanya bisa diam ketika ia ditarik paksa oleh anak buah Joe pergi dari sana.***“Om, di mana kita? Aku tidak tau tempat ini,” tutur Jordhy merasa keheranan dengan keadaan sekitarnya.Joe tidak segera menjawab. Ia hanya tersenyum sembari membuatkan segelas susu yang kemudian disajikan di hadapan anak itu.“Diminum ya, Jord."“Om, di mana kita? Apa ibuku sudah ketemu?”Joe sedikit berdecak sembari menggelengkan kepalanya dalam. Ia duduk di sisi anak itu kemudian memberikan dekapan dengan penuh kasih sayang.“Maafkan om yang belum bisa berbuat banyak untuk kamu, Nak.”“Om?” Memanggil dengan nada sendu.“Keadaan memaksa kamu untuk kuat dan cepat dewasa. Jadi, mengertilah. Perlahan, keadaan akan mengajari kamu untuk cepat paham.”Tak lagi menuntut penjelasan, Jordhy memilih untuk menurut. Ia segera meneguk habis susu itu kemudian tidur.Joe tampaknya bersikap sangat baik. Ia bahkan membacakan dongeng sekarang. Entahlah dari mana ia tahu kebiasaan itu.Beberapa saat kemudian, ia mengubah lampu ke mode lampu tidur. Lalu memberikan sebuah kecupan di kening anak kecil itu
“Om, aku pamit, ya?” ujar Jordhy yang memilih untuk berkelana sejak hari itu. Sejak kelulusannya dari SMA, masih ada waktu baginya bersantai sebelum masuk ke perguruan tinggi. Hal itulah yang membuat hati Joe sedikit terbuka.Pria setengah baya itu tampak tidak begitu senang. Ia seolah tidak rela dengan kepergian keponakannya itu. Baginya, dunia luar hanya menyediakan ancaman dan bahaya.Trauma adalah perasaan dan prasangka yang paling tepat yang dialami saat ini. Sungguh, ia tengah menunjukkan ketidaksukaannya sekarang berharap anak itu akan merubah keputusannya.“Om, kalau aku kelamaan di sini, bakal ketinggalan bus, dong.”Iya, Jordhy juga memilih untuk naik bus dengan alasan agar bisa mendapatkan pengalaman lebih banyak. Nyatanya, ia hanya ingin menikmati waktu.“Ya sudah, pergilah sana. Jangan lupakan kami di sini. Setiap busnya berhenti, kasih kabar!” titah Joe pada akhirnya.“Siap, Om!” Menjawab dengan penuh energik agar si paman lebih merelakannya.“Nak, jangan sampai kamu ti
Bunga baru saja menyelesaikan pekerjaannya segera menuju ruang administrasi di rumah sakit itu. Ia mendapatkan gaji yang kesekian kalinya.Hingga saat ini, ada rasa syukur yang teramat sebab ia yang dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit dan diberi pekerjaan walau hanya sebatas cleaning service.“Anda sudah diberi kehendak untuk ke luar dari sini, silakan …”Bunga menggeleng.“Bu, kalau saya masih diberi kesempatan untuk tinggal di sini. Rasanya saya tinggal di sini saja. Saya ingin membantu lebih banyak pasien untuk sembuh.”“Memangnya kamu tidak merasa rugi? Sudah sehat malah menghabiskan waktu di tempat ini.”“Tidak.” Wanita itu kembali menggeleng. “Saya akan menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk mereka. Walau mungkin sampai waktunya tiba untuk bertemu anak saya nanti. Tidak apa-apa, kan, Bu?”Wanita berjas putih itu menggeleng seraya tersenyum ramah.“Malah saya juga akan berusaha membantu sebisa saya. Sekarang kamu pulang dan istirahat saja dulu. Tubuh kamu sepertinya kuran
Setelah pelarian yang cukup melelahkan dan memakan korban enam orang, Jordhy memilih untuk rehat. Ia mengajak Sarah untuk ikut dengannya.Gadis itu tampak sudah sangat lemah. Ia segera memuntahkan isi perutnya yang segera dibantu oleh Jordhy sekarang.“Aku haus, tolong ambilkan air.”Setelah drama muntah-muntah yang cukup panjang, akhirnya Sarah bisa lebih tenang sekarang. Ia juga mengeluarkan sisa dua ponsel yang masih ia simpan.“Tolong pesanan kami segera diproses, ya.” Terlihat jika pria berumur 17 tahun itu membuat pesanan makanan mereka.“Ini, HP nya. Aku serahkan semua padamu, ya. Jadi, tidak ada lagi urusan di antara kita.”“Simpan saja. Kalau orang lain melihat semua HP ini, bisa-bisa aku dituduh sebagai perampok,” tolak Jordhy.“Apaan! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Capek tau!”“Ara-ara, tolonglah aku. Setidaknya bantu aku sampai ke kota itu. Tujuan kita juga sama, kan. Setidaknya kamu membawaku sampai ke kota itu saja.”“Ara-ara, ara-ara,” omel Sarah terlihat tidak
Terlihat jika seorang pria tengah menghampiri Sarah dengan perlahan kemudian mengagetkan gadis itu. Keduanya segera berpelukan kemudian. Terlihat jelas jika persahabatan mereka sudah begitu akrab.Beberapa saat kemudian, pria itu juga mengajaknya makan bersama. Hal itu memang selalu dilakukan setiap mereka bertemu di penghujung semester. Dan kali ini, mereka ingin merayakan kelulusan Sarah.“Kai, aku sebenarnya masih kenyang.”“Halah. Kamu kan orang yang selalu kelaparan setiap mudik karena takut beli cemilan selama perjalanan. Sudah, aku yang bayari, kok.” Pria itu menarik tangan Sarah sekarang.Langkah gadis itu terhenti tatkala memang dirinya tidak sedang lapar. Ia menolak ajakan itu untuk pertama kalinya.“Ada apa? Biasanya juga kamu yang ngajakin. Ada orang baik yang beliin kamu, ya?”Sarah mengangguk membuat pria itu sedikit terkejut sekarang. Ia tahu betul jika gadis ini bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain.“Siapa dia? Aku mau temuin dia. Jangan-jangan …”“Ssst.
Santai, menikmati secangkir kopi yang dibuatkan sendiri sambil memainkan ponsel adalah gambaran kegiatan Jordhy sekarang. Ia tengah menatap benda pipih yang berjumlah tujuh buah di hadapannya.Sungguh, ia sudah mulai merasa muak dan lelah. Seminggu bukanlah waktu yang singkat untuk memainkan situasi sehingga dirinya tidak dicurigai.Berangan-angan, ia akhirnya mulai mengubah taktik. Sejak saat itu, ia tak lagi membalas pesan dari pamannya secara bersamaan. Ia membuat jarak.Tangannya juga mengetikkan pesan yang ternyata isinya adalah tanggal kematian ayahnya. Air matanya bahkan ingin menetes sekarang. Ah, seharusnya hari ini ia berkunjung ke sana. Namun, ia tak ada keberanian untuk meminta izin.Tatkala ia terbengong cukup lama, Rein segera mendekat bahkan membuatnya terkejut.“Lagi mikirin apa? Bosan sudah pasti kamu di rumah saja. Sudah sana, mainlah dulu. Entah jalan-jalan. Ada motor, tuh.”“Bro, seriusan nih saya dikasih izin
Sarah dicecar oleh sang ibu yang memang selalu ingin jika dirinya melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Berbeda dengan gadis itu yang ingin menjelajah ke luar kota dan sesekali pulang untuk mengunjungi rumahnya.Hal itu tentu saja menjadi bahan perdebatan di antara mereka. Sarah tetap pada keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya walau seberapa banyak pun keluarganya memaksa.“Aku ke luar sekarang. Mau tenangin pikiran dulu,” ujarnya segera berlalu dengan sepedanya yang sebenarnya tidak begitu bagus lagi.“Kai, tolong datang dan kejar Sarah sana. Takutnya nanti dia ngelakuin hal nekat,” ujar sang ibu melalui sambungan telepon.Kai yang sebenarnya sudah berada di sekitar tempat itu pun segera meluncur. Apalagi ia yang telah melihat kepergian Sarah.Terlihat jika gadis itu sangat ceria sekarang. Seolah tidak ada masalah dalam hidupnya. Gadis berusia 17 tahun itu terus mendayung sepedanya sambil bersenandung.“Ck,” deca
“Kenapa kalian memperlakukan anak itu dengan sangat buruk? Dia sudah tidak punya keluarga. Kami yang akan bertanggungjawab kalau memang terbukti melakukan kejahatan.” Alma menyuarakan pendapatnya dengan lantang.Tak terasa, air matanya bahkan menetes tatkala melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh anak itu. Ia menjadi sangat iba. Hal itu juga membuktikan betapa ia sangat menyayangi Jordhy.“Halah, jangan bilang karena kalian orang berada bisa semena-mena!” seru seorang penduduk.“Kaya dari mana? Kami hanya petani. Hei, berhenti berpikiran kuno seperti itu. Saya bisa laporkan kalian ke pihak berwenang. Memangnya kalian mau dipenjara?” balas Alma menantang. Ia benar-benar tidak mau mengalah dan kalah.Bagaimana tidak. Ia berada di tempat itu saja sudah penuh perjuangan. Saat ini suaminya tengah berada di rumah sakit, sendirian.Sudah merasa muak dan tidak terima diperlakukan tidak adil. Jordhy angkat suara.“Kalau memang saya t