Sedangkan Alana, dia menatap terkejut bercampur gugup. Namun, dia bertanya-tanya, Raka kenapa? Sejujurnya Alana merinding, was-was dengan sikap aneh Raka. Namun, meskipun begitu Alana tak menolak untuk disuapi oleh Raka. Dia membiarkannya dan menerimanya. 'Apa karena ada Tuan Lucas, oleh sebab itu Tuan Raka bersikap seperti ini padaku? Tetapi apa hubungannya sikap Tuan Raka yang seperti ini dengan Tuan Lucas. Hah, Pria sangat membingungkan.' batin Alana, memperhatikan Raka yang menyuapinya dengan serius. ***"Tuan Lucas kenapa yah menjadi baik sekali padaku?" gumam Alana, di mana saat ini dia sedang di dalam perpustakaan mini yang Lucas buatkan untuknya–kamar Alana yang dulu. "Tadi pagi dia menyuapiku makan dan … saat berangkat bekerja, dia mengecup keningku. Dia memperlakukanku selayaknya seorang suami yang mencintai istrinya." Alana menutup buku yang dia baca, "apa benar dia mencintaiku atau ini bagian ilusi?" Alana benar-benar bingung. Semisal Raka memang mencintainya maka Ala
Raka seketika itu juga menatap ke arah Alana. Wajahnya yang penuh kemarahan serta api cemburu langsung padam, berganti dengan raut muka riang. Akan tetapi ada perasaan bersalah yang memancar di matanya. "Kau membawaku makan siang?" ucap Raka. Nadanya berubah lembut, tangannya yang mencekal kuat lengan Kina berakhir membelai pipi istrinya. "Aku berniat untuk pulang, Tuan," jawab Alana lirih dan pelan, dia terlanjur sakit hati karena Raka memarahinya di depan banyak orang. Raka menggelengkan kepala. "Makan sianglah denganku baru kau ku antar pulang," ucapnya yang kini telah memeluk pinggang Alana secara mesra. Raka tersenyum manis, membawa istrinya dari sana–tanpa mengatakan apapun pada Marcus. Enda mengepalkan tangan kasar, langsung berlari untuk mengejar Raka dan Alana. Sial! Dia tidak akan membiarkan Alana makan siang berdua dengan Raka. Enda! Hanya Enda yang boleh makan siang dengan pria itu. Raka miliknya! "Kak Raka, kamu sudah berjanji makan siang denganku dan putriku. Bagaim
"Dia sudah tidak punya suami, putrinya sedang sakit parah dan putranya mogok bicara semenjak perceraian Enda dengan suaminya," jelas Raka yang sama sekali tak ingin istrinya salah paham mengenai hal tadi. Alana tersenyum simpul padanya, "aku tidak salah paham, Raka." "Baguslah." Raka berkata dongkol, dia memang tak ingin Alana salah paham. Akan tetapi kenapa rasanya menyebalkan melihat respon Alana yang datar begini? Dia ingin melihat Alana cemburu, pertanda jika istrinya merasakan perasaan yang sama dengannya. "Ada yang kurang dengan masakanmu," ucap Raka tiba-tiba. Alana seketika menatap panik pada Raka, alisnya terangkat dan matanya melebar. Benarkah ada yang kurang dari masakannya? Sungguh, Alana memasak dengan sangat hati-hati dan penuh cinta. Ini hidangan untuk suaminya, Alana begitu mempersiapkannya. Tak ada yang Alana lewatkan. Tetapi … mungkinkah rasanya yang kurang bagi Raka? Tidak pas di lidah suaminya? "Coba saja kau menyuapiku, mungkin rasanya akan jauh lebih nikmat.
'Mungkin sama dengan makanan ini, aku akan dicampakkan dengan mudah olehnya.' batin Alana, merasakan sesak di dalam sana. Perih! Ketika ingin menutup bekal, Alana kembali menatap bekal yang dia buat. Tangisannya kembali pecah, air matanya berjatuhan dengan deras–tak tega melihat hasil masakannya menjadi sia-sia begini. Demi Tuhan! Saat dia memasak ini, senyumannya tak henti pudar. Dia membayangkan wajah bahagia Raka ketika menyantap hasil masakannya ini. Dia senang karena Raka memilih makan siang denganya dibandingkan Enda. Tetapi semuanya ilusi! Raka pada akhirnya meninggalkannya di sini. Alana menggembungkan pipi dan mengepakkan tangan, berusaha menahan isakan serta tangisannya. "Untuk apa aku menangis? Cu-cuma makanan doang," gumamnya menguatkan diri. "Aku terlalu lebay," lanjutnya, meraih kotak bekal lalu berjalan ke arah tempat sampah. "Orang lama selalu menang," ucapnya pelan, menatap kotak bekal tersebut dengan perasaan tak rela. Apa dia makan saja sisanya? Sungguh
"Jangan pergi begitu saja, seakan-akan aku tak ada," ucap Alana kembali, membiarkan Raka memeluknya tanpa membalas pelukan pria itu, "sikapmu yang seperti ini menjelaskan seperti apa posisiku bagimu. Tak penting dan bukan apa-apa, iya kan, Tuan? Aku tidak penting kan?""Kau sangat penting, Alana." Raka berkata lembut, mengecup kening istrinya lalu kembali menghapus air mata Alana. Dia berupaya meminta maaf pada perempuan ini. Dia memang salah. "Aku akan makan lagi. Kau masih bersedia menyuapiku?" Alana menggelengkan kepala. "Aku ingin pulang." "Tunggu setelah aku makan."Alana menganggukkan kepala pelan, langsung memalingkan wajah ketika Raka berniat mencium bibirnya. Dia juga menempelkan telapak tangan di bibir suaminya, mendorongnya pelan supaya Raka menjauh darinya. Raka menghela napas, memilih membawa Alana untuk duduk di sofa kemudian dia lanjut makan. Meskipun makanan ini sempat masuk dalam tempat sampah, Raka tak peduli–tetap memakannya dengan lahap. Sedangkan Alana, diam-
[Wah, selamat yah, usahamu hampir berhasil untuk membuat Raka makan siang denganmu. Tapi sangat disayangkan, meskipun telah mengorbankan anak sendiri, Raka ternyata tetap memilih makan siang denganku.]Setelah mengirim pesan tersebut, Alana kembali menyusun buku baru ke rak buku. Hingga Enda kembali mengirim pesan padanya. [Kamu memang wanita tak punya perasaan, Alana. Aku lebih dulu mengenal Raka dibandingkan kamu, jadi jangan berpikir jika Raka telah menjadi milikmu hanya karena kamu telah menjadi istrinya. Aku-- aku cinta pertama Raka, dan cinta pertama tidak akan mudah dilupakan. Kamu hanya pelampiasan. Bodoh.]Alana memilih tak membalas pesan tersebut, akan tetapi sebuah pesan baru kembali dikirim oleh Enda. [Lihat saja. Aku akan adukan kelakuanmu pada Raka, chatmu akan kuperlihatkan pada Raka supaya Raka sadar wanita seperti apa yang dia nikahi.]Deg deg deg'Jantung Alana berdebar kencang, tiba-tiba khawatir jika Enda melakukan itu. Alana kembali membaca chat yang ia kirim pa
"Iya, lain kali aku akan mengatakan padamu," jawab Alana, sejujurnya cukup tertegun karena Raka tahu masalah chat dari Enda dan pria ini memihak padanya. Padahal Alana mengira Raka akan memarahinya karena sudah meladeni Enda dan Memancing-mancing perempuan itu. "Malam ini, aku menginginkanmu, Alana," ucap Raka, meraih dagu Alana lalu mengangkatnya supaya mendongak ke arahnya. Dia mendekatkan wajahnya kemudian menempelkan bibirnya di atas bibir Alana, meraup lalu melumat secara lembut bibir yang terasa manis tersebut. Alana tak dapat menolak, ciuman dari Raka sungguh membuatnya melambung tinggi. Alana terbuai olehnya. Tubuhnya dibandingkan dan dress tidur yang ia gunakan dilepas begitu saja oleh Raka, memperlihatkan lekukan indah pada tubuhnya. Raka melepas pangutannya, menatap tubuh istrinya dengan manik gelap yang dipenuhi gairah. Alana sangat indah, tubuh perempuan ini begitu menggodanya. "Jangan menolak, aku akan melakukannya dengan lembut," ucap Raka, sekaligus peringatan supa
Deg' Jantung Alana berdebar kencang dalam sana, gugup sekaligus merasa terancam oleh pesan dari Enda tersebut. Alana segera masuk ke ruangan itu. "Aku tidak mau pindah dari sini, Tuan. Aku sudah berjanji akan mengabdi pada Tuan Lucas seumur hidupku dan akan selalu setia padanya," ucap Alana setelah berada di ruangan itu, membuat Raka menoleh terkejut dan sedikit kesal padanya. Sedangkan Lucas terlihat senang dengan keputusan Alana. "Lihat, Alana saja ingin tetap di sini, Raka. Kau tidak bisa mengambil keputusan sendiri," ucap Lucas dengan nada senang. Alana tersenyum pada Lucas kemudian menatap suaminya. "Tuan Raka, aku rasa kita memang harus tetap tinggal di sini. Ini sudah menjadi rumah kita sejak lama. Kita sama-sama datang kepada Tuan Lucas dengan status sendiri. Anda datang atas rasa kekecewaan pada ayah anda yang memilih Zein sebagai pewaris utama Melviano, dan aku datang dengan kekosongan. Lalu Tuan Lucas menyambutmu dengan hangat, memberikanmu rumah dan semua kasih saya