Hari demi hari berlalu, Zahra perlahan menerima kondisinya serta keluarganya. Setelah hampir satu bulan belajar bisnis dengan Alana atau Raka, hari ini Zein membawa Zahra ke kantor. Di berencana menjadikan istrinya sebagai sekretaris. Hanya pemancing sekaligus melatih keterampilan sang istri. Dulu, Zahra adalah sekretarisnya. Maka untuk memunculkan ingatan tersebut, Zein akan menjadikan istrinya sebagai sekretarisnya. Kembali! Semoga cara ini bisa memunculkan ingatan Zahra dahulu. "Ini adalah tugasmu sebagai sekeetarisku," ucap Zein, memberikan sebuah dokumen berisi daftar pekerjaan Zahra sebagai sekretarisnya. "Baik, Pak,"jawab Zahra, meraih dokumen tersebut lalu membungkukkan tubuh secara sopan pada Zein. Zein yang melihat hal tersebut langsung memijit kening. Satu bulan berlalu tetapi Zahra masih …-Hell! Ini menguji kesabaran Zein. "Jangan membungkuk padaku." Zein menyentak akibat kesabaran yang habis, "dan-- Pak?" Zahra mengerjap beberapa kali, menatap Zein gugup bercampur
"Layak atau tidak layak, bukan kau yang menentukan. Keluar!" dingin Zein, melayangkan tatapan tak suka pada Deana. Zahra memperhatikan Deana, menatap perempuan itu dari atas kepala hingga ujung rambut. Penampilan perempuan ini cenderung seperti ingin ke pesta, sangat meriah dan heboh. 'Dia bekerja di sini?' batin Zahra, menatap Deana aneh. Jika memang bekerja di sini, kenapa penampilannya tidak formal? "Apa lihat-lihat?!" geram Deana pada Zahra, menunjukkan ketidak sukaannya pada Zahra secara terang-terangan, "jangan melihatku!""Suka-sukaku dong. Mata-mata ku." Zahra menjawab enteng, menatap sinis ke arah Deana. Perempuan ini pikir Zahra takut padanya? Tidak sama sekali! 'Zahra lebih berani dari yang sebelumnya.' batin Zein, memperhatikan istrinya lekat. Dulu, Zahra akan menahan diri untuk tak mengeluarkan kemarahan, selalu tenang dan menjawab kemarahan seseorang dengan anggun. Namun, Zahra yang sekarang, begitu lugas dan tanpa beban. "Kak Zein, aku sudah tahu jika Zahra lupa in
Zahra saat ini termenung. Barusan dia menemani Zein rapat dan Zahra sangat malu dengan dirinya sendiri, hanya bengong dan seperti idiot. Zahra berdiam diri di toilet, malu menemui Zein serta takut dimarahi oleh pria itu. Demi Tuhan, Zahra sangat malu. Percuma Zein menasehatinya panjang lebar, pada akhirnya Zahra tetap mempermalukan suaminya. "Apa aku kabur saja yah?" gumam Zahra, merasa tertekan dengan semua ini. "Aku harus menerima keadaan ku sebagai Zahra Aurelia. Tetapi kenapa tidak ada satupun orang yang mau menerima diriku, jika aku jika aku bukan Zahra Aurelia yang seperti mereka harapkan?" Tanpa sadar, air mata Zahra keluar. Hari ini adalah hari terburuk Zahra, dia merasa bodoh dan merasa sangat malu. Mungkin saat ini orang-orang yang hadir dalam meeting tadi sedang mengeluhkan Zahra pada Zein. Tok tok tok'"Siapa di dalam?" Mendengar seseorang di luar sedangkan mengetuk pintu, Zahra buru-buru memperbaiki penampilan kemudian segera keluar dari toilet. Zahra menatap sekila
"Kau-- habis menemui siapa, Zahra Aurelia Melviano?!" Suara dingin mengalun rendah, terasa menusuk hingga ke tulang-tulang. Zahra menatap bingung pada Zein, bergerak mundur saat suaminya tersebut mendekatinya. Mata Zahra membulat panik, semakin dia mundur semakin Zein mendekat. "Jawab." Zein berucap lagi, nadanya lebih dingin dari yang sebelumnya. "Setelah keluar dari ruang pertemuan, kau keluar tanpa izin dariku. Kau pergi untuk menemui seseorang, Heh?" Zahra menggelengkan kepala, mengerjap beberapa kali kemudian mendongak pada suaminya–menatap Zein ragu. "Aku keluar bukan untuk menemui seseorang. Hanya saja … kebetulan Paman Raka datang." "Humm." Zein berdehem dingin, kembali ke meja kerja lalu menyibukkan diri. Wajahnya berbalut ke marahan dan tatapan mata masih menghunus tajam. Zahra terlihat gelisah. Sekarang dia bisa katakan jika Zein marah, Zein pasti kesal karena dirinya–melakukan hal bodoh saat meeting tadi. "Pak Suami, masalah meeting … aku meminta maaf. Sudah kukataka
"Jangan menggaruk pipimu." Zein menahan tangan Zahra yang ingin menggaruk pipi. Mereka sudah di kamar dan Zein sudah memberi obat pada istrinya. "Gatal," cicit Zahra pelan, menyesal karena mengira Zein hanya mengada-ngata. Ternyata memang benar jika dia alergi bunga tulip. Zein mengambil sebuah salep kulit khusus lalu mengoles pada pipi istrinya yang memerah. "Apa masih gatal?" Zahra menggelengkan kepala. Tiba-tiba saja Zahra terdiam, sebuah ingatan muncul di kepala Zahra. Dua mengernyit kemudian memegang kepala. "Ada apa?" tanya Zein khawatir, menatap cemas pada Zahra yang terlihat menahan sakit. 'Bagaimana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante. Sedangkan dia saja tidak peduli padaku. Membawa bunga tulip ke rumah padahal dia tahu aku alergi bunga tulip.' 'Bunga ini bukan untukmu.'"Sweetheart."Zahra reflek mendorong Zein, matanya melotot kaget karena sebuah ingatan tersebut. Napas Zahra memburu, kilasan itu terlalu menyedihkan. Zein membawa bunga untuk perempuan
"Keluar lah." Suara datar Zein mengalun, menjauh sedikit dari meja untuk menoleh ke bawah–mengamati istrinya yang sedang bersembunyi di bawah sana. Zahra menetap ke arah Zein, sempat menyengir lalu berakhir cengengesan. "A--aku sedang main petak umpet dengan anak-anak," jawab Zahra setelah dia keluar dari bawah meja, menggoyangkan tangan lalu menatap malu bercampur gugup pada Zein. "Ouh, ternyata Nyonya selingkuhan Tuan." Marcus terkekeh pelan, membungkuk hormat pada tuan dan nyonya-nya lalu segera beranjak dari sana. Zein menganggukkan kepala sejenak lalu memilih melanjutkan pekerjaan. "Kau ingin istirahat tetapi ditinggal mandi dan kau langsung menghilang." Zein menoleh pada Zahra, "kau sengaja untuk tidak mandi bersamaku bukan?"'Hah? Benar juga. Aku harusnya mandi bersamanya karena itu kebiasaanku dulu. Tapi karena aku meminta untuk istirahat, Suami tidak jadi mandi denganku. Wah, padahal tujuanku bahkan itu tapi kebetulan aku bebas dari mandi bersamanya.' batin Zahra, menaha
"Kau hebat, Sweetheart. Proyek negeri dongeng berhasil kau dapatkan," ucap Zein, berbisik lembut tepat di daun telinga Zahra. "Tapi aku tidak melakukan apa-apa." Zahra cukup kikuk, salah tingkah karena mendapat pujian dari suaminya. Dia malu bercampur senang secara bersamaan. "Kau berhasil meyakinkan mereka, membuat mereka percaya jika perusahaan kita bisa mengerjakan proyek tersebut." Zahra mendongak, tersenyum malu-malu pada Zein. 'Itu berkat Zahra Aurelia, ingatanku tiba-tiba muncul. Jika bukan karena itu, aku mana bisa. Hah, Zahra Aurelia terlalu hebat. Apakah aku bisa sepertinya yah? Kami orang yang sama tetapi entah kenapa aku iri padanya.' batin Zahra. Pada rapat tadi Zahra melakukan hal luar biasa. Suasana rapat membuat Zahra merasa dejavu, ada sebuah potongan memori yang membuat Zahra berani berbicara dan mengemukakan pendapat. Zahra cukup bangga pada dirinya sendiri, tetapi cukup sedih jua karena kenyataannya dia dibantu oleh potongan memori–bukan hasil belajar selama s
"Zahra Aurelia," ucap wanita paruhbaya tersebut, berdiri di ambang ruang pembatas antara dapur. Dagunya terangkat ke atas dan tatapan matanya menghunus ke arah Zahra. Dia begitu angkuh. Zahra menaikkan sebelah alis, dia sama sekali tak mengenali perempuan tersebut. Namun melihat perempuan tersebut begitu angkuh, Zahra menebak jika perempuan ini adalah orang yang membencinya. "Dia siapa?" bisik Zahra kemudian pada Alana. "Dia Anita, ibu dari Deana sekaligus Tante Tuan Zein. Mereka dari keluarga ibu Tuan Zein," jawab Alana dengan balas berbisik pada Zahra. "Dulu Anita tinggal di kota lain, karena ibu dari Tuan Zein melarang mereka memasuki kota. Namun, setelah ibu mertuamu meninggal, mereka kembali ke kota ini. Dua tahun setelah anda menghilang, Deana pulang dari luar negeri."'Pasti tujuan mereka mendekati Pak suami.' batin Zahra, meletakkan spatula lalu bersedekap dengan mengangkat dagu–tak ingin kalah arogan dari sikap Anita. "Maaf, tetapi apa sekarang tamu tidak memerlukan izin
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s