“Aku sudah tahu siapa yang mendonorkan darahku hari itu. Bukan Fidel, tapi kamu,” lanjutnya yang membuat Laura meremas tangannya yang ada di atas paha. Laura tersenyum kemudian saat ia mengangkat wajahnya, “Iya, benar,” jawab Laura singkat dan masih terdengar cukup lemah di telinga Jake. “Dan sudah sangat terlambat bagiku untuk mengetahui bagaimana kamu menderita selama ini tapi hanya memendamnya seorang diri,” kata Jake. “Karena sikapku itu, kamu merahasiakan semuanya. Kondisimu yang hampir lumpuh, sulitnya promil yang kamu jalani, dan obat yang selama ini menyiksamu, aku tahu semua itu, Laura,” lanjutnya panjang. Laura bisa menjumpai sesal yang hebat dari setiap kata yang ia ucap. Pria itu menggertakkan rahangnya untuk meredam suaranya yang gemetar. Laura tidak perlu menanyakan lagi dari mana Jake tahu itu semua, Elsa pasti mengatakannya pada Jake selama ia koma. “Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku pasti akan memperbaiki semua itu,” ujarnya serak. “Sayangnya ... tidak b
“Itu ‘kan hanya prediksi ….” kata Jake, mencoba mengatakan hal baik pada Laura yang ia tahu betul tak lagi memiliki harapan untuk hidup seperti sedia kala. “Manusia hanya memprediksi, Laura,” lanjutnya. “Jika kita berusaha, maka sisanya takdir dari Tuhan yang bekerja.”Laura tersenyum pahit, meski Jake mengatakan kalimat yang menghangatkan hatinya, tetapi itu tak bisa menepis betapa gundah batinnya sekarang ini.“Dokter sudah pernah memprediksi hal yang hampir sama sebelumnya,” tanggap Laura. “Jadi, bukankah dua prediksi yang beruntun bisa saja benar?”Mendengar itu, Jake terpaku di tempat ia berlutut. Sekujur tubuhnya nyeri saat menunduk memandang tangannya yang saling menggenggam dengan Laura. Keadaan yang sangat kontras karena jemarinya tampak mendominasi dan menelan habis kurus keringnya jari Laura yang tampak pucat.Jake menyesal … mengapa baru sekarang ia bisa menggenggam tangan Laura, sebuah hal sederhana yang dulu begitu sulit ia lakukan hanya karena ia meninggikan egonya yan
Jake kembali ke kamar rawatnya sendiri setelah Laura mendapat kunjungan dari perawat yang mengatakan bahwa ia harus beristirahat.Tak ingin membuat Laura sendirian, Jake meminta Rani—kepala pelayan di rumahnya—untuk datang dan menjaga Laura sementara ini, tentu saja setelah istrinya itu menyetujuinya terlebih dahulu.Jake berdiri di dekat jendela, memandang keadaan di luar, pada hujan yang belum reda. Persis seperti yang tadi ia lihat dilakukan oleh Laura sebelum kedatangannya.‘Apa yang sedang dipikirkan oleh Laura saat mengatakan hidupnya hanya akan sampai pada bulan Oktober?’ batin Jake. Benarkah dia sudah menyerah?Jake menghela napasnya dengan berat. Ia pikir, ‘Sepertinya aku harus menemukan cara untuk membuat Laura kembali memiliki semangat untuk hidup,’ lanjutnya masih dalam hati.Jake pernah mendengar bahwa seseorang yang sedang sakit parah tapi masih memiliki keinginan yang kuat untuk hidup, maka mereka cenderung akan bisa sembuh, ketimbang seseorang yang sakitnya tak sebera
Jake melihat Laura yang tengah berbicara dengan seorang pria tinggi menjulang yang berdiri di hadapannya. Dari jauh saja … Jake tahu betul itu adalah Zafran.Meski ada Rani yang berdiri tak jauh dari mereka yang menandakan mereka tak berduaan, tetap saja hatinya terasa nyeri. Jake berpikir bahwa saat perasaannya menjadi terang, cemburu itu terasa semakin jelas.Sebelumnya ia berniat ingin menemui Laura, tetapi saat Jake tiba di ruang rawatnya, di sana hanya ada Elsa yang tampaknya baru datang dan mengatakan bahwa Laura ada di dekat taman bersama dengan Zafran.Saat Jake pergi ke tempat yang dikatakan oleh Elsa, ia urung mendekat. Membiarkan dirinya masih terpisah oleh jarak. Ia mendengar Zafran yang mengatakan bahwa ia bisa mengantar Laura pergi ke luar negeri.‘Kenapa dia bilang kalau aku tidak bersedia mengantar Laura?’ tanyanya dalam hati sebelum membawa langkah kakinya yang perlahan sudah membaik dan terlepas dari kruk mendekat pada Laura setelah Zafran pergi.“Jake?” sapa Laura
Laura tersenyum lebih dulu sebelum menanggapi Jake. “Bukankah sekarang kita sudah memulai hidup yang baru?” tanyanya. “Hal yang kita lakukan beberapa hari terakhir ini adalah hal yang baru jika dibandingkan dengan yang kita lakukan dulu, 'kan?” lanjutnya, yang membuat Jake terdiam cukup lama.“I-iya, kamu benar,” jawab Jake akhirnya. “Tapi maksudku … tidak dengan pisah rumah seperti ini, Laura.”“Mungkin aku tidak bisa lakukan itu, Jake,” jawab Laura tepat setelah Jake selesai bicara. “Karena kondisiku sekarang sedang tidak baik, bukankah akan lebih baik jika aku tinggal sendirian dan tidak merepotkan banyak orang?”“Pemikiran macam apa itu?” Jake mengangkat kedua alisnya, terheran-heran. “Yang benar adalah kamu harusnya tinggal dengan orang lain karena tidak ada jaminan kapan kondisimu tiba-tiba saja memburuk dan tidak ada yang tahu.”Laura tercenung mendengar Jake, sungguh … selama mereka hidup bersama, hampir tidak pernah Laura mendengar pria itu bicara selembut itu dengannya.“Kal
Dari ia berdiri di kejauhan … Fidel berdebar sewaktu melihat Jake yang tiba-tiba mendekat pada Laura, saat pria itu mengantar kepulangannya di depan rumah sakit.‘Mereka akan berciuman?’ batin Fidel saat melihat Jake yang tiba-tiba menunduk dan nyaris memasukkan kepalanya saat kaca pada jendela mobil itu terbuka.‘Tapi sepertinya tidak,’ katanya dalam hati, karena sesaat setelah itu Jake tampak melambaikan tangannya.Fidel mendengus kesal saat melihat Jake yang melakukan semua itu, seolah pria itu tak peduli jika ada orang lain yang melihatnya.“Kamu sangat bodoh sekali, Jake,” gumam Fidel seorang diri. “Kamu sangat bodoh karena memberikan hatimu pada perempuan yang tidak bisa melakukan apapun.”Ia mendorong napasnya dengan kasar saat menyadari ada kemungkinan lain yang barangkali terjadi selain ‘kebodohan’ Jake itu.“Atau sebenarnya Laura lah yang licik dengan memanfaatkan keadaan ini untuk bisa menjerat Jake?” Ia menggeleng tak percaya. “Tidak semudah itu bagimu untuk menang, Laura.
Setelah membaca pesan dari Fidel yang semalam mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Laura untuk mengatakan sesuatu yang ‘penting dan mendesak,’ pagi ini Laura mendengar dari Hani bahwa gadis itu telah berada di butiknya. Sepertinya Fidel tak akan menyerah begitu saja. Kehadirannya yang terlampau pagi mengatakan segalanya bahwa ia sangat ingin bertemu dengan Laura. ‘Apa dia sedang kesal dan ingin melampiaskannya padaku?’ batin Laura dalam diam, meremas sendok yang ada di tangannya karena ia memang tengah duduk di ruang makan dan menikmati sarapan paginya. “Sebaiknya jangan temui, Nona Laura ….” pinta Rani dari seberang meja. Wanita paruh baya dengan apron yang ada di bagian depan tubuhnya itu menatap Laura, memohon. “Iya, Bu Rani,” jawab Laura, menyetujuinya tanpa banyak pertimbangan karena memang ia masih cukup lelah untuk bertemu dengan orang lain—apalagi dengan Fidel. Laura tahu itu akan berakhir dengan sebuah perdebatan, sama seperti sebelumnya. “Hani,” panggil Laura pada g
“Iya, kencan,” jawab jake, tersenyum memandang sepasang mata Laura yang tampak membola dengan cantiknya. “T-tiba-tiba saja?” Laura masih tak percaya, dadanya berdebar, kedua sisi pipinya memanas saat ia menoleh pada Rani yang tersenyum sebelum pergi dan memberikan ruang makan di sana untuknya dan Jake saja. “Kamu tidak bersedia?” tanya Jake sembari satu langkah mendekat. “Ke mana perginya?” “Pantai.” “Pantai?” ulang Laura. “Iya. kita tunggu sunset dan ayo nyalakan kembang api saat sudah gelap.” Laura meremas jari-jarinya yang sedang membawa buket bunga dari Jake, ia sedikit memalingkan wajahnya sebelum kembali memandang pria dengan kemeja hitam yang berdiri di hadapannya ini. “Jangan merasa keberatan kalau kamu tidak mau,”kata Jake. “Aku akan menunggumu.” Laura menunduk, memandang buket bunga hortensia biru yang ada di tangannya. Ini adalah hortensia biru ke tiga yang dilihat oleh Laura, tanda pria itu menyesal dan meminta maaf padanya berulang kali. Melihat usahanya yang gig