Laura tersenyum lebih dulu sebelum menanggapi Jake. “Bukankah sekarang kita sudah memulai hidup yang baru?” tanyanya. “Hal yang kita lakukan beberapa hari terakhir ini adalah hal yang baru jika dibandingkan dengan yang kita lakukan dulu, 'kan?” lanjutnya, yang membuat Jake terdiam cukup lama.“I-iya, kamu benar,” jawab Jake akhirnya. “Tapi maksudku … tidak dengan pisah rumah seperti ini, Laura.”“Mungkin aku tidak bisa lakukan itu, Jake,” jawab Laura tepat setelah Jake selesai bicara. “Karena kondisiku sekarang sedang tidak baik, bukankah akan lebih baik jika aku tinggal sendirian dan tidak merepotkan banyak orang?”“Pemikiran macam apa itu?” Jake mengangkat kedua alisnya, terheran-heran. “Yang benar adalah kamu harusnya tinggal dengan orang lain karena tidak ada jaminan kapan kondisimu tiba-tiba saja memburuk dan tidak ada yang tahu.”Laura tercenung mendengar Jake, sungguh … selama mereka hidup bersama, hampir tidak pernah Laura mendengar pria itu bicara selembut itu dengannya.“Kal
Dari ia berdiri di kejauhan … Fidel berdebar sewaktu melihat Jake yang tiba-tiba mendekat pada Laura, saat pria itu mengantar kepulangannya di depan rumah sakit.‘Mereka akan berciuman?’ batin Fidel saat melihat Jake yang tiba-tiba menunduk dan nyaris memasukkan kepalanya saat kaca pada jendela mobil itu terbuka.‘Tapi sepertinya tidak,’ katanya dalam hati, karena sesaat setelah itu Jake tampak melambaikan tangannya.Fidel mendengus kesal saat melihat Jake yang melakukan semua itu, seolah pria itu tak peduli jika ada orang lain yang melihatnya.“Kamu sangat bodoh sekali, Jake,” gumam Fidel seorang diri. “Kamu sangat bodoh karena memberikan hatimu pada perempuan yang tidak bisa melakukan apapun.”Ia mendorong napasnya dengan kasar saat menyadari ada kemungkinan lain yang barangkali terjadi selain ‘kebodohan’ Jake itu.“Atau sebenarnya Laura lah yang licik dengan memanfaatkan keadaan ini untuk bisa menjerat Jake?” Ia menggeleng tak percaya. “Tidak semudah itu bagimu untuk menang, Laura.
Setelah membaca pesan dari Fidel yang semalam mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Laura untuk mengatakan sesuatu yang ‘penting dan mendesak,’ pagi ini Laura mendengar dari Hani bahwa gadis itu telah berada di butiknya. Sepertinya Fidel tak akan menyerah begitu saja. Kehadirannya yang terlampau pagi mengatakan segalanya bahwa ia sangat ingin bertemu dengan Laura. ‘Apa dia sedang kesal dan ingin melampiaskannya padaku?’ batin Laura dalam diam, meremas sendok yang ada di tangannya karena ia memang tengah duduk di ruang makan dan menikmati sarapan paginya. “Sebaiknya jangan temui, Nona Laura ….” pinta Rani dari seberang meja. Wanita paruh baya dengan apron yang ada di bagian depan tubuhnya itu menatap Laura, memohon. “Iya, Bu Rani,” jawab Laura, menyetujuinya tanpa banyak pertimbangan karena memang ia masih cukup lelah untuk bertemu dengan orang lain—apalagi dengan Fidel. Laura tahu itu akan berakhir dengan sebuah perdebatan, sama seperti sebelumnya. “Hani,” panggil Laura pada g
“Iya, kencan,” jawab jake, tersenyum memandang sepasang mata Laura yang tampak membola dengan cantiknya. “T-tiba-tiba saja?” Laura masih tak percaya, dadanya berdebar, kedua sisi pipinya memanas saat ia menoleh pada Rani yang tersenyum sebelum pergi dan memberikan ruang makan di sana untuknya dan Jake saja. “Kamu tidak bersedia?” tanya Jake sembari satu langkah mendekat. “Ke mana perginya?” “Pantai.” “Pantai?” ulang Laura. “Iya. kita tunggu sunset dan ayo nyalakan kembang api saat sudah gelap.” Laura meremas jari-jarinya yang sedang membawa buket bunga dari Jake, ia sedikit memalingkan wajahnya sebelum kembali memandang pria dengan kemeja hitam yang berdiri di hadapannya ini. “Jangan merasa keberatan kalau kamu tidak mau,”kata Jake. “Aku akan menunggumu.” Laura menunduk, memandang buket bunga hortensia biru yang ada di tangannya. Ini adalah hortensia biru ke tiga yang dilihat oleh Laura, tanda pria itu menyesal dan meminta maaf padanya berulang kali. Melihat usahanya yang gig
“Aku sungguh menyesal, Laura,” kata Jake, menyentuh tangan Laura sehingga telapak tangannya yang besar menimpa jemari ringkihnya yang terasa dingin. “Jika aku bisa memutar kembali waktu, aku akan berlari ke persimpangan tempat semua ini berawal,” ucapnya serak. “Jika aku bisa memperbaiki keadaan, aku akan menghentikan kebodohanku hari itu.” Laura tak pernah melihat Jake seperti ini. Badai memenuhi matanya yang diburamkan oleh air mata. Sesalnya menumpuk, parau suaranya memerihkan hati Laura. “Tahun sudah berlalu, tapi kamu masih terjebak pada rasa sakit yang sama bahkan saat aku bisa menjalani hidup normal seperti sebelumnya. Dan ... sudah terlambat bagiku untuk memperbaiki semuanya.” Meski sesak turut mengekang dadanya, Laura menunjukkan senyumnya pada Jake. Ia tak ingin menambah beban di hatinya semakin besar. “Sudahlah ....” katanya. “Kamu tidak hanya mengatakannya sekali, jadi aku percaya kamu sungguh menyesalinya.” “Jadi, kamu setuju untuk pergi denganku?” “Iya, aku setuj
“Kamu tidak mau?” tanya Jake saat Laura hanya diam tak kunjung memberinya jawaban.Laura sedikit tersentak karena Jake telah mengakhiri lamunan sesaatnya yang penuh tanya, ‘Benarkah yang dia katakan itu?’Pupil matanya bergerak gugup menatap Jake yang tengah menoleh kepadanya dengan kedua alisnya yang terangkat menunggu jawaban.“B-bolehkah aku melakukannya?” tanya Laura dengan suaranya yang gemetar.“Boleh,” jawab Jake. “Kenapa memangnya? Kamu lupa kalau kita masih suami dan istri yang sah?”Laura mengedipkan matanya sebanyak beberapa kali, menelan ludahnya dengan gugup. “Ayo,” pinta Jake, mengisyaratkan dengan gerakan kepalanya yang membuat Laura memiliki keberanian untuk satu jarak mendekat padanya.Saat ia lakukan itu, napasnya tertahan selama beberapa detik. Jake menegakkan tubuhnya sembari mengatakan, “Berpeganglah yang erat,” katanya.“B-baik.”Langkah kaki Jake berpijak pada pasir putih yang menyaksikan mereka tak lagi memiliki jarak. Perlahan menuju ke mobilnya yang terparki
‘Apa aku sudah sampai?’ tanya Laura, membatin dalam diam saat ia membuka matanya. Karena seingatnya tadi ia sangat mengantuk di dalam mobil milik Jake dan memutuskan untuk tidur, meninggalkan Jake menyetir sendirian. Tapi ... tanya yang baru saja ia katakan pada dirinya sendiri telah menemui jawabannya saat ia menjumpai langit-langit kamar yang sebelumnya pernah ia lihat. ‘Ini di dalam rumah Jake,’ katanya yakin lalu bangun dan memijit kakinya yang sedikit nyeri. Laura pernah tidur di dalam kamar ini saat ia pisah ranjang dengan Jake dulu. Ia terkejut saat menoleh ke samping, pria yang baru saja memenuhi angannya itu rupanya sedang berdiri tak jauh dari tempat tidur, di sebelah kanannya, dengan suaranya yang serak saat bertanya, “Kenapa bangun?” Laura tak serta merta menjawabnya, ia lebih dulu memindai sekitar yang membelenggu mereka dalam keadaan cahaya remang-remang. Di sofa memanjang yang tak jauh dari ranjang, Laura melihat satu bantal yang berada di sana dan sebuah selimut ya
Tak ada kata lain yang bisa menggambarkan apa yang sedang ada di dalam hati Fidel sekarang ini.Benci!Ia sangat benci saat mengetahui bahwa Laura menolak bertemu dengannya saat Fidel datang mengunjunginya pagi itu.Lewat salah seorang staf kepercayaannya yang ada di butik—Hani—Laura Menitipkan pesan bahwa ia sedang sibuk.Tapi beberapa saat kemudian ... saat Fidel baru saja meninggalkan halaman butiknya yang mulai penuh sesak oleh kedatangan mobil dan motor, sepasang matanya yang sudah perih dan panas menangkap kehadiran sebuah mobil sedan mewah yang berbelok dan mengambil pemberhentian di butik milik Laura.Fidel tahu betul itu adalah Jake.Fidel masih sempat menunggunya karena ia menepikan mobilnya tak jauh dari butik milik Laura dan memastikan kemunculan pria itu, yang tak lama kemudian menampakkan batang hidung dengan satu buket bunga hortensia biru yang sangat cantik. Memperhatikannya lebih jauh ... sepertinya Fidel baru kali ini sadar bahwa plat nomor yang terpasang di mobil s