Dari ia berdiri di kejauhan … Fidel berdebar sewaktu melihat Jake yang tiba-tiba mendekat pada Laura, saat pria itu mengantar kepulangannya di depan rumah sakit.‘Mereka akan berciuman?’ batin Fidel saat melihat Jake yang tiba-tiba menunduk dan nyaris memasukkan kepalanya saat kaca pada jendela mobil itu terbuka.‘Tapi sepertinya tidak,’ katanya dalam hati, karena sesaat setelah itu Jake tampak melambaikan tangannya.Fidel mendengus kesal saat melihat Jake yang melakukan semua itu, seolah pria itu tak peduli jika ada orang lain yang melihatnya.“Kamu sangat bodoh sekali, Jake,” gumam Fidel seorang diri. “Kamu sangat bodoh karena memberikan hatimu pada perempuan yang tidak bisa melakukan apapun.”Ia mendorong napasnya dengan kasar saat menyadari ada kemungkinan lain yang barangkali terjadi selain ‘kebodohan’ Jake itu.“Atau sebenarnya Laura lah yang licik dengan memanfaatkan keadaan ini untuk bisa menjerat Jake?” Ia menggeleng tak percaya. “Tidak semudah itu bagimu untuk menang, Laura.
Setelah membaca pesan dari Fidel yang semalam mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Laura untuk mengatakan sesuatu yang ‘penting dan mendesak,’ pagi ini Laura mendengar dari Hani bahwa gadis itu telah berada di butiknya. Sepertinya Fidel tak akan menyerah begitu saja. Kehadirannya yang terlampau pagi mengatakan segalanya bahwa ia sangat ingin bertemu dengan Laura. ‘Apa dia sedang kesal dan ingin melampiaskannya padaku?’ batin Laura dalam diam, meremas sendok yang ada di tangannya karena ia memang tengah duduk di ruang makan dan menikmati sarapan paginya. “Sebaiknya jangan temui, Nona Laura ….” pinta Rani dari seberang meja. Wanita paruh baya dengan apron yang ada di bagian depan tubuhnya itu menatap Laura, memohon. “Iya, Bu Rani,” jawab Laura, menyetujuinya tanpa banyak pertimbangan karena memang ia masih cukup lelah untuk bertemu dengan orang lain—apalagi dengan Fidel. Laura tahu itu akan berakhir dengan sebuah perdebatan, sama seperti sebelumnya. “Hani,” panggil Laura pada g
“Iya, kencan,” jawab jake, tersenyum memandang sepasang mata Laura yang tampak membola dengan cantiknya. “T-tiba-tiba saja?” Laura masih tak percaya, dadanya berdebar, kedua sisi pipinya memanas saat ia menoleh pada Rani yang tersenyum sebelum pergi dan memberikan ruang makan di sana untuknya dan Jake saja. “Kamu tidak bersedia?” tanya Jake sembari satu langkah mendekat. “Ke mana perginya?” “Pantai.” “Pantai?” ulang Laura. “Iya. kita tunggu sunset dan ayo nyalakan kembang api saat sudah gelap.” Laura meremas jari-jarinya yang sedang membawa buket bunga dari Jake, ia sedikit memalingkan wajahnya sebelum kembali memandang pria dengan kemeja hitam yang berdiri di hadapannya ini. “Jangan merasa keberatan kalau kamu tidak mau,”kata Jake. “Aku akan menunggumu.” Laura menunduk, memandang buket bunga hortensia biru yang ada di tangannya. Ini adalah hortensia biru ke tiga yang dilihat oleh Laura, tanda pria itu menyesal dan meminta maaf padanya berulang kali. Melihat usahanya yang gig
“Aku sungguh menyesal, Laura,” kata Jake, menyentuh tangan Laura sehingga telapak tangannya yang besar menimpa jemari ringkihnya yang terasa dingin. “Jika aku bisa memutar kembali waktu, aku akan berlari ke persimpangan tempat semua ini berawal,” ucapnya serak. “Jika aku bisa memperbaiki keadaan, aku akan menghentikan kebodohanku hari itu.” Laura tak pernah melihat Jake seperti ini. Badai memenuhi matanya yang diburamkan oleh air mata. Sesalnya menumpuk, parau suaranya memerihkan hati Laura. “Tahun sudah berlalu, tapi kamu masih terjebak pada rasa sakit yang sama bahkan saat aku bisa menjalani hidup normal seperti sebelumnya. Dan ... sudah terlambat bagiku untuk memperbaiki semuanya.” Meski sesak turut mengekang dadanya, Laura menunjukkan senyumnya pada Jake. Ia tak ingin menambah beban di hatinya semakin besar. “Sudahlah ....” katanya. “Kamu tidak hanya mengatakannya sekali, jadi aku percaya kamu sungguh menyesalinya.” “Jadi, kamu setuju untuk pergi denganku?” “Iya, aku setuj
“Kamu tidak mau?” tanya Jake saat Laura hanya diam tak kunjung memberinya jawaban.Laura sedikit tersentak karena Jake telah mengakhiri lamunan sesaatnya yang penuh tanya, ‘Benarkah yang dia katakan itu?’Pupil matanya bergerak gugup menatap Jake yang tengah menoleh kepadanya dengan kedua alisnya yang terangkat menunggu jawaban.“B-bolehkah aku melakukannya?” tanya Laura dengan suaranya yang gemetar.“Boleh,” jawab Jake. “Kenapa memangnya? Kamu lupa kalau kita masih suami dan istri yang sah?”Laura mengedipkan matanya sebanyak beberapa kali, menelan ludahnya dengan gugup. “Ayo,” pinta Jake, mengisyaratkan dengan gerakan kepalanya yang membuat Laura memiliki keberanian untuk satu jarak mendekat padanya.Saat ia lakukan itu, napasnya tertahan selama beberapa detik. Jake menegakkan tubuhnya sembari mengatakan, “Berpeganglah yang erat,” katanya.“B-baik.”Langkah kaki Jake berpijak pada pasir putih yang menyaksikan mereka tak lagi memiliki jarak. Perlahan menuju ke mobilnya yang terparki
‘Apa aku sudah sampai?’ tanya Laura, membatin dalam diam saat ia membuka matanya. Karena seingatnya tadi ia sangat mengantuk di dalam mobil milik Jake dan memutuskan untuk tidur, meninggalkan Jake menyetir sendirian. Tapi ... tanya yang baru saja ia katakan pada dirinya sendiri telah menemui jawabannya saat ia menjumpai langit-langit kamar yang sebelumnya pernah ia lihat. ‘Ini di dalam rumah Jake,’ katanya yakin lalu bangun dan memijit kakinya yang sedikit nyeri. Laura pernah tidur di dalam kamar ini saat ia pisah ranjang dengan Jake dulu. Ia terkejut saat menoleh ke samping, pria yang baru saja memenuhi angannya itu rupanya sedang berdiri tak jauh dari tempat tidur, di sebelah kanannya, dengan suaranya yang serak saat bertanya, “Kenapa bangun?” Laura tak serta merta menjawabnya, ia lebih dulu memindai sekitar yang membelenggu mereka dalam keadaan cahaya remang-remang. Di sofa memanjang yang tak jauh dari ranjang, Laura melihat satu bantal yang berada di sana dan sebuah selimut ya
Tak ada kata lain yang bisa menggambarkan apa yang sedang ada di dalam hati Fidel sekarang ini.Benci!Ia sangat benci saat mengetahui bahwa Laura menolak bertemu dengannya saat Fidel datang mengunjunginya pagi itu.Lewat salah seorang staf kepercayaannya yang ada di butik—Hani—Laura Menitipkan pesan bahwa ia sedang sibuk.Tapi beberapa saat kemudian ... saat Fidel baru saja meninggalkan halaman butiknya yang mulai penuh sesak oleh kedatangan mobil dan motor, sepasang matanya yang sudah perih dan panas menangkap kehadiran sebuah mobil sedan mewah yang berbelok dan mengambil pemberhentian di butik milik Laura.Fidel tahu betul itu adalah Jake.Fidel masih sempat menunggunya karena ia menepikan mobilnya tak jauh dari butik milik Laura dan memastikan kemunculan pria itu, yang tak lama kemudian menampakkan batang hidung dengan satu buket bunga hortensia biru yang sangat cantik. Memperhatikannya lebih jauh ... sepertinya Fidel baru kali ini sadar bahwa plat nomor yang terpasang di mobil s
“Ekhem!” Elsa berdeham yang seketika itu membuat Laura tersadar dari lamunan sesaatnya. “Pak Jake silahkan masuk! Aku akan pergi,” katanya lalu menoleh pada Laura dengan seulas senyuman. Elsa hampir berdiri tetapi Laura mencegahnya dengan menarik tangannya, matanya mengatakan agar ia tetap tinggal. Elsa yang tahu isyarat itu mendekatkan bibirnya di samping telinga Laura dan mengatakan, “Aku tidak mau jadi orang ke tiga, Laura ....” Gadis itu melemparkan senyumnya sekali lagi sebelum bergegas pergi dari sana. Berlari melewati Jake yang berdiri kaku di tempatnya dengan meremas paper bag berisi makanan yang ia bawa dengan kepala tertunduk. Setelah pintu tertutup dari luar, barulah Jake memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menyapa Laura kembali. “Laura,” sebutnya lirih. “Y-ya?” “Kamu belum menjawabnya,” ucap pria itu. “Aku akan membawanya keluar kalau kamu tidak ingin makan denganku.” “A-aku mau,” jawab Laura. “Bawalah ke sini, biar aku yang bantu bukakan, Jake,” pintan
Tiga tahun kemudian .... .... Musim yang tak menentu membuat siang hari ini sedikit lebih mendung ketimbang hari-hari biasanya. Hembusan angin dari timur membelai rambut Laura yang baru saja keluar dari mobil. Ia tak bisa untuk tak tersenyum saat melihat anak-anaknya yang berlarian sekeluarnya dari sedan yang pintunya baru saja dibukakan oleh si papa—Jake. “Jangan tarik tangannya Senna, Jayce!” pinta Jake. “Nanti Adik jatuh loh!” “Iya, Papa,” sahut Jayce dari seberang sana, pada sisi lain halaman dan memelankan langkahnya yang baru saja menarik Jasenna. Jake memang tak pergi ke kantor hari ini. Ia menyempatkan diri untuk mengantar Jayce dan Jasenna untuk pergi ke preschool mereka. Dan baru saja ia menjemput si kembar bersama dengan Laura. "Kamu tidak akan pergi ke kantor?" tanya Laura, menoleh pada Jake yang malah duduk di teras alih-alih masuk ke dalam rumah. "Tidak, Sayang," jawabnya. Ia mengarahkan tangannya ke depan, meraih tangan Laura agar duduk di sebelahnya.
“Seandainya aku memperlakukannya dengan lebih baik, dan memintanya untuk mengakui kesalahan apa yang pernah dia perbuat pada Laura, dia pasti tidak akan sehancur itu di tangan takdir yang memberikan karmanya.” Laura dan Jake tahu betul bahwa yang disebutkan oleh Erick itu adalah Fidel. “Tapi kamu ‘kan juga tidak tahu kalau Fidel melakukan itu pada Laura,” tanggap Jake. “Kamu tahu saat semuanya sudah terlambat. Bukan sepenuhnya salahmu juga, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Erick tersenyum saat sekilas menoleh pada Jake, kemudian kembali memandang Jayce dan Jasenna yang sangat tampan dan cantik. Dua bayi mereka, anugerah setelah penderitaan panjang tak berkesudahan itu. “Mulailah hidup barumu, Erick,” kata Jake. “Kamu berhak mendapatkan hidupmu yang baru, dan terlepas dari semua ini.” Erick lalu bangun dari berlututnya. Ia menghadap pada Jake dan Laura yang tampak tulus saat memberinya nasehat. Ia mengangguk, “Iya, aku pikir juga begitu,” jawabnya. “Tapi mungkin tidak d
Sejak si kembar sudah dalam fase merangkak, Jake dibuat sedikit kewalahan menghadapi mereka yang sangat aktif.Setahunya, cheetah adalah salah satu pemilik lari tercepat di dunia dengan kecepatan seratus tiga puluh kilometer per jam, tapi apa itu cheetah?! Jayce dan Jasenna lebih cepat daripada cheetah dewasa yang tengah berlari saat mereka merangkak.Pagi ini saja, Jake baru selesai membawa Jayce keluar dari kamar mandi setelah berendam bersama dengan Laura. Tapi saat ia mengambilkan diapers, Jayce sudah pergi dari kamar dengan keadaan tanpa pakaian dalam sekejap mata.Jika Jake tak mendengar gelak tawanya yang seolah mengejek di luar, ia tak akan menemukan di mana anak lelakinya itu berada."Jayce, pakai baju dulu, Nak!" ucapnya saat menjumpai Jayce yang bermain slipper di dekat anak tangga.Ia menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar, melihat Laura yang tak bisa menahan tawa saat membawa Jasenna keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang bergambar panda."Loh? Aku kira sudah s
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu
Satu hari, bulan demi bulan yang berganti menjadi tahun di belakang sana terkenang seperti gambar-gambar di layar proyektor.Melewati itu, Laura sangat bersyukur ia tiba pada hari ini.Melihat Jake yang berada di sampingnya dan memasrahkan diri saat Laura mencengkeram tangannya untuk meredam rasa sakit yang bergejolak di perutnya menyadarkannya bahwa waktu benar-benar mengambil alih luka-luka itu dan menggantinya dengan kebahagiaan.Meski sekarang dirinya merasakan sakit, tapi ia tak bisa membendung senyumnya.Dadanya berdebar saat Jake menunduk dan berbisik, "Apakah sakit sekali?" tanyanya. "Operasi saja bagaimana? Aku tidak bisa melihatmu kesakitan seperti ini."Bibir Jake jatuh di kening Laura."Tidak perlu," jawab Laura. "Dokter bilang semuanya baik-baik saja, 'kan? Jangan khawatir, asalkan kamu denganku di sini, aku akan melewati hari ini, Jake.""Tentu aku di sini," balasnya. "Kamu bisa mengatakan padaku apapun hadiah yang kamu mau nanti setelah anak-anak kita lahir. Hm?"Laura
Sejak pulang dari resepsi pernikahan sekretarisnya Zafran—Andy—semalam, rasanya frekuensi rasa sakit yang diterima oleh perut Laura berinterval semakin sering. Rasanya berdenyut, nyeri berpusat lebih ke bawah. Dan ... si kembar yang ada di dalam perutnya juga lebih tenang. 'Apa aku akan melahirkan sebentar lagi?' tanya Laura dalam hati saat pagi ini baru saja keluar dari dalam kamar. Ia ingin menyusul Jake yang sedang berada di ruang gym, melakukan rutinitas yang hampir tak pernah ia lewatkan. "Selamat pagi," sapa para pelayan yang ada di dapur dan melihat kedatangannya. "Selamat pagi," balas Laura dengan melemparkan senyum pada mereka. "Mau mencicipi sedikit, Nona?" tawar Rani, yang membawa semangkuk besar soto ayam yang dibuatnya. Sarapan pagi ini bertemakan masakan Nusantara karena semalam Jake berpesan pada Rani ingin makan yang sedikit berbumbu, sehingga yang pagi ini menu-menu itu bisa dicium aromanya oleh Laura. "Nanti saja, Bu Rani," jawab Laura simpul. "Baiklah kal
Ketukan palu hakim menggema memenuhi ruang sidang. Fidel tertunduk dalam isak tangis.Sudah sejak awal dibacakannya vonis, Laura melihatnya tak kuasa menahan air mata.Laura lebih dulu bangun dari duduknya dan meminta Jake untuk segera pergi dari sana."Ayo, Jake!" ucapnya. Dan melihat istrinya yang tak ingin berlama-lama di sini, Jake pun dengan cepat bangun dari duduknya. Membiarkan Laura meraih dan melingkarkan tangan pada lengannya untuk beranjak."Laura," panggil suara yang dikenal betul oleh Laura adalah milik Fidel.Terdengar dari belakangnya, seperti penuh harap agar Laura menoleh sehingga mereka bisa berbicara.Laura memang berhenti. Tapi ia tidak menoleh pada wanita itu. "Aku ... ingin pergi dari sini," katanya lirih, sehingga Farren yang berada di depan bersama dengan Roy dan tim kuasa hukum keluarga Heizt dengan cepat membuka jalan untuk mereka dari kerumunan reporter yang meliput berita."Laura."Suara Fidel terdengar sekali lagi, nelangsa penuh dengan nestapa.Tapi Lau