Keheningan terjadi setelah seruan Elsa seolah akan membekukan setiap sisi ruang makan.“Kamu menilaiku sesuka hatimu padahal pria yang ada di foto denganku itu—”Elsa berhenti bicara, ia mendorong kasar napasnya dan menggertakkan rahangnya yang terasa nyeri. “Aku tidak ingin menjelaskannya padamu,” lanjutnya berputar haluan. “Aku tahu kamu bisa mengetahui identitasnya, Zaf. Jadi aku tidak perlu mengatakan apapun.”“Siapa dia?” tanya Zafran dari seberang sana. “Katakan padaku agar—”“Saat kamu tidak mengatakan dengan jelas hubunganmu dengan Xandara?” potong Elsa. “Aku sudah bilang aku dan dia tidak ada hubungan apapun dengannya, Elsa.”“Tapi itu tidak menjelaskan kenapa kamu pergi hanya berdua dengannya, atau apa yang kalian lakukan di sana yang bisa ditangkap oleh kamera reporter,” tukas Elsa. “Aku bertanya padamu karena aku bukan kamu yang bisa tahu identitas orang lain dengan cepat, tapi jawaban yang kamu berikan tidak menjelaskan apapun.”“Dengar—”“Jangan bicara denganku jika ka
Pada pemeriksaan USG selanjutnya yang memasuki minggu ke dua belas nanti, Laura dan Jake akan bisa melihat apakah kehamilan ini tunggal ataukah kehamilan kembar seperti yang mereka rencanakan. Meski Jake berulang kali bilang tak masalah sekalipun itu tunggal—baik itu laki-laki atau perempuan—tetapi jujur saja ... ini akan menjadi hadiah yang sempurna untuk keluarga mereka seandainya memang program hamil kembar yang mereka lakukan sejak awal itu berhasil. Sekarang ... yang perlu diperhatikan oleh Laura adalah satu hal saja, ia benar-benar harus berhati-hati. Dirinya yang sering pusing mengharuskannya menghabiskan waktu lebih lama di atas tempat tidur. Hari ini, tak seperti biasanya ia yang hanya berada di sana sepanjang waktu seorang diri, Jake menemaninya. Pria itu sedang libur bekerja, sehingga yang mereka lakukan adalah menikmati waktu berdua sebelum nanti ada ‘pengganggu kecil’ yang akan membuat mereka sibuk dengan datangnya ia di dunia ini—anak mereka. “Kamu di sini sangat lu
Beberapa menit lagi menuju pergantian tahun. Laura akan menutup tahun ini dengan bibir yang tersenyum.Ini tahun yang sagat berat baginya.Luka, air mata, terombang-ambing di ambang kematian, hingga sepenuhnya mendapatkan hidup yang baru dan menapaki perjalanan untuk menjadi seorang ibu.Ia tengah duduk di teras, belum lama menerima coat panjang dari Jake yang mengingatkannya bahwa di luar cukup dingin saat malam hari.Seperti yang mereka pernah rencanakan sebelumnya, bahwa pada penghujung tahun mereka akan melakukan makan malam dengan semua penghuni rumah—baik itu pelayan atau pun sopir dan security—kemudian menutupnya dengan menyalakan kembang api.Sederhana saja ... tapi menjadi luar biasa saat mereka melaluinya dengan orang yang tepat.Saat suara letusan kembang api mulai bergema di seberang sana, Laura merapatkan tangannya. Matanya terpejam saat batinnya melangitkan doa, ‘Memang tahun yang sangat berat, tapi pada tahun ini aku melalui banyak hal,’ batinnya. ‘Dari keberanian untuk
Penat ... mungkin hanya itu yang dirasakan oleh Elsa sekarang ini. Ia berjalan keluar dari gerbang rumahnya dengan tanpa tujuan selain hanya ingin melihat kesibukan tetangganya yang menyiapkan diri untuk menyambut tahun baru. Sudah cukup larut, kebanyakan dari mereka telah jauh hari merencanakan untuk berkumpul bersama dengan keluarga. Yang jauh pulang, yang dekat menyiapkan sambutan. Tak seperti dirinya yang harus menghela napas dalam saat melihat muda-mudi yang antusias dengan kembang api berbagai ragam yang akan mereka nyalakan dalam beberapa saat yang akan datang. “Sepertinya hanya aku yang akan merayakan tahun baru sendirian,” katanya saat ia mengayunkan kakinya yang mulai letih berjalan untuk kembali ke rumah. Memasuki halaman, ia tersenyum masam. Di dalam rumah ini hanya ada dirinya seorang. Jika tahu ayah dan ibunya akan lebih lama di luar kota ... mungkin Elsa tadi akan menerima ajakan Laura untuk bergabung bersamanya. “Tidak apa-apa,” kata Elsa menghibur diri. “Aku sud
Setelah menarik diri dari pelukan Zafran, mereka duduk di teras rumah. Tak hentinya saling memandangi, seolah kembang api yang berulang kali meledak di sepanjang awal tahun ini terkesampingkan keindahannya.Sesak akibat rindu di dalam hati keduanya seperti menghilang dan lebur mejadi debu. “Kamu tidak akan mengatakan sesuatu?” tanya Zafran, mengguncang lirih tangan Elsa yang berada dalam genggamannya untuk membuka percakapan setelah hening yang terlampau lama.“Katakan sesuatu, Elsa,” ucapnya. “Kamu boleh marah atau memakiku sesuka hatimu.”“Benar,” Elsa menganggukkan kepalanya. “Harusnya aku memakimu, tapi entah kenapa begitu melihatmu rasanya yang ingin aku katakan justru, ‘maaf.’”“Maaf?” ulang Zafran karena itu terdengar aneh di telinganya. “Kenapa kamu harus meminta maaf?”“Karena mungkin sikapku saat kita jauh sangat membebanimu.”“Tidak,” tolak Zafran. “Justru karena kamu bersikap seperti itu aku masih percaya bahwa perasaanmu padaku tidak berubah, Sa. Sebaliknya ... mungkin k
Elsa tertegun di tempatnya duduk saat Zafran merenggut tangannya dan membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. Dagu tegas pria itu jatuh di bahunya, seolah ia ingin mengatakan bahwa di bahu Elsa itulah tempat yang tepat baginya bersandar. Dalam perjalanannya yang jauh dan letih, setelah hari yang panjang yang ia kira tak akan berakhir. Elsa mengajarkan dirinya bahwa sebuah kepercayaan berdiri karena dua orang yang saling menjaga, bukan hanya salah satunya saja. Perjumpaan mereka kali ini membuka mata, kadang kala rindu bisa menjadi jahat dengan membuat dua hati menjadi tercerai-berai. “Terima kasih,” ucap Zafran setelah ia menarik dirinya dari Elsa. “Terima kasih untuk kepercayaanmu, Elsa.” Elsa membalasnya dengan seulas senyum, ia memandang Zafran yang sepasang netranya tampak berbinar. Cahaya kembang api yang meledak di kejauhan seperti phosphenes di matanya saat ia menatap Elsa. Alis Elsa berkerut saat ia bertanya, “Tapi ... jangan bilang kamu tadi baru landing dan langsung ke si
Dunia berhenti bekerja saat Laura mendengar ‘kembar’ dikatakan oleh Dokter Karel. Jarum jam seperti sedang menahan napas, membiarkan ia dan Jake sesaat dalam kebekuan sebelum apapun yang berada di sekitar mereka berubah menjadi semakin berupa-warna.“Kembar?” ulang Jake.Laura bisa mendengar suara prianya itu gemetar saat menyebutnya.“Iya, kembar,” jawab Karel tanpa ragu. “Kamu bilang kamu program hamil kembar ke Dokter Sofia, ‘kan?” tanyanya yang segera dibenarkan oleh Laura serta Jake.“Iya, Rel,” jawabnya. “Dokter Sofia bilang beliau akan cuti sementara waktu jadi kami datang padamu. Tapi kami tidak menyangka kalau program kami bersamanya akan berhasil.”Karel menepuk lengan Jake, kemudian menunjuk pada layar monitor besar yang ada di dekatnya, “Ini kantong satu,” katanya. “Ini kantong yang ke dua. Laura mengandung anak kembar. Program kalian berhasil.”Jake menggigit bibirnya saat ia memandang Laura sebelum berpindah pada layar monitor yang menjadi saksi keinginan dan harapan me
“Laura?” sebut Fidel saat wanita itu lebih dulu menghentikan langkahnya sehingga Erick juga terpaksa berhenti. Alih-alih lekas menjawabnya, Laura justru tercenung. Kedua tangannya yang tengah berpangku di atas paha terasa dingin saat menjumpai wajah nelangsa Fidel yang sama seperti saat pertemuan terakhir mereka beberapa waktu yang lalu. Matanya yang cekung masih mengisyaratkan hal yang sama, sebuah permintaan tolong. Ekspresi yang dulu tak pernah dilihat oleh Laura sebab sepanjang pertemuan mereka pasca wanita itu kembali ke Jakarta, setiap kali mereka bertatap muka Fidel hanya menunjukkan wajahnya yang penuh dengan kemenangan saja, bukan yang lainnya. “Kalian di sini juga?” tanya Erick pada Laura serta Jake. “Ya,” jawab Jake, akhirnya memilih untuk membuka suara meski Laura melihat rahang tegasnya mengetat dan sepasang matanya hanya lurus pada Erick. Seolah ia sama sekali tak sudi untuk melihat mantan pacarnya itu! “Apa yang kalian lakukan di rumah sakit?” tanya Fidel, ia mem