Penat ... mungkin hanya itu yang dirasakan oleh Elsa sekarang ini. Ia berjalan keluar dari gerbang rumahnya dengan tanpa tujuan selain hanya ingin melihat kesibukan tetangganya yang menyiapkan diri untuk menyambut tahun baru. Sudah cukup larut, kebanyakan dari mereka telah jauh hari merencanakan untuk berkumpul bersama dengan keluarga. Yang jauh pulang, yang dekat menyiapkan sambutan. Tak seperti dirinya yang harus menghela napas dalam saat melihat muda-mudi yang antusias dengan kembang api berbagai ragam yang akan mereka nyalakan dalam beberapa saat yang akan datang. “Sepertinya hanya aku yang akan merayakan tahun baru sendirian,” katanya saat ia mengayunkan kakinya yang mulai letih berjalan untuk kembali ke rumah. Memasuki halaman, ia tersenyum masam. Di dalam rumah ini hanya ada dirinya seorang. Jika tahu ayah dan ibunya akan lebih lama di luar kota ... mungkin Elsa tadi akan menerima ajakan Laura untuk bergabung bersamanya. “Tidak apa-apa,” kata Elsa menghibur diri. “Aku sud
Setelah menarik diri dari pelukan Zafran, mereka duduk di teras rumah. Tak hentinya saling memandangi, seolah kembang api yang berulang kali meledak di sepanjang awal tahun ini terkesampingkan keindahannya.Sesak akibat rindu di dalam hati keduanya seperti menghilang dan lebur mejadi debu. “Kamu tidak akan mengatakan sesuatu?” tanya Zafran, mengguncang lirih tangan Elsa yang berada dalam genggamannya untuk membuka percakapan setelah hening yang terlampau lama.“Katakan sesuatu, Elsa,” ucapnya. “Kamu boleh marah atau memakiku sesuka hatimu.”“Benar,” Elsa menganggukkan kepalanya. “Harusnya aku memakimu, tapi entah kenapa begitu melihatmu rasanya yang ingin aku katakan justru, ‘maaf.’”“Maaf?” ulang Zafran karena itu terdengar aneh di telinganya. “Kenapa kamu harus meminta maaf?”“Karena mungkin sikapku saat kita jauh sangat membebanimu.”“Tidak,” tolak Zafran. “Justru karena kamu bersikap seperti itu aku masih percaya bahwa perasaanmu padaku tidak berubah, Sa. Sebaliknya ... mungkin k
Elsa tertegun di tempatnya duduk saat Zafran merenggut tangannya dan membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. Dagu tegas pria itu jatuh di bahunya, seolah ia ingin mengatakan bahwa di bahu Elsa itulah tempat yang tepat baginya bersandar. Dalam perjalanannya yang jauh dan letih, setelah hari yang panjang yang ia kira tak akan berakhir. Elsa mengajarkan dirinya bahwa sebuah kepercayaan berdiri karena dua orang yang saling menjaga, bukan hanya salah satunya saja. Perjumpaan mereka kali ini membuka mata, kadang kala rindu bisa menjadi jahat dengan membuat dua hati menjadi tercerai-berai. “Terima kasih,” ucap Zafran setelah ia menarik dirinya dari Elsa. “Terima kasih untuk kepercayaanmu, Elsa.” Elsa membalasnya dengan seulas senyum, ia memandang Zafran yang sepasang netranya tampak berbinar. Cahaya kembang api yang meledak di kejauhan seperti phosphenes di matanya saat ia menatap Elsa. Alis Elsa berkerut saat ia bertanya, “Tapi ... jangan bilang kamu tadi baru landing dan langsung ke si
Dunia berhenti bekerja saat Laura mendengar ‘kembar’ dikatakan oleh Dokter Karel. Jarum jam seperti sedang menahan napas, membiarkan ia dan Jake sesaat dalam kebekuan sebelum apapun yang berada di sekitar mereka berubah menjadi semakin berupa-warna.“Kembar?” ulang Jake.Laura bisa mendengar suara prianya itu gemetar saat menyebutnya.“Iya, kembar,” jawab Karel tanpa ragu. “Kamu bilang kamu program hamil kembar ke Dokter Sofia, ‘kan?” tanyanya yang segera dibenarkan oleh Laura serta Jake.“Iya, Rel,” jawabnya. “Dokter Sofia bilang beliau akan cuti sementara waktu jadi kami datang padamu. Tapi kami tidak menyangka kalau program kami bersamanya akan berhasil.”Karel menepuk lengan Jake, kemudian menunjuk pada layar monitor besar yang ada di dekatnya, “Ini kantong satu,” katanya. “Ini kantong yang ke dua. Laura mengandung anak kembar. Program kalian berhasil.”Jake menggigit bibirnya saat ia memandang Laura sebelum berpindah pada layar monitor yang menjadi saksi keinginan dan harapan me
“Laura?” sebut Fidel saat wanita itu lebih dulu menghentikan langkahnya sehingga Erick juga terpaksa berhenti. Alih-alih lekas menjawabnya, Laura justru tercenung. Kedua tangannya yang tengah berpangku di atas paha terasa dingin saat menjumpai wajah nelangsa Fidel yang sama seperti saat pertemuan terakhir mereka beberapa waktu yang lalu. Matanya yang cekung masih mengisyaratkan hal yang sama, sebuah permintaan tolong. Ekspresi yang dulu tak pernah dilihat oleh Laura sebab sepanjang pertemuan mereka pasca wanita itu kembali ke Jakarta, setiap kali mereka bertatap muka Fidel hanya menunjukkan wajahnya yang penuh dengan kemenangan saja, bukan yang lainnya. “Kalian di sini juga?” tanya Erick pada Laura serta Jake. “Ya,” jawab Jake, akhirnya memilih untuk membuka suara meski Laura melihat rahang tegasnya mengetat dan sepasang matanya hanya lurus pada Erick. Seolah ia sama sekali tak sudi untuk melihat mantan pacarnya itu! “Apa yang kalian lakukan di rumah sakit?” tanya Fidel, ia mem
“Dia tidak ditemukan di sekitar Erick berada?” tanya Laura memperjelas pada Jake yang bersiap mengenakan seat belt-nya kembali.“Iya, Sayang.”“Bagaimana bisa?” tanya Laura keheranan, alisnya berkerut seolah sedang mereka ulang adegan yang paling mungkin terjadi pada dua manusia itu.“Dilihat dari bagaimana muaknya Fidel hidup bersama dengan Erick, sepertinya dia memberontak dan melakukan penyerangan,” jawab Jake dengan alis yang sama berkerutnya. “Mereka pasti bertengkar sebelum insiden. Tadi aku lihat mobil yang dikemudikan oleh Erick itu berbalik berlawanan arah dan menghantam sisi kemudi sampai hampir terbalik. Fidel kemungkinan juga luka-luka, tapi selamat dan melarikan diri.”Laura menegang di tempatnya duduk.Situasi di sekitar mereka berubah menjadi suram tepat setelah penjelasan Jake usai ia dengar.Saat Laura membuka kaca mobil di sisinya, orang-orang mulai bergerak karena polisi sudah datang dan arus kembali lancar.Selentingan singgah di telinganya bahwa mobil yang ada di
Sudah hampir malam saat Fidel membawa langkahnya melewati pintu gerbang rumah orang tuanya. Harapannya hanya satu saat ia tiba di sini, ‘Semoga mereka mau menerimaku.’ Ia sudah pergi ke rumah Varo—anak sopir ayahnya—yang ternyata pria itu sudah dibawa polisi. Keluarganya menyebut bahwa Varo sempat ditarik dari luar kota untuk kembali bekerja di kantor utama HZ Empire sebelum semuanya berubah berantakan. Fidel pikir, ‘Apa anak itu ditangkap karena Jake tahu apa yang dia lakukan?’ Padahal ia hanya ingin menumpang beristirahat dan berteduh, atau meminta segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Tapi ia sadar tidak ada tempat yang bisa ia tuju. Dan kembali ke rumah ini adalah pilihan terakhirnya. Tangannya gemetar saat ia memencet bel yang tak jauh dari pintu setelah memasukkan pin pada gagangnya, tetapi tidak berhasil. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya sebuah suara yang datang dari belakang Fidel. Saat ia memutar tubuhnya, sepasang mata ayahnya yang tajam menghu
Kedua bahu Malika merosot mendengar itu. Ia menunduk selama beberapa saat sebelum kembali memandang Fidel.Sepasang matanya yang basah juga menatap Johan. Pria yang rambutnya bersemburat putih itu berhenti dari langkahnya. Kakinya terpancang di paving halaman begitu mendengar ‘Aku hamil’ yang dikatakan oleh anak perempuannya.“Aku hamil, Ma ....” kata Fidel sekali lagi. “Aku sungguh tidak bisa hidup dengan Erick karena—““Dia pasti punya alasan melakukannya, Fidel,” sahut Johan. Suara pria itu sedikit gemetar. Seraknya terdengar menusuk hatinya hingga tak bisa berucap. “Apa yang kamu lakukan padanya sampai dia bersikap seperti itu?” lanjutnya. “Sejak kedatangannya ke rumah ini yang mengatakan dia ingin menemuimu bahkan setelah dia baru saja menginjakkan kakinya di Jakarta, Papa tahu ada hal yang kamu lakukan dengannya yang Papa atau Mamamu ini tidak mengetahuinya.”Fidel meremas jari-jarinya, kebas dan terasa kesemutan saat bibirnya terkunci tak bisa memberi jawaban. “Kalau kamu tida