Sudah hampir malam saat Fidel membawa langkahnya melewati pintu gerbang rumah orang tuanya. Harapannya hanya satu saat ia tiba di sini, ‘Semoga mereka mau menerimaku.’ Ia sudah pergi ke rumah Varo—anak sopir ayahnya—yang ternyata pria itu sudah dibawa polisi. Keluarganya menyebut bahwa Varo sempat ditarik dari luar kota untuk kembali bekerja di kantor utama HZ Empire sebelum semuanya berubah berantakan. Fidel pikir, ‘Apa anak itu ditangkap karena Jake tahu apa yang dia lakukan?’ Padahal ia hanya ingin menumpang beristirahat dan berteduh, atau meminta segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Tapi ia sadar tidak ada tempat yang bisa ia tuju. Dan kembali ke rumah ini adalah pilihan terakhirnya. Tangannya gemetar saat ia memencet bel yang tak jauh dari pintu setelah memasukkan pin pada gagangnya, tetapi tidak berhasil. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya sebuah suara yang datang dari belakang Fidel. Saat ia memutar tubuhnya, sepasang mata ayahnya yang tajam menghu
Kedua bahu Malika merosot mendengar itu. Ia menunduk selama beberapa saat sebelum kembali memandang Fidel.Sepasang matanya yang basah juga menatap Johan. Pria yang rambutnya bersemburat putih itu berhenti dari langkahnya. Kakinya terpancang di paving halaman begitu mendengar ‘Aku hamil’ yang dikatakan oleh anak perempuannya.“Aku hamil, Ma ....” kata Fidel sekali lagi. “Aku sungguh tidak bisa hidup dengan Erick karena—““Dia pasti punya alasan melakukannya, Fidel,” sahut Johan. Suara pria itu sedikit gemetar. Seraknya terdengar menusuk hatinya hingga tak bisa berucap. “Apa yang kamu lakukan padanya sampai dia bersikap seperti itu?” lanjutnya. “Sejak kedatangannya ke rumah ini yang mengatakan dia ingin menemuimu bahkan setelah dia baru saja menginjakkan kakinya di Jakarta, Papa tahu ada hal yang kamu lakukan dengannya yang Papa atau Mamamu ini tidak mengetahuinya.”Fidel meremas jari-jarinya, kebas dan terasa kesemutan saat bibirnya terkunci tak bisa memberi jawaban. “Kalau kamu tida
Beberapa hari berlalu setelah Laura mengetahui ia akan memiliki anak kembar, Laura mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-teman dan juga staf yang bekerja di butiknya. Tapi yang paling heboh rupanya saja datang dari sepasang suami dan istri yang merasa berjasa atas berhasilnya program hamil kembar yang dilakukannya bersama dengan Jake. Siapa lagi jika bukan Farren dan Hani? Mereka datang ke rumah Laura siang hari ini dengan membawakan sebuah buket bunga yang sangat besar dan cantik. Ada kue yang mereka berikan khusus untuk Laura. Warnanya ungu, Farren bilang itu mirip dengan hal yang diinginkan oleh Laura pertama kali, ubi Cilembu. “Terima kasih sudah berkunjung,” kata Laura saat ia dan Jake mengantar suami-istri muda itu melewati pintu keluar. “Maaf belum bisa pergi ke rumah kalian karena masih sering mual,” lanjutnya. “Tidak apa-apa, Nona Laura,” kata Hani yang masih saling bergandengan tangan bersama dengannya. “Kondisi setiap ibu hamil ‘kan berbeda-beda. Apalagi Nona
'Mereka sudah pernah memiliki anak?' batin Laura penuh dengan rasa terkejut tepat setelah Erick berhenti bicara.Pria itu sepertinya tidak berbohong. Tawa mirisnya bicara lebih banyak bahwa ia kecewa tetapi di hatinya tak bisa menampik bahwa ia masih memiliki cinta untuk seorang wanita bernama Fidel."Kami menikah dengan baik-baik," ucap Erick lagi. "Tapi setelah melahirkan anak kami yang seorang down syndrome, dia menunjukkan sikap yang berbeda. Suatu hari saat aku pulang bekerja, dia tidak ada di rumah dan meninggalkan Christopher bersama dengan seorang baby sitter saja. Lalu setelah itu dia tidak pernah bisa aku hubungi. Dia melarikan diri."Erick menghela dalam napasnya, wajahnya terangkat dari yang semula tertunduk. Menatap Laura, Jake serta Roy yang berdiri tak jauh darinya dan menegang di tempat mereka berada.Ketegangan masih belum usai saat pria itu menyebut bahwa setelah kepergian Fidel ia mulai mendapati bukti bahwa tak hanya sekali wanita itu berusaha menggugurkan kandunga
“Iya, Jake,” jawab Laura. “Ada banyak orang di dunia ini yang sebenarnya mereka sadar terlibat dalam hubungan yang toxic tetapi tidak bisa pergi dari lingkaran itu karena memiliki ikatan emosi yang kuat dengan pasangannya. Pada Fidel ... seandainya dia merasakan betapa kejamnya hidup sendirian dengan tidak memiliki tujuan, dia bisa saja memilih kembali pada Erick, ‘kan?” Jake tentu saja membenarkannya. Ia setuju dengan yang disampaikan oleh istrinya. Stockholm syndrome namanya. “Tapi jika benar seperti itu, justru akan sedikit menguntungkan bukan?” tanya Jake, meraih tangan Laura, memberi kecupan di punggung tangannya dengan seulas senyum manis. “Maka Erick akan segera mengatakan bahwa wanita itu di sana, dan akan ada tindakan penangkapan.” “Asalkan bukan yang kedua,” tanggap Laura. “Aku tidak ingin dia mengakhiri hidupnya begitu saja, setidaknya dia harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah dia lakukan padaku, atau pada orang-orang yang bahkan sampai kehilangan anggota keluargan
“Lihat si pincang itu! Suaminya sedang bersama wanita lain, tapi dia tidak bisa melakukan apapun!”Laura, yang saat ini sedang berada di pesta anniversary mertuanya, tersentak saat mendengar bisikan dari arah belakangnya. Ia segera meraih alat bantu jalan berjenis elbow crutch di samping kursi saat matanya menangkap sosok pria tinggi menjulang yang mengenakan setelan jas hitam di tengah pesta. Pria itu tengah berdiri di depan seorang wanita berambut panjang yang tampak anggun. Itu adalah suaminya, Jake, bersama dengan mantan kekasihnya, Fidel. “Apa kabar, Fi?” “Baik, Jake. Kamu sendiri bagaimana?” tanya Fidel dengan nada manja.“Baik juga.”Suara Jake terdengar manis di telinga Laura saat bertanya pada Fidel, sangat berbeda dengan nada dingin yang selalu ditujukan kepada dirinya. Keduanya memang pernah menjalin hubungan istimewa, sebelum Fidel pergi ke luar negeri saat mengetahui bahwa Jake menikahi Laura untuk memenuhi wasiat kakeknya, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab ka
Puas melampiaskan emosi, ibu Laura mendelik ke arah sang putri dengan ekspresi keji. “Kalau sampai kamu diceraikan karena mandul, aku tidak sudi lagi menganggapmu sebagai anak!”Kaki berbalut stiletto milik ibunya melangkah pergi setelah membuat Laura jatuh. Ia menatap elbow crutch miliknya yang untungnya hanya tergores sedikit.Dengan tangan kebas ia berusaha meraihnya, mengabaikan pandangan anggota keluarga yang hanya menjadi penonton saat ia berjuang seorang diri hanya untuk menegakkan tubuhnya.“Kamu baik-baik saja?” tanya sebuah suara dari sebelah kanannya. Saat Laura menoleh, ia menjumpai seorang pria yang menatapnya dengan wajah yang tampak cemas.Mungkin karena Laura hanya terdiam, pria tinggi menjulang yang mengenakan setelan jas hitam itu bergegas mendekat padanya dengan seulas senyum.“Izinkan aku membantumu, Nona.” Meski sepasang mata pria itu tampak seperti serigala, tetapi suaranya terdengar hangat.Kakinya yang panjang merendah dalam hitungan detik ketika ia berlutut
“Jake, maksudku—” Laura berhenti bicara saat Jake berjalan meninggalkannya begitu saja. “Jake!” panggil Laura lagi sambil berusaha mengimbangi langkah suaminya, tetapi tidak bisa. Punggung bidang Jake menghilang di balik pintu kamar yang tertutup dengan sedikit kasar. Laura menghela napas pasrah, tidak lagi berusaha mengejar pria itu. Jake pasti telah salah paham atas ucapan putus asa Laura, dan menganggapnya tak berusaha lebih keras agar mereka memiliki anak.Dengan kaki yang melangkah tertatih-tatih, Laura berjalan menuju ruang makan. Melepas tongkat sikunya, seorang perempuan yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya datang menghampiri.“Selamat pagi, Nona Laura.”“Pagi, Tania,” balasnya pada gadis berambut sebahu itu. “Mau makan sekarang?” tawarnya sopan.“Boleh.”“Akan saya ambilkan sebentar.”“Untukku saja, Jake sudah pergi.”“Baik, Nona.”Laura melihat kepergian Tania, gadis yang dulunya bekerja untuk Ammar, kakeknya Jake. Setelah Ammar wafat, gadis itu pindah ke sini k