"Kamu ada tamu rupanya?" tanya gadis itu—Xandara—saat berjalan mendekat pada Elsa serta Zafran. Pandangannya bergantian memindai keduanya, seolah meminta penjelasan. "Tidak," jawab Zafran lebih dulu. "Dia bukan tamu, kami memang baru saja pergi." Gadis itu mengangguk beberapa kali, senyum terkembang saat ia bertanya, "Siapa, Zaf?" Zafran menoleh pada Elsa, kemudian mengangkat tangan mereka yang saling bergandengan agar cincin yang berada di jari manis mereka dapat dilihat olehnya. "Tunanganku, Xan," jawab Zafran. "Namanya Elsa." Zafran lalu menoleh pada Elsa dan menyambung kalimatnya, "Elsa, ini anak partner bisnisku, namanya Xandara." Elsa mengarahkan tangannya ke depan, pada Xandara yang tampak ragu menerimanya. "Halo," sapa Elsa lebih dulu, Xandara membalas dengan sebuah 'Halo' yang sama. "Aku baru tahu kamu sudah bertunangan," ucap Xandara, manik gadis itu menatap Zafran dengan raut wajah yang tak bisa Elsa artikan. "Iya, sebelum aku pergi ke Edinburgh," jawabnya. "Tapi
Zafran sedang berada di RY Holdings, bersama dengan sekretarisnya—Andy—mereka baru saja mengadakan pertemuan dengan beberapa rekannya yang dalam waktu dekat akan merenovasi mall.Ia melonggarkan dasi yang ada di kerah kemejanya saat memeriksa ponsel dan membaca pesan masuk dari Elsa.[Aku akan tiba dalam lima menit.]Zafran pun membalasnya dengan cepat.[Naik apa? Aku bilang akan menjemputmu, 'kan][Dengan temanku, Zaf. Tidak apa-apa, sekalian arahnya sama.]Zafran tersenyum saat kembali membalasnya.[Baiklah. Aku dan Andy baru selesai meeting, kita bertemu di lobi.]Sore hari ini, rencananya mereka akan pergi ke butik milik Laura untuk konsultasi pertama mereka. "Kita pergi ke tempat Nona Elsa sekarang, Tuan Zafran?" tanya Andy yang berjalan di sebelah kirinya."Tidak perlu, Ndy. Dia dengan temannya yang ke sini. Sudah hampir sampai," jawabnya. "Tolong antar kami ke butik Laura ya?""Baik.""Kamu tidak ada jadwal kencan dengan pacarmu, 'kan?""Tidak ada, dia sibuk dengan skripsi," j
Karena sudah cukup sore, tidak terlalu ramai di butik milik Laura, ia yang berada di dalam ruang kerjanya menoleh ke arah pintu yang terbuka. Semula ia mengira yang datang adalah Elsa dan Zafran karena memang mereka memiliki janji untuk konsultasi. Tapi bukan, ia justru menjumpai wajah Jake dan senyumnya yang manis saat menunjukkan kepalanya lebih dulu dari balik pintu. "Laura," sapanya. Yang membuat Laura bangun dari duduknya. Ia membalas pelukan Jake yang berbisik, "Bahkan kamu masih cantik padahal sudah sore begini." Laura tak serta merta menjawabnya karena ia lebih dulu memukul dada Jake seraya mengingatkan, "Tidak akan terjadi apa-apa di dalam ruang kerjaku sekalipun kamu memujiku begitu, Tuan Jake!" "Aku tidak memikirkan apapun," tanggap Jake. "Tidak bolehkah aku memuji istriku sendiri?" "Sebentar coba kamu pegang ini," ucap Laura seraya meraih pergelangan tangan Jake dan meletakkan telapaknya yang besar di perutnya. "Mereka aktif bergerak sejak tadi." "Oh ya?" Laura m
"Laura benar." Elsa menggumam seorang diri di dalam kamar pada malam harinya. Ia baru saja diantar pulang oleh Zafran dan mengistirahatkan dirinya seraya membaca portal gosip online yang mengatakan bahwa 'Kisah Xandara Kim dan Zafran Almair Roya tersandung kehadiran orang ketiga!' Isi artikel lengkap dengan sebuah foto, menyebutkan bahwa 'seorang reporter' telah mengikuti Zafran yang pergi bersama dengan seorang wanita ke butik—yang terkenal dengan gaun pernikahannya yang cantik dan telah dikenakan oleh banyak artis serta model. Tentu saja ... 'wanita' yang disebutkan di dalam berita itu adalah dirinya, Elsa. Saat ia membaca lebih jauh artikel-artikel tersebut, panggilan masuk datang dari Laura. Saat Elsa menerimanya, suara manis Laura dari seberang sana segera saja bertanya, "Apakah kamu sudah tahu?" "Iya, Lau," jawabnya. "Persis seperti yang kamu katakan kalau aku akan menjadi orang ketiga seolah aku yang merusak hubungan mereka." "Yang sabar ya ... orang-orang di luar itu ha
Xandara benar-benar merasa hari ini tidak akan menjadi hari yang baik karena ia masih harus bertemu dengan banyak orang yang kerapkali berbisik bahwa dirinyalah yang ditolak oleh Zafran. Bahwa sebenarnya ... tak pernah ada hubungan di antara mereka berdua melainkan semua itu hanya dirinya saja yang suka menjadi pusat perhatian.Setelah ia memasang wajah yang manis meski hatinya sudah terpecah-belah di bincang santai pada sebuah forum, jadwal masih belum berakhir. Gadis itu memiliki kegiatan lain dengan melakukan sebuah interview bersama seorang beautypreneur dalam satu jam yang akan datang.Ia tengah menyesap kopi dingin yang ada di atas meja di salah satu kafe yang dipilih oleh asistennya dalam perjalanan ke tempat pertemuan. Alisnya berkerut, jemarinya sejak pagi sibuk menelusuri apakah rumor kencan dengan Zafran itu menuai banyak respon.'Kenapa hampir tidak ada?' gumamnya saat ia nyaris tak menemukan lagi artikel-artikel yang semalam gencar menyebut Elsa sebagai duri di antara
Jake menjaga nada bicaranya agar tak meninggi. Karena jika hal itu ia lakukan, Laura bisa saja menyebutnya keberatan, dan berakhir dengan istrinya itu yang merajuk. Tapi, saat tanya ‘Sekarang’ yang keluar dari bibirnya disambut oleh sebuah anggukan dari Laura, Jake benar-benar frustrasi. “Sayang,” panggil Jake, meraih pergelangan tangan Laura dan mengajaknya untuk duduk terlebih dahulu di tepi ranjang. “Apakah kamu benar-benar ingin minum itu sekarang?” “Iya,” jawab Laura. “Panas sekali rasanya, Jake. Aku ingin minum sesuatu yang dingin dan pergi ke pantai.” “Tapi ini sudah sangat malam, dan terlalu dini untuk kita pergi ke pantai atau minum es kelapa, Laura,” terang Jake. Alisnya berkerut, mencoba melobi istrinya yang sepertinya memang tak berbohong saat mengatakan bahwa ia sedang kepanasan. Rambut bagian depannya yang sedikit basah oleh keringat telah menjelaskan segalanya bahwa kehamilan pada trimester keduanya ini mengubah suhu tubuhnya. Tak jarang juga Jake mendengarnya me
“Terima kasih, tapi bisakah kamu berhenti menciumku saat kita ada di tempat umum?” tanya Laura setelah memukul lirih dadanya. “Kenapa memangnya?” tanya Jake balik. “Kamu tidak suka?”“Bukannya tidak suka, tapi aku malu dilihat oleh orang lain.”“Biarkan saja, mereka juga bisa mencium pasangan mereka sendiri kalau mau,” jawab Jake tanpa beban.Pandangan pria itu berpindah ke perut Laura, sekali lagi berbisik, “Nanti, kalau kalian sudah lahir ... Papa akan mengajak kalian ke sini lagi,” katanya. “Janji untuk bertemu nanti dalam keadaan sehat ya?”“Kalau kita ke sini lagi, bolehkah aku nanti memakai bikini?” Tangan Jake yang semula mengusap perutnya dengan lembut tiba-tiba berhenti.Laura bisa mendengar dengus napas Jake saat pria itu menarik tangannya dan menjawab Laura dengan tersenyum, “Boleh, Sayangku.”Laura mengedipkan matanya lebih dari satu kali mendengar itu. “Sungguh?” Ia tak percaya. “Aku pikir kamu akan kesal karena aku memakai bikini?”“Pakailah ... aku pandai menghajar or
“Ayo, Sayang!” ajak Jake. Suara baritonnya yang hangat menyadarkan Laura sehingga ia dengan cepat menoleh pada Jake, agar tak terus terpaku pada orang tuanya yang berada di sudut lain lobi. Tidak ada yang berbicara selama mereka menuju ke kamar hotel yang mereka pesan. Jake memandang Laura yang terdiam sepanjang waktu bahkan ketika Jake memintanya agar mandi terlebih dahulu. Atau saat Jake menjumpainya duduk di atas ranjang saat ia baru saja keluar dari kamar mandi. Istrinya itu tengah menghibur diri dengan sibuk di ponselnya. Meski tak mengatakan apapun atau mengeluh tentang bagaimana ketus dan dingin perlakuan orang tuanya, tapi Jake tahu sebenarnya Laura diam-diam menangis. Jake sempat mendengar isak lirihnya saat ia berada di dalam kamar mandi. “Laura,” panggil Jake. “Iya?” Jake tersenyum saat ia menyusulnya untuk duduk di atas tempat tidur. “Kamu sedang memikirkan ayah dan ibumu?” tanya Jake yang dengan cepat dijawab oleh Laura lewat sebuah anggukan. Menggeleng d