Jake menjaga nada bicaranya agar tak meninggi. Karena jika hal itu ia lakukan, Laura bisa saja menyebutnya keberatan, dan berakhir dengan istrinya itu yang merajuk. Tapi, saat tanya ‘Sekarang’ yang keluar dari bibirnya disambut oleh sebuah anggukan dari Laura, Jake benar-benar frustrasi. “Sayang,” panggil Jake, meraih pergelangan tangan Laura dan mengajaknya untuk duduk terlebih dahulu di tepi ranjang. “Apakah kamu benar-benar ingin minum itu sekarang?” “Iya,” jawab Laura. “Panas sekali rasanya, Jake. Aku ingin minum sesuatu yang dingin dan pergi ke pantai.” “Tapi ini sudah sangat malam, dan terlalu dini untuk kita pergi ke pantai atau minum es kelapa, Laura,” terang Jake. Alisnya berkerut, mencoba melobi istrinya yang sepertinya memang tak berbohong saat mengatakan bahwa ia sedang kepanasan. Rambut bagian depannya yang sedikit basah oleh keringat telah menjelaskan segalanya bahwa kehamilan pada trimester keduanya ini mengubah suhu tubuhnya. Tak jarang juga Jake mendengarnya me
“Terima kasih, tapi bisakah kamu berhenti menciumku saat kita ada di tempat umum?” tanya Laura setelah memukul lirih dadanya. “Kenapa memangnya?” tanya Jake balik. “Kamu tidak suka?”“Bukannya tidak suka, tapi aku malu dilihat oleh orang lain.”“Biarkan saja, mereka juga bisa mencium pasangan mereka sendiri kalau mau,” jawab Jake tanpa beban.Pandangan pria itu berpindah ke perut Laura, sekali lagi berbisik, “Nanti, kalau kalian sudah lahir ... Papa akan mengajak kalian ke sini lagi,” katanya. “Janji untuk bertemu nanti dalam keadaan sehat ya?”“Kalau kita ke sini lagi, bolehkah aku nanti memakai bikini?” Tangan Jake yang semula mengusap perutnya dengan lembut tiba-tiba berhenti.Laura bisa mendengar dengus napas Jake saat pria itu menarik tangannya dan menjawab Laura dengan tersenyum, “Boleh, Sayangku.”Laura mengedipkan matanya lebih dari satu kali mendengar itu. “Sungguh?” Ia tak percaya. “Aku pikir kamu akan kesal karena aku memakai bikini?”“Pakailah ... aku pandai menghajar or
“Ayo, Sayang!” ajak Jake. Suara baritonnya yang hangat menyadarkan Laura sehingga ia dengan cepat menoleh pada Jake, agar tak terus terpaku pada orang tuanya yang berada di sudut lain lobi. Tidak ada yang berbicara selama mereka menuju ke kamar hotel yang mereka pesan. Jake memandang Laura yang terdiam sepanjang waktu bahkan ketika Jake memintanya agar mandi terlebih dahulu. Atau saat Jake menjumpainya duduk di atas ranjang saat ia baru saja keluar dari kamar mandi. Istrinya itu tengah menghibur diri dengan sibuk di ponselnya. Meski tak mengatakan apapun atau mengeluh tentang bagaimana ketus dan dingin perlakuan orang tuanya, tapi Jake tahu sebenarnya Laura diam-diam menangis. Jake sempat mendengar isak lirihnya saat ia berada di dalam kamar mandi. “Laura,” panggil Jake. “Iya?” Jake tersenyum saat ia menyusulnya untuk duduk di atas tempat tidur. “Kamu sedang memikirkan ayah dan ibumu?” tanya Jake yang dengan cepat dijawab oleh Laura lewat sebuah anggukan. Menggeleng d
“Saat Anda malu karena dibicarakan oleh banyak orang bahwa Laura tidak pantas menjadi menantu dari keluarga Heizt karena kondisinya yang tidak sempurna, percayalah ... Laura lebih menderita daripada itu,” kata Jake. Dua orang di seberang meja itu terdiam tak berani menyelanya.“Saya juga bukan suami yang sempurna, Ma, Pa,” akunya. “Banyak kesalahan yang saya lakukan padanya yang belakangan ini mulai saya perbaiki. Saya harap Mama dan Papa juga begitu. Tolong bersikaplah baik sesekali pada istri saya, dia sedang hamil sekarang.”Jake tersenyum meski hatinya tidak. Benaknya sangat ingin marah setiap kali mengingat samar isak tangis Laura saat istrinya itu diam-diam menitikkan air mata saat ia tak ada.“Jika Mama dan Papa masih mengakui anakku dan Laura nanti sebagai cucu, biar aku katakan ini pada Anda ... kami akan memiliki anak kembar.”Mata Agnia dan Hariz melebar mendengar lata ‘kembar’ disebutkan oleh Jake.“Kembar, Jake?” ulang Agnia.“Iya.”“Kalian sudah memeriksakannya?”Jake m
“Pakailah, Laura,” ucap sang Ibu. “Bawa saja, tidak usah dikembalikan.” Laura mundur satu langkah. Benaknya penuh dengan banyak percakapan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Penuh tanya, mengapa ibunya tiba-tiba berubah padahal semalam saat mereka bertemu Laura diperlakukan dengan dingin dan dianggap tidak ada. “T-tidak perlu, Ma,” jawab Laura. “Terima kasih.” Laura menunduk dengan sopan di hadapan Agnia serta Hariz sebelum berjalan lebih dulu meninggalkan mereka. Sedangkan Jake yang masih tertahan di sana memandang ayah dan ibu mertuanya itu seraya berujar, “Saya pun juga membutuhkan waktu untuk mendapatkan maaf darinya,” ucapnya. “Saya harap Mama dan Papa tidak lelah untuk mencobanya. Terima kasih sudah mempertimbangkan yang saya katakan semalam.” Jake memandang kepergian Laura yang sudah cukup jauh darinya. “Sayang, tunggu sebentar!” serunya. Berlari menyusul Laura yang sudah membiarkan kakinya bersinggungan dengan ombak yang terpecah di bibir pantai. “Kenapa
Sepulangnya dari Bali, hal yang pertama dilakukan oleh Laura adalah mengunjungi Hani. Saat tiba di rumah Farren, mereka disambut oleh wajah pucat pasangan suami istri itu.“Selamat datang,” sapa mereka hampir bersamaan.“Wajahmu lebih pucat daripada saat Laura hampir pingsan dulu,” kata Jake, memandang Hani dan Farren bergantian saat mereka masuk dan duduk di ruang tamu.“Benarkah?” tanya Farren yang dijawab oleh Laura, “Benar, Ren. Kalian sudah memeriksakannya ke dokter?”“Sudah, Nona Laura.”“Dokter bilang apa?” tanya Laura sekali lagi, meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja saat mereka duduk berseberangan.“Dokter bilang ini adalah gejala yang normal, Nona,” jawab Hani lebih dulu. “Dan calon Papa memang bisa mengalami hal seperti ini juga karena tingkat stres yang tinggi.”“Tidak perlu pergi ke kantor dulu, istirahatlah di rumah sampai keadaanmu membaik,” ujar Jake, memandang Farren yang mengangguk penuh dengan terima kasih.“Baik, Tuan Jake.”“Tapi bagaimana sekarang?
Fidel tertunduk tak berdaya setelah ia terjaga dari kenyataan bahwa ia tak bisa melarikan diri atau mengubur kejahatan yang ia lakukan begitu saja. Takdir tak menghendakinya. ‘Apa seperti ini rasa kecewanya saat ditipu?’ batinnya. ‘Sesakit inikah dulu saat aku meminta Varo menipu ibunya Tania?’ Ia memejamkan matanya untuk menepis air mata yang mendadak datang menyayat netranya hingga perih. Dengan perutnya yang membuncit dan terasa lapar, ia meneguk ludah saat melihat seorang wanita yang menikmati sekotak makanan. Wanginya tercium, menggoda indera pembaunya sehingga Fidel memutuskan untuk pergi dari sana. Kakinya kebas, terseok-seok menenteng tas kumal berisi pakaian murah yang ia beli. Di bawah terik matahari yang menyelinap dari gumpalan awan abu-abu, ia pergi meninggalkan tempat itu. Tak jelas tujuannya, mungkin ia akan kembali tidur di sembarang tempat demi agar dianggap sebagai gelandangan, sehingga jejaknya tak akan diketahui dan terendus oleh polisi—mengingat dirinya m
“Iya,” jawab wanita Ibu panti seraya membalas Fidel dengan seulas senyum. “Anak kecil yang membawamu ke sini tadi namanya Laura.”Air mata tertahan di sudut mata Fidel, membingkai kedua sisinya hingga perih dan mengembun. Bibirnya gemetar saat ia menyadari bahwa nama itu membayanginya bahkan setelah ia pergi sejauh ini.Saat Fidel terdiam dalam renungannya, ia mulai berpikir bahwa, ‘Apakah semua orang yang memiliki nama Laura adalah perempuan yang baik hatinya?’Laura si anak kecil yang baru saja ia temui telah membawanya ke tempat yang membuatnya bisa berteduh.Dan Laura yang ia kenal dulu adalah seorang wanita baik yang berlapang dada sekalipun saat ia dihina atau berulang kali Fidel berusaha mejatuhkannya.Masih dengan benak yang bercabang, Fidel pergi menemui Laura kecil yang berada di dapur. Terlihat senang saat ia mengupas sayuran persis seperti yang dikatakan oleh Ibu panti.Fidel bergabung di sana, bersama dengan anak-anak yang lebih tua yang mungkin sudah duduk di bangku SMA.