“Ayo, Sayang!” ajak Jake. Suara baritonnya yang hangat menyadarkan Laura sehingga ia dengan cepat menoleh pada Jake, agar tak terus terpaku pada orang tuanya yang berada di sudut lain lobi. Tidak ada yang berbicara selama mereka menuju ke kamar hotel yang mereka pesan. Jake memandang Laura yang terdiam sepanjang waktu bahkan ketika Jake memintanya agar mandi terlebih dahulu. Atau saat Jake menjumpainya duduk di atas ranjang saat ia baru saja keluar dari kamar mandi. Istrinya itu tengah menghibur diri dengan sibuk di ponselnya. Meski tak mengatakan apapun atau mengeluh tentang bagaimana ketus dan dingin perlakuan orang tuanya, tapi Jake tahu sebenarnya Laura diam-diam menangis. Jake sempat mendengar isak lirihnya saat ia berada di dalam kamar mandi. “Laura,” panggil Jake. “Iya?” Jake tersenyum saat ia menyusulnya untuk duduk di atas tempat tidur. “Kamu sedang memikirkan ayah dan ibumu?” tanya Jake yang dengan cepat dijawab oleh Laura lewat sebuah anggukan. Menggeleng d
“Saat Anda malu karena dibicarakan oleh banyak orang bahwa Laura tidak pantas menjadi menantu dari keluarga Heizt karena kondisinya yang tidak sempurna, percayalah ... Laura lebih menderita daripada itu,” kata Jake. Dua orang di seberang meja itu terdiam tak berani menyelanya.“Saya juga bukan suami yang sempurna, Ma, Pa,” akunya. “Banyak kesalahan yang saya lakukan padanya yang belakangan ini mulai saya perbaiki. Saya harap Mama dan Papa juga begitu. Tolong bersikaplah baik sesekali pada istri saya, dia sedang hamil sekarang.”Jake tersenyum meski hatinya tidak. Benaknya sangat ingin marah setiap kali mengingat samar isak tangis Laura saat istrinya itu diam-diam menitikkan air mata saat ia tak ada.“Jika Mama dan Papa masih mengakui anakku dan Laura nanti sebagai cucu, biar aku katakan ini pada Anda ... kami akan memiliki anak kembar.”Mata Agnia dan Hariz melebar mendengar lata ‘kembar’ disebutkan oleh Jake.“Kembar, Jake?” ulang Agnia.“Iya.”“Kalian sudah memeriksakannya?”Jake m
“Pakailah, Laura,” ucap sang Ibu. “Bawa saja, tidak usah dikembalikan.” Laura mundur satu langkah. Benaknya penuh dengan banyak percakapan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Penuh tanya, mengapa ibunya tiba-tiba berubah padahal semalam saat mereka bertemu Laura diperlakukan dengan dingin dan dianggap tidak ada. “T-tidak perlu, Ma,” jawab Laura. “Terima kasih.” Laura menunduk dengan sopan di hadapan Agnia serta Hariz sebelum berjalan lebih dulu meninggalkan mereka. Sedangkan Jake yang masih tertahan di sana memandang ayah dan ibu mertuanya itu seraya berujar, “Saya pun juga membutuhkan waktu untuk mendapatkan maaf darinya,” ucapnya. “Saya harap Mama dan Papa tidak lelah untuk mencobanya. Terima kasih sudah mempertimbangkan yang saya katakan semalam.” Jake memandang kepergian Laura yang sudah cukup jauh darinya. “Sayang, tunggu sebentar!” serunya. Berlari menyusul Laura yang sudah membiarkan kakinya bersinggungan dengan ombak yang terpecah di bibir pantai. “Kenapa
Sepulangnya dari Bali, hal yang pertama dilakukan oleh Laura adalah mengunjungi Hani. Saat tiba di rumah Farren, mereka disambut oleh wajah pucat pasangan suami istri itu.“Selamat datang,” sapa mereka hampir bersamaan.“Wajahmu lebih pucat daripada saat Laura hampir pingsan dulu,” kata Jake, memandang Hani dan Farren bergantian saat mereka masuk dan duduk di ruang tamu.“Benarkah?” tanya Farren yang dijawab oleh Laura, “Benar, Ren. Kalian sudah memeriksakannya ke dokter?”“Sudah, Nona Laura.”“Dokter bilang apa?” tanya Laura sekali lagi, meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja saat mereka duduk berseberangan.“Dokter bilang ini adalah gejala yang normal, Nona,” jawab Hani lebih dulu. “Dan calon Papa memang bisa mengalami hal seperti ini juga karena tingkat stres yang tinggi.”“Tidak perlu pergi ke kantor dulu, istirahatlah di rumah sampai keadaanmu membaik,” ujar Jake, memandang Farren yang mengangguk penuh dengan terima kasih.“Baik, Tuan Jake.”“Tapi bagaimana sekarang?
Fidel tertunduk tak berdaya setelah ia terjaga dari kenyataan bahwa ia tak bisa melarikan diri atau mengubur kejahatan yang ia lakukan begitu saja. Takdir tak menghendakinya. ‘Apa seperti ini rasa kecewanya saat ditipu?’ batinnya. ‘Sesakit inikah dulu saat aku meminta Varo menipu ibunya Tania?’ Ia memejamkan matanya untuk menepis air mata yang mendadak datang menyayat netranya hingga perih. Dengan perutnya yang membuncit dan terasa lapar, ia meneguk ludah saat melihat seorang wanita yang menikmati sekotak makanan. Wanginya tercium, menggoda indera pembaunya sehingga Fidel memutuskan untuk pergi dari sana. Kakinya kebas, terseok-seok menenteng tas kumal berisi pakaian murah yang ia beli. Di bawah terik matahari yang menyelinap dari gumpalan awan abu-abu, ia pergi meninggalkan tempat itu. Tak jelas tujuannya, mungkin ia akan kembali tidur di sembarang tempat demi agar dianggap sebagai gelandangan, sehingga jejaknya tak akan diketahui dan terendus oleh polisi—mengingat dirinya m
“Iya,” jawab wanita Ibu panti seraya membalas Fidel dengan seulas senyum. “Anak kecil yang membawamu ke sini tadi namanya Laura.”Air mata tertahan di sudut mata Fidel, membingkai kedua sisinya hingga perih dan mengembun. Bibirnya gemetar saat ia menyadari bahwa nama itu membayanginya bahkan setelah ia pergi sejauh ini.Saat Fidel terdiam dalam renungannya, ia mulai berpikir bahwa, ‘Apakah semua orang yang memiliki nama Laura adalah perempuan yang baik hatinya?’Laura si anak kecil yang baru saja ia temui telah membawanya ke tempat yang membuatnya bisa berteduh.Dan Laura yang ia kenal dulu adalah seorang wanita baik yang berlapang dada sekalipun saat ia dihina atau berulang kali Fidel berusaha mejatuhkannya.Masih dengan benak yang bercabang, Fidel pergi menemui Laura kecil yang berada di dapur. Terlihat senang saat ia mengupas sayuran persis seperti yang dikatakan oleh Ibu panti.Fidel bergabung di sana, bersama dengan anak-anak yang lebih tua yang mungkin sudah duduk di bangku SMA.
Beberapa lama tinggal di panti asuhan itu membuat Fidel mulai terbiasa. Ia bangun pagi, membantu Arumi memasak sekaligus menyiapkan kue-kue yang mereka titipkan di pasar pagi. Untuk pertama kalinya dalam hidup Fidel, ia membawa kakinya untuk menginjak jejak basah akibat embun malam yang mengantar kakinya pergi ke kesibukan pasar. Arumi menunjukkan di mana saja mereka menitipkan makanan untuk menyambung hidup, terlepas dari ada atau tidaknya orang yang menjadi donatur, mereka tetap bergerak dan tak berpangku tangan. Beranjak siang, ia lalu pulang dengan membawa belanjaan. Sayuran untuk makan dan untuk kue mereka pisah-pisahkan sesampainya di panti. Harinya sibuk dan padat, tapi jujur saja ... Fidel merasa mendapat banyak pelajaran, bahwa seperti inilah rasanya hidup dalam kekurangan. Diam-diam ... ia berpikir, ‘Apa seperti ini rasanya keluarga Tania saat mereka jatuh dan tidak memiliki uang sepeser pun setelah aku menipunya?’ Jika sebelumnya Fidel mengatakan pada Arumi bahwa ia t
Saat Arumi diminta oleh dokter memenuhi proses pendaftaran dan pendataan pasien, Arumi dengan jujur mengatakan bahwa Fidel adalah salah satu penghuni panti asuhan Kasih Ibu yang ia kelola.“Dia belum lama ini datang dan membantu saya di sana, Pak,” ujarnya pada petugas.“Apakah tidak ada kartu identitas yang bisa kami gunakan untuk mendatanya, Bu?”“Tidak ada,” jawab Arumi. “Dia berperilaku baik pada saya dan pada anak-anak panti. Mengingat tempat itu menerima siapapun tanpa pandang bulu, saya tidak pernah mempermasalahkan hal itu.”Petugas terlihat mengangguk beberapa kali, memahami penjelasan Arumi.“Apakah jika tidak ada identitas tidak bisa ditolong, Pak?”“Kami usahakan bisa,” jawabnya. “Kami coba bantu dengan menelusurinya ya, Bu. Apakah Ibu tahu nama lengkapnya?”“Fidella,” jawab Arumi. “Fidella Magali.”Setelah menyebutkan nama itu, dada Arumi berdebar melihat petugas yang duduk di balik meja administrasi yang tampak sedikit gusar.Ia tak tahu apa yang terjadi, sepertinya ada
Tiga tahun kemudian .... .... Musim yang tak menentu membuat siang hari ini sedikit lebih mendung ketimbang hari-hari biasanya. Hembusan angin dari timur membelai rambut Laura yang baru saja keluar dari mobil. Ia tak bisa untuk tak tersenyum saat melihat anak-anaknya yang berlarian sekeluarnya dari sedan yang pintunya baru saja dibukakan oleh si papa—Jake. “Jangan tarik tangannya Senna, Jayce!” pinta Jake. “Nanti Adik jatuh loh!” “Iya, Papa,” sahut Jayce dari seberang sana, pada sisi lain halaman dan memelankan langkahnya yang baru saja menarik Jasenna. Jake memang tak pergi ke kantor hari ini. Ia menyempatkan diri untuk mengantar Jayce dan Jasenna untuk pergi ke preschool mereka. Dan baru saja ia menjemput si kembar bersama dengan Laura. "Kamu tidak akan pergi ke kantor?" tanya Laura, menoleh pada Jake yang malah duduk di teras alih-alih masuk ke dalam rumah. "Tidak, Sayang," jawabnya. Ia mengarahkan tangannya ke depan, meraih tangan Laura agar duduk di sebelahnya.
“Seandainya aku memperlakukannya dengan lebih baik, dan memintanya untuk mengakui kesalahan apa yang pernah dia perbuat pada Laura, dia pasti tidak akan sehancur itu di tangan takdir yang memberikan karmanya.” Laura dan Jake tahu betul bahwa yang disebutkan oleh Erick itu adalah Fidel. “Tapi kamu ‘kan juga tidak tahu kalau Fidel melakukan itu pada Laura,” tanggap Jake. “Kamu tahu saat semuanya sudah terlambat. Bukan sepenuhnya salahmu juga, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Erick tersenyum saat sekilas menoleh pada Jake, kemudian kembali memandang Jayce dan Jasenna yang sangat tampan dan cantik. Dua bayi mereka, anugerah setelah penderitaan panjang tak berkesudahan itu. “Mulailah hidup barumu, Erick,” kata Jake. “Kamu berhak mendapatkan hidupmu yang baru, dan terlepas dari semua ini.” Erick lalu bangun dari berlututnya. Ia menghadap pada Jake dan Laura yang tampak tulus saat memberinya nasehat. Ia mengangguk, “Iya, aku pikir juga begitu,” jawabnya. “Tapi mungkin tidak d
Sejak si kembar sudah dalam fase merangkak, Jake dibuat sedikit kewalahan menghadapi mereka yang sangat aktif.Setahunya, cheetah adalah salah satu pemilik lari tercepat di dunia dengan kecepatan seratus tiga puluh kilometer per jam, tapi apa itu cheetah?! Jayce dan Jasenna lebih cepat daripada cheetah dewasa yang tengah berlari saat mereka merangkak.Pagi ini saja, Jake baru selesai membawa Jayce keluar dari kamar mandi setelah berendam bersama dengan Laura. Tapi saat ia mengambilkan diapers, Jayce sudah pergi dari kamar dengan keadaan tanpa pakaian dalam sekejap mata.Jika Jake tak mendengar gelak tawanya yang seolah mengejek di luar, ia tak akan menemukan di mana anak lelakinya itu berada."Jayce, pakai baju dulu, Nak!" ucapnya saat menjumpai Jayce yang bermain slipper di dekat anak tangga.Ia menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar, melihat Laura yang tak bisa menahan tawa saat membawa Jasenna keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang bergambar panda."Loh? Aku kira sudah s
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu
Satu hari, bulan demi bulan yang berganti menjadi tahun di belakang sana terkenang seperti gambar-gambar di layar proyektor.Melewati itu, Laura sangat bersyukur ia tiba pada hari ini.Melihat Jake yang berada di sampingnya dan memasrahkan diri saat Laura mencengkeram tangannya untuk meredam rasa sakit yang bergejolak di perutnya menyadarkannya bahwa waktu benar-benar mengambil alih luka-luka itu dan menggantinya dengan kebahagiaan.Meski sekarang dirinya merasakan sakit, tapi ia tak bisa membendung senyumnya.Dadanya berdebar saat Jake menunduk dan berbisik, "Apakah sakit sekali?" tanyanya. "Operasi saja bagaimana? Aku tidak bisa melihatmu kesakitan seperti ini."Bibir Jake jatuh di kening Laura."Tidak perlu," jawab Laura. "Dokter bilang semuanya baik-baik saja, 'kan? Jangan khawatir, asalkan kamu denganku di sini, aku akan melewati hari ini, Jake.""Tentu aku di sini," balasnya. "Kamu bisa mengatakan padaku apapun hadiah yang kamu mau nanti setelah anak-anak kita lahir. Hm?"Laura
Sejak pulang dari resepsi pernikahan sekretarisnya Zafran—Andy—semalam, rasanya frekuensi rasa sakit yang diterima oleh perut Laura berinterval semakin sering. Rasanya berdenyut, nyeri berpusat lebih ke bawah. Dan ... si kembar yang ada di dalam perutnya juga lebih tenang. 'Apa aku akan melahirkan sebentar lagi?' tanya Laura dalam hati saat pagi ini baru saja keluar dari dalam kamar. Ia ingin menyusul Jake yang sedang berada di ruang gym, melakukan rutinitas yang hampir tak pernah ia lewatkan. "Selamat pagi," sapa para pelayan yang ada di dapur dan melihat kedatangannya. "Selamat pagi," balas Laura dengan melemparkan senyum pada mereka. "Mau mencicipi sedikit, Nona?" tawar Rani, yang membawa semangkuk besar soto ayam yang dibuatnya. Sarapan pagi ini bertemakan masakan Nusantara karena semalam Jake berpesan pada Rani ingin makan yang sedikit berbumbu, sehingga yang pagi ini menu-menu itu bisa dicium aromanya oleh Laura. "Nanti saja, Bu Rani," jawab Laura simpul. "Baiklah kal
Ketukan palu hakim menggema memenuhi ruang sidang. Fidel tertunduk dalam isak tangis.Sudah sejak awal dibacakannya vonis, Laura melihatnya tak kuasa menahan air mata.Laura lebih dulu bangun dari duduknya dan meminta Jake untuk segera pergi dari sana."Ayo, Jake!" ucapnya. Dan melihat istrinya yang tak ingin berlama-lama di sini, Jake pun dengan cepat bangun dari duduknya. Membiarkan Laura meraih dan melingkarkan tangan pada lengannya untuk beranjak."Laura," panggil suara yang dikenal betul oleh Laura adalah milik Fidel.Terdengar dari belakangnya, seperti penuh harap agar Laura menoleh sehingga mereka bisa berbicara.Laura memang berhenti. Tapi ia tidak menoleh pada wanita itu. "Aku ... ingin pergi dari sini," katanya lirih, sehingga Farren yang berada di depan bersama dengan Roy dan tim kuasa hukum keluarga Heizt dengan cepat membuka jalan untuk mereka dari kerumunan reporter yang meliput berita."Laura."Suara Fidel terdengar sekali lagi, nelangsa penuh dengan nestapa.Tapi Lau