“Pakailah, Laura,” ucap sang Ibu. “Bawa saja, tidak usah dikembalikan.” Laura mundur satu langkah. Benaknya penuh dengan banyak percakapan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Penuh tanya, mengapa ibunya tiba-tiba berubah padahal semalam saat mereka bertemu Laura diperlakukan dengan dingin dan dianggap tidak ada. “T-tidak perlu, Ma,” jawab Laura. “Terima kasih.” Laura menunduk dengan sopan di hadapan Agnia serta Hariz sebelum berjalan lebih dulu meninggalkan mereka. Sedangkan Jake yang masih tertahan di sana memandang ayah dan ibu mertuanya itu seraya berujar, “Saya pun juga membutuhkan waktu untuk mendapatkan maaf darinya,” ucapnya. “Saya harap Mama dan Papa tidak lelah untuk mencobanya. Terima kasih sudah mempertimbangkan yang saya katakan semalam.” Jake memandang kepergian Laura yang sudah cukup jauh darinya. “Sayang, tunggu sebentar!” serunya. Berlari menyusul Laura yang sudah membiarkan kakinya bersinggungan dengan ombak yang terpecah di bibir pantai. “Kenapa
Sepulangnya dari Bali, hal yang pertama dilakukan oleh Laura adalah mengunjungi Hani. Saat tiba di rumah Farren, mereka disambut oleh wajah pucat pasangan suami istri itu.“Selamat datang,” sapa mereka hampir bersamaan.“Wajahmu lebih pucat daripada saat Laura hampir pingsan dulu,” kata Jake, memandang Hani dan Farren bergantian saat mereka masuk dan duduk di ruang tamu.“Benarkah?” tanya Farren yang dijawab oleh Laura, “Benar, Ren. Kalian sudah memeriksakannya ke dokter?”“Sudah, Nona Laura.”“Dokter bilang apa?” tanya Laura sekali lagi, meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja saat mereka duduk berseberangan.“Dokter bilang ini adalah gejala yang normal, Nona,” jawab Hani lebih dulu. “Dan calon Papa memang bisa mengalami hal seperti ini juga karena tingkat stres yang tinggi.”“Tidak perlu pergi ke kantor dulu, istirahatlah di rumah sampai keadaanmu membaik,” ujar Jake, memandang Farren yang mengangguk penuh dengan terima kasih.“Baik, Tuan Jake.”“Tapi bagaimana sekarang?
Fidel tertunduk tak berdaya setelah ia terjaga dari kenyataan bahwa ia tak bisa melarikan diri atau mengubur kejahatan yang ia lakukan begitu saja. Takdir tak menghendakinya. ‘Apa seperti ini rasa kecewanya saat ditipu?’ batinnya. ‘Sesakit inikah dulu saat aku meminta Varo menipu ibunya Tania?’ Ia memejamkan matanya untuk menepis air mata yang mendadak datang menyayat netranya hingga perih. Dengan perutnya yang membuncit dan terasa lapar, ia meneguk ludah saat melihat seorang wanita yang menikmati sekotak makanan. Wanginya tercium, menggoda indera pembaunya sehingga Fidel memutuskan untuk pergi dari sana. Kakinya kebas, terseok-seok menenteng tas kumal berisi pakaian murah yang ia beli. Di bawah terik matahari yang menyelinap dari gumpalan awan abu-abu, ia pergi meninggalkan tempat itu. Tak jelas tujuannya, mungkin ia akan kembali tidur di sembarang tempat demi agar dianggap sebagai gelandangan, sehingga jejaknya tak akan diketahui dan terendus oleh polisi—mengingat dirinya m
“Iya,” jawab wanita Ibu panti seraya membalas Fidel dengan seulas senyum. “Anak kecil yang membawamu ke sini tadi namanya Laura.”Air mata tertahan di sudut mata Fidel, membingkai kedua sisinya hingga perih dan mengembun. Bibirnya gemetar saat ia menyadari bahwa nama itu membayanginya bahkan setelah ia pergi sejauh ini.Saat Fidel terdiam dalam renungannya, ia mulai berpikir bahwa, ‘Apakah semua orang yang memiliki nama Laura adalah perempuan yang baik hatinya?’Laura si anak kecil yang baru saja ia temui telah membawanya ke tempat yang membuatnya bisa berteduh.Dan Laura yang ia kenal dulu adalah seorang wanita baik yang berlapang dada sekalipun saat ia dihina atau berulang kali Fidel berusaha mejatuhkannya.Masih dengan benak yang bercabang, Fidel pergi menemui Laura kecil yang berada di dapur. Terlihat senang saat ia mengupas sayuran persis seperti yang dikatakan oleh Ibu panti.Fidel bergabung di sana, bersama dengan anak-anak yang lebih tua yang mungkin sudah duduk di bangku SMA.
Beberapa lama tinggal di panti asuhan itu membuat Fidel mulai terbiasa. Ia bangun pagi, membantu Arumi memasak sekaligus menyiapkan kue-kue yang mereka titipkan di pasar pagi. Untuk pertama kalinya dalam hidup Fidel, ia membawa kakinya untuk menginjak jejak basah akibat embun malam yang mengantar kakinya pergi ke kesibukan pasar. Arumi menunjukkan di mana saja mereka menitipkan makanan untuk menyambung hidup, terlepas dari ada atau tidaknya orang yang menjadi donatur, mereka tetap bergerak dan tak berpangku tangan. Beranjak siang, ia lalu pulang dengan membawa belanjaan. Sayuran untuk makan dan untuk kue mereka pisah-pisahkan sesampainya di panti. Harinya sibuk dan padat, tapi jujur saja ... Fidel merasa mendapat banyak pelajaran, bahwa seperti inilah rasanya hidup dalam kekurangan. Diam-diam ... ia berpikir, ‘Apa seperti ini rasanya keluarga Tania saat mereka jatuh dan tidak memiliki uang sepeser pun setelah aku menipunya?’ Jika sebelumnya Fidel mengatakan pada Arumi bahwa ia t
Saat Arumi diminta oleh dokter memenuhi proses pendaftaran dan pendataan pasien, Arumi dengan jujur mengatakan bahwa Fidel adalah salah satu penghuni panti asuhan Kasih Ibu yang ia kelola.“Dia belum lama ini datang dan membantu saya di sana, Pak,” ujarnya pada petugas.“Apakah tidak ada kartu identitas yang bisa kami gunakan untuk mendatanya, Bu?”“Tidak ada,” jawab Arumi. “Dia berperilaku baik pada saya dan pada anak-anak panti. Mengingat tempat itu menerima siapapun tanpa pandang bulu, saya tidak pernah mempermasalahkan hal itu.”Petugas terlihat mengangguk beberapa kali, memahami penjelasan Arumi.“Apakah jika tidak ada identitas tidak bisa ditolong, Pak?”“Kami usahakan bisa,” jawabnya. “Kami coba bantu dengan menelusurinya ya, Bu. Apakah Ibu tahu nama lengkapnya?”“Fidella,” jawab Arumi. “Fidella Magali.”Setelah menyebutkan nama itu, dada Arumi berdebar melihat petugas yang duduk di balik meja administrasi yang tampak sedikit gusar.Ia tak tahu apa yang terjadi, sepertinya ada
Sebelum membuat kehebohan terjadi di ruang pesta, Xandara menitikkan air mata saat ia melarikan diri ke dalam kamar mandi. Xandara sangat membenci gadis itu, Elsa! Kedatangannya ke pesta ini bersama dengan Zafran adalah sebuah hal yang tak ia antisipasi karena sebelumnya Xandara berpikir bahwa pria itu akan datang sendirian. Gaun berwarna burgundy yang dikenakan oleh Elsa benar-benar menyakiti matanya. Bukan karena gaun itu buruk, melainkan terlihat sangat cocok dan cantik saat dipakai oleh Elsa. Tampilannya seperti seorang nyonya muda yang diperistri oleh seorang CEO kaya padahal mereka belum resmi menikah. ‘Dia ingin menghinaku saat mengatakan bahwa kalung yang dia pakai itu dari Zafran?’ gumamnya seraya terengah-engah meredam rasa marah saat memandang cermin berukuran besar yang ada di kamar mandi. Matanya yang semula tajam meruncing perlahan berubah menjadi mata polos saat ia mengatur bagaimana ia harus menunjukkan raut wajahnya saat ia keluar dari sini. ‘Kamu pikir kamu bis
Seluruh orang di dalam ruangan hening seketika. Mereka tak salah dengar saat mengatakan bahwa yang disebut oleh ‘Sayang’ oleh Zafran itu adalah Elsa, bukan Xandara.Saat Elsa mengikuti langkah cepat Zafran, reporter yang berjumlah puluhan yang semula berfokus pada Xandara bergerak menyerbu pertanyaan pada keduanya selagi Andy bekerja keras membuka jalan dengan meneriakkan, "Minggir, tolong beri jalan!"“Jadi yang menjadi orang ketiga itu adalah Xandara?” tanya salah seorang reporter.“Benar begitu, Pak Zafran?” sahut suara reporter yang lain.“Tapi kenapa Anda dan Xandara saat itu bertemu dan terlihat kencan di Edinburgh?”“Sejak kapan Anda menjalin hubungan?”“Pak Zafran, tolong katakan sesuatu!”Zafran hanya bungkam seribu bahasa. Tatapannya tajam mengarah pada reporter yang berada di dekat Elsa berjalan, seolah sedang menandai satu persatu dari mereka.Tak pernah sekalipun terpikir di benak Elsa ia akan terjebak dalam situasi seperti ini.Hidupnya yang tenang dan jauh dari media—