Malam telah larut, namun Nakula tak beranjak dari sisi tempat tidur. Di kursi dekat kepala ranjang, ia duduk dengan punggung tegap, matanya terus mengawasi kakaknya yang terbaring lemah. Kamar vila itu dihiasi lampu remang yang memancarkan suasana damai, tetapi Nakula justru merasa gelisah.Sesekali, ia mengusap wajahnya, mencoba menghalau rasa kantuk yang menghadang. Radha belum juga sadar. Dokter memang mengatakan bahwa kondisinya cukup stabil, tetapi tubuhnya yang pucat dan napasnya yang terengah membuat Nakula tak bisa berhenti khawatir.Waktu terus bergulir. Suara langkah pelayan yang melintas di luar kamar sesekali terdengar. Hingga akhirnya, Radha bergerak sedikit, kelopak matanya perlahan terbuka.“Kak Radha?” panggil Nakula dengan nada cemas, langsung berdiri dan mendekat. “Kakak sudah sadar?”Radha memutar kepalanya perlahan, ekspresi bingung tergurat jelas di wajahnya. “Nakula? Apa yang terjadi?”Nakula tersenyum lega, meskipun hatinya masih terasa berat. “Kak Radha pingsa
Krisna berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang luas dengan ekspresi wajah penuh kemarahan. Suara sepatu kulitnya yang beradu dengan lantai marmer menggema di seluruh ruangan, menciptakan ketegangan yang semakin mencekam. Di tangannya, ponsel yang sudah berkali-kali ia gunakan untuk mencoba menghubungi Radha. Namun, sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban.“Kenapa tidak diangkat juga?! Apa dia sengaja menghindar?!” Krisna menggerutu keras, nada suaranya mencerminkan amarah yang semakin mendidih.Ia mencoba menelepon sekali lagi, menunggu dengan tidak sabar hingga nada sambung berhenti. Hasilnya tetap sama, dan Krisna kehilangan kendali. Dengan kemarahan yang tak tertahan, ia membanting ponselnya ke lantai. Ponsel itu pecah berkeping-keping, membuat para pelayan yang berada di ruangan itu tersentak dan mundur beberapa langkah karena ketakutan."APA KALIAN SEMUA AKAN DIAM SAJA SEPERTI INI?!" Krisna berteriak, menatap tajam ke arah para pelayan dan pegawai yang berdiri membe
"Buka dan lihat sendiri. Setelah itu, tanyakan pada Kakek Felix apa yang sebenarnya terjadi."Krisna mengernyit, wajahnya menunjukkan kebingungan yang semakin dalam. "Apa maksudmu, Saga? Apa hubungannya Kakek Felix dengan ini semua?"Saga tidak menjawab. Sebaliknya, ia menyeringai tipis, seolah menikmati kebingungan Krisna. "Mungkin setelah membaca itu, kau akhirnya akan sadar bahwa kau hanyalah bidak kecil dalam permainan besar Kakekmu. Tapi berhati-hatilah, Krisna. Terkadang kebenaran akan terasa begitu menyakitkan."Tanpa menunggu jawaban, Saga membuka pintu dan melangkah keluar, membantingnya dengan keras hingga suara dentumannya menggema di seluruh rumah. Krisna tetap berdiri di tempatnya, matanya terpaku pada amplop cokelat itu.Pikirannya berputar keras. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang Saga ketahui? Dan kenapa juga dirinya harus bertanya pada Kakek Felix?Dengan tangan yang sedikit gemetar, Krisna perlahan membungkuk untuk mengambil amplop itu. Namun, sebelum ia sempat me
“Kau, bukanlah kakekku.”Mendengar hal itu, Kakek Felix meresponnya dengan senyuman kecil. "Kau masih belum memahami apa yang kau katakan barusan, Krisna," jawab Kakek Felix dengan suara yang rendah. "Jika aku bukan kakekmu, siapa lagi yang akan menjaga keluarga ini tetap berdiri kokoh? Aku melakukan semua ini untuk melindungi kita semua."Krisna merasa ada sesuatu yang retak dalam dirinya usai mendengar kata-kata Kakek Felix. Kakeknya, yang selalu ia anggap sebagai sosok yang bijaksana dan penuh perhitungan, kini berbicara seolah segala tindakannya—termasuk yang paling kejam sekalipun—adalah demi kebaikan keluarga."Melindungi?" Krisna mengulang kata itu dengan nada sarkastis, "Apa yang kau lindungi, Kek? Nama baik keluarga? Atau justru kekuasaan yang kau genggam erat-erat?"Kakek Felix menatapnya tajam. Matanya menyipit, namun ekspresinya tetap tenang. "Aku melindungi apa yang paling penting. Stabilitas, kekuasaan, dan yang terpenting, masa depan keluarga Harlingga.” Tandasnya. “Dan
Usai bersiteru dengan Kakek Felix dan mendapatkan kenyataan yang tak mengenakkan, Krisna memutuskan untuk mengendarai mobilnya sendiri, sementara pengawalnya mengikuti dari belakang.Krisna melajukan mobilnya cukup pelan di bawah kelamnya langit malam, seolah setiap kilometer yang dilalui menambah berat beban yang menggantung di pundaknya. Kata-kata Kakek Felix terus terngiang di telinganya yang terasa begitu tajam dan dingin, hingga mampu menghancurkan apa pun yang tersisa dari keyakinannya sendiri.Ketika akhirnya mobil itu berhenti di halaman rumahnya, Krisna hanya duduk diam di balik kemudi untuk beberapa saat. Tangan-tangannya yang kokoh terasa lemah, ketika menggenggam setir tanpa tujuan. Ia pun menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melangkah keluar. Dan seperti biasa, rumah megah yang berdiri kokoh itu, mencerminkan kesempurnaan palsu—yang tak lebih dari sebuah cangkang kosong akan kebahagiaan yang telah lama hilang.Dengan langkah gontai, Krisna membuka
Langit pagi mulai bersinar terang ketika Saga kembali ke vila. Tubuhnya terasa lelah setelah menyelesaikan beberapa urusannya, termasuk pertemuannya dengan Krisna yang penuh emosi. Namun sejak semalam, entah kenapa pikirannya terus memikirkan Radha. Seolah ada perasaan mendesak untuk memastikan keadaannya. Setibanya di halaman vila, ia disambut oleh suasana yang terasa tidak biasa. Beberapa pelayan berkumpul di dekat pintu masuk dengan wajah cemas."Tuan Saga, syukurlah Anda kembali." Salah satu pelayan tergesa-gesa menghampiri. "Nyonya Radha ... beliau—"Saga segera menghentikan langkahnya, alisnya berkerut dalam. "Ada apa dengan Radha?" tanyanya tegas. “Nyonya Radha … mengurung dirinya di kamar mandi dan tidak mau keluar. Kami sudah mencoba membujuknya, tapi beliau sama sekali tidak menanggapinya,” salah seorang pelayan melaporkan dengan nada penuh kekhawatiran.Saga langsung tertegun, tubuhnya menegang. "Sejak kapan ini terjadi?" Tanyanya cepat."Sejak tadi malam, Tuan. Tapi sepe
Cahaya senja yang lembut menembus tirai jendela kamar, mengisi ruang dengan kehangatan samar. Radha mengerjap perlahan, matanya membuka dengan berat. Kepalanya terasa ringan, namun tubuhnya masih lemah. Sekitaran kamar tampak asing dalam pandangannya yang kabur sesaat, sebelum akhirnya ia mengenali di mana dirinya berada. Radha mencoba menggerakkan kepalanya ke samping, dan melihat sosok yang tertidur di kursi tak jauh dari tempat tidurnya. Dia adalah Saga. Pria itu tertidur dengan posisi yang jelas tidak nyaman. Kepalanya tertunduk, lengan terlipat di dada, dan tubuhnya sedikit membungkuk. Bahkan dalam keadaan tidur, wajahnya terlihat cemas, seperti beban berat yang tak kunjung meninggalkannya. Radha menarik napas pelan, mencoba bangkit dari tempat tidur. Namun, gerakan kecilnya membuat suara gemerisik pada selimut, cukup untuk membuat Saga tersentak dan langsung terbangun. "Radha," ucapnya. Suara seraknya menunjukkan bahwa ia baru saja terjaga, dan segera bangkit dari kursinya,
“Di mana Radha?” Tanya Baskara tiba-tiba. Saga terkejut sejenak, namun ia segera menyembunyikan keterkejutannya. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Baskara. “Apa maksud Ayah? Tentu saja di rumahnya. Kenapa malah bertanya padaku?” balas Saga tanpa langsung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ayahnya. Baskara menyipitkan matanya, memperhatikan putranya dengan seksama. “Aku tahu kau menyembunyikannya, Saga. Jangan mencoba mengelak. Selama ini, jika Radha dalam masalah, kau selalu membantunya. Jadi katakan, di mana dia? Tidak mungkin Radha tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa ada orang lain yang membantunya.” Saga tersenyum tipis. Senyuman yang lebih menyerupai ejekan. “Apa? Radha menghilang?" Seru Saga, segera mengambil posisi duduk tepat di depan Baskara. "Astaga, Ayah. Kalaupun aku tahu di mana dia, kenapa juga aku harus memberitahumu? Bukankah lebih baik jika kita membiarkan Radha menjauh dari semua kekacauan yang dibuat oleh putra keduamu itu?” “
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida